• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Teologi Politik

4. Teologi Politik John Calvin

157

Akan tetapi, meskipun orang-orang Kristen harus pula bertanggungjawab kepada pemerintah dan orang-orang Kristen tidak bermaksud melarikan diri dari pemerintah, bukan berarti seuruh perilaku pemerintah harus dituruti dan diterima, akan tetapi perilaku pemerintah yang tidak adil harus ditolak dan rakyat wajib tidak mematuhinya. Sebagaimana disebutkan, ketika Luther ditanya apakah rakyat harus mematuhi pemerintah yang tidak adil, menjawab: No, because no one has right to act contrary to the law. The law is the will og God. You are to obey God.

Dengan demikian dapat disimpulkan, Luther berupaya untuk berpegang kuat pada Alkitab termasuk dalam melihat persoalan hubungan gereja dan negara. Negara menurutnya adalah sebagai alat Tuhan untuk menjaga keamanan, menghilangkan kejahatan dan memberi keuntungan kepada rakyat, termasuk kepada tanah dan negeri (lands) Martin Luther juga berkeyakinan, apabila semua orang sungguh-sungguh menjadi Kristen, maka segala kekerasan, kejahatan dan perbuatan-perbuatan lain akan hilang. Ketaatan terhadap hukum akan menandai terlaksananya kehendak Allah dan di situlah gereja bertugas menjalankan fungsi dan prosesnya dan negara menjaga dengan pedangnya hingga batas waktu yang ditentukan oleh Tuhan. Dengan demikian, kesejahteraan rakyat seluruhnya adalah tugas dan tanggung jawab dari gereja dan negara (pemerintah).

158

asumsi dasar bahwa semua manusia berdosa akibat kejatuhan dan dosa Adam.

Jadi adanya ’dosa warisan’ dibenarkan oleh Calvinisme. Menurut doktrin itu, semua manusia berdosa secara alamiah. Manusia telah terkutuk semenjak dilahirkan ke dunia. Meskipun demikian, menurut Calvin, manusia bisa selamat seandainya ia memperoleh rahmat Tuhan (Grace of God). Untuk itu manusia dituntut untuk selalu berbuat amal kebajikan, hidup asketis demi keagungan Tuhan.

Manusia juga dituntut untuk berjuang tanpa henti, melawan semua nafsu hewaninya. Tetapi Calvin mengingatkan, caranya bukanlah dengan menjalani kehidupan monastik (menjadi biarawan atau biarawati). Ujian keselamatan menurut Calvin selalu ada; dalam aktivitas sehari-hari, maka manusia harus selalu dituntut memiliki kemampuan untuk menghadapi ujian hidup setiap saat. Dalam konteks inilah Calvin merumuskan ajaran tentang asketisme duniawi. Menurut doktrin ini manusia bisa hidup suci tanpa harus menjadi biarawan atau biarawati yang hidup terisolasi dari kehidupan dunia sehari-hari. Setiap orang Kristen dapat menjadi pastor sepanjang hidupnya, di rumah, keluarga, industri dan di lingkungan sosialnya (Suhelmi, 2001).

Calvin lebih radikal dalam melakukan reformas Protestan, hal ini terlihat sebagaimana dikatakan G.H. Sabine, bahwa gereja di Belanda, Irlandia, dan Amerika merupakan alat utama bagi penyebaran pahan yang membenarkan perlawanan di seluruh Eropa Barat. Kenyataan bahwa aliran Calvin khusunya di Prancis dan Skotlandia, berlawanan dengan pemerintah, pada dasarnya dilakukan oleh pengikutnya untuk bertindak murtad suat uhal yang biasa di Jenewa dilakukan, sepanjang ada harapan akan menangnya gerakan reformasi di Prancis.

159

Ajaran Calvin sangat menentang liberalisme konstitualisme atau asas-asas perwakilan. Sebaliknya adanya kebebasan bergerak ajaran yang mengarah ke teokrasi, dan semacam oligarki yang dijalankan persekutuan antara gereja dengan kaum ningrat. Mereka tidak suka akan kebebasan, tetapi suka menjajah dan reaksioner, ini menjadi ciri pemerintahan Calvin di Jenewa, dan pemerintahan puritan di Masschusetts. Jadi Calvin mendasarkan diri politiknya yang menggabungkan negara dengan gereja. Teori Calvin tentang gereja lebih sesuai dengan semangat ajaran keagamaan abad pertengahan yang ekstrem dari sekadar yang dianut kaum Katolik nasional sebab itu pula bagi anggota gereja nasional Calvin dan Jesuit seakan-akan dua nama buat hal yang sama.”

