• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Teologi Politik

3. Teologi Politik Martin Luther

152

Penguasa negara juga pembela dan penjaga keadilan. Keadilan hakiki bagi keabsahan kekuasaan penguasa, karena tujuan Tuhan menganugerahkan kekuasaan adalah agar ia mewujudkan keadilan di dunia ini. Dengan adanya keadilan akan tercipta perdamaian. Untuk menjadi pembela keadilan itu, penguasaan diberikan hak untuk menetapkan hukum. Penguasa menjadi legislator yang mengatur komunitas politik. Hukum yang dirumuskan penguasa tentu harus berdasarkan prinsip-prinsip hukum kodrat dan tidak boleh bertentangan dengan hukum abadi Tuhan.

Menurut Bogingiari (1965), meskipun kekuasaan datang dan berasal dari Tuhan tidaklah berarti bahwa Thomas menganggap kekuasaan sebagai kebijakan hukum Tuhan. Negara sebagai bentuk simbolik dan akumulasi kekuasaan politik, tetap merupakan suatu organisasi manusia yang terikat pada hukum manusia. Artinya, negara sebagai organisasi manusia bisa semata-mata bersifat sekuler. Ia menjadi bagian dari dunia dan bersifat duniawi semata.

Dominium, menurut Thomas (Bongingiari, 1965):

“dikemukakan oleh ius gentium, yang merupakan hukum manusia” Lebih lanjut Thomas berpendapat' "Kekuasaan dari Tuhan tapi berbagai formasi politik yang dimungkinkan dengan pelaksanaan kekuasaan ini merupakan hasil dari hukum alam, karena negara adalah alami”

153

menegaskan bahwa bila seseorang memiliki keimanan pasti ia akan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Dasarnya menurut Luther mengutip Alkitab bahwa “ pohon yang baik tidak menghasilkan buah yang korup, demikian pula pohon yang korup tidak akan menghasilkan buah yang baik” (Suhelmi, 2001: 151).

Doktrin keimanan dan berbuat baik ini merupakan wacana yang telah didesakralisasi lembaga imamat. Doktrin-doktrin Luther ini telah meruntuhkan mitos-mitos kesucian yang berada di balik kekuasaan gereja dan lembaga imamat. Desakralisasi lembaga kependetaan berdampak jauh. Yaitu mengakibatkan timbulnya tuntutan agar semua manusia dianggap sama di hadapan Tuhan. Selain itu, Luther menolak tradisi keagamaan Katolik yang berlangsung ratusan tahun; hak istimewa pastor membaca menafsirkan kitab suci.

Menurutnya siapa pun pengikut Kristus, bukan hanya kaum pendeta, berhak membaca dan menafsirkan Alkitab. Alkitab harus terbuka bagi semua orang agar isi kebenarannya diketahui semua orang, tidak terbatas kaum pendeta. Sehingga tidak terjadi monopoli kebenaran oleh segelintik pemuka agama. Dalam pamplet berjudul ”Address to the Christian Nobility of the German Nation," Luther secara provokatif menulis: ’Tidak ada perbedaan sama sekali anara pastor dan orang biasa. Setiap orang Kristen berhak menafsirkan Alkitab sesuai cara pandangnya masing-masing dan tidak harus menerima tafsiran gereja; Al Kitab bukan Gereja, yang merupakan otoritas tertinggi doktrin agama”. (Suhelmi, 2001 : 153)

Tokoh Reformasi ini juga tidak setuju prinsip monastisisme yang menghendaki pastor hidup asketis dengan cara menjalani biarawan (biarawati) atau masyarakat spiritualis yang hidup terpencil. Jauh dari hiruk pikuk kehidupan duniawi. Kehidupan eksklusif sebagai biarawan (biarawati) menurut Luther

154

bukanlah cara terbaik untuk mensucikan diri dan mencari jalan keselamata. Luther kemudian menawarkan gagasan worldly ascetism (asketisme duniawi); orang dapat mensucikan dirinya dan memperoleh keselamatan justru dengan terlibat secara intensif dengan berbagai persoalan dunia, asal apapun yang dilakukannya semata-mata untuk tujuan keagungan Tuhan (Suhelmi, 2001).

Luther menolak doktrin universal Paus, menurutnya, kekuasaan Paus tidak universal sebab Paus harus mengakui kekuasaan para pangeran atau penguasa sekuler suatu negara yang memiliki prinsip-prinsip kenegaraan yang berdasarkan nasionalisme. Ia juga menuntut agar dibedakannya otoritas politik dengan otoritas agama. Paus harus mengakui otoritas politik penguasa negara dan tidak mencampuradukkannya dengan otoritas agama. Tuntutannya berhasil, gereja kemudian berada di bawah otoritas negara atau menjadi subordinasi serta bagian integral dari negara, ini berarti telah terjadi pemisahan yang tegas antara kekuasaan agama dengan kekuasaan politik (Suhelmi, 2001).

Dalam memandang kekuasaan negara atau pemerintahan, mengenai wajib

“taat pasif” dijelaskan olehnya:

“Bagi siapa yang hendak menjadi orang Kristen, sama sekali tidak benar untuk menempatkan diri berlawanan dengan pemerintahnya, apakah pemerintahnya bertindak adil atau tidak adil. Tidak ada perbuatan yang lebih daripada tunduk dan melayani semua orang yang diletakkan di atas kita sebagai orang yang memerintah. Juga karena alasan inilah ketidaktaatan merupakan perbuatan lebih jahat daripada pembunuhan, ketidaksusilaan, pencurian serta ketidakjujuran dan segalanya yang dapat digolongkan padanya”. (Syam, 2007)

Bagi Luther, seorang Kristiani yang benar hidup dan bekerja di dunia tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk tetangga, maka pedang sangat diperlukan dan memang perlu bagi seluruh dunia untuk memelihara perdamaian, untuk

155

menghukum mereka yang berdosa dan untuk menghalangi kejahatan. Ia pun harus dengan sukarela benar tunduk pada pengaturan pedang, membayar pajak, membantu, dan berbuat apa pun untuk melanjutkan keberadaan pemerintahan, sehingga ia dapat dipertahankan dan diakui dengan kehormatan dan rasa takut (Syam, 2007).

