• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laweyan merupakan wilayah yang lebih tua dari Solo, Desa Laweyan sudah ada sebelum munculnya Kerajaan Pajang. Ketika Solo masih berupa desa kecil di tepi sungai Bengawan Solo, Laweyan merupakan kota pusat perekonomian Kerajaan Pajang. Desa Solo mulai berkembang setelah dijadikan ibu kota Mataram pada 17 Februari 1745, menggantikan Kartasura, sedangkan Laweyan sudah hidup sejak 1500-an. Pesatnya Laweyan tidak lepas dari kehadiran Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Sultan Hadiwijoyo alias Joko Tingkir, setelah Kerajaan Demak surut. Mulanya Laweyan adalah tanah hadiah dari Raja Pajang untu Ki Ageng Henis, Kyai Ageng Henis adalah putra dari Kyai Ageng Sela yang merupakan keturunan Raja Brawijaya V. Kyai Ageng Henis atauk Kyai Ageng Laweyan juga “Manggala Pinatuwaning Nagara” Kerajaan Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang, dari beliaulah seni membatik diperkenalkan kepada santri-santrinya yang berguru kepadanya di Laweyan dan di Kampoeng inilah Ki Ageng Henis dimakamkan di pesantren Laweyan (tempat tetirah Sunan Kalijaga sewaktu berkunjung di Desa Laweyan) dan salah satu peninggalannya adalah masjid Laweyan yang dibangun tahun 1546.

Laweyan tumbuh sebagai pusat perdagangan, terutama perdagangan lawe

atau benang, untuk bahan tenun. Lawe inilah yang kemudian melahirkan nama Laweyan. Daerah perdikan ini merupakan pasar lawe yang sangat ramai, oleh karena itu daerah ini dikenal dengan nama laweyan.Lawe atau benang terbuat dari kapas dan merupakan bahan baku tenun untuk membuat sandang. Hal ini diperkuat dengan hasil kutipan wawancara.

“ ... Dulu namanya laweyan itu ngambil kata kata dari lawe artinya benang itu loh, bahan untuk kain namanya lawe, nanti dipintal terus jadi benang terus jadi kain ...”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)

Batik Laweyan sudah berkembang sebelum abad 15 M semasa pemerintahan Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) di Keraton Pajang. Secara etimologi, kata batik berasal dari bahasa jawa, “amba” yang berarti lebar, luas, kain; dan “titik” yang berarti titik atau matik (kata kerja membuat titik) yang kemudian berkembang menjadi istilah “batik”, yang berarti menghubungkan titik- titik menjadi gambar tertentu pada kain yang luas atau lebar. Batik juga mempunyai pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan membuat titik- titik tertentu pada kain mori. Menurut bahasa Jawa, “batik” ditulis dengan “bathik”, mengacu pada huruf jawa “tha” yang menunjukkan bahwa batik adalah

rangkaian dari titik-titik yang membentuk gambaran tertentu (Wulandari 2011). Akibat kebutuhan batik di lingkungan keraton yang semakin meningkat, maka pembuatannya tidak lagi memungkinkan jika hanya bergantung kepada para putri dan abdi ndalem keraton. Hal ini kemudian diatasi dengan cara batik dibuat juga di luar keraton oleh kerabat dan abdi ndalem yang bertempat tinggal di luar keraton. Oleh karena banyak pengikut raja baik kerabat atau abdi dalem yang tinggal di luar keraton, maka seni batik ini dibawa mereka keluar keraton dan dikerjakan di tempat masing-masing. Demikian pula halnya yang terjadi di Laweyan. Ki Ageng Henis sebagai salah satu manggala pinutu waning nagara

pajang atau petinggi yang juga pengikut raja diharuskan pula berbusana batik apalagi dalam upacara ritual, untuk keperluan tersebut mengerjakan batiknya juga dilakukan di rumahnya di Laweyan sebagai tanah perdikannya. Umumnya para santri bekerja membantu segala macam pekerjaan yang ada di tempat gurunya. Begitu juga dengan santri-santri yang berguru kepada Ki Ageng Henis, termasuk juga membantu dalam pekerjaan membatik. Kepandaian membatik para santri ini kemudian digunakan untuk hidup dan dikembangkan kepada sanak saudara dan keturunan ataupun tetangga para santri tersebut. Selanjutnya seni batik pada akhirnya berkembang menjadi industri perumahan yang dikelola oleh para saudagar batik Laweyan.