Calvin lebih menempatkan ajaran dua pedang daripada adat Kristen dalam gereja, dan lebih memberikan pimpinan kekuasaan keduniawian kepada pejabat gereja daripada penguasa keduniawian. Hasilnya menyerupai pemerintahan para suci yang tidak mengenal toleransi. Ia lebih merupakan kepercayaan dalam ajaran keduniawian tentang disiplin yang bersifat kuasi-militer. Dengan demikian Calvin menghabiskan kekayaan kata hukum Romawi untuk melukiskan kekuasaan tertinggi dari Tuhan atas dunia dan manusia. Kesusilaan tidak begitu banyak mengajar kasih terhadap sesamanya. Moral inilah yang menjadikan gereja-gereja Calvin bagian dari aliran Protestan yang militan sekali. Keyakinan politik Calvin sendiri condong ke arah keningratan daripada kerajaan, dalam ajarannya ada ruang untuk seorang raja saja, yakni Tuhan sendiri. Asasnya yang terpokok adalah hak gereja untuk menetapkan ajaran yang suci dan menjalankan pengawasan umum dengan bantuan keduniawian. Oleh sebab itu, suatu gereja Calvin, dalam suatu negara yang para penguasanya menolak untuk menerima

160

kebenaran ajarannya serta memaksakan disiplinnya, harus melepaskan kewajiban untuk taat, dan dapat mempertahankan haknya untuk melawan (Sabine, 1963;

Syam, 2007).

Konsepsi politik Calvin secara jelas mengakui adanya perbedaan antara spritual (agama) atau Gereja dan civil (negara), tetapi keduanya memiliki hubungan (relasi). Bagi Calvin, negara adalah civil government dan agama adalah spritual government. The civil government terdiri dari megistrate (penegak hukum), the laws (perangkat hukum) dan the people (rakyat yang tunduk pada hukum).

Civil government tunduk pada Allah karena memang berasal dari Allah (Roma 13) dan harus bertanggung jawab kepada Allah. Namun Calvin menolak pemerintahan teokratis (theocracy state) seperti dalam perjanjian lama, sebab baginya pemerintah adalah abdi Allah dalam konteks untuk melayani seluruh rakyat.

Sedangkan spiritual govemment bersumber kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai raja dan pemimpin rohani serta bertanggung jawab kepada Allah. Tuhan Yesus sebagai raja, karena dia telah menebus orang percaya dari dosa. Dan Yesus sebagai pemimpin rohani, karena keselamatan telah diberikan kepada orang yang percaya pada-Nya. Yesus menjadi sumber hukum dan ajaran kristiani.

Menurut Calvin, Kerajaan spiritual atau dunia Tuhan -dalam istilah Augustinus - berada di dalam jiwa dan mengajarkan kasih dan penyembahan terhadap yang ilahi, sedangkan pemerintahan sipil -Civitas Terrena- yang mengatur prilaku lahiriyah berada di luar jiwa. Kedudukan antara keduanya adalah sama, hanya saja tanggung jawabnya berbeda. Sprititual govemment bertanggung jawab membina umat secara rohani, sedangkan civil govemment

161

berkewajiban menegakkan hukum dan menyejahterakan rakyat. Posisi antara keduanya digambarkan sejajar, namun tidak saling mengintervensi (Walid, 2009).

Agama tidak memperalat negara dan sebaliknya negara (elit politik) juga tidak mempolitisir agama. Keefektifan negara dan agama ditentukan pada relasi dengan Allah dan konsistensi melakukan tanggung jawab dengan benar. Keduanya memiliki relasi secara fungsional yang sinergis, karena memiliki kesamaan bertanggung jawab kepada Allah. Calvin menyebutnya dengan istilah Christiana Politia.

Meski pun dengan jelas Calvin membedakan antara dunia spiritual dengan pemerintahan civil, namun Calvin telah memperlihatkan suatu gambaran yang lebih positif terhadap dunia. Dan disinilah perbedaan antara Calvin dan Augustinus dalam memandang hubungan Gereja dan politik (negara). Pemikirian dan sikap teologis-politik Calvin sanga positif dan akrab dengan pemerintah.

Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Paulus yang banyak mewarnai pikiran-pikirannya. Sebagaimana Paulus, dengan mendasarkan pada Roma 13: 1-7, Calvin sangat menekankan kepatuhan terhadap pemerintah atau penguasa.

Kepatuhan tersebut terkesan sangat berlebihan, bahkan Calvin mengungkapkan, seandainya para penguasa tidak menunjukkan citra (image) Tuhan pun, tiap-tiap orang percaya memiliki kewajiban untuk patuh terhadap mereka (penguasa).

Sebenarnya sikap tersebut dapat mengakibatkan dampak yang sangat negatif dan menjebak umat Kristiani untuk patuh tanpa reserve kepada penguasa.

Namun demikian, meskipun Calvin sangat patuh dan memiliki hubungan mesra dengan pemerintah, ia sama sekali tidak pemah bersikap pasif untuk selalu mengkritisi pemerintah. Bahkan kemarahan dan emosi Calvin bisa muncul

162

terhadap pemerintah atau penguasa yang melawan ketetapan Allah dan mempu-nyai prilaku yang tidak patut terhadap manusia. Calvin tidak segan-segan untuk mengambil jalan yang berseberangan dan berlawanan dengan pemerintah, bila mereka melanggar dan melampaui batas kepatuhan terhadap Allah dan manusia.

Bahkan tidak segan-segan pula, Calvin menggunakan kata-kata to spit; meludah yang menunjukkan suatu perlawanan yang sangat keras walupun berbentuk kritik atau bersenjatakan mulut.

Berdasarkan rumusan-rumusan yang diberikan oleh Calvin di atas, maka tampaknya sulit untuk menentukan bentuk pemerintahan yang dikehendaki Calvin.

De Jonge memberikan kesimpulan mengenai pemikiran politik Calvin dengan tiga bentuk, yakni teokrasi (pemerintahan Tuhan), bibliokrasi (pemerintahan Alkitab) dan kristokrasi (pemerintahan Kristus). Rumusan Calvin tentang hubungan agama dan negara mungkin dapat disederhanakan dengan; ada pemisahan tetapi tidak ada keterpisahan. Tidak ada subordinasi atau separasi total, melainkan ada koordinasi. Dasar teologis dari pandangan Calvin ini adalah oleh karena sekalipun ada pemisahan, tetapi keduanya (gereja dan negara) memperoleh wewenang dari Allah yang satu, dan sekalipun keduanya melaksanakan fungsi yang berbeda-beda, tetapi keduanya melayani rencana Allah yang satu, bagi dunia yang satu dan bagi kemanusiaan yang satu.

Dengan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan, Calvin digolongkan sebagai teolog pertama yang memberi penegasan untuk melakukan kritik terhadap pemerintah, walaupun sikap tersebut -berani berbeda- dengan tradisi-tradisi klasik para pendahulu yang terlihat sangat patuh tanpa reserve terhadap penguasa atau pemerintah (Walid, 2009).

163 5. Teologi Politik Gustavo Gutierrez

Pada masa era modern, teologi Kristen mulai bergerak ke arah yang lebih rasional, bahkan berkembang sebagai ilmu (science). Hal ini berbeda dengan saat-saat awal di mana teologi lebih berorientasi dan dihubungkan dengan kehidupan spiritual yang secara esensial berangkat dari meditasi Alkitab dan dijadikan sebagai hikmad (wisdom). Ini bukan berarti, pada masa modern dimensi spritual menjadi terabaikan dan hilang dari perhatian teologi, tetapi lebih kepada agar terjadi keseimbangan antara teologi sebagai pengetahuan rasional dan teologi sebagai kehidupan spritual. Oleh karena itulah, teologi pembebasan lebih diarahkan fungsinya sebagai refleksi-kritis dalam praksis dengan sasaran kritik pertama yang tertuju pada dirinya. Menurut Gutierrez, theology must be critical reflection on human kind, on basic human principles.

Istilah Teologi Pembebasan pertama kali diperkenalkan Gutierrez ke publik pada bulan Juli tahun 1968 ketika berpidato di hadapan para imam di Kantor Nasional Riset Sosial di Chimbote, Peru (Cavanaugh dan Scott, 2004).

