• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM AGRARIA

Dalam dokumen HUKUM PERTANAHAN DI BELANDA DAN INDONESI (Halaman 135-141)

I

stilah 'agraria' memiliki pengertian yang bermacam-macam. Dalam bahasa Latin, ager berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius

berarti perladangan, persawahan, pertanian (Prent K. Adisubrata, J. Poerwadarminta, W.J.S., 1960, Kamus Latin Indonesia, Yayasan Kanisius, Semarang).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan Ketiga, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris agrarian

selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian (Black's Law Dictionary, 1983, West Publishing Co, St. Paul, Minn). Sebutan agrari- an laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.

Di Indonesia, sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non-pertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa

dalam melaksanakan kebjakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat

hukum tersebut merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara. Sebutan Agrarische Wet, Agrarisch Besluit, Agrarische Inspectie pada Departemen Van Binnenlandsch Bestuur, Agrarische Regelingan dalam "Himpunan Engelbrecht." Bagian Agraria pada Kementerian Dalam Ne- geri, Menteri Agraria, Kementerian Agraria, Departemen Agraria, Menteri Pertanian dan Agraria, Departemen Pertanian dan Agraria, Direktur Jenderal Agraria, Direktorat Jenderal Agraria pada Departemen Dalam Ne geri, semuanya menunjukkan pengertian demikian.

Dalam tahun 1988 dibentuk Badan Pertanahan Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, yang sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan. Pemakaian

sebutan pertanahan sebagai nama badan tersebut tidak mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas dan kewenangan yang sebelumnya ada pada Departemen dan Direktorat Jenderal Agraria. Sebaliknya justru memberikan kejelas an dan penegasan mengenai lingkup pengertian agraria yang dipakai di lingkungan Administrasi Pemerintahan. Adapun "administrasi pertanah an" meliputi baik tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah air, baik air daratan maupun air laut.

Adanya jabatan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam Kabinet Pembangunan VI, juga tidak mengubah lingkup pengertian agraria. Sebutan jabatan tersebut tampaknya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tugas kewenangan Menteri Negara Agraria adalah lebih luas dari dan tidak terbatas pada lingkup tugasnya sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional yang disebut dalam Keppres No. 26 Tahun 1988 di atas (Keppres No. 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan,

Tugas Pokok, Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara).

Dalam Keppres No. 44 Tahun 1993 ditentukan bahwa Menteri Negara Agraria bertugas pokok mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keagrariaan dan menyelenggarakan antara lain fungsi: c. mengkoordinasi kegiatan seluruh instansi pemerintah yang berhubungan dengan keagrari- aan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah secara menyeluruh. Dengan adanya fungsi koordinasi tersebut kewenangan Menteri Negara Agraria lebih luas dari fungsi Menteri Agraria dulu yang memimpin Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet Pembangunan VI ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Pada tahun 2006 Pemerintah telah menerbitkan ketentuan mengenai Badan Pertanahan Nasional yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 yang mengatur secara rinci mengenai tugas pokok dan fungsi dari Badan Pertanahan Nasional.

Pengertian Hukum Agraria adalah seperangkat hukum yang mengatur hak penguasaan atas sumber daya alam (natural resources) yang meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, bahkan dalam batas-batas yang ditentukan juga termasuk ruang angkasa.

Di dalam kaidah hukum positif, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), disebutkan bahwa unsur-unsur keagrarian meliputi:

a. Bumi (Pasal 1 ayat 4 UUPA) yang meliputi: - permukaan bumi (tanah);

- tubuh bumi yang terdapat di bawah tanah dan di bawah air. b. Air (Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 47 UUPA) termasuk di dalamnya

di laut wilayah/laut teritorial Indonesia.

c. Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan air (Pasal 1 ayat 2 UUPA) seperti bahan-bahan galian/barang tambang, ikan, mutiara dan hasil laut lainnya.

d. Unsur-unsur dalam ruang angkasa (Pasal 48 UUPA).

Dengan melihat unsur-unsur agraria tersebut, maka dapat kita ambil dua pengertian hukum agraria, yaitu Hukum Agraria dalam arti luas dan Hukum Agraria dalam arti sempit (Hukum Tanah). a. Hukum Agraria dalam arti luas adalah seperangkat hukum

yang mengatur hak penguasaan atas sumber-sumber alam (natural resources), yang meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk ruang angkasa. Berdasarkan pengertian tersebut, maka ruang lingkup Hukum Agraria meliputi:

1) Hukum Tanah (Hukum Agraria dalam arti sempit), diatur dalam UUPA;

2) Hukum Air, diatur dalam UU No. 11 Tahun 1974, sebagaimana diubah dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;

3) Hukum Pertambangan, diatur dalam UU No. 11 Tahun 1967 yang telah dirubah dengan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pengganti UU No. 44/ Prp/1960;

4) Hukum Perikanan, diatur dalam UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009;

5) Hukum Kehutanan, diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 (jo. UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang);

6) Hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas unsur- unsur dalam ruang angkasa. Hukum ruang angkasa dipelajari karena unsur-unsur dalam ruang angkasa diperlukan untuk kehidupan manusia. Perlu diketahui bahwa hukum ruang angkasa disini tidak sama dengan “space law”.

b. Hukum Agraria dalam arti sempit (Hukum Tanah) adalah seperangkat hukum yang mengatur penguasaan atas permukaan tanah.