Brener (1960) dalam bukunya yang berjudul “The Domestication of Desire: women, wealth, and modernity in Java” menyatakan bahwa perempuan merupakan inti dari kehidupan masyarakat yang berkecimpung dalam industri batik di Laweyan. Perempuan tidak hanya sebagai juragan, pekerja, tetapi juga “penguasa” didalam kehidupan keluarga, baik di dalam sektor ekonomi (dalam dunia industri) maupun politik (pengaturan penguasaan di masyarakat). Saat ini di Kampoeng Batik Laweyan, istilah mbok mase sudah tidak lagi digunakan, hal ini akibat perkembangan zaman, dan istilah tersebut pun hilang dan berubah menjadi istilah ibu/bapak juragan. Hal ini diperkuat dengan kutipan wawancara dengan Bapak S, selaku anggota LinMas Kampoeng Batik Laweyan.

“... Istilah mobok mase wah sekarang sudah gak dipakek, cuman nama. Tapi kalau sebenarnya mbok mase itu suruh menghargai, semua karyawan munduk munduk kalau gak nurut dimarahin, mbok mase ini sebagi pegang kendali kekuasaan, nah begitu kemanjuan zaman gak di pakek lagi. Mbok itu putri, dan mas itu istilahnya direktur karena sebagai pengendali. Kalau dulu itu ada mbok mase sepuh dan mbok mase muda, yg muda itu anak-anaknya. Dulu ada dua panggilannya, kamu dipanggil mbok mase tua, oh dipanggilan untuk orang tuanya mbojk mase muda. Dulu itu istilahnya kamu harus menghargai saya, kalau salah sedikit saja marahnya seharian, kamu harus mengikuti saya orang tak bayar kok, dulu tak blonjo manut sm kekuasaan saya, tapi sekarang sama rata karena merasa saya begini karena ada para buruhnya, dengan adanya kemajuan zaman istilah tersebut tidak digunakan lagi ...”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)

Puncak struktur sosial Kampoeng Batik Laweyan adalah keluarga majikan dan secara turun-temurun terdiri dari mbok mase sepuh (nenek), mas nganten sepuh (kakek) yang biasanya orang tua dari pihak ibu. Selanjutnya adalah mbok mase (ibu rumah tangga), mas nganten (ayah sebagai kepala rumah tangga), mas roro (anak perempuan) dan mas bagus (anak laki-laki). Status sosial dibawahnya adalah kelompok besar para pekerja di perusahaan batik tersebut. Disini status sosial ditentukan menurut kriteria keahlian kerja, tukang cap sebagai buruh ahli menduduki tingkat teratas. Mereka ini mendapat perlakuan istimewa dari majikan, dan sering kali kemudian meningkat statusnya menjadi pengusaha menengah atau besar. Status sosial dibawah tukang cap adalah kuli mbabar, kuli celup, pengubang (buruh batik), dan pembantu rumah tangga majikan. Mereka ini tergolong dalam status buruh inti. Status sosial dibawahnya adalah kuli mberet,

kuli kerok dan kuli kemplong, dan mereka ini tergolong sebagai buruh tetap. Status sosial paling bawah adalah buruh harian yaitu pekerja kasar sebagai pembantu rumah tangga. Status sosial paling bawah ini tidak diikat oleh majikan karena itu sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh majikan, meskipun demikian hubungan antara majikan dan buruh tidak hanya berdasar kepentingan ekonomi tetapi tetap terjalin ikatan persaudaraan.