Artikulasi sistematis pertama dari teologi pembebasan, yang didasarkan pada pilihan preferensial bagi orang miskin, dikemukakan dalam Gutierrez dalam tulisannya A Theology of Liberation, diterbitkan pada tahun 1971 (terjemahan bahasa Inggris 1973). Di sini Gutierrez berpendapat bahwa semua teologi harus menjadi "refleksi kritis atas praksis Kristen dalam terang Sabda" (Gutierrez, 1973). Teologi harus didasarkan pada iman yang hidup dan konkrit dari orang-orang Kristen - sebagian besar dari mereka adalah orang-orang miskin, di Amerika Latin dan bahkan di seluruh dunia. Dan menurut definisi, sebagai orang Kristen praksis

164

itu harus diterangi oleh Sabda Tuhan, yang akan menantang dan mengubah tindakan historis kita. Akibatnya, hubungan antara praksis Kristen dan refleksi teologis membentuk “lingkaran hermeneutis” (Cavanaugh dan Scott, 2004).

Bagi teologi pembebasan, refleksi teologi hanya bermakna di dalam terang iman dan harus selalu disertai dengan tindakan pastoral gereja secara konstan.

Dengan menempatkan pelbagai peristiwa sejarah dan perspektifnya yang tepat dan benar, teologi akan membantu upaya perlindungan masyarakat dan gereja dari kekeliruan memperlakukan hal-hal yang sifatnya sementara menjadi sesuatu yang laten dan permanen. Karena itu, refleksi kritis selalu memainkan peranan yang terbalik mengenai suatu ideologi yang merasionalisasi maupun menjustifikasi suatu tatanan sosial dan gereja yang ada (Walid, 2009).

Menurut Gutierrez, inti makna dari teologi pembebasan adalah makna pembebasan:

“Theology as critical reflection on historical praxis is a liberating theology, a theology of liberating transformation of the history of humankind and also therefore that part of humankind -gathered into ecclesia- which openly confesses Chris (Gutierrez, 2001)”

(“Teologi sebagai refleksi kritis atas praksis historis adalah teologi yang membebaskan, teologi transformasi yang membebaskan dari sejarah umat manusia dan juga oleh karena itu bagian dari umat manusia - yang berkumpul dalam gerejawi - yang secara terbuka mengakui Kristus”)

Bahwa suatu teologi yang tidak hanya berhenti dengan refleksi pada dunia, tetapi mencoba mengambil bagian di dalam proses dunia yang melaluinya dunia diperbaharui. Suatu teologi yang terbuka melakukan protes terhadap perampasan martabat manusia, berjuang melawan kesewenang-wenangan terhadap masyarakat banyak (Walid, 2009).

165

Salah satu tema utama dari pergumulan teologi pembebasan adalah hubungan iman dengan tindakan politik. Walid (2009) meyebutkan bahwa bagi penggagas teologi pembebasan, politik merupakan arena pergumulan teologi pembebasan yang didasarkan pada beberapa alasan, 1) asumsi bahwa Yesus sama sekali tidak berkepentingan dengan politik dan hanya pada aspek religius, ditolak. Bagi mereka, asumsi tersebut justru merupakan proses pemberhalaan (iconization) kehidupan Yesus. 2) sebagaimana hasil penulisan Oscar Culmann, Yesus memiliki hubungan dengan gerakan Zealot, terutama koneksi dengan gerakan resistensi religius dan politis terhadap penjajah Roma. Di samping dipahami memiliki kedekatan dengan gerakan Zealot, Yesus juga dipahami mengambil jarak dari gerakan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pemahaman mengenai Kerajaan Allah, yang bagi Yesus merupakan pemberian (gift), tetapi bagi zealot merupakan buah hasil dari jerih payah dan juang mereka. Demikian juga dengan masalah misi universalitas Yesus yang tidak mungkin dikompromikan dengan nasionalisme sempit Zealot. Dalam hal ini , Yesus justru lebih revolusioner dibanding siapapun, 3) Kematian Yesus di kayu sallib adalah karena kewenangan politis.

Inti dari politik Yesus, menurut Gutierrez adalah universalitas dan totalitas yang harus menyentuh sikap yang paling dalam, yang akan memberikan dimensi dan kedalamannya yang benar. Kesengsaraan dan ketidakadilan sosial merupakan penyataan suatu situasi dosa (sinful situation), disintegrasi persaudaraan dan persekutuan. Dengan membebaskan manusia dari dosa, Yesus menyerang akar-akar dari tatanan sosial yang tidak adil. Dengan pemahamannya terhadap teologi sebagai refleksi kritis pada praksis, maka menurut Gutierrez,

166

Allah dalam Alkitab adalah Allah yang menempatkan diri-Nya di sisi orang-orang yang miskin, tertindas dan terlempar dan hal itu bukan disebabkan adanya kualitas iman atau kehebatan rohani pada diri mereka (orang tertindas), melainkan atas kesadaran Allah dan hakikat Allah sendiri yang tidak pemah memiliki kehendak untuk menjadikan ciptan-Nya menderita dan tertindas (Walid, 2009).

