• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Kepemimpinan politik

1. Pengertian Kepemimpinan Politik

50

nilai-nilai (Yukl, 2017). Kepemimpinan pemberdayaan merupakan kemampuan pemimpin dalam meningkatkan kompetensi, dan memberi peluang kepada pengikut untuk menggunakan kompetensi yang telah dimiliki (Kabeer, 2001).

Dalam konteks pekerjaan, maka pemberdayaan adalah suatu upaya yang dilakukan oleh pemimpin untuk meningkatkan kinerja (Manning & Curtis, 2005:

133).

51

cukup besar di berbagai disiplin ilmu sosial seperti dalam psikologi sosial, pendidikan, antropologi, sosiologi, teologi dan bisnis. Namun demikian, dari sejumlah penelitian yang telah dilakukan, tetap saja tidak ada konsensus pendapat di salah satu bidang ini, apalagi di semua bidang, mengenai definisi kepemimpinan mana yang paling berhasil menangkap esensi istilah tersebut. Dari sejumlah studi tersebut justru menghasilkan ribuan definisi yang bersaing untuk mendefinisikan 'kepemimpinan' (Rost, 1991, hlm. 37-95).

Hal yang sama terjadi pada definisi kepemimpinan dalam ilmu politik dimana telah banyak kajian yang dilakukan untuk mendefinisikan kepemimpinan politik.

Konsep kepemimpinan politik sangat sulit untuk didefinisikan karena sangat tergantung pada konteks kelembagaan, sejarah dan budaya (Blondel, 1987;

Wildavsky, 1989).

Dalam disiplin ilmu politik dan administrasi publik, landasan teori kepemimpinan diletakkan oleh Burns (1978). Baginya, seorang pemimpin adalah individu yang bertindak sejalan dengan pengikut dan nilai-nilai dan motivasi mereka. Burns melihat kepemimpinan sebagai hubungan yang memungkinkan para pemimpin dan pengikut untuk mengambil bagian dalam tujuan bersama. Tanpa koneksi ke tujuan bersama, tidak mungkin ada kepemimpinan. Selanjutnya, Burns membedakan antara kepemimpinan 'transaksional' dan 'transformasional'.

Kepemimpinan transaksional terjadi ketika 'satu orang mengambil inisiatif dalam melakukan kontak dengan orang lain untuk tujuan pertukaran hal-hal yang berharga'. Kepemimpinan transaksional terjadi ketika 'satu atau lebih orang terlibat satu sama lain sedemikian rupa sehingga para pemimpin dan pengikut

52

meningkatkan satu sama lain ke tingkat motivasi dan moralitas yang lebih tinggi' (Burns, 1978: 83).

Terdapat sejumlah buku dan artikel yang secara eksplisit membahas konsep kepemimpinan politik (misalnya, Blondel, 1980 dan 1987; Burns, 1978; Edinger, 1975 dan 1990; Gardner, 1990; Kellerman, 1984; Mughan dan Patterson, 1992;

Paige, 1977; Sheffer, 1993; Stem, 1993; dan Tucker, 1981). Blondel (1987) berusaha untuk menciptakan model kepemimpinan politik yang universal yang berlaku untuk semua pemerintahan. Studinya berfokus pada bagaimana kepemimpinan merupakan latihan kekuatan koersif. Pengaturan kelembagaan dan kepribadian pemegang jabatan penting untuk kepemimpinan yang sukses (Blondel 2008).

Blondel (1987) menghubungkan kepemimpinan dengan kekuasaan.

Kepribadiannya juga penting (lihat juga Blondel2008). Elgie (1995) melihat kekuatan dan motivasi para pemimpin politik pusat dengan memperhatikan konteksnya secara serius (Elgie, 2005). Elgie (1995: 1-3) melihat kepemimpinan politik sebagai '…proses di mana pemerintah mencoba melakukan kontrol ...

sejauh mana ... individu yang menduduki posisi otoritas paling menonjol dalam struktur negara, dapat menentukan hasil dari proses pengambilan keputusan' (Elgie 1995:4). Dia menawarkan sebagian besar analisis kelembagaan untuk memahami kepemimpinan. Rhodes dan 't Hart (2014:2) mempelajari para pemimpin di posisi politik yang tinggi dan menunjukkan kualitas khusus dari individu tersebut. Rhodes dan 't Hart (2014: 8) menunjukkan dua aspek kepemimpinan yang sangat relevan untuk kontribusi ini. Dalam melihat pengambil keputusan tertinggi, ketika sebuah organisasi atau bangsa menghadapi keputusan

53

berisiko tinggi yang tidak ada yang mau mengambil, seseorang harus bertanggung jawab. Dengan kata lain kepemimpinan bukanlah merupakan suatu 'penyebab', tetapi sebagai 'konsekuensi'.

Kepemimpinan politik juga banyak diteorikan dalam konteks internasional.

Di sini pertanyaan yang paling menonjol adalah mengapa dan bagaimana individu tampil sebagai pemimpin dalam tawar-menawar internasional, untuk memecahkan masalah aksi kolektif. Young (1991) misalnya membedakan antara tiga jenis kepemimpinan politik dalam tawar-menawar ini, yang biasanya bekerja di bawah aturan suara bulat: kepemimpinan struktural, kepemimpinan kewirausahaan, dan kepemimpinan intelektual. Kepemimpinan struktural sebagian besar didasarkan pada kekuatan struktural pemimpin, misalnya posisi kekuasaan negara asalnya, seorang pemimpin wirausaha memanfaatkan keterampilan negosiasi khusus dan dengan demikian mempengaruhi hasil tawar-menawar. Sebaliknya, pemimpin intelektual 'bergantung pada kekuatan ide untuk membentuk cara di mana para peserta dalam perundingan institusional memahami' isu atau mempertaruhkan' (Young, 1991, 288).

Dalam studi kepemimpinan politik pendekatan Burns tampak sangat bermanfaat karena penekanannya pada hubungan pemimpin-pengikut dan juga untuk perbedaan antara kepemimpinan transaksional dan transformasi. Di sisi lain pendekatan Blondel sangat penting karena menunjuk pada konsep kekuasaan yang terkait dengan kepemimpinan politik. Pendekatan Elgie juga penting karena ia menarik perhatian pada konteks kelembagaan seorang pemimpin. Akhirnya, konsep kepemimpinan Young dalam konteks internasional sangat cocok untuk

54

menganalisis dimensi-dimensi internasional dimana tawar-menawar antar pemerintah mendominasi.

Dari semua tulisan tersebut telah menghasilkan identifikasi berbagai definisi kepemimpinan politik seperti berikut ini (Elgie, 1995) :

a. ... perilaku orang-orang dalam posisi otoritas politik, pesaing mereka, dan keduanya dalam interaksi dengan anggota masyarakat lainnya seperti yang dimanifestasikan di masa lalu, sekarang, dan kemungkinan masa depan di seluruh dunia (Paige, 1977).

b. Kepemimpinan atas manusia dilakukan ketika orang-orang dengan motif dan tujuan tertentu memobilisasi, dalam persaingan atau konflik dengan orang lain, institusional, politik, psikologis, dan sumber daya lainnya untuk membangkitkan, melibatkan, dan memuaskan motif pengikut (Bums, 1978: 18).

c. Kepemimpinan adalah proses interaksi manusia di mana beberapa individu mengerahkan, atau berusaha untuk mengerahkan, pengaruh yang menentukan pada orang lain (Tucker, 1981:. 11).

d. Kepemimpinan politik adalah mobilisasi dan arahan, oleh seseorang atau beberapa orang dengan menggunakan cara-cara yang pada dasarnya non-koersif, dari orang lain dalam suatu masyarakat untuk bertindak dengan cara yang terpola dan koheren yang menyebabkan (atau mencegah) perubahan dalam alokasi otoritatif nilai-nilai dalam masyarakat itu (Hah dan Bartol, 1983:. 119-20).

e. Kita dapat mengatakan bahwa kepemimpinan adalah proses di mana satu individu secara konsisten memberikan dampak yang lebih besar daripada yang lain pada sifat dan arah aktivitas kelompok (Kellerman, 1984: 70).

f. tampaknya tidak mungkin untuk mendefinisikan kepemimpinan politik ... sebagai

55

kekuasaan yang dilakukan oleh satu atau beberapa individu untuk mengarahkan anggota bangsa menuju tindakan (Blondel, 1987 : 3).

g. Kepemimpinan adalah hubungan pengaruh antara pemimpin dan pengikut yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersama mereka (Rost, 1991, hlm:102).

h. [Pemimpin] adalah orang-orang yang menjalankan kontrol atas perilaku orang lain untuk menggerakkan mereka ke arah yang diinginkan (Edinger, 1993 : 6).

Seperti yang sudah ditunjukkan dalam berbagai definisi kepemimpinan politik tersebut di atas, terdapat banyak jenis dan bentuk kepemimpinan politik yang berbeda serta banyak arena berbeda di mana kepemimpinan politik harus dijalankan. Jenis dan bentuk kepemimpinan politik sesuai dengan cara para pemimpin menjalankan kepemimpinan termasuk didalamnya kepemimpinan karismatik, kepemimpinan heroik, kepemimpinan revolusioner, kepemimpinan inovatif, kepemimpinan transformasi, kepemimpinan transaksional, kepemimpinan pribadi, kepemimpinan individu, kepemimpinan kolektif, kepemimpinan konsensual, kepemimpinan reaktif dan kepemimpinan manajerial (Elgie, 1995).

Seseorang yang sedang menjadi pemimpin mungkin saja harus menjalankan kombinasi dari berbagai jenis dan bentuk kepemimpinan politik ini pada satu waktu. Di lain pihak kepemimpinan politik juga harus dijalankan di banyak arena yang berbeda sehingga terdapat kategori kepemimpinan sesuai dengan tempat atau bidang dilaksanakan misalnya kepemimpinan kebijakan, kepemimpinan partai, kepemimpinan kabinet, kepemimpinan legislatif, kepemimpinan opini, kepemimpinan birokrasi, kepemimpinan yudikatif, kepemimpinan gubernur, kepemimpinan walikota dan sebagainya. Dengan melihat bahwa kepemimpinan

56

politik dapat dijalankan di salah satu atau lebih arena yang berbeda secara bersamaan, maka seperti yang telah dicatat oleh Hockin ( 1977 : ix): 'Bahkan jika satu definisi kepemimpinan dipilih ... makna operasional dari definisi tersebut akan berubah tergantung pada konteks di mana kepemimpinan akan dilaksanakan'.

Dengan demikian memilih definisi tunggal akan menjadi sewenang-wenang dan membatasi dan tidak akan mampu menangkap variasi dalam jenis dan bentuk kepemimpinan yang harus dilaksanakan di banyak arena yang berbeda secara bersamaan. Dalam konteks pemerintahan misalnya, maka kepemimpinan politik akan dilihat sebagai proses dimana pemerintah mencoba untuk melakukan kontrol atas keputusan kebijakan publik (Edinger, 1975 : 257) atau dengan kata lain kepemimpinan politik berurusan dengan pertanyaan tentang siapa yang mengontrol hasil keputusan kebijakan publik dalam suatu negara dan bagaimana mereka melakukannya (Kellerman, 1984 : 71).

Kepemimpinan politik berbeda dengan kepemimpinan lainnya pada sektor swasta. Kepemimpinan politik menyiratkan, pertama-tama, memegang jabatan publik yang seringkali sebagai konsekuensi dari pemilihan umum yang demokratis. Namun demikian tidak selalu bahwa orang yang memegang jabatan merupakan kondisi yang diperlukan atau cukup untuk menjalankan kepemimpinan politik.

Selain memegang posisi jabatan tertentu atau ‘kekepalaan’ (headship), serangkaian kondisi lain yang diperlukan untuk menjadikan seorang individu untuk menjalankan kepemimpinan diantaranya keterampilan yang memadai (Greenstein, 2000; Keohane, 2005), waktu yang cukup di lembaga tertentu

57

(Bynander dan 't Hart, 2007), momentum politik (Skowronek, 2008), peluang yang diberikan oleh situasi (Boin et al., 2010) dan bahkan keberuntungan (Dowding, 2010). Faktanya, dimensi pribadi dan kontekstual memungkinkan kekepalaan menjadi kepemimpinan (Levine, 1974). Di sisi lain, selain tidak mencukupi, memegang jabatan formal mungkin juga tidak diperlukan:

“Masyarakat sipil yang hidup memberikan demokrasi dengan mosaik yang kaya dari kepemimpinan publik berbasis ‘non-kantor’ (yang bukan karena jabatan) : pengawas, moralis, pembangkang, pendeta, revolusioner, pengusaha sosial. Beberapa mengandalkan karisma pribadi untuk membangun gerakan sosial yang penting, yang lain secara efektif mengeksploitasi modal moral lembaga non-pemerintah yang sudah mapan untuk melakukan pekerjaan kepemimpinan sipil (Kane et al., 2009 : 583)”

Sifat dan konsekuensi dari memasukkan kepemimpinan politik sebagai sesuatu yang melampaui batas formal pemerintahan eksekutif harus menjadi bagian dari agenda penelitian, selain tetap memperhatikan pendekatan tradisional. Upaya mempelajari kepemimpinan politik, sambil mempertahankan fokus pada pemegang jabatan, harus memperhitungkan konsekuensi dari keberadaan 'pemimpin sipil' ini dan koneksi jaringan mereka dengan para pemimpin formal dan yang terpilih. Fokus pada pemimpin yang pemegang jabatan mungkin dihasilkan dari perspektif institusional tetapi juga menunjukkan kurangnya metode untuk mengidentifikasi dengan jelas siapa yang dapat dianggap sebagai pemimpin. Kompleksitas pemerintahan kontemporer, dengan dimensi multi-levelnya, institusional dan agen yang menyebar memunculkan pendekatan baru seperti pemerintahan kolaboratif dan kepemimpinan fasilitatif (Svara, 1994).

Penekanan pada kolaborasi yang didasarkan pada premis bahwa kepemimpinan politik tumbuh sebagai fenomena lintas batas, terutama melintasi batas

58

institusional dan pemerintahan formal, telah memperkuat karakteristik utamanya yaitu, kemampuan beradaptasi yang permanen terhadap konteks politik baru.

Namun demikian memegang jabatan tetap diperlukan dalam kepemimpinan.

Faktanya, seseorang dapat memiliki semua keterampilan yang dibutuhkan, dan sangat menyadari situasi dan peluang, tetapi mungkin tidak memiliki 'uang saku' institusional untuk memberikan bimbingan dan menjalankan kekuasaan.

Dari adanya ciri khas kekepalaan dan kepemimpinan yang diuraiakan diatas memunculkan karakteristik kepemimpinan politik yaitu (Teles, 2013):

a. Sumber-sumber kepemimpinan yang bertentangan.

Perbedaan pertama dan yang utama ditentukan oleh kebutuhan untuk menggabungkan kepemimpinan otoritas dengan kepemimpinan legitimasi, terutama jika orang menganggapnya sebagai dijalankan di bawah rezim demokrasi liberal dengan banyak individu yang mampu menuntut jawaban, kebijakan dan 'cara bertindak' yang koheren dengan pemerintahan yang akuntabel dan transparan. Pemimpin politik tidak semata-mata bergantung pada otoritas formal yang diberikan melalui pemilihan dan penunjukan peran publik tertentu (otoritas oleh jabatan), tetapi juga membutuhkan persetujuan dan penerimaan, yang akan berkontribusi pada legitimasi pemimpin. Hal ini terutama benar karena efektivitas pemimpin akan sangat bergantung pada persetujuan ini, terutama jika tindakan kolektif dan tata kelola kolaboratif diperlukan. Faktanya, konsep yang berlawanan seperti 'demokrasi pemimpin' (Pakulski dan Higley, 2008) dan 'kepemimpinan demokratis' tampaknya menjernihkan kedua dimensi kepemimpinan: yang pertama 'demokrasi pemimpin' menunjuk pada kekuatan

59

otoritas konstitusional yang kuat untuk 'mengelola' demokrasi; Adapun yang kedua, 'kepemimpinan demokratis' berfokus pada 'kekuatan rakyat' untuk memilih di antara alternatif, oleh karena itu meminta pemimpin politik yang mencari legitimasi.

Berlawanan dengan konteks sektor swasta, di mana kepemimpinan karena otoritas mungkin sering menjadi sumber utamanya sebagai akibat dari menduduki posisi institusional tertentu yang memungkinkan individu untuk menggunakan seperangkat hak prerogatif kekuasaan, maka dalam kepemimpinan politik karena ketidakcukupan hanya memegang jabatan agar menjadi efektif seperti yang disebutkan sebelumnya, perlu disertai dengan legitimasi.

b. Pengikut yang tidak ditentukan

Dimensi kekhasan kedua dihasilkan dari kesulitan mengkarakterisasi dan mengidentifikasi pengikut dengan jelas. Para pemimpin, khususnya di posisi pemerintahan, dihadapkan pada fakta bahwa orang-orang yang bekerja untuk mereka atau yang juga disebut 'rakyat' – 'tidak dikenal' oleh mereka. Setiap keputusan kebijakan dan eksternalitasnya berdampak pada banyak orang, dan tentunya sebagian besar dari mereka bukanlah pengikut yang setia.

Kepemimpinan 'dekat' dan 'jauh' (Alimo-Metcalfe dan Alban-Metcalfe, 2001) dilakukan secara terus menerus dan bersamaan, karena pemimpin menghadapi latar belakang dan keinginan pengikut yang berbeda. Faktanya, sementara bentuk kepemimpinan lain cenderung memiliki keuntungan dari komunikasi khusus yang tersedia baik bagi para pemimpin maupun pengikut mereka, kepemimpinan politik harus memanfaatkan apa yang dianggap Gardner sebagai

60

'pikiran banyak orang yang tidak terdidik' – atau perbedaan komunikatif (Gardner, 1995 : 50).

Oleh karena itu, kepemimpinan politik harus selalu menghadapi pengikut yang tidak ditentukan (non-ascribed followership). Tidak ada hubungan hierarkis, formal atau kontraktual antara pemimpin politik dan rakyat, seperti halnya dengan para pemimpin bisnis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dalam kepemimpinan politik berlaku idiom 'memimpin semua, diikuti oleh sedikit'.

c. Ketergantungan pada pengikut

Tidak seperti sektor swasta (dengan pengecualian pengaturan koperasi dan model tata kelola bisnis partisipatif lainnya), dalam kepemimpinan politik, pengikut adalah 'pemegang saham' (atau isitilah lain pemangku kepentingan).

Pengikut memegang semua kekuasaan karena mereka menunjuk pemimpin, mengikutinya, menilai keputusannya, 'merasakan' konsekuensi dari tindakannya dan memutuskan apakah pemimpin politik akan tetap menjabat atau diberhentikan (melalui mekanisme pemilihan). Ketergantungan pada pengikut ini – disorot oleh wacana akuntabilitas dan transparansi politik – dapat membawa pemimpin ke posisi 'dipenjara oleh peristiwa' karena hanya melakukan yang diminta situasi atau yang diminta rakyat.

d. Situasi multi-kontekstual

Untuk menjadi seorang pemimpin politik, seorang individu harus mampu mengatasi beberapa isu yang tersebar, kompleks, dan berbeda (dari ekonomi hingga pertanian, dari keamanan internasional hingga layanan kesehatan, dan

