• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Modal Sosial Terhadap Eksistensi Pola Hubungan Juragan Dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Modal Sosial Terhadap Eksistensi Pola Hubungan Juragan Dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP EKSISTENSI

POLA HUBUNGAN JURAGAN DAN BURUH

KAMPOENG BATIK LAWEYAN

FAUZIAH KURNIATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI PENELITIAN DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan“ benar hasil karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

Fauziah Kurniati NIM. I34120090

1

(4)
(5)

ABSTRAK

FAUZIAH KURNIATI. Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola

Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan. Dibawah bimbingan

MARTUA SIHALOHO.

Indonesia memiliki beragam warisan budaya salah satunya adalah batik. Batik telah diakui oleh United Nation Educational Scientific and Cultural Organization

(UNESCO) sebagai warisan budaya Indonesia sehingga perlu dijaga eksistensinya. Salah satu kampung batik tertua di Indonesia yaitu Kampoeng Batik Laweyan, pada proses produksi batik juragan dan buruh menjalin hubungan melalui modal sosial dan membentuk pola hubungan patron-klien. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah menganalisis pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh, menganalisis pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan, serta menganalisis pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tersebut adalah pendekatan kuantitatif dengan metode survei yang didukung oleh data kualitatif yang relevan. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh pada setiap kelas perusahaan batik. Terdapat pengaruh signifikan pola hubungan patron-klien terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada setiap kelas perusahaan batik. Terdapat pengaruh signifikan modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada setiap kelas perusahaan batik.

Kata kunci: batik, eksistensi, modal sosial, dan pola hubungan juragan dan buruh

ABSTRACT

FAUZIAH KURNIATI. The influence of social capital to the existence of a pattern of relationship juragan and buruh Kampoeng Batik Laweyan. Supervised by

MARTUA SIHALOHO.

Indonesia has a diverse cultural heritage of one of them is batik. Batik has been recognized by the United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) as an Indonesian cultural heritage that needs to be maintained existence. One of the oldest villages in Indonesia, namely Kampoeng Batik Laweyan. Kampoeng Batik Laweyan is one area in the city of Surakarta which has a rich cultural heritage, both tangible (material) or intangible (non-material), the skipper of batik production process and labor relations through social capital and form a pattern of patron-client relationships. The purpose of this paper is to analyze the influence of social capital on the pattern of relationship between juragan and buruh, analyze the influence of a pattern of relationship between juragan and buruh to the existence of Kampoeng Batik Laweyan, and to analyze the influence of social capital to the existence of Kampoeng Batik Laweyan. The approach used to analyze the effect of these is the quantitative approach with survey supported by qualitative data that is relevant. Results of the analysis showed that there is no influence of social capital on pattern of relationship between juragan and buruh at each grade companies batik. There is the influence of the pattern of relationship between juragan dan buruh to the existence of Kampoeng Batik Laweyan at each grade companies batik. There is the influence of social capital on the existence of Kampoeng Batik Laweyan at each grade companies batik.

(6)
(7)

PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP EKSISTENSI

POLA HUBUNGAN ANTARA JURAGAN DAN BURUH

KAMPOENG BATIK LAWEYAN

FAUZIAH KURNIATI

I34120090

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini membahas mengenai pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan, Surakarta.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Syafi‟i dan Ibu Asnawati selaku orang tua serta Rista Rikiatun dan A. Ridwan Suyuti selaku adik kandung yang selalu memberikan saran, masukan dukungan, dan doa yang sangat berarti untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman terdekat, teman satu bimbingan yaitu Henny Kristikasari dan Suci Ayu Rachmawati, serta kepada seluruh mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 49, yang telah memberikan dukungan semangat dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Semoga hasil penelitian bermanfaat.

Bogor, Juli 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Tinjaun Pustaka 5

Modal Sosial (Social Capital) 5

Eksistensi 9

Pola Hubungan Patron-Klien 10

Kerangka Pemikiran 14

Hipotesis Penelitian 16

PENDEKATAN LAPANG 17

Metode Penelitian 17

Lokasi dan Waktu Penelitian 17

Teknik Pengumpulan Data 18

Teknik Penentuan Informan dan Responden 20

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 21

Definisi Operasional 22

Gambaran Umum Kampoeng Batik Laweyan 29

Kondisi Geografi Kampoeng Batik Laweyan 29

Kondisi Demografi Kampoeng Batik Laweyan 29

Potensi Sumberdaya Manusia 29

Kondisi Sarana Pendidikan Kampoeng Batik Laweyan 33

Gambaran Responden Penelitian 34

Sejarah dan Dinamika Kampoeng Batik Laweyan 37

Pola Hubungan Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan 45

Pengaruh Modal Sosial terhadap Pola HubunganJuragan dan Buruh 51

Pengaruh Pola Hubungan Juragan dan Buruhterhadap Eksistensi Kampoeng Batik

Laweyan 59

(14)
(15)

PENUTUP 67

Simpulan 67

(16)
(17)

DAFTAR TABEL

1 Dua unsur komplemen modal sosial 6

2 Metode pengumpulan data 19

3 Definisi operasional modal sosial 22

4 Definisi operasional pola hubungan patron-klien 24

5 Definisi operasional eksistensi 27

6 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis kelamin di Kampoeng Batik Laweyan

2016 29

7 Jumlah dan persentase penduduk menurut mata pencaharian (umur 10 tahun keatas)

Februari 2016 31

8 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan (umur 5 tahun keatas)

Februari 2016 32

9 Jumlah dan persentase penduduk menurut penganut agama di Kampoeng Batik

Laweyan 2016 33

10 Jumlah sarana pendidikan di Kampoeng Batik Laweyan 33 11 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas besar (large) 51 12 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas menengah (medium) 53 13 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas kecil (small) 54

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 16

2 Sebaran jenis kelamin responden pada perusahaan batik kelas besar (large) 34 3 Sebaran jenis kelamin responden pada perusahaan batik kelas menengah (medium) 35 4 Sebaran jenis kelamin pada perusahaan batik kelas kecil (small) 35

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sketsa Kampoeng Batik Laweyan 75

2 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2016 76

3 Kerangka sampling 77

4 Daftar nama responden 87

5 Frekuensi pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas besar (large) 91 6 Frekuensi pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas menengah

(medium) 92

7 Frekuensi pola hubungan juragan dan buruh pada perusahaan batik kelas kecil (small) 93

8 Panduan wawancara mendalam 94

9 Kebutuhan data dan metode pengumpulan data 103 10 Hasil uji validitas dan reabilitas modal sosial, pola hubungan, dan eksistensi 109 11 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh pada

(18)
(19)

12 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh pada

perusahaan batik kelas menengah (medium) 121

13 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh

pada perusahaan batik kelas kecil (small) 125

14 Hasil olah data pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi

Kampoeng Batik Laweyan 128

15 Hasil olah data pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi

Kampoeng Batik Laweyan 132

16 Hasil olah data pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi

Kampoeng Batik Laweyan 136

17 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan

pada perusahaan batik kelas besar (large) 140

18 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas menengah (medium) 144 19 Hasil olah data pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan

pada perusahaan batik kelas kecil (small) 148

20 Dokumentasi lapang 152

(20)
(21)

PENDAHULUA

N

Latar Belakang

Indonesia memiliki beragam warisan budaya salah satunya adalah batik. Batik telah diakui oleh United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai warisan budaya Indonesia sehingga perlu dijaga keberadaan dan keasliannya2. Industri batik di Indonesia umumnya merupakan industri Usaha Kecil Menengah (UKM) yang menjadi mata pencaharian sebagian masyarakat Kebijakan pemerintah untuk mendukung Usaha Kecil dihitung dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah3. Batik selain sebagai karya kreatif yang sudah berkembang sejak zaman dahulu serta sebagai hasil seni budaya, maka kerajinan dan industri batik merupakan sumber kehidupan perekonomian masyarakat diberbagai kota maupun konsentrasi industri seperti halnya di Surakarta. Kota Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa memiliki dua kawasan kerajinan batik yaitu Kawasan Kauman dan Kawasan Laweyan. Kawasan Kauman merupakan bagian dari pusat kota Surakarta, sedangkan Kawasan Laweyan atau dikenal dengan sebutan Kampoeng Batik Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik, dan bersejarah.