Motor penggerak usaha batik disebut mbok mase ini merupakan para saudagar batik yang kekayaannya melebihi para bangsawan. Bukti kekayaan ini diwujudkan dalam bangunan rumah dan kendaraan yang tidak kalah dengan para bangsawan. Keberhasilan perempuan mengangkat batik, sebenarnya juga keberhasilan mengangkat status mereka, bukan lagi perempuan yang terpinggirkan melainkan telah mengangkatt derajat dan martabatnya, dengan cara tidak kehilangan harga diri, namun dengan disiplin, kerja keras, dan hemat, apa yang dicita-citakan dapat tercapai. Hal ini dikarenakan saat itu persepsi tradisional yang hidup atau adanya anggapan bahwa sudah menjadi kodratnya bahwa perempuan hanya mengurus rumah tangga atau sebatas wilayah domestik dan terlibat sektor ekonomi hanya sampingan. Berikut kutipan wawancara dengan Bapak P yang merupakan cucu dari Alm. Bapak Tjokrosoemarto.8

“... Mbok itu berarti putri, dan mase itu berarti seperti pria yang kuat sebagai pemegang kendali kekuasaan dalam produksi batik. Mbok mase sebenarnya sebagai bentuk emansipasi wanita saat itu, karena pada saat itu wanita dianggap sebagai konco wingking, yang berarti teman belakang. Namun, pada saat itu muncullah istilah Mbok mase sebagai perempuan kuat yang mengurusi semua hal yang berkaitan dengan produksi batik ...”. (P, Laki-laki, 48 Tahun)

Zaman dulu, mbok mase ini memiliki kereta kencana yang digunakan untuk membawa barang dagangannya berupa batik, untuk dijual di pasar tradisional, bahkan ada cerita ketika itu orang keraton ingin meminjam keretanya mbok mase, ketika berkunjung di Laweyan, namun mbok mase tidak memperbolehkan dengan alasan untuk keperluan pengangkutan batik untuk dijual kepasar. Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari alumni mahasiswa ilmu sejarah, Fakultas Ilmu Budaya , Universitas Sebelas Maret.

“... Ceritanya dulu, ketika kami sedang proses pembuatan film mbok mase, kami juga mewawancarai salah satu mbok mase yang masih ada, menurut beliau dulu ada orang dari keraton yang sedang berkunjung ke Laweyan, dan sedang kelelahan, karena melihat kereta kencananya mbok mase, maka orang keraton tersebut berniat untuk meminjam kereta tersebut, namun mbok mase menolak, karena besok paginya akan dipakai buat ngangkut batik ke pasar, karena merasa kesal akhirnya orang keraton tersebut bersumpah, bahwa tidak akan ada anak cucunya yang menikah dengan Laweyan, prinsip ini pun sampai sekarang masih dipegang kuat ...”. (M, Laki-laki, 28 Tahun)

Kampoeng Batik Laweyan mengalami masa kejayaan pada abad 20 M dan muncul metode pembuatan batik dengan cara cap, dengan metode batik cap, pembuatan batik bisa menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Selain itu

8

keseragamannya lebih dapat diandalkan, namun dampak negatifnya karena dibuat secara banyak dan seragam, batik cap ini terlihat pasaran sehingga tidak disenangi oleh kalangan menengah keatas. Era 1970-an mulai muncul teknik baru untuk membuat tekstil bermotif batik tanpa menggunakan lilin panas sebagai perinting warna namun menggunakan screen sablon. Saat itu “tekstil bermotif batik”

dikenal sebagai batik printing, tentu saja penamaan itu keliru karena proses pembuatan printing dan batik itu berbeda. Saat ini sudah ada peraturan dari pemerintah untuk melindungi konsumen dengan mengharuskan para penjual batik untuk memberikan informasi yang benar tentang kategori produk batik tulis, batik cap dan printing (tekstil bermotif batik). Adanya kemunculan produk printing

yang relatif murah dan proses produksinya sangat cepat mulai menyaingi pemasaran batik tulis dan batik cap. Satu persatu industri batik di laweyan mengalami kebangkrutan dan pada tahun 2000-an jumlah industri batik di laweyan hanya tersisa kurang dari 20 saja. Hal ini didukung oleh pernyataan Bapak S.