61

lain-lain). Adaptasi merupakan upaya pemimpin politik bereaksi terhadap situasi tertentu, simultan dan tak jarang bertentangan, sering merupakan cara terbaik dan efektif, bukan dengan memberikan jawaban untuk perubahan konteks secara keseluruhan. Pengaturan multi-kontekstual ini merupakan salah satu karakteristik paling signifikan dan khas dari kepemimpinan politik, dan pada saat yang sama salah satu kesulitannya yang paling relevan. Kepemimpinan sektor swasta, meskipun pendekatan multi-tugas dapat terjadi, tidak pernah dapat mencapai tingkat kompleksitas dan keragaman yang sama seperti halnya dengan ranah politik.

e. Kemenduaan

Perubahan peristiwa dan keragaman pengikut dapat mempengaruhi individu

dalam posisi kepemimpinan menjadi lebih rentan terhadap ambiguitas. Terlepas dari kebutuhan untuk menetapkan tujuan kebijakan yang jelas dan untuk

menyajikan strategi yang dapat dipahami untuk mencapainya, para pemimpin mungkin lebih memilih untuk mengadopsi tindakan yang lebih kabur dan tidak jelas. Hal ini memungkinkan kesempatan yang lebih besar untuk beradaptasi di masa depan dan lebih banyak kesempatan untuk memuaskan individu yang berbeda dan untuk menjamin alasan jika terjadi kegagalan.

f. Penerimaan terbatas

Fakta bahwa pemimpin politik tidak diterima oleh semua pengikut sejak awal jabatannya, menimbulkan masalah yang berbeda dari sektor swasta. Dalam demokrasi, dan khususnya dalam kasus mayoritas sederhana, penunjukan

62

individu untuk posisi tertentu terlepas dari tingkat penerimaan mereka. Dalam banyak kasus, para pemimpin politik adalah anggota partai politik, dan sering memegang tanggung jawab khusus di partai yang sedang berkuasa. Fakta ini dengan mudah mempromosikan mentalitas 'kita dan mereka', tidak hanya dari sudut pandang pemimpin, tetapi terutama dari pengikut umum.

Konflik ini diintensifkan karena, tidak seperti dalam 'bisnis' lainnya, politik dalam konteks demokrasi biasanya memungkinkan mengekspresikan antagonisme secara bebas, dimana oposisi menduduki posisi penting dan relevan dan secara khas memiliki hak konstitusional dalam sistem pemerintahan.

g. Mempromosikan konflik

Para pemimpin politik merupakan promotor konflik. Bahkan, mereka diharapkan untuk menghasilkan ketidaksepakatan dan perbedaan. Sebagai pemegang jabatan, para pemimpin politik melihat peluang untuk perubahan kebijakan dan diharapkan untuk mempromosikannya.

h. Menerima mandat

Untuk menjadi pemimpin politik dibutuhkan persetujuan dari mereka yang

mereka pimpin, beroperasi di bawah struktur pengawasan dan akuntabilitas yang berbeda. Otorisasi yang diberikan mandat untuk memerintah ini membutuhkan mobilisasi individu dan kelompok untuk membangun konsensus dan penerimaan, sementara dalam kasus sektor swasta izin untuk mengambil 'jabatan' mungkin tidak datang dari pengikut tetapi dari keputusan pemimpin itu sendiri (misalnya, karena mewakili mayoritas pemegang saham).

63 i. Ketegangan politik dan administratif

Kepemimpinan politik beroperasi dalam batasan yang ditetapkan oleh ketegangan antara bidang politik dan administrasi. Perbedaan antara kepemimpinan dan manajemen ini masih menjadi isu yang relevan, dan tidak lepas dari kontroversi. Warren Bennis mengemukakan bahwa dikotomi ini mencerminkan 'perbedaan antara mereka yang menguasai konteks dan mereka yang menyerah padanya' (Bennis, 1989, hlm. 45), mengatakan bahwa pemimpin adalah orang yang berinovasi, berkembang, berfokus pada orang, menginspirasi kepercayaan, memiliki perspektif jangka panjang dan bertanya 'apa' dan 'mengapa'; sedangkan manajer adalah orang yang mengelola, memelihara, berfokus pada struktur dan kontrol, mengambil pandangan jangka pendek dan bertanya 'bagaimana' dan 'kapan'. Seperti yang dikatakan Amin Rajan, manajemen adalah tentang mengikuti jalan, sedangkan kepemimpinan adalah tentang menemukan jalan (Rajan, 2000).

Ketegangan ini merupakan isu yang permanen dalam pemerintahan kontemporer di mana para pemimpin politik mungkin sangat bergantung pada birokrasi, terutama di negara-negara kesejahteraan, karena pemerintah besar membutuhkan administrasi dan kontrol yang besar. Dalam kasus ini, para administrator juga diharapkan untuk memberikan pengaruh dan menjadi pemain kunci demi pemerintahan yang efektif. Sifat pengambilan keputusan menimbulkan masalah lain, yang diekspresikan melalui ketegangan antara keputusan politik dan keputusan yang diinformasikan secara teknis.

64

Kepemimpinan politik dalam konteks demokrasi didominasi oleh pandangan dunia yang hierarkis, menggunakan bahasa teori budaya kelompok jaringan (Hood, 2000; Thompson et al., 1990). 'Orang membutuhkan aturan dan insentif untuk diikuti' adalah proposisi inti yang ditawarkan oleh paradigma kepemimpinan. Dalam kasus kepemimpinan bisnis, gambaran luas dari motivasi manusia, sekali lagi dalam jargon kelompok jaringan, adalah bahwa orang-orang adalah wirausaha dan individualistis, dan oleh karena itu mereka hanya membutuhkan insentif yang tepat untuk berperilaku dengan cara yang diinginkan.

Teori kelompok grid juga memungkinkan karakterisasi konteks kepemimpinan lain yang sesuai dengan kepemimpinan komunitas, di mana keanggotaan kelompok dan etos egaliter adalah aturan utama, atau kepemimpinan otoritatif, di mana aturan ad hoc dan sewenang-wenang yang berasal dari pemimpin adalah keadaan biasa.

Teori dan penelitian politik dapat menawarkan potret politik kontemporer yang lebih baik. Hal ini akan memungkinkan pemahaman yang lebih besar tentang ranah politik 'normal' demokrasi kontemporer dan tentu saja, akan menghasilkan jawaban baru untuk tantangan pemerintahan. Ciri khas yang disarankan dari kepemimpinan politik demokratis adalah konsekuensi dari analisis yang cermat tentang peran para pemimpin politik dalam konteks yang kompleks.

Oleh karena itu, ilmu politik harus menawarkan pendekatan yang tidak bias terhadap peran para pemimpin politik dalam demokrasi, dengan kerangka kerja yang memungkinkan pemahaman tentang strategi mereka, kekuatan mereka untuk mempengaruhi, motivasi dan kendala mereka.

Selain faktor-faktor pembeda yang disebutkan di atas masih mungkin

65

terdapat perbedaan lainnya untuk membedakan kepemimpinan politik dengan pemimpin lainnya. Namun yang disebutkan di atas memberikan serangkaian karakteristik yang memadai dan relevan, yang menempatkan jenis kepemimpinan khusus ini dalam kerangka tertentu. Oleh karena itu, ketika menganalisis dan mencoba untuk memungkinkan pemahaman tentang pelaksanaan kepemimpinan politik, seseorang harus mempertimbangkan semua kekhasan ini.