Kampoeng Batik Laweyan adalah satu kawasan di kota Surakarta yang memiliki kekayaan pusaka budaya, baik yang tangible (bendawi) maupun

intangible (non bendawi). Kampoeng Batik Laweyan ini merupakan kampung batik tertua di Indonesia yang berasal dari kata lawe, yakni semacam benang sebagai bahan pembuat kain4. Adapun produk batik yang dihasilkan oleh masyarakat Kampoeng Batik Laweyan yaitu batik tulis, stamp batiks, dan printing batiks. Proses pewarnaan batik yang dilakukan oleh para pengusa batik menggunakan pewarna alami dan pewarna buatan. Wardani (2015) dalam penelitiannya mengungkapkan industri yang menggunakan pewarna buatan di Kampung Batik Laweyan sebesar 61%, sedangkan yang menggunakan pewarna alami 39%. Pewarna alami yang digunakan berasal dari produk pertanian, yang terdapat di lingkungan sekitar maupun dari pemasok. Pewarna alami dapat diperoleh dari ekstrak daun, batang, akar, biji dari tumbuh-tumbuhan.

KampoengBatik Laweyan resmi dinyatakan sebagai kawasan cagar budaya pada tahun 2010 berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.03/PW.007/MKP/2010 tentang benda cagar budaya, situs atau kawasan cagar budaya yang dilindungi UU No. 5 tahun 1992 yang kemudian diperbaharui

2

http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2015/07/14/53m-dagper72015-id-1438313436.pdf diakses pada tanggal 16 Februari 2016.

3

http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/uu-bi/Documents/UU20Tahun2008UMKM.pdf diakses pada tanggal 16 Februari 2016.

(22)

dengan UU No. 11 tahun 20105. Majah (2015) mengatakan bahwa sejak ditetapkannya sebagai kawasan wisata, Laweyan menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh wisatawan yang berkunjung ke kota Surakarta, dalam bidang kebudayaan mulai dibukanya Laweyan sebagai kawasan wisata telah memberikan peluang bagi masyarakat Laweyan untuk melestarikan tradisi tradisionalnya dengan cara memperkenalkan kepada wisatawan.

Kampoeng Batik Laweyan mengalami masa kejayaan pada abad 20 M dan pada saat itu muncul metode pembuatan batik dengan cara cap, dengan metode ini pembuatan batik bisa menjadi lebih mudah dan cepat. Era 1970-an mulai muncul teknik baru untuk membuat batik tanpa menggunakan lilin panas namun menggunakan screen sablon, pada saat itu disebut sebagai printing. Namun, kemunculan batik printing yang dinilai lebih murah dan proses produksinya sangat cepat, pada saat itu mampu menyaingi pemasaran batik tulis dan batik cap. Kemudian, satu persatu industri batik di Laweyan mengalami kebangkrutan.

Geertz (1960) membagi struktur masyarakat Jawa menjadi 3 golongan yaitu

priyayi, santri dan abangan. Sementara Menurut Priyatmono dan Fabela (2004) menyebutkan di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial dalam kehidupan masyarakatnya, kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang), wong cilik

(orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama), dan priyayi

(bangsawan atau pejabat). Selain itu dikenal pula golongan saudagar atau juragan

batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut istilah mbok mase. Menurut Karl Marx (1848) perbedaan kelompok sosial tersebut akan menciptakan konflik, sebagaimana padangan Karl Marx yang dikutip Magnis dan Suseno (2005).

“... Akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Selama sistem ekonomi berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses produksi berlangsung, niscaya akan terjadi pertentangan antara kedua kelas itu ...”.

Berbeda halnya dengan Probowati (2011) yang menyatakan bahwa meskipun berbeda kelas antara juragan dan buruh, buruh sudah sadar akan posisinya sehingga pola hubungan keduanya tetap terjalin baik, melalui modal sosial. Modal sosial (social capital) menggambarkan modalitas di masyarakat sosial yang menggambarkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas sosialnya. Putnam (1993) menyatakan bahwa modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Berdasarkan data dari Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, Kampoeng Batik Laweyan memiliki 72 perusahaan batik yang terbagi kedalam tiga kelas perusahaan yaitu besar (large), menengah (medium), dan kecil (small), namun saat ini jumlah perusahaan batik yang masih tetap eksistensi untuk memproduksi batik hanya mencapai 40% dari seluruh jumlah perusahaan batik.

Oleh karena itu menjadi penting untuk diteliti Pengaruh modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan antara Juragan dan Buruh Kampoeng Batik Laweyan.

5

(23)

Perumusan Masalah

Kampoeng Batik Laweyan memiliki jumlah perusahaan batik sebanyak 72 perusahaan yang terbagi kedalam tiga kelas perusahaan batik yaitu perusahaan batik kelas besar (large), kelas menengah (medium), dan kelas kecil (small). Namun saat ini hanya mencapai 40% dari jumlah perusahaan tersebut yang tetap bertahan untuk memproduksi batik. Tipe pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh pada aktivitas produksi batik yaitu tipe hubungan patron-klien, perusahaan batik yang saat ini masih tetap bertahan menerapkan modal sosial untuk menjaga pola hubungan tersebut. Berdasarkan hal tersebut sehingga muncul pertanyaan pertama dalam penelitian ini yaitu bagaimana pengaruh modal sosial terhadap pola

hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan?.

Pola hubungan juragan dan buruh di Kampoeng Batik Laweyan yang terjalin sejak lama, selama bertahun-tahun menyebabkan Kampoeng Batik Laweyan hingga saat ini tetap bertahan, meskipun mengalami perubahan baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Berdasarkan hal tersebut sehingga muncul pertanyaan kedua yaitu bagaimana pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan?.

Selain itu para pengusaha Kampoeng Batik Laweyan memegang teguh kepercayaan dalam hal penyediaan bahan baku antar sesama juragan, sehingga sampai saat ini Kampoeng Batik Laweyan masih ada. Berdasarkan hal tersebut sehingga muncul pertanyaan ketiga yaitu bagaimana pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan?.

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan.

2. Menganalisis pengaruh pola hubungan juragan dan buruh terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.

3. Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.

Manfaat Penelitian

(24)

1. Akademisi

Bagi akademisi, penelitian ini menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menambah informasi dari perkembangan fenomena sosial mengenai pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan. Penelitian ini juga dapat menjadi literatur bagi akademisi yang ingin mengkaji lebih lanjut.

2. Pembuat kebijakan

Bagi pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat menambah rujukan dalam menganalisis bagaimana seharusnya regulasi dibentuk dan dilaksanakan untuk mengatur Kampoeng Batik Laweyan sebagai kawasan cagar budaya, yang dapat meningkatan pendapatan daerah dan menjaga eksistensi batik sebagai warisan dunia yang dimiliki oleh Indonesia.