Menurut G.H. Sabine, pandangan politik Luther lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan dan taat pasif, baginya bahwa perlawanan terhadap kekuasaan sipil dalam semua keadaan moral adalah salah. Luther pemikirannya lebih liberal daripada Calvin, ia telah mendirikan gereja-gereja negara yang dikuasai oleh kekuasaan politik yang bersifat sekuler (Syam, 2007).

Luther mengajarkan pemisahan yang tajam antara gereja dan negara (politik).

Gereja dan negara adalah two highest gift of God on earth dan karenanya harus to be honored and esteemed with all reserve.24 Dengan demikian, kesejahteraan rakyat seluruhnya sepenuhnya adalah tanggung jawab dan tugas dari gereja dan negara (pemerintah). Luther dengan tegas membagi dua jenis hukum terhadap kedua institusi tersebut yaitu Khotbah di Bukit adalah untuk gereja dan hukum Taurat adalah bagi negara. Dengan itu, kepada negara diberikan pedang sekaligus wewenang penggunaanya untuk menghancurkan dan menghapuskan kejahatan, tetapi gereja sama sekali tidak boleh menggunakan pedang (Walid, 2009).

Sama dengan Calvin, Luther melihat eksistensi negara dari perspektif kejatuhan manusia ke dalam dosa dan oleh karena itu negara termasuk dalam ordo pemeliharaan. Hanya saja, Calvin lebih positif dalam memandang negara dari pada Luther. Luther melihat bahwa eksistensi negara adalah sebagai

156

hukuman atas dosa (penalti/ofsin), namun Calvin lebih dari itu. Eksistensi negara selain sebagai hukuman atas dosa, juga sebagai remedy of sin. Hal ini terjadi karena Calvin mempunyai pandangan yang lebih positif terhadap hukum Taurat.

Sebagaimana Calvin, Luther juga memiliki kecenderungan yang kuat untuk rela menderita di bawah tirani dari pada memberontak dan membuka kemungkinan kemungkinan bagi anarki. Namun demikian, Calvin melangkah lebih jauh dari pada Luther, ketika penguasa politik menyalahgunakan kekuasaannya, maka lapisan kekuasaan yang ada di bawahnya; the lesser magistrates mempunyai wewenang untuk melawa (Walid, 2009).

Di sini Luther juga mengambil paradigma pemikiran yang sama dengan Calvin tentang teologi-politik yaitu dari teologi dari Paulus, khususnya Roma 13: 1-7 dan 1 Petrus 2: 13-14. Luther menekankan ketaatan terhadap pemerintah atau penguasa. Ia juga mengembangkan istilah yang sebenarnya tidak berbeda dengan rumusan Paulus, bahwa pemerintah itu kehendak dan perintah Allah dan sekaligus berupaya membangun hukum untuk itu, sebagaimana ungkapan Luther;

“We mustfimly establish law and sword that no one doubt that it is in the world by God's will and ordinance.”

Meskipun dengan tegas Luther memisahkan antara gereja dan negara (sekularisasi), namun orang Kristen tidak berarti tidak memiliki tanggung jawab sama sekali terhadap negara. Menurut Luther, orang Kristen juga memiliki fungsi dalam setiap negara, sebab sebagai warga negara, mereka juga bertanggung jawab kepada negara. Luther tidak menghendaki kekristenan yang melarikan diri dari dunia ini, tetapi harus menatanya sedemikian rupa

157

Akan tetapi, meskipun orang-orang Kristen harus pula bertanggungjawab kepada pemerintah dan orang-orang Kristen tidak bermaksud melarikan diri dari pemerintah, bukan berarti seuruh perilaku pemerintah harus dituruti dan diterima, akan tetapi perilaku pemerintah yang tidak adil harus ditolak dan rakyat wajib tidak mematuhinya. Sebagaimana disebutkan, ketika Luther ditanya apakah rakyat harus mematuhi pemerintah yang tidak adil, menjawab: No, because no one has right to act contrary to the law. The law is the will og God. You are to obey God.

Dengan demikian dapat disimpulkan, Luther berupaya untuk berpegang kuat pada Alkitab termasuk dalam melihat persoalan hubungan gereja dan negara. Negara menurutnya adalah sebagai alat Tuhan untuk menjaga keamanan, menghilangkan kejahatan dan memberi keuntungan kepada rakyat, termasuk kepada tanah dan negeri (lands) Martin Luther juga berkeyakinan, apabila semua orang sungguh-sungguh menjadi Kristen, maka segala kekerasan, kejahatan dan perbuatan-perbuatan lain akan hilang. Ketaatan terhadap hukum akan menandai terlaksananya kehendak Allah dan di situlah gereja bertugas menjalankan fungsi dan prosesnya dan negara menjaga dengan pedangnya hingga batas waktu yang ditentukan oleh Tuhan. Dengan demikian, kesejahteraan rakyat seluruhnya adalah tugas dan tanggung jawab dari gereja dan negara (pemerintah).