• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Teologi Politik

2. Teologi Politik Thomas Aquinas

142

sedangkan negara Tuhan (Gereja) bersifat suci dan abadi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa antara agama dan negara dalam pemikiran Augustinus adalah berbeda dan terpisah (Walid, 2009). Inilah yang mendasari umat Kristiani untuk mengadakan perbedaan antara agama da negara (politik) atau sekularisasi dan juga penolakan terhadap kehidupan politik (negara) yang dianggapnya kotor dan tidak suci.

143

sependapat dengan Aristoteles, bahwa manusia adalah bagian integral dari alam.

Karena itu, manusia tidak hanya bergantung dan membutuhkan manusia lain (makhluk sesama jenis) melainkan juga berbagai substansi alam—hewan, tumbuhan, mineral, lautan, udara, dan lain-lain—yang berada di atas dunia ini.

Dalam diri manusia terdapat juga kecenderungan kodrati agar segala sesuatu dapat menjadi bagian dari dirinya (menjadi miliknya), sebagaimana hewan pun memiliki karakter kodrati demikian. Juga, terdapat kecenderungan dalam diri manusia untuk menemukan, mencari dan mempertahankan apa yang dianggapnya baik sesuai dengan akal budinya. Maka tak mengejutkan menurut Thomas bahwa secara alamiah manusia memiliki keingintahuan perihal kebenaran tentang Tuhan dan ingin hidup bermasyarakat. Itu sebabnya, proses pencarian kebenaran tentang Tuhan tidak akan pernah lenyap dari dalam diri manusia. Manusia selalu dirundung cinta kebaikan dan kebenaran. Maka begitu sifat alamiah manusia itu hilang, identitasnya sebagai manusia akan lenyap dengan sendirinya. Bertitik tolak dari pandangan seperti ini Thomas mengklasifikasi manusia menjadi tiga kategori: man- the substance, man-the animal dan man-the moral agent.

Dalam diri man-the substance, manusia memiliki watak ingin memiliki segala sesuatu yang membuatnya bahagia, sedang dalam man-the animal manusia memiliki kecenderungan hewani—kejam, bengis, tamak, rakus, suka membunuh dan mengkhianati, terhadap sesamanya. Dalam istilah Hobbes, manusia demikian menjadi serigala bagi manusia lainnya (Homo homoni lupus). Berbeda dengan keduanya, man-the moral agent memiliki watak cinta kebenaran, kebaikan dan saling mencintai sesama manusia dan isi alam lainnya. Ia memiliki sifat konstruktif

144

dan positif dari segi moralitas. Manusia terakhir inilah yang diyakini Thomas sebagai agen moralitas umat manusia. Dalam konteks pengaturan ketiga jenis watak kodrati manusia itu, suatu negara yang memiliki kekuasaan, dibutuhkan.

Negara diperlukan untuk mengontrol kecenderungan negatif man-the substance dan man-the animal serta mengembangkan dan memperkuat posisi man-the moral agent.

Kedua, sisi lain watak alamiah manusia adalah manusia bertindak sesuai dengan inteligensianya, karena manusia adalah makhluk yang berpikir. Maka manusia berbuat dan berperilaku dituntun oleh kemampuan daya pikirnya. Tidak sekadar digerakkan oleh instingnya seperti dalam perilaku binatang. Pandangan Thomas ini sejalan dengan Augustinus dan merupakan refleksi optimisme doktrin Kristiani. Thomas mengatakan: "Setiap manusia dianugerahkan dengan akal dan dengan cahaya akallah tindakannya diarahkan ke tujuan akhirnya.”

Thomas berpendapat bahwa manusia memang merupakan makhluk inteligen dan rasional, tetapi juga makhluk sosial. Itu berarti apabila manusia sebagai individu bisa bersifat rasional, tetapi manakala menjadi manusia sosial—hidup bermasyarakat— maka pengarahan otoritas negara diperlukan agar usaha mengejar tujuan dan kepentingannya tidak menimbulkan konflik sosial. Thomas berpendapat: "Dalam hubungan sosial berbagai kepentingan seorang manusia mengambil dimensi yang irasional ketika kepentingan tersebut diadu dengan kepentingan orang lain. Jika kepentingan yang berlainan tersebut harus diselesaikan secara damai manusia—tak memandang seberapa rasionalnya mereka sebagai individu—harus menerima kewenangan politik.”

145

Naluri sosial manusia merupakan (cikai bakal terbentuknya otoritas politik atau negara.) Di sini nampak pengaruh Aristoteles pada Thomas. Namