• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan

Pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh membentuk tipe hubungan patron-klien. Hal ini sejalan dengan penelitian Probowati (2011) yang menyatakan bahwa struktur masyarakat Kampoeng Batik Laweyan terjadi corak hubungan patron-klien. Umumnya patron berperan sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap klien-nya. Prinsip dari corak hubungan patron- klien adalah adanya hubungan yang relatif stabil dan lama diantara para pelakunya, demikian juga yang yang berlangsung di Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (patron) dan buruh (klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak jarang pula berlangsung hingga turun-temurun. Ketergantungan klien yang besar terhadap patron terlihat dari bagaimana perlakuan dan kesetiaan (dalam kurun waktu yang lama dan terus-menerus).

Perusahaan Batik Kelas Besar (Large)

Pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas besar (large) membentuk tipe hubungan patron-klien. Hal ini dapat terlihat pada (Lampiran 5). Berdasarkan Lampiran 5 dapat diketahui bahwa tingkat ketimpangan dilihat berdasarkan pertukaran barang dan jasa yang wajib dibalas oleh buruh kepada juragan, dan adanya rasa saling ketergantungan buruh terhadap juragan. Pertukaran barang dan jasa yang dilakukan oleh buruh terhadap juragan pada perusahaan batik kelas besar (large) tidak perlu dikembalikan. Sementara untuk rasa ketergantungan, buruh menganggap tidak adanya rasa saling ketergantungan, hal ini dikarenakan buruh menganggap hanya sebatas pekerjaan saja, sehingga sewaktu-waktu buruh pun dapat pindah tempat kerja. Adapun tingkat tatap muka pada klasifikasi rendah disebabkan oleh masa kerja yang baru mencapai 1 bulan, sehingga belum memiliki kedekatan dengan juragan. Tingkat luwes dan meluas yaitu hubungan yang terjalin antara juragan dan buruh tidak hanya sebatas hubungan dalam aktivitas produksi batik, melainkan hubungan sesama tetangga yang ditandai dengan adanya hubungan kekerabatan serta adanya bantuan yang diberikan oleh juragan maupun buruh. Buruh yang berada pada klasifikasi rendah disebabkan oleh belum lamanya waktu bekerja dan juga terdapat buruh yang berasal dari perusahaan lain sehingga tingkat luwes dan meluasnnya rendah. Sementara untuk tingkat hubungan harapan, ditandai dengan adanya rasa ingin atau harapan yang dimiliki oleh juragan dan buruh dalam aktivitas produksi batik. Semua buruh berada pada klasifikasi tinggi, hal ini disebabkan karena semua buruh memiliki kekuasaan, wewenang, serta pengaruh terhadap pekerjaannya, sehingga juragan dan buruh saling membutuhkan dalam aktivitas produksi batik.

Tingkat patron menunjukkan bahwa juragan pada perusahaan batik memiliki kekuasaan, status, wewenang, dan pengaruh dalam aktivitas produksi batik, hal ini dikarenakan juragan sebagai pemilik perusahaan yang harus

mengatur bagaimana sistematika kerja di perusahaannya. Selanjutnya, pada tingkat klien menunjukkan bahwa terdapat 4 buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini disebabkan oleh buruh tidak memiliki kekuasaan, status, wewenang, dan pengaruh yang lebih tinggi dari juragan, namun justru juragan yang memiliki peranan yang lebih tinggi pada proses produksi batik. Tingkat resiprositas yaitu hubungan antara juragan dan buruh yang melibatkan rasa saling tukar barang maupun jasa. Tingkat resiprositas pada perusahaan batik kelas besar (large) berada pada klasifikasi tinggi, hal ini disebbakan oleh rasa saling tukar barang maupun jasa yang tinggi. Misalnya saja, ketika salah satu buruh sedang mengadakan hajatan besar seperti menikahkan anaknya, maka juragannya pun memberikan bantuan berupa uang maupun barang yang diberikan kepada anaknya.

“... Di sini itu juragannya apik kok mbak, kalau ada pegawainya yang punya hajatan besar misale anaknya nikah, si juragan ne mau ngasih uang sama barang berupa bahan-bahan masakan, itu berlaku untuk semua pegawainya mbak. Juragane bagus mbak, orangnya baik suka membantu kalau ada pegawainya yang butuh bantuan, disini itu sudah kayak keluarga antara juragan sama pegawainya, kalau pas lebaran biasanya dikasih THR berupa uang sama sembako mbak ...”. (Y, Perempuan, 44 Tahun)

Hal tersebut dilakukan karena antara juragan dan buruh sudah saling menganggap sebagai keluarga sendiri. Sementara untuk tingkat keuntungan, sebanyak 22 buruh berada pada klasifikasi rendah, hal ini dikarenakan buruh menganggap bahwa dalam proses produksi batik, hanya sebatas hubungan kerja, sehingga tidak diberi pekerjaan sampingan, dan hubungannya hanya sebatas hubungan pekerjaan.

“... Dikasih pekerjaan sampingan apa tow mbak, di sini itu sesuai sama pekerjaannya masing-masing, kalau saya kan jahit, ya sebatas jahit batik saja, gatau kalau yang lain mbak ...”. (W, Perempuan, 42 Tahun)

Perusahaan Batik Kelas Menengah (Medium)

Pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas menengah (medium) termasuk kedalam tipe hubungan patron-klien. Berikut hasil perhitungan tabel frekuensi untuk pola hubungan pada (Lampiran 6) . Berdasarkan Lampiran 6 menunjukkan bahwa pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas menengah (medium) dilihat berdasarkan beberapa indikator, untuk tingkat ketimpangan diketahui berada pada klasifikasi rendah, hal ini dikarenakan tidak adanya pertukaran barang ataupun jasa yang wajib di balas oleh buruh, selain itu juga rasa saling ketergantungan buruh terhadap juragan juga berkurang, karena sebagian buruh menganggap

bahwa hubungan antara juragan dan buruh hanya sebatas hubungan pekerjaan. Hal ini diperkuat dari hasil kutipan wawancara.

“... Wah ngapain punya rasa ketergantungan, orang di sini kerja kok mbak. Sewaktu-waktu bisa pindah, seperti saya ini baru tiga hari disini, saya pindah dari perusahaan batik lain, jadi bisa saja pindah, tanpa adanya ketergantungan. Tapi saya sudah kenal Mas Arief, tiap hari saya ngobrol sama bapaknya mbak, jadi sudah kenal dengan juragannya ... “. (W, Laki-laki, 56 Tahun)

Selain itu, tingkat tatap muka merupakan intensitas pertemuan yang terjadi antara juragan dan buruh dalam aktivitas produksi batik, terdapat 5 buruh yang berada pada klasifikasi rendah hal ini dikarenakan lamanya waktu bekerja yang baru beberapa tahun, yaitu sekitar 1-3 tahun, dan bahkan ada yang baru satu minggu. Selain itu terdapat buruh yang berasal dari perusahaan batik lain sehingga belum tertalu kenal dekat dengan juragan, sehingga rasa percaya yang dimiliki terhadap juragan masih rendah.

“... Kalau di sini itu juragannya biasanya datang jam sebelas, cuma buat ngecek pembagian tugas dalam membuat batik mbak, seperti saya sebagai kuli mbabar. Jadi pertemuan dengan juragan juga hanya sebatas itu, dan saya disini juga baru satu minggu mbak ...”. (T, Laki-laki, 53 Tahun)

Sementara untuk tingkat luwes dan meluas pada perusahaan batik kelas menengah (medium) terdapat 5 buruh yang berada pada klasifikasi rendah. Hal ini disebabkan oleh buruh tersebut berasal dari perusahaan batik lain yaitu Batik Bin House dan Batik Keris, dan lamanya waktu bekerja baru beberapa tahun, sehingga hubungannya dengan juragan tidak begitu dekat, dan tidak ada rasa saling membantu, karena hubungannya hanya sebatas juragan dan buruh yang menyangkut pekerjaan saja.

“... Kalau saya di sini hubungannya hanya sebatas pekerjaan mbak, karena saya disini digaji, setiap hari ya mengerjakan tugas dari juragan cuma itu saja, hubungannya juga tidak terlalu dekat, karena memang setiap harinya fokus kekerjaan masing-masing sesuai perintah juragannya ...”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)

Tingkat hubungan harapan yang dimiliki oleh buruh terdapat 8 buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini disebabkan oleh buruh tersebut menganggap bahwa dirinya hanya memiliki kekuasaan dan status sebagai pekerja, namun tidak memiliki wewenang dan pengaruh dalam proses produksi batik, hanya sebatas buruh yang bekerja saja.

“... Kekuasaan nya di sini ya sebatas membatik mbak, karena saya kerjanya setiap hari ditugaskan untuk membatik, ya statusnya hanya sebagai pembatik

saja, yang punya wewenang itu ya juragannya mbak, yang punya perusahaan batik, disini saya hanya sebagai buruh yang dibayar mbak ... “. (S, Perempuan, 68 Tahun)

Sementara untuk tingkat patron, semua buruh berada pada klasifikasi tinggi artinya juragan memiliki kekuasaan, status, wewenang, dan pengaruh yang tinggi terhadap perusahaan batiknya. Sementara untuk tingkat klien, terdapat 2 buruh yang berada pada klasifikasi rendah, disebabkan oleh buruh tersebut tidak memiliki kekuasaan, status, wewenang, dan pengaruh yang lebih tinggi daripada juragannya.

“... Di sini itu mbak, yang punya pengaruh besar ya si juragane, karena juragan yang punyanya, kita cuma sebatas buruh yang bekerja, yang setiap harinya digaji. Juragan yang mengatur pembagian kerja buruhnya ...”. (K, Laki-laki, 70 Tahun)

Tingkat resiprositas menunjukkan bahwa semua buruh berada pada klasifikasi tinggi, Artinya semua buruh menganggap bahwa hubungan antara juragan dan buruh melibatkan rasa saling tukar barang maupun jasa. Sedangkan untuk tingkat keuntungan sebanyak 5 buruh berada pada klasifikasi rendah, disebabkan oleh buruh tersebut tidak memiliki pekerjaan sampingan dan rasa kekeluargaannya tidak begitu dekat.

“... Saya di sini pekerjaan nya ditugas untuk membatik saja, kalau pekerjaan sampingan itu gak ada mbak, tiap hari kerja itu sudah capek kok mbak ...”. (Y, Perempuan, 58 Tahun)

Perusahaan Batik Kelas Kecil (Small)

Pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas kecil (small) membentuk tipe hubungan patron-klien yang dapat dilihat berdasarkan (Lampiran 7). Lampiran 7 menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan yang terjadi pada perusahaan batik kelas kecil (small) berada pada klasifikasi rendah sebanyak 15 buruh dan yang tinggi sebanyak 15 buruh juga. Hal ini dikarenakan adanya rasa saling ketergantungan buruh terhadap juragan.

“... Ya namanya bekerja disini ya bergantung mbak, karena pendapatan sehari-hari juga berasal dari kerja disini mbak, jadi ya punya rasa ketergantungan sama bapak juragane ...”. (Y, Perempuan, 54 Tahun)

Sementara untuk tingkat tatap muka, terdapat 6 buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini dikarenakan buruh belum memiliki kedekatan dengan juragan sehingga rasa saling percaya nya pun belum terjalin. Hal ini diperkuat dengan hasil kutipan wawancara.

“... Saya di sini baru tiga bulan kok mbak, jadine belum terlalu dekat sama juragan, ketemunya cuma sebatas mengecek pekerjaan, di sini itu juragane agak pendiem mbak ...”. (N, Perempuan, 53 Tahun)

Tingkat luwes dan meluas menunjukkan bahwa sebanyak 5 buruh berada pada klasifikasi rendah, hal ini dikarenakan lamanya waktu bekerja yang baru mencapai 3-5 tahun dan hubungannya hanya sebatas pekerjaan, bukan sebagai hubungan kekerabatan. Tingkat hubungan harapan diketahui bahwa semua buruh berada pada klasifikasi tinggi, artinya buruh memiliki kekuasaan, status, wewenang, dan juga pengaruh dalam aktivitas produksi batik. Sementara untuk tingkat patron menunjukkan bahwa terdapat satu buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini disebabkan oleh buruh tersebut menganggap bahwa juragan tidak memiliki posisi yang lebih tinggi dari buruh, namun posisinya sama- sama saling membutuhkan dan memiliki peranan yang sama antara juragan dan buruh.

“... Juragan dan buruh itu posisinya sama, sama-sama saling membutuhkan mbak, kalau juragan tanpa buruh siapa yang mau ngerjain produksi batiknya, hubungannya saling membutuhkan satu sama lain, kita bergantung dengan gaji, juragane bergantung dengan tenaga kita ...”. (W, Laki-laki, 56 Tahun)

Sementara untuk tingkat klien, menunjukkan bahwa terdapat dua buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini dikarenakan seharusnya yang memiliki posisi lebih tinggi adalah juragan ketimbang buruh. Tingkat resiprositas menunjukkan bahwa semua buruh berada pada klasifikasi tinggi, artinya hubungan juragan dan buruh melibatkan rasa saling tukar barang maupun jasa. Sementara untuk tingkat keuntungan, terdapat 20 buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini dikarenakan oleh keuntungan rendah yang diperoleh buruh pada aktivitas produksi batik, baik dari segi uang, pekerjaan sampingan, maupun rasa kekeluargaan yang terbentuk antara juragan dan buruh.

Berdasarkan pola hubungan juragan buruh, dapat disimpulkan bahwa pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas besar (large) memiliki pola hubungan patron-klien yang tinggi, sementara pada perusahaan batik kelas menengah (medium) dan kelas kecil (small) memiliki tingkat pola hubungan

Pengaruh Modal Sosial terhadap Pola Hubungan