3. Masyarakat

(25)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjaun Pustaka

Modal Sosial (Social Capital)

Modal sosial (social capital) menggambarkan modalitas di masyarakat sosial yang menggambarkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas sosialnya. Istilah modal sosial (social capital) pertama kali digunakan oleh Robert D. Putnam, ia mengartikan modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi (Putnam 1993). Menurut Putnam (1993) modal sosial adalah bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan mengfasilititasi tindakan terkoordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Bourdie yang dikutip oleh Field (2003) mendefiniskan modal sosial sebagai kumpulan sumberdaya yang dibutuhkan oleh individu atau kelompok sehingga dapat memiliki jaringan hubungan institusional yang lebih tahan lama agar saling mengakui dan menghargai. Sementara menurut Coleman (1988) mengatakan bahwa modal sosial mencakup beberapa aspek pada struktur sosial dan melekat pada struktur hubungan yang antara aktor dan diantara aktor.

Grootaert (2002) menyatakan bahwa kapital sosial merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan ketersedian kapital ekonomi ditingkat rumah tangga, bahwa menurutnya, kontribusi kapital sosial sebanding dengan modal manusia. Artinya, kapital sosial yang bersifat non

fisik diyakini mampu menandingi peran kapital fisik. Selanjutnya Nasdian (2014) menyatakan bahwa konsep modal sosial terbagi kedalam empat dimensi. Pertama adalah integrasi (integration) yaitu ikatan yang kuat antar masyarakat, keluarga dengan tetangga sekitarnya, contohnya ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik, dan agama. Kedua, pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal, contohnya jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama. Ketiga, integritas organisasional yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya termasuk kepastian hukum dan menegakkan peraturan. Keempat, sinergi yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas ( state-community relations).

Hasbullah (2006) mengatakan enam unsur pokok dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian modal sosial.

1. Participan in network (partisipan dalam jaringan) 2. Resciprocity (pembalasan)

3. Trust (percaya)

(26)

6. Proactive action (tindakan proaktif).

Sementara Coleman (1989) menekankan tiga bentuk modal sosial, yaitu jaminan dan harapan, saluran informasi, dan norma-norma sosial. Harapan, jaminan, dan tegaknya norma-norma sosial tersedia apabila suatu struktur sosial memiliki tatanan dan aturan sosial yang terbuka. Uphoff (1999) membedakan modal sosial kedalam dua dimensi komplementer, yaitu dimensi struktural dan dimensi kognitif. Dimensi struktural bersumber dari peranan dan aturan dalam organisasi sosial dalam jaringan dan hubungan interpersonal, serta prosedur-prosedur dan preseden-preseden, yang didorong oleh faktor-faktor dinamis baik vertikal maupun horizontal. Adapun dimensi kognitif bersumber dari norma-norma, nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan yang hidup di dalam masyarakat sipil oleh dorongan kepercayaan, solidaritas, kerjasama, dan persahabatan. Kedua dimensi memiliki elemen-elemen umum yang mendorong tingkah laku bekerja sama secara saling menguntungkan.

Tabel 1 Dua unsur komplemen modal sosial

Ciri Struktural Kognitif

Sumber-Sumber dan Manifestasi

 Peran dan Aturan  Jaringan dan

Hubungan Interpersonal  Prosedur dan

Preseden

 Norma-Norma  Nilai-Nilai  Sikap-Sikap  Keyakinan

Ranah  Organisasi Sosial  Budaya Sipil

Faktor-Faktor Dinamik  Hubungan Vertikal  Hubungan

Horizontal

 Kepercayaan, Solidaritas  Kerjasama,

Keramahan

Elemen-Elemen Umum Harapan-harapan yang mendorong tingkah laku kerjasama dimana prosedur-prosedur bersifat saling menguntungkan.

Sumber: Uphoff (1999).

(27)

Lawang (2004) membagi modal sosial kedalam bentuk kepercayaan, norma, dan jaringan, sedangkan konsep-konsep tambahan terdiri dari tindakan sosial, interaksi sosial dan sikap.

1. Kepercayaan (trust)

Hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial. 2. Jaringan (network)

Sumber pengetahuan yang menjadi dasar utama dalam pembentukan kepercayaan strategik. Salah satu karakteristiknya adalah ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan, boleh dalam bentuk strategik, boleh pula dalam bentuk moralistik. Terdapat jaringan antar personal, jaringan antar individu dan institusi, serta jaringan antar institusi.

3. Norma

Norma itu muncul dari pertukaran saling menguntungkan, artinya kalau dalam pertukaran itu keuntungan dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran selanjutnya pasti tidak akan terjadi, karena itu norma disini muncul bukan menyangkut hak dan kewajiban suatu kegiatan tertentu, yang melanggar prinsip keadilan akan dikenakan sanksi yang keras juga.

Poli (2007) mengatakan ciri-ciri modal sosial yaitu sebagai berikut: a. dimiliki bersama

b. dapat digunakan untuk pencapaian tujuan bersama c. dapat bertambah dan dapat pula berkurang

d. kian dibagi-bagi kian bertambah e. kian tidak dibagi-bagi, kian berkurang.

Lawang (2004) mengatakan norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan. Jika struktur jaringan tersebut terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antara dua orang atau lebih.

1. Norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan, artinya jika perturan tersebut hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran sosial yang selanjutnya pasti tidak akan terjadi, karena itu norma yang muncul disini, bukan sekali jadi melalui suatu pertukaran saja. Norma muncul karena beberapa kali pertukaran yang saling menguntungkan dan ini dipegang terus menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus terpelihara.

(28)

3. Jaringan yang terbina menjamin keuntungan kedua belah pihak secara merata, akan memunculkan norma keadilan dan akan melanggar prinsip keadilan akan dikenakan sangsi yang keras juga.

Lawang (2004) mengungkapkan tentang jaringan yang digunakan dalam teori kapital sosial.

1. Ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial).

2. Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media hubungan sosial menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersama-sama. 3. Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antar

simpul itu pasti kuat menahan beban bersama.

4. Kerja jejaring itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri, malah kalau satu simpul saja putus, maka keseluruhan jejaring itu tidak bisa berfungsi lagi, sampai simpul itu diperbaiki. Semua simpul menjadi satu kesatuan yang kuat.

5. Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan, atau antara orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan.

6. Ikatan atau pengikat (simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan dipertahankan.

Mudiarta (2009) mengatakan bahwa dalam memahami konsep agribisnis berbasis komunitas sebagai proses interaksi sosial dan proses kerja sekaligus, yang didalamnya teraktualisasikan tiga jenis modal yaitu modal alamiah, modal ekonomi, dan modal sosial (kapital sosial); harus memperhatikan jaringan sosial yang ada. Sinergi ketiga jenis kapital itulah yang semestinya menjadi bahan pertimbangan utama dalam perencanaan maupun operasionalisasi suatu kebijakan pembangunan pertanian. Thobias et al. (2013) dalam penelitiannya menyebutkan modal sosial yang dimiliki masyarakat seperti kepercayaan, gotong royong, jaringan dan sikap, memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan perilaku kewirausahaan, seperti meningkatnya kepercayaan masyarakat yang dimanifestasikan dalam prilaku jujur, teratur dan kerja sama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama, dalam kegiatan kewirausahaan modal sosial juga dapat berfungsi sebagai pengungkit berhasilnya kegiatan usaha, karena dalam modal sosial terdapat nilai-nilai kerjasama.

(29)

dijalankan oleh juragan dan saudagar batik dalam mengembangkan usahanya. Juragan dan saudagar batik mengembangkan mekanisme pengeluaran dan pemasukan modal uang tunai sebagai berikut: pertama, juragan dan saudagar mengeluarkan sejumlah uang tunai untuk biaya produksi atau perdagangan selama satu bulan atau satu siklus kerja usaha. Kedua, juragan dan saudagar mengembangkan strategi penjualan ngalap nyaur kepada sejumlah pelanggan pedagang baik dari dalam dan luar kota. Para pelanggan pedagang mengambil barang dagangan bulan kesatu membayar barang dagangan tersebut pada bulan kedua. Ketiga, juragan batik dan saudagar batik memberi kelonggaran tambahan waktu pembayaran pada bulan ketiga pada para pelanggan pedagang. Keempat, juragan dan saudagar menyediakan sejumlah modal uang tunai untuk biaya operasional produksi dan penjualan selama tiga siklus kerja atau tiga kali.