“... Hampir semua, hampir 75% warga Laweyan ini produksi batik, begitu hancurnya itu ketika orang-orang Arab datang, batik diasingi sama printing yang bukan tulis yang pakek stampel. Baru satu minggu bisa jadi, sedangkan printing satu hari aja udah ratusan meter, kalau tulis satu minggu mungkin ya satu kodi, 20 ptong. Tapi printing, satu minggu udah berapa ratus, kalau orang tidak tahu motif printing sama cap, cuma warnanya kalau yang printing satu minggu dicuci pakai deterjen sudah punah, tapi kalau yang produksi batik nyucinya pakaI lerak satu tahun aja warnanya masih ...”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)

Banyak saudagar besar batik di Laweyan yang menutup produksinya. Salah satunya adalah Ibu T, yang dulunya memiliki perusahaan batik sendiri namun sekarang sudah tidak beroperasi lagi, akibat bangkrut, sehingga saat ini memilih untuk bekerja di perusahaan batik lain. Berikut hasil wawancara mendalam dengan ibu T.

“... Dulu saya punya pabrik batik sendiri, tapi sekarang sudah tidak jalan sudah lama, semenjak adanya zaman krisis moneter, dan bangkrut, dulu itu jualan batik juga dirumah, tapi sekarang sudah tidak lagi dan memilih kerja disini ... ”. (T, Perempuan, 42 Tahun)

Berdasarkan hal tersebut maka muncullah kekhawatiran akan eksistensi Kampoeng Batik Laweyan, sehingga pada tahun 2004 Laweyan resmi dinyatakan sebagai kawasan Kampoeng Batik. Dibidang kebudayaan, masyarakat Kampoeng Batik Laweyan masih tampak aktif nguri-nguri9 kesenian tradisional seperti musik keroncong dan karawitan yang biasanya ditampilkan sebagai pengisi acara hajatan seperti mantenan, sunatan, tetakan, dan kelahiran bayi10, selain itu, tradisi pernikahan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan juga masih menggunakan batik dengan motif tertentu. Menurut Hanggopuro (2002) menyebutkan bahwa dalam pengetrapan berbusana Jawa hendaknya diselaraskan dengan rasa jiwa budaya, karena dalam berbusana Jawa tidak hanya sekedar memakai pakaian, namun

9

Merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang artinya melestarikan.

10

Dikutip dari web resmi Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, http://kampoengbatiklaweyan.org/sosial-budaya-laweyan/ diakses pada tanggal 15 Mei 2016.

terdapat nilai-nilai tata susila dan kepribadian yang meliputi lahir dan batin manusia. Seperti sabda Pakoe Boewono X, “... Nyandang nganggo iku dadya sarana amemangun manungsa njaba njero, marmane pantesan panganggonira, trepna pangetraping panganggon, cundhukna kalawan kahananing badanira, kalungguhan miwah kapangkatinara ...”. Artinya berbusana itu menjadi sarat membangun manusia luar dan dalam (lahir dan batin), maka sesuaikanlah pakaian mu yang cocok dengan penggunaannya, yang serasi dengan tubuh mu, kedudukan dan kepangkatan mu.