Gutierrez berpendapat bahwa, jika dibaca dari perspektif praksis Kristen ini, yaitu, dari solidaritas dengan kaum miskin yang berjuang di Amerika Latin, kitab suci mengungkapkan Tuhan yang cintanya bersifat universal dan serampangan, di satu sisi, dan secara istimewa dalam solidaritas dengan orang miskin, di sisi lain.

Tesis kembar ini tampaknya kontradiktif. Namun, jika dipahami dalam konteks

“refleksi kritis atas praksis Kristiani dalam terang Sabda,” kedua tesis itu akan dilihat sebagai, pada kenyataannya, saling implisit. Universalitas cinta Tuhan menyiratkan cinta preferensial Tuhan untuk orang miskin (Cavanaugh dan Scott, 2004).

Mengatakan bahwa kasih Tuhan itu universal tidak berarti netral.

Sesungguhnya, universalitas kasih Tuhan menghalangi Tuhan yang “objektif”,

“netral”. Jika cinta Tuhan bukanlah abstraksi ahistoris tetapi diwujudkan dalam sejarah, dan jika, terlebih lagi, sejarah itu dicirikan oleh konflik sosial yang terus-menerus di mana mayoritas manusia dieksploitasi secara sistematis dan disangkal martabat mereka oleh minoritas yang kuat, Tuhan yang netral akan menjadi orang yang sangat menolak untuk "berpihak" akan, secara de facto, melayani kepentingan minoritas yang kuat. Jika kasih Tuhan tidak secara aktif bekerja untuk mengubah status quo yang tidak adil, maka “kenetralan” Tuhan (disamarkan

167

sebagai “kasih yang setara untuk semua orang”) hanya dapat melegitimasi ketidakadilan (Cavanaugh dan Scott, 2004).

Pada saat yang sama, Gutierrez selalu menegaskan bahwa pilihan bagi orang miskin adalah "preferensial", bukan "eksklusif". Artinya, kita terpanggil untuk mencintai yang miskin terlebih dahulu karena hanya dengan demikian kita dapat benar-benar mencintai semua orang. Cinta sejati kepada penindas haruslah lahir dari keyakinan bahwa, dalam situasi penindasan, baik penindas maupun korban tidak manusiawi. Akan tetapi, Gutierrez tidak menyatakan bahwa orang miskin, sebagai individu, adalah orang yang "lebih baik" daripada yang berkuasa. Pilihan bagi orang miskin adalah pilihan untuk menempatkan diri pada lokasi sosial tertentu, melihat realitas dari sudut pandang tertentu: perspektif orang miskin, orang buangan, orang terpinggirkan. Kita dipanggil untuk melakukannya, bukan karena orang miskin lebih baik atau lebih bermoral daripada yang berkuasa, tetapi karena Tuhan yang diwahyukan dalam kitab suci adalah Tuhan yang memilih untuk diturunkan secara istimewa di antara orang-orang yang terbuang, Tuhan yang memilih orang miskin untuk menjadi pembawa Kabar Baik, Tuhan yang disalibkan bersama para korban sejarah yang disalibkan. Pilihan preferensial bagi orang miskin, di atas segalanya, adalah pilihan teologis: kita harus memilih yang miskin karena Tuhan memilih yang miskin. Alasannya tidak terletak pada orang miskin itu sendiri tetapi pada Tuhan; bukan pada siapa orang miskin tetapi pada siapa Tuhan itu (Cavanaugh dan Scott, 2004).

Selanjutnya, dalam persoalan hubungan antara agama dan negara, Gutierrez menegaskan bahwa teologi pembebasan tidak berupaya memilah atau memisahkan antara yang spiritual dan temporal atau memisahkan iman dengan

168

politik. Menurutnya, hal ini karena seluruh ciptaan alam semesta dan seluruh keberadaan dari tiap-tiap ciptaan, baik rohani maupun jasmani adalah ciptaan Allah. Sang pencipta sendiri tidaklah pemah memisahkan apalagi mempertentangkan substansi yang diciptakannya, meskipun itu berbeda (Walid, 2009).