Sesuai dengan sistem perkuliahan di Fakultas Hukum, maka untuk mata kuliah Hukum Agraria dikhususkan mempelajari Hukum Agraria dalam arti sempit, yaitu Hukum Tanah. Untuk selanjutnya istilah untuk Hukum Agraria dalam tulisan ini dibaca sebagai Hukum Tanah.

Sebagai titik tolak pembahasan Hukum Agraria dalam buku ini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang diundangkan dalam Lembaran Negara No. 104 tahun 1960 dan mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960. UUPA merupakan sumber utama Hukum Agraria terutama Hukum Agraria dalam arti sempit (Hukum Tanah), ini dapat dilihat dari Konsideran dan sebagian besar isi (pasal-pasalnya) serta penjelasannya yang mengatur Hak Penguasaan atas Tanah.

Disamping adanya perbedaan pengertian antara Hukum Agraria dalam arti luas dan dalam arti sempit, apabila kita menyimak pendapat Prof. E Utrecht dalam buku-buku yang ditulisnya, beliau menyamakan arti Hukum Agraria dengan Hukum Tanah dan menempatkannya sebagai bagian dari Hukum Administrasi Negara sebagaimana kelaziman penggunaannya di Indonesia dahulu. Jadi, karena dianggap sebagai bagian dari Hukum Administrasi Negara, maka Hukum Agraria pada masa itu diartikan sebagai keseluruhan peraturan yang memberikan landasan hukum kepada penguasa untuk melaksanakan politik pertanahannya

sesuai dengan "kebjaksanaan" pemerintah kolonial Hindia Belanda di bidang pertanahan yang bersumber pada Agrarische Wet 1870. Apabila kita hendak melihatnya dari latar belakang sejarah kepentingan pemerintah kolonial, tentu saja sangat logis kalau Hukum Tanah Administrasi ini mempunyai peranan penting sebab dengan peraturan tersebut penguasa memperoleh legalitas dan wewenang-wewenang khusus untuk mengambil tindakan-tindakan yang dikehendakinya mengenai pengaturan masalah pertanahan.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka Hukum Tanah itu sendiri terbagi dalam dua bagian, yaitu:

 Hukum Tanah Administrasi; dan

 Hukum Tanah Perdata, yakni peraturan-peraturan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang subjeknya manusia (perorangan) ataupun badan hukum.

Di Indonesia, Hukum Tanah Administrasi merupakan bagian yang sangat penting dari Hukum Tanah karena walaupun secara teoritis mempunyai perbedaan, tetapi secara praktis unsur-unsur Hukum Tanah Administrasi itu dapat kita jumpai dalam seluruh peraturan Hukum Tanah.

Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, tetapi dari Konsiderans serta Pasal-pasal dan Penjelasannya dapat disimpulkan bahwa pengertian Hukum Agraria dalam UUPA mengandung arti yang luas dan mencakup objek yang meliputi bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 dan 2 UUPA), yaitu yang lazim disebut sumber-sumber alam. Jadi, Hukum Agraria yang dibicarakan disini adalah segi-segi hukumnya, yakni hak-hak penguasaan atas unsur-

unsur sumber alam atau agraria dalam arti luas. Hak penguasaan tersebut ada pada subjek hukum manusia pribadi dan/atau badan hukum. Oleh karena itu, fokus pembicaraan Hukum Agraria disini adalah hubungan hukum antara subjek hukum dengan objeknya, yaitu unsur-unsur sumber alam. Dalam pengertian yang luas itu Hukum Agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber alam Indonesia.

Karena mempunyai arti yang luas, dengan sendirinya termasuk pula di dalamnya arti yang sempit pula, yakni agraria dalam arti tanah atau Hukum Tanah, sebagai bagian hukum positif di Indonesia yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan hak- hak penguasaan atas tanah ini adalah hubungan hukum antara subjek (manusia/badan hukum) dengan objek (tanah) yang dikuasainya; dan dari hubungan hukum ini timbul kewenangan bagi subjek hukum untuk berbuat sesuatu terhadap tanah sebagai objek hukum tersebut.

GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN

Dalam dokumen HUKUM PERTANAHAN DI BELANDA DAN INDONESI (Halaman 135-141)