Pemahaman budaya Jawa, orang yang telah menerima bantuan dari mereka akan merasa berhutang budi dan wajib mengembalikan bantuan itu dimasa depan “ utang dhuwit iso dilunasi utang budi digowo mati”. Pengrajin pembatik dan bakul batik merasa berhutang budi pada juragan dan saudagar batik. Pengrajin pembatik dan bakul batik memiliki keyakinan bahwa mendapat order pekerjaan dan pinjaman materi merupakan sesuatu yang berhubungan budi pekerti. Secara tidak langsung, nilai budaya ini diintrumentalisasi oleh para juragan dan saudagar batik kedalam hubungan produksi dan dagang untuk mendukung aktivitasnya. Pengrajin pembatik dan bakul batik mengembangkan modal sosial saling percaya, norma tolong menolong dan kerja sama dalam kelompok-kelompok kekerabatan, ketetanggaan dan keagamaan di pedesaan. Mereka mengembangkan norma tolong menolong dengan ungkapan teposliro. Artinya jika seseorang ingin ditolong maka ia harus menolong orang lain. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Hannida (2009).

“... Social capital merujuk keperekat (the glue) yang mengikat warga masyarakat secara bersama, menjadi kumpulan dan jaringan sosial dan institusi, norma-norma sosial (seperti karjasama) dan nilai-nilai atau atribut sosial (khususnya trust). Singkatnya social capital adalah “a convenient

shorthand forwhat makes societies work” . Tidak seperti modal fisik dan modal manusia, social capital akan meningkat atau sebeliknya [sic] menurun. Social capital akan meningkat menakala [sic] digunakan dan akan menurun tatkala tidak dipergunakan. Social capital pengusaha batik Laweyan terlihat apabila dari beberapa pengusaha batik Laweyan ada yang membutuhkan bahan mori, untuk itu ada yang membeli dengan mencicil ataupun dibayar setelah barang laku. Social capital pengusaha batik Laweyan memegang teguh kepercayaan (trust) yang telah diberikan oleh pengusha lain sehingga bila membutuhkan bantuan bahan baku dapat meminjam ke pengusaha lain ...”.

Eksistensi

(30)

sendiri yakni exsistere dan ex yang artinya keluar, sitere yang berarti membuat berdiri. Apabila digabungkan exsistere diartikan apa yang ada, yang memiliki aktualitas, dan apa yang dialami. Jadi, eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya.

Soren Kiegaard adalah pemikir pertama yang memperkenalkan istilah “eksistensi” yang dipakai menurut pengertian sekarang dalam aliran eksistensialisme. “Esensi” berarti yang ada, maka “eksistensi” dimengerti sebagai

yang berada. Konsep eksistensi menunjuk pada sesuatu yang hadir secara konkrit, memiliki efek, jelas, pasti, kelihatan dan yang dilakukan sesuatu. Istilah eksistensi

pada manusia hanya diterapkan pada individu-individu konkrit. Hadiwijono (2005) menyatakan kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Kata eksistensi diartikan bahwa manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar darinya.

Maziyah (2014) menyebutkan eksistensi dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut:

1. keberadaan, nyata

2. mengalami perkembangan 3. preferensi konsumen 4. harga

5. fleksibilitas mengikuti trend atau mode pakaian 6. hubungan personal

7. sinergi pasar tradisional dan modern.

Pola Hubungan Patron-Klien

Probowati (2011) mengungkapkan dalam struktur masyarakat Kampoeng Batik Laweyan terjadi corak hubungan patron-klien, umumnya patron berperan sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap kliennya. Prinsip dari corak hubungan patron-klien adalah adanya hubungan yang relatif stabil dan lama diantara para pelakunya. Demikian juga yang berlangsung di Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (sebagai patron) dan buruh (sebagai klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak jarang pula berlangsung hingga turun temurun. Ketergantungan klien (buruh) yang besar terhadap patron (juragan) terlihat dari bagaimana perlakuan dan kesetiaan (dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus). Aktivitas hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh batik membentuk suatu ruang sosial tersendiri sebagai wadah komunal.

(31)

Hubungan individu dengan status sosio ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan atau keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Pada gilirannya klien membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patron. Sifat dari hubungan ini didasarkan ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai suatu sistem pertukaran pribadi.

Wolf (1983) mengatakan bahwa dalam hubungan patron-klien, seorang

patron menawarkan bantuan ekonomi dan perlindungan bagi klien, terhadap pemerasan legal atau tidak legal dari pihak penguasa. Klien memberikan imbalan berupa barang-barang berharga yang tidak berwujud, mendukung sang patron

dengan suaranya, informasi tentang komplotan dan intrik yang dilakukan oleh pihak lain. Hubungan juga menentukan bahwa klien tidak boleh mempunyai

patron lain selain patron yang memberikan barang dan kredit kepadanya.

Probowati (2011) mengungkapkan dalam struktur masyarakat Kampoeng Batik Laweyan, terjadi corak hubungan patron-klien, umumnya patron berperan sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap kliennya. Prinsip dari corak hubungan patron-klien adalah adanya hubungan yang relatif stabil dan lama diantara para pelakunya, demikian juga yang berlangsung di Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (sebagai patron) dan pekerja batik (sebagai klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak jarang pula berlangsung hingga turun temurun. Ketergantungan klien (pekerja) yang besar terhadap patron (juragan) terlihat dari bagaimana perlakuan dan kesetiaan (dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus).

Rustinsyah (2011) dalam penelitiannya menyebutkan upaya-upaya patron

dalam menjaga hubungan baik dengan klien.

“... Pertama, menunjukan kedermawanan terhadap kliennya. Kedermawan seorang majikan sebagai patron dapat membuat klien kerasan bekerja, dan merasa ada hutan budi. Misalnya, majikan tidak pelit dengan memberikan hadiah pada saat lebaran dan memberikan pinjaman saat kliennya membutuhkan karena tertimpa musibah. Kedermawanan para petani kaya dan maju di desa ditunjukan ketika mereka memberikan sumbangan dalam kegiatan upacara bersih desa, perayaan hari kemerdekaan, pembangunan desa, dan pemberian sumbangan kepada tetangga yang kurang mampu. Petani kaya dan maju diharapkan dapat memberikan sumbangan yang besar atau sebagai donatur pada perayaan-perayaan hari besar dan kegiatan pembangunan desa. Jika ternyata petani maju tidak memberikan sumbangan yang pantas maka menjadi pergunjingan antar warga. Pergunjingan antar warga desa dan panitia tentang dana yang terkumpul untuk suatu kegiatan bisa terjadi dimana saja, saat bertemu dalam acara perayaan, bertemu di toko ketika membeli sarana produksi pertanian, dan sebagainya. Kedua, patron dapat memberikan jaminan hidup keluarganya dengan cara mempekerjakan klien sepanjang tahun. Umumnya patron mempunyai kegiatan ekonomi ganda di sektor pertanian dan di luarr [sic] pertanian agar dapat mempekerjakan kliennya sepanjang tahun ...”.

(32)

menerima, diantara pihak yang satu (patron) dan pihak lain (klien) sama-sama saling membutuhkan, agar hubungan patron-klien dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan unsur didalamnya, yaitu: pertama, yang telah diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga. Pemberian itu berupa barang ataupun jasa. Kedua, hubungan timbal balik yang artinya dengan pemberian itu pihak penerima merasa mempunyai kewajiban untuk membalasnya. Ahimsa (1998) menyebutkan bahwa jaringan atau hubungan patron-klien terdapat tiga pihak yang berbeda kedudukan yaitu juragan, pengrajin mandiri dan pengrajin upahan. Juragan pada posisi yang lebih tinggi berdasarkan sosial ekonomi yang dimilikinya. Hubungan yang terbentuk antara ketiganya yang berbeda status dan kedudukan sosial ekonominya dan pertukaran diantara mereka mengarah pada hubungan patronase

atau hubungan patron-klien. Strategi yang dilakukan juragan untuk mempertahankan hubungan kerja dengan anggotanya adalah pertama, bertindak sebagai modal dan memberi dorongan. Kedua, berusaha mencari upah maupun membayar hasil kerja tepat waktu. Ketiga, memberi pinjaman yang dibutuhkan oleh anggota.

Hubungan buruh majikan itu sebagai keutuhan dan kesatuan, masing-masing orang dalam perusahaan dianggap sebagai teman baik dan anggota keluarga. Dilihat dari sikap mereka secara lahir, para saudagar Laweyan memiliki kebanggaan tersendiri gelar yang diperoleh dari lingkungan mereka sendiri. Penelitian Probowati (2011) menyebutkan dalam komunitas pengusaha batik di Laweyan, menunjukan suatu ciri sosial yang membentuk sistem stratifikasi antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, antara buruh dan majikan dan antara buruh tetap dengan buruh harian. Struktur kekuasaan majikan berjalan paralel dengan struktur fungsionalnya ibu rumah tangga. Sebaliknya, tenaga buruh sebagai tenaga bawahan di perusahaan sekaligus akan berfungsi sebagai pembantu rumah tangga majikan. Puncak struktur sosial dalam masyarakat Laweyan disebut

keluarga majikan, secara turun temurun terdiri dari mbok mase sepuh (nenek),

mas nganten sepuh (kakek), biasanya mereka orang tua dari keluarga ibu, selanjutnya adalah mbok mase (ibu rumah tangga), mas nganten (ayah) sebagai kepala rumah tangga, mas rara (anak perempuan) dan mas nganten (anak laki-laki) atau sering dipanggil gus.

Istilah patron-klien yang memiliki perbedaan dengan konsep hubungan-hubungan sosial lainnya. Hubungan timbal balik antara patron dan klien yang tidak seimbang dalam hal benda dan jasa yang dipertukarkan, merupakan ciri dari perbedaan tersebut. Hubungan patron-klien disebabkan oleh adanya unsur-unsur sebagai berikut:

1. interaksi tatap muka diantara para pelaku yang bersangkutan

2. adanya pertukaran benda dan jasa yang relatif tetap berlangsung diantara para pelaku

3. adanya ketidaksamaan dan ketidakseimbangan dalam pertukaran benda dan jasa tersebut

(33)

Adapun ciri-ciri hubungan patron-klien menurut Scott (1972):

1. terdapat suatu ketimpangan (inequality) dalam pertukaran, terjadi karena

patron berada dalam posisi yang lebih kuat. Lebih tinggi atau lebih kaya daripada kliennya. Posisi ini patron mampu memberi lebih banyak kepada si klien daripada sebaliknya, sehingga klien wajib membalasnya. Namun rasa wajib membas hanya bertahan selama pemberian tersebut masih dirasakan berharga (memenuhi kebutuhan pokok) dan jika pertukaran didalamnya belum mecapai titik seimbang

2. bersifat tatap muka (face to face character) dalam relasi patron-klien

menunjukkan bahwa sifat pribadi terdapat didalamnya. Seorang patron

biasanya sangat mengenal klien nya, demikian pula sebaliknya sehingga membuat relasi diantara mereka bertambah kuat dan dekat. Adanya hubungan timbal balik antara kedua belah pihak membangkitkan rasa saling percaya untuk menjaga pihak lain, walaupun hubungan ini bersifat “Instrumental” (kedua pihak masih memperhitungkan untung rugi) namun tidak berarti relasi tersebut bersifat netral atau tidak melibatkan faktor perasaan sama sekali

3. bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility) yang dimiliki oleh hubungan

patron-klien menyebabkan dalam relasi seseorang patron tidak saja dikaitkan dengan hubungan sewa menyewa tanah (umumya menjadi dasar hubungan patronase) dengan klien nya, tetapi juga oleh hubungan sebagai sesama tetangga, sahabat, dan sebagainya. Bantuan yang diminta seorang

patron kepada klien atau diperoleh klien dari patron nya digunakan untuk berbagai macam keperluan sekaligus merupakan semacam jaminan sosial bagi mereka, dengan demikian relasi patron-klien memberikan rasa tenteram pada pihak-pihak yang terlibat didalamnya.

Ahimsa (1996) mengatakan bahwa hubungan patron-klien diperlukan syarat tertentu antara lain sebagai berikut:

1. adannya sesuatu yang diberikan satu pihak, baik berupa uang atau jasa, yang merupakan sesuatu yang berharga bagi pihak lain

2. terjadi transaksi pembelian antara pihak satu dengan lainnya maka yang menerima mempunyai kewajiban untuk membalas

3. dalam hubungan tersebut terdapat norma-norma yang mengatur, misalnya apabila seseorang telah menerima sesuatu dan tidak tahu membalas, maka dianggap ingkar janji.

Sari (2014) menyatakan hubungan patron-klien dapat dilihat dari: 1. hubungan harapan

2. patron

3. klien

4. resiprositas 5. keuntungan.

(34)

sangat rasionalitas, karena segala bentuk hubungan sosial antar warga masyarakat senantiasa diukur menurut kriteria untung dan rugi.

Kerangka Pemikiran

Geertz (1960) membagi struktur masyarakat Jawa menjadi 3 golongan yaitu

priyayi, santri, dan abangan. Sementara Menurut Priyatmono dikutip oleh Pratomo et al. (2006), di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang),

wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama), dan

priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu dikenal pula golongan saudagar atau

juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut istilah mbok mase. Menurut Kal Marx (1848) perbedaan kelompok sosial tersebut akan menciptakan konflik, sebagaimana padangan Karl Marx yang dikutip Magniz dan Suseno (2005).

“... Akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Selama sistem ekonomi berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses produksi berlangsung, niscaya akan terjadi pertentangan antara kedua kelas itu ...”.

Berbeda halnya dengan penelitian Probowati (2011) meskipun berbeda kelas antara juragan dan buruh, buruh sudah sadar akan posisinya sehingga pola hubungan keduanya tetap terjalin baik melalui modal sosial. Modal sosial (social capital) menggambarkan modalitas di masyarakat sosial yang menggambarkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas sosialnya.

Probowati (2011) mengungkapkan dalam struktur masyarakat Kampoeng Batik Laweyan, terjadi corak hubungan patron-klien, umumnya patron berperan sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap kliennya. Prinsip dari corak hubungan patron-klien adalah adanya hubungan yang relatif stabil dan lama diantara para pelakunya, demikian juga yang berlangsung di Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (sebagai patron) dan pekerja batik (sebagai klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak jarang pula berlangsung hingga turun temurun. Ketergantungan klien (pekerja) yang besar terhadap patron (juragan) terlihat dari bagaimana perlakuan dan kesetiaan (dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus).

Adapun ciri-ciri hubungan patron-klien menurut Scott (1972).

1. Terdapat suatu ketimpangan (inequality) dalam pertukaran, terjadi karena

patron berada dalam posisi yang lebih kuat. Lebih tinggi atau lebih kaya daripada kliennya. Posisi ini patron mampu memberi lebih banyak kepada si klien daripada sebaliknya, sehingga klien wajib membalasnya. Namun rasa wajib membas hanya bertahan selama pemberian tersebut masih dirasakan berharga (memenuhi kebutuhan pokok) dan jika pertukaran didalamnya belum mecapai titik seimbang.