Setidaknya ada empat jenis kepemimpinan politik: 1) Negarawan, adalah pemimpin politik yang memiliki visi, kharisma, kebijaksanaan praktis, dan kepedulian terhadap kepentingan bersama yang bermanfaat bagi rakyat; 2) Demagog, adalah seseorang yang menggunakan kemampuan kepemimpinannya untuk mengamankan tempat umum dengan mengambil dari ketakutan dan asumsi umum kemudian melanjutkan menggunakan otoritas tersebut untuk kebaikan pribadi mereka; 3) Politisi, adalah pemegang jabatan publik yang rela mengorbankan prinsip-prinsip yang dipegang sebelumnya atau kebijakan yang tidak populer untuk dipilih kembali; 4) Citizen Leader, adalah orang yang mempengaruhi ketertiban meskipun tidak dalam jabatan resmi (Seta Basri, Thomas M Magstadt, 2010;307).

a. Negarawan

Karakter Negarawan meliputi: a) mengejar kesejahteraan umum, pemimpin yang baik dimotivasi oleh kepentingan dan kebutuhan umum; b) kebijakan praktis, seorang pemimpin harus dapat melihat hubungan antara kebijakan yang

diambilnya dengan konsekuensinya; c) kecakapan politik, tanpa kecakapan yang memadai tidak mungkin melakukan tugas-tugas berat; d) kesempatan luar biasa,

66

seorang negarawan lahir dari kondisi kritis pada saat suatu negara sedang dilanda gejolak yang dahsyat; e) nasib baik, diberkati oleh yang maha kuasa untuk

memikul beban negara dan rakyatnya.

b. Demagog

Karakter-karakternya antara lain: a) mengeksploitasi asumsi publik, memihak massa sesuai asumsi yang berkembang, diikuti dengan janji-janji untuk bereaksi terhadap asumsi tersebut jika diberi posisi; b) berulang kali mendistorsi

kebenaran, menyusun narasi untuk memberdayakan posisi mereka relatif

terhadap kebenaran yang dirasakan; c) banyak menebar janji untuk mendapatkan kekuasaan politik; d) tidak menunjukkan pengekangan dalam menggunakan cara-cara yang tidak bermoral serta tidak adanya pertimbangan moral dalam cara-cara-cara-cara yang digunakan untuk memperoleh kekuasaan yang sah; e) memiliki banyak jimat untuk menarik minat masyarakat, yang merupakan cara untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat tersebut; f) berpura-pura peduli untuk mendapatkan posisi yang mereka tuju hanya untuk kemungkinan mengkhianati harapan itu suatu hari nanti

c. Politisi biasa

Politisi biasa adalah seseorang yang karakteristiknya adalah: a) tidak memiliki tujuan atau kemampuan tertentu, meskipun kemampuan apa pun yang mereka miliki mungkin tampak alami atau bahkan dangkal, namun gagal menarik perhatian publik; b) bekerja dalam jangka pendek, lebih fokus pada bagaimana mempertahankan posisi mereka di dalam lingkaran; c) bahkan ketika mereka

67

bermaksud baik, mereka masih berjuang untuk mempertahankan pendirian

mereka pada masalah moral atau etika apa pun; d) mereka juga berjuang dengan manuver risiko politik apa pun, sehingga mereka tetap memposisikan diri pada margin yang aman; e) meskipun pada umumnya mereka relatif menjaga diri dari segala bentuk gratifikasi, mereka dapat dengan mudah dipaksa untuk

melakukannya karena tidak mau menghadapi resiko apapun; f) mereka umumnya tidak lebih baik atau lebih buruk daripada orang lain.

d. Pemimpin warga

Seorang Pemimpin Warga sering memiliki: a) dedikasi yang unik terhadap rakyat, untuk jangka waktu tertentu mereka dapat memimpin segmen massa dalam mempertahankan keyakinan dan posisi mereka dalam kaitannya dengan posisi politik mereka. Mereka sering menemukan diri mereka bertentangan dengan otoritas formal dan menghabiskan waktu mereka untuk itu atau keyakinan mereka; b) mereka juga memiliki daya tarik alamiah yang menarik orang lain untuk memberikan kesetiaan mereka kepada mereka; c) kecakapan di atas rata-rata yang juga menarik orang lain untuk menjadi pengikut mereka. Pertarungan mereka juga memiliki vitalitas yang cukup untuk perjuangan panjang.