Semua tradisi yang ada di dalam masyarakat Jawa yang telah dimiliki secara turun temurun, tidak terlepas dari dua hal yaitu tata cara dan upacara. Hanggopuro (2002) mengatakan bahwa tata cara dapat diartikan sebagai proses jalannya upacara yang sudah mempunyai aturan-aturan yang berurutan secara jelas, sedang upacara artinya ubarampe yang dipergunakan sebagai sarana, salah satunya adalah batik. Sebagian tradisi Jawa yang selalu menggunakan batik, sejak manusia dalam kandungan hingga meninggal dunia diatara tradisi ritual

wilujengan yang digelar adalah tingkeban atau mitoni, kapohan dan gendhongan,

ruwatan, labuhan, dan manton. Tradisi tingkeban atau mitoni yaitu diselenggarakan apabila wanita sedang hamil yang pertama, pada usia kehamilan tujuh bulan. Sementara kopohan dan gendhongan,kopohan berasal dari kata kopoh

yang berarti basah, dalam hal ini dimaksudkan sebagai kain yang digunakan untuk alas bayi yang baru keluar dari rahim ibu, sehingga kain yang digunakan akan basah oleh cairan (air kawah maupun darah) yang keluar dari rahim bersama si bayi, sedangkan gendhongan berkaitan dengan kelahiran bayi, masyarakat Jawa mengenal adanya istilah sedulur papat lima pancer, yang selalu ikut menjaga melindungi serta mengasuh dalam kehidupan manusia. Sedulur papat ini dilakukan upacara hanya pada “ari-ari” yang dilabuh atau dikubur. Kemudian ari- ari dibersihkan dan dimasukan ke dalam “kendhil”, pada saat melakukan upacara si bapak berbusana Jawa lengkap, menggunakan kain batik latar hitam menggendong kendhil, adapun kain batik yang dipilih seperti motif Sidomulyo, Semen Rama, Wahyu Temurun, dan Sida Asih (Honggopuro 2002).

Ruwatanmerupakan sarana memberikan “wiradat” terhadap “kodrat” yang

dianggap tidak baik oleh orang Jawa. Tradisi ruwatan itu secara turun temurun dilaksanakan dengan menggelar pagelaran wayang kulit dengan cerita Murwakala, dilengkapi dengan 9 potong kain batik yang berbeda motifnya yaitu motif Parang Rusak, Semen Latar Putih, Latar Hitam, Ceplok, Kawungan, Krambil Sacukil, Tambal Miring, Slobog, dan Poleng Bang Bintalu. Sementara manton merupakan upacara tradisi “mantu” atau pernikahan. Batik bukan hanya digunakan untuk melatih keterampilan lukis (menggambar) dan sungging (mewarnai dengan cat), namun merupakan seni yang sarat dengan pendidikan etika dan estetika bagi perempuan (Wulandari 2011). Batik juga sering digunakan untuk menandai adanya peristiwa-peristiwa didalam kehidupan manusia Jawa. Misalnya saja batik dengan corak Truntum cocok untuk upacara akad nikah, sedangkan corak Midodareni, Grompol, Semen Rama, Naga Sari cocok untuk pernikahan.

Selain itu, masyarakat Kampoeng Batik Laweyan juga mengalami perubahan, misalnya yang tadinya masyarakatnya tertutup sekarang menjadi lebih terbuka. Tertutupnya ini dikarenakan bentuk bangunan rumah para pengusaha batik yang bertembok tinggi, dengan tujuan pada saat itu untuk menjaga dan

melindungi sistem ekonomi si pengusaha batik, dan diantara bangunan rumah para pengusaha juga dibangun sebuah pintu kecil untuk dapat bertamu ke rumah sebelahnya, yang letaknya tersembunyi. Hal ini bertujuan untuk melindungi harta kekayayaan pengusaha batik dari maling. Hal ini didukung dengan hasil hutipan wawancara.