2. Bersifat tatap muka (face to face character) dalam relasi patron klien

menunjukkan bahwa sifat pribadi terdapat didalamnya. Seorang patron

(35)

membuat relasi diantara mereka bertambah kuat dan dekat. Adanya hubungan timbal balik antara kedua belah pihak membangkitkan rasa saling percaya untuk menjaga pihak lain, walaupun hubungan ini bersifat “Instrumental” (kedua pihak masih memperhitungkan untung-rugi) namun tidak berarti relasi tersebut bersifat netral atau tidak melibatkan faktor perasaan sama sekali.

3. Bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility) yang dimiliki oleh hubungan

patron-klien menyebabkan dalam relasi seseorang patron tidak saja dikaitkan dengan hubungan sewa-menyewa tanah (umunya menjadi dasar hubungan patronase) dengan klien-nya, tetapi juga oleh hubungan sebagai sesama tetangga, sahabat, dan sebagainya. Bantuan yang diminta seorang

patron kepada kliennya atau diperoleh klien dari patron-nya digunakan untuk berbagai macam keperluan sekaligus merupakan semacam jaminan sosial bagi mereka, dengan demikian relasi patron-klien memberikan rasa tenteram pada pihak-pihak yang terlibat didalamnya.

Sari (2014) menyatakan hubungan patron-klien dapat dilihat dari: 1. hubungan harapan

2. patron

3. klien

4. resiprositas 5. keuntungan.

Majah (2015) mengatakan sejak ditetapkannya sebagai kawasan wisata, Laweyan menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh wisatawan yang berkunjung ke kota Surakarta, dalam bidang kebudayaan mulai dibukanya Laweyan sebagai kawasan wisata telah memberikan peluang bagi masyarakat Laweyan untuk melestarikan tradisi tradisionalnya dengan cara memperkenalkan kepada wisatawan. Oleh karena itu, Kampoeng Batik Laweyan ini perlu dijaga eksistensinya. Maziyah (2014) dalam penelitiannya menyebutkan eksistensi dapat dilihat dari:

1. keberadaan, nyata

2. mengalami perkembangan 3. preferensi konsumen 4. harga

5. fleksibilitas mengikuti trend atau mode pakaian 6. hubungan personal

(36)

Keterangan:

Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah sarana penelitian ilmiah yang penting dan tidak bisa ditinggalkan, karena ia merupakan instrumen kerja dari teori, sebagai hasil reduksi dari teori atau proporsi, hipotesis lebih spesifik sifatnya, sehingga lebih siap untuk diuji secara empiris(Singarimbun dan Effendi 2006).

Hipotesis

1. Terdapat pengaruh tingkat modal sosial terhadap tingkat pola hubungan juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan.

2. Terdapat pengaruh tingkat pola hubungan juragan dan buruh terhadap tingkat eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.

3. Terdapat pengaruh tingkat modal sosial terhadap terhadap tingkat eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.

Tingkat Modal Sosial (X1) 1. Jaringan Sosial

2. Nilai dan Norma 3. Kepercayaan

Tingkat Pola hubungan (Y1) 1. Ketimpangan

2. Bersifat tatap muka

3. Bersifat luwes dan meluas 4. Hubungan harapan

5. Patron

6. Klien

7. Resiprositas 8. Keuntungan

Tingkat Eksistensi (Z1) 1. Keberadaan,nyata 2. Mengalami

perkembangan 3. Preferensi konsumen 4. Harga

5. Fleksibiltas

mengikuti trend atau mode pakaian 6. Hubungan personal

7. Sinergi pasar tradisional dan modern

[image:36.595.85.479.78.532.2]

: Berpengaruh

(37)

PENDEKATAN LAPANG

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan termasuk kedalam penelitian deskriptif dan penelitian eksplanatori. Penelitian deskriptif digunakan untuk menjelaskan atau menggambarkan kondisi yang ada di lapang. Penelitian deskriptif dilakukan untuk memperkuat hasil yang didapat dari penelitian eksplanatori. Penelitian deskriptif berguna untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tempat penelitian dilakukan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan didukung data kualitatif untuk memperkaya data dan informasi yang diperoleh. Penelitian kuantitatif diperoleh dengan menggunakan metode stratified random sampling dengan instrumen kuisioner yang diberikan kepada responden untuk mengetahui pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan, sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (Lampiran 8) kepada informan dan responden. Selain itu juga dilakukan observasi secara langsung dan studi dokumentasi terkait.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kampoeng Batik Laweyan, Surakarta (Lampiran 1). Penetapan lokasi ini dilakukan secara purposive

(sengaja). Lokasi tersebut dipilih dengan beberapa pertimbangan, antara lain sebagai berikut:

1. merupakan kampung batik tertua di Indonesia

2. sebagai wilayah yang memiliki historis kultur dan industri batiknya

3. mata pencaharian utama masyarakat di lokasi penelitian adalah sebagai juragan dan buruh batik

4. stratifikasi sosial yang ada di Kampoeng Batik Laweyan dibentuk berdasarkan status dalam proses produksi batik

5. terdapat pola hubungan antara juragan dan buruh dalam proses produksi batiknya

6. secara geografis, Kampoeng Batik Laweyan berada di dalam kota Surakarta.

Proses penelitian dimulai dari pembuatan proposal penelitian pada bulan Januari 2016, penelitian di lapang dilakukan selama empat (4) minggu, yaitu pada bulan Maret-April 2016 (Lampiran 2). Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan

(38)

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara obeservasi, serta wawancara mendalam yang dilakukan pada informan (Lampiran 8), sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis kantor Kelurahan Laweyan, buku dari perpustakaan daerah, buku dari perpustakaan Universitas Sebelas Maret, buku dari perpustakaan Universitas Gajah Mada, buku dari Museum Radya Pustaka Surakarta, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu terdapat sumber lain yang dapat dipercaya memberikan pandangan mengenai Kampoeng Batik Laweyan seperti FPKLB (Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan). Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner yang diberikan kepada buruh batik di Kampoeng Batik Laweyan. Sementara data kualitatif diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan yaitu pengusaha batik yang terdiri dari tiga kelas perusahaan batik yaitu perusahaan batik kelas besar (large), menegah (medium), dan kecil (small), tokoh masyarakat, aparatur kelurahan, FPKLB (Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, dan buruh yang bekerja dimasing-masing kelas perusahaan batik.

Wawancara mendalam diberikan kepada responden dan informan berdasarkan panduan pertanyaan yang telah disiapkan dan diikuti dengan pemikiran responden yang berhubungan dengan pertanyaan. Wawancara mendalam dilakukan untuk tujuan mencari informasi-informasi tambahan yang dianggap penting dan relevan oleh penulis untuk menyempurnakan data. Data sekunder yang dikumpulkan berupa data yang berkaitan dengan lokasi penelitian, yaitu profil Kampoeng Batik Laweyan, data monografi Kampoeng Batik Laweyan, jumlah pengusaha industri batik di Kampoeng Batik Laweyan. Selain itu akan digunakan juga literatur yang terkait dengan topik penelitian untuk memperkuat hasil analisis penelitian.

(39)
[image:39.595.110.511.78.708.2]

Tabel 2 Metode pengumpulan data

Teknik Pengumpulan Data Data yang Dikumpulkan

Data primer

Kuisioner 1. Modal sosial (jaringan, nilai dan norma, serta kepercayaan) yang ada di Kampoeng Batik Laweyan.

2. Pola hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh.

3. Eksistensi Kampoeng Batik Laweyan..

Wawancara mendalam 1. Kultur dan historis Kampoeng Batik Laweyan. 2. Potensi Kampoeng Batik Laweyan.

3. Dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan sebelum dan sesudah diresmikannya menjadi kawasan sentra industri batik.

4. Perkembangan Kampoeng Batik Laweyan. 5. Proses pembentukan struktur masyarakat di

Kampoeng Batik Laweyan.

6. Modal sosial (jaringan, nilai dan norma, kepercayaan yang terbentuk di Kampoeng Batik Laweyan.

7. Pengaruh modal sosial (jaringan, nilai dan norma, kepercayaan) terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh.

8. Pengaruh modal sosial terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan

9. Pola hubungan yang terjadi antar juragan maupun antar buruh.

10. Pengaruh eksistensi Kampoeng Batik Laweyan bagi perkembangan pariwisata kota Surakarta. 11. Pengaruh keberadaan Kampoeng Batik

Laweyan terhadap kondisi perdagangan dan perindustrian kota Surakarta.

Data sekunder

Data monografi Kampoeng Batik Laweyan Profil kelurahan Kampoeng Batik Laweyan, potensi wilayah, peta wilayah, jumlah penduduk, mata pencaharian masyarakat, dan sumber daya manusia dan sumber daya alam dan sarana dan prasarana.

Kebijakan pemerintah tentang kawasan wisata Kampoeng Batik Laweyan

Dampak kebijakan tersebut terhadap eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.

Data dari Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan

Jumlah pengusaha industri batik dan jenis aktivitas perusahaan batik di Kampoeng Batik Laweyan.

Data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kebijakan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan terkait eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.

Data dari Dinas Pariwisata dan Budaya Kebijakan dari Dinas Pariwisata dan Budaya dalam upaya menjaga eksistensi Kampoeng Batik Laweyan.

(40)

Teknik Penentuan Informan dan Responden

Populasi atau universe ialah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Populasi dapat dibedakan pula antara populasi sampling

dengan populasi sasaran (Singarimbun dan Effendi 2006). Populasi sampling

dalam penelitian ini adalah masyarakat Kampoeng Batik Laweyan, Surakarta. Populasi sasaran yang akan menjadi responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berprofesi sebagai buruh batik yang bekerja di perusahaan batik baik perusahaan batik kelas besar (large), menengah (medium), dan kelas kecil (small) yang ada di Kampoeng Batik Laweyan. Unit analisis dari penelitian ini adalah buruh batik yang bekerja di perusahaan batik baik di perusahaan batik kelas besar (large), menengah (medium), dan kelas kecil (small). Kemudian setelah populasi ditetapkan dibuatlah kerangka sampling (sampling frame) (Lampiran 2), setelah itu dengan metode stratified random sampling dibedakan

sesuai kelasperusahaan batik yaitu besar (large), menengah (medium), dan kecil (small)yang melakukan aktivitas produksi batik berupa industri. Metode stratified random sampling ini digunakan dengan berbagai pertimbangan meliputi karakteristik atau derajat keseragaman populasi sampel, presisi yang dikehendaki, rencana analisis, tenaga, waktu dan biaya yang tersedia. Derajat keseragaman dari populasi penelitian ini bersifat tidak seragam (heterogen), maka populasi yang bersangkutan harus dibagi-bagi dalam lapisan (strata) yang seragam, dan dari setiap lapisan dapat diambil sampel secara acak, dalam sampel berlapis, peluang untuk terpilih antara satu strata dengan yang lain mungkin sama, mungkin pula berbeda (Singarimbun dan Effendi 2006). Adapun presisi yang dikehendaki dari penelitian ini memiliki tingkat presisi yang tinggi, maka semakin besar ukuran sampel yang harus diambil, sampel yang besar cenderung memberikan pendugaan yang lebih mendekati nilai sesungguhnya (true value). Rencana analisis dari penelitian ini adalah pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan, namun penulis pun perlu mempertimbangan tenaga, waktu, dan biaya yang terbatas sehingga tidaklah mungkin untuk mengambil sampel yang besar.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki ketentuan yaitu sebagai buruh produksi batik yang bekerja pada setiap kelas perusahaan batik. Masing-masing kelas perusahaan batik tersebut diambil 30 responden dengan alasan sampel yang paling minimum dari penelitian yaitu 30 seperti dikemukakan oleh Bailey dalam Hasan (2002) yang menyatakan bahwa ukuran sampel yang paling minimum dalam penelitian adalah 30, selanjutnya jika ingin menguji perbedaan paritas, misalnya ada minimal tiga kelompok yang dianaliss, maka jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 3x30 = 90 (Singarimbun dan Effendi 2006) sehingga responden dari penelitian ini adalah 90 responden. Responden yang diberi kuisioner dari penelitian ini adalah buruh yang bekerja sebagai di masing-masing kelas perusahaan batik yang ada di Kampoeng Batik Laweyan.

(41)

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, dan FPKLB (Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan).

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data hasil kuantitatif dan data kualitatif. Data hasil penelitian diolah secara statistik deskriptif dan diinterpretasikan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan

SPSS for Windows versi 22. Setelah itu data tersebut dianalisis dengan uji regresi logistik. Uji regresi logistik merupakan uji statistik yang diguanakan untuk mengukur besarnya pengaruh variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh berupa data nominal dan ordinal. Besaranya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR).

Pengolahan data dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu data yang telah diperoleh melalui kuesioner terlebih dahulu dilakukan pengkodean, setelah itu dimasukan kedalam buku kode atau lembar kode menggunakan perangkat lunak

Microsoft Excel 2007 sebelum dimasukan keperangkat lunak SPSS for Windows versi 22 untuk mempermudah pengolahan data. Selanjutnya pengolahan data dimulai dari entry data, cleaning data dan editing data, dan jika diperlukan standarisasi data. Analisis regresi digunakan selang kepercayaan (α = 5%) ini digunakan untuk melihat pengaruh modal sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan.

Data kualitatif yang didapat dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Proses reduksi data dimulai dari pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Reduksi data ini bertujuan untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Setelah itu dilakukan penyusunan informasi dan data yang diperoleh menjadi sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan simpulan dari informasi yang telah diolah pada tahap reduksi. Setelah diverifikasi, seluruh hasil penelitian pada akhirnya dituliskan dalam pembahasan skripsi dalam bentuk narasi.

(42)

Definisi Operasional

Data yang dikumpulkan dengan pertanyaan kuesioner yang telah disusun berdasarkan definisi operasional yang telah disusun sebagai berikut.

1. Modal Sosial

[image:42.595.84.488.275.748.2]

Modal sosial adalah suatu norma atau nilai yang telah dipahami bersama antara juragan dan buruh yang dapat memperkuat jaringan sosial/kerja yang positif, mendorong tingkat kepercayaan, dan ketaatan terhadap norma dalam rangka mencapai tujuan bersama. Modal sosial terdiri dari jaringan sosial, nilai dan norma serta kepercayaan. Modal sosial memiliki total skor rendah (0): 0-13, dan total skor tinggi (1): 14-27. Berikut adalah penjelasan mengenai definisi operasional pada Tabel 3.

Tabel 3 Definisi operasional modal sosial

No Variabel Definisi

Operasional

Indikator Jenis

Data

Kategori Pengukuran

1. Tingkat jaringan sosial Seberapa luas hubungan serta seberapa banyak simpul jaringan yang dihasilkan dalam aktivitas proses produksi batik  Hubungan kekerabatan yang terjadi antara juragan dan buruh

 Adanya kerja sama antara juragan dan buruh baik didalam proses produksi maupun diluar proses produksi  Hubungan/ik atan antara juragan dan buruh  Organisasi/ kelembagaan formal/infor mal yang diikuti oleh juragan dan buruh  Kepercayaan yang terjalin antar juragan dan buruh

(43)

 Hubungan buruh dengan buruh lainnya  Hubungan buruh dengan pemasok bahan produksi batik 2. Tingkat

nilai dan norma

Seberapa besar hak dan kewajiban yang dipatuhi oleh juragan dan buruh berdasarkan aturan-aturan baik bersifat tertulis maupun tidak tertulis dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi berdasarkan kesepakatan bersama

 Adanya hak dan

kewajiban antara juragan dan buruh  Ketaatan

terhadap aturan yang telah disepakati antara juragan dan buruh  Adanya

norma tepo sliro antara juragan dan buruh  Adanya nilai-nilai pertolongan (saling meminjam) antara juragan dan buruh

Ordinal Skor 0:rendah Skor 1:sedang

3. Tingkat kepercaya an Seberapa besar harapan yang terbangun antara juragan dan buruh dalam aktivitas  Adanya pinjaman yang diberikan antara juragan dan buruh  Adanya

(44)

produksi batik perasaan utang budi antar juragan dan buruh  Adanya kerja

sama antara juragan dan buruh 2. Pola hubungan patron-klien

Pola hubungan yang terjalin antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan bersifat partron-klien. Hubungan partron-klien dapat dilihat dari ketimpangan, bersifat tatap muka, bersifat luwes dan meluas, hubungan harapan,

[image:44.595.90.480.323.751.2]

patron, klien, resiprositas, keuntungan. Pola hubungan patron-klien memiliki total skor rendah (0): 0-8 dan total skor tinggi (0): 9-17.

Tabel 4 Definisi operasional pola hubungan patron-klien

No. Variabel Definisi

Operasional

Indikator Jenis

Data

Kategori Pengukuran

1. Tingkat ketimpang an Terjadinya disparitas atau perbedaan antara juragan dan buruh dalam aktivitas produksi batik  Adanya pertukaran barang dan jasa yang wajib dibalas oleh buruh kepada juragan  Adanya rasa saling ketergantun gan buruh terhadap juragan

Ordinal Skor 0: rendah Skor 1 : tinggi

2. Tingkat tatap muka Intensitas pertemuan yang terjadi antara juragan dan buruh dalam aktivitas produksi batik  Saling mengenal secara pribadi antara juragan dan buruh  Saling percaya antara juragan dan

(45)

buruh

3. Tingkat luwes dan meluas Hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh tidak hanya sebatas hubungan dalam aktivitas produksi batik melainkan hubungan sesama tetangga  Hubungan kekerabatan yang terjadi antara juragan dan buruh  Adanya bantuan yang diberikan oleh juragan maupun buruh

Ordinal Skor 0: rendah Skor 1: tinggi

4. Tingkat hubungan harapan Rasa keinginan/har apan yang dimiliki oleh juragan dan buruh dalam hubungan aktivitas proses produksi batik  Kekuasaan yang dimiliki antara juragan buruh  Status yang

dimiliki antara juragan dan buruh  Wewenang yang dimiliki antara juragan dan buruh  Pengaruh

(46)

yang dimiliki antara juragan dan buruh 5. Tingkat

patron juragan yang memiliki kekuasaan, wewenang, status, pengaruh atau posisi yang lebih tingi dari buruh  Keinginan juragan yang harus dipenuhi oleh buruh dalam aktivitas produksi batik

Ordinal Skor 0: rendah Skor 1: tinggi

6. Tingkat

klien Buruh memiliki kekuasaan, wewenang, status, pengaruh atau posisi yang lebih rendah dari juragan  Rasa royalitas buruh terhadap juragan

Ordinal Skor 0: rendah Skor 1: tinggi

7. Tingkat Resiprosit as Hubungan antara juragan dan buruh yang melibatkan rasa saling tukar barang maupun jasa  Adanya rasa memberi dan menerima berupa barang dan jasa antara juragan dan buruh

Ordinal Skor 0: rendah Skor 1: tinggi

8. Tingkat keuntunga n Sesuatu yang didapatkan oleh juragan dan buruh dalam aktivitas produksi batik  Uang  Barang  Pekerjaan sampingan  Kekeluarga an

(47)

3. Eksistensi

[image:47.595.126.504.212.728.2]

Eksistensi adalah suatu proses yang mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung kepada kemampuan dalam merealisasikan potensinya. Eksistensi dapat dilihat dari keberadaan, nyata, mengalami perkembangan, preferensi konsumen, harga, fleksibiltas mengikuti trend atau mode pakaian, hubungan personal dan sinergi pasar tradisional dan modern. Eksistensi memiliki total skor rendah (0): 0-10 dan total skor tinggi (1): 11-21.

Tabel 5 Definisi operasional eksistensi

No. Variabel Definisi Operasional

Indikator Jenis Data

Kategori Pengukuran

1. Tingkat keberadaan, nyata

Bahwa suatu wilayah tersebut nyata/ada dan sudah ada sejak lama

 Lamanya Kampoeng Batik Laweyan

Ordinal Skor 0: rendah. Skor 1: tinggi.

2. Tingkat mengalami perkemban gan Suatu wilayah/kawasan mengalami perubahan atau dinamika baik dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya

 Perkemban gan ekonomi

 Perkemban gan sosial

 Perkembag an budaya

Ordinal Skor 0: rendah

Skor 1: tinggi

3. Tingkat preferensi konsumen Kecenderungan konsumen dalam memilih jenis batik yang dihasilkan oleh Kampoeng Batik Laweyan

 Jenis batik  Model

batik

 Bahan kain batik

 Motif batik

 Warna batik

Ordinal Skor 0: rendah

Skor 1: tinggi

4. Tingkat harga

Jumlah nominal yang harus dikeluarkan oleh pembeli terhadap produk batik yang dihasilkan oleh Kampoeng Batik Laweyan meskipun nominal batik tersebut tinggi

 Kesediaan konsumen dalam membeli batik

Ordinal Skor 0: rendah

(48)

5. Tingkat fleksibiltas mengikuti

trend atau mode pakaian

Batik yang dihasilkan oleh Kampoeng Batik Laweyan mampu mengikuti

perkembangan

trend atau mode pakaian sesuai zamannya

 Jenis batik

 Model batik

 Bahan kain batik

 Motif batik

<

Gambar

Tabel 1 Dua unsur komplemen modal sosial
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Tabel 2 Metode pengumpulan data
Tabel 3 Definisi operasional modal sosial
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari 9 data gairaigo yang terbentuk dari proses pemendekan ellipsis tersebut, penghilangan leksem terakhir dari kata majemuk (back-truncation ellipsis) adalah yang paling

Pemberdayaan masyarakat terutama dibidang peningkatan ekonomi melalui kegiatan koperasi simpat pinjam, usaha kecil dan menengah (UKM) Perencanaan dan penerapan sistem

Fungsi sekaligus tujuan negara Indonesia terkandung dalam aline kedua dan keempat Pembukaan UUD 1945. Untuk mewujudkan cita-cita dantujuan bangsa Indonesia, dibentuk

Hal ini disebabkan karena semakin lama guru mengajar pada umumnya guru memiliki kemampuan lebih dalam mengenali emosi diri, mengelola emosinya, memotivasi diri sendiri, terampil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek pemberian bonus pada produk Simpanan Berkah Plus (deposito mudharabah) di BMT “Taruna Sejahtera” Cabang Mijen adalah

Dari uji pengaruh tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa kualitas auditor, kemampuan keuangan auditor, hubungan auditor dengan klien, besar kecilnya

[r]

maka harus mampu mengolah perbedaan menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. 2) Pendidikan multikultural sebagai pembina agar semua siswa menyikapi realitas global,