“... Dulu di Laweyan ini banyak bangunan tinggi, dulu sebelum zaman Belanda, di solo di laweyan banyak pencuri dan gedor datang kerumah, ya istilahnya gedor, makanya bangunannya tinggi. Rumah ini ada tembusannya sama tetangga, ada dindingnya ada pintu seandainya ada kejaian gejoran bisa lari kehalaman rumah sebelahnya. Sekarang ini begitu anu kan waktu sama pemerintah supaya bangunan tembok tembok tidak ditinggikan supaya bangunnya keliatan, dulu rumah laweyan yg kuno banyak pengguninya, saudagar mencari tempat supaya membuat rumah ini aman dengan menyimpan roh halus, ada

gedor yang bisa masuk bisa ambil barang, tapi gak bisa pulang. Dulu ada begini banyak, dikasih jin supaya bisa jaga rumah, carinya di tempat tempat para normal yang pandai, dulu istilahnya dukun ...”. (S, Laki-laki, 62 Tahun)

Hal tersebut diperkuat dengan hasil kutipan wawancara.

“... Ya dulu bangunannya tinggi-tinggi buat jaga dari maling, zaman dulu memang orangnya masih sedikit, seni rumah tuh sedikit sedikit, rumahnya isinya 4 sampai lima, yang dibelakang juga rumahnya kecil- kecil isinya 4 orang, rumahnya sendiri-sendiri, sebelah saya itu kosong, terus satu lagi kosong lagi, terus kosong lagi, banyak yang kosong disini, yang punya di Semarang, yang punya di Surabaya, ada juga yang di sewa buat printing, banyak yang kosong, kalau malam itu sudah habis magrib, sepi sudah gak ada orang ...”. (P, Perempuan, 59 Tahun)

Saat ini, masyarakat Laweyan jauh lebih terbuka semenjak diresmikannya Kampoeng Batik Laweyan sebagai kawasan wisata pada tahun 2004, bangunan- bangunan yang awalnya bertembok tinggi, saat ini sudah mulai dibuka, dengan adanya pembukaan showroom batik, yang biasanya dimiliki oleh para pendatang dari luar Laweyan. Nilai-nilai Jawa seperti istilah rukun, saat ini mulai berubah. Hal ini diperkuat dengan hasil kutipan wawancara sebagai berikut.

“... Saat ini masyarakat Laweyan itu, ketok e rukun tapi yo ra rukun, tapi ndak rukun ...”. (S, Laki-laki, 64 Tahun)

“... Saat ini masyakarat Laweyan itu kelihatannya tukun tapi ya tidak rukun, tapi tidak rukun ...”. (S, Laki-laki, 64 Tahun)

Selain itu, Kampoeng Batik Laweyan saat ini semakin ramai, berbeda dengan zaman dahulu. Hal ini didukung dengan hasil kutipan wawancara dengan salah satu masyarakat Kampoeng Batik Laweyan yang berprofesi sebagai tukang becak, yang sering mengantar tamu ke Kampoeng Batik Laweyan, baik mengantar pengunjung /tamu yang berasal dari lokal maupun mancanegara.

“... Tamunya dari luar negeri ya ada, sering pas pak Jokowi masih jadi wali kota Solo. Perubahannya Laweyan ini ya banyak, umpanya mengantar tamu belajar batik ada insentifnya, dulu gak ada ... “. (P, Laki-laki, 52 Tahun)

Sementara itu, istilah mbok mase yang dulu dipakai sebagai sebutan kepada perempuan Laweyan, yang berprofesi sebagai juragan batik saat ini istilah tersebut sudah tidak digunakan lagi. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan Ibu Esebagai salah satu mbok mase generasi ke 4 yang masih aktif, beliau merupakan pemilik usaha Batik Cempaka.

“... Sekarang itu istilah Mbok mase sudah tidak dipakai lagi, kalau dulu pas zaman feodal ya masih dipakai. Dulu saya dipanggil Mbok mase, tapi sekarang karena zamannya sudah berubah, ya biasa-biasa saja sekarang dipanggil ibu saja ...”. (E, Perempuan, 53 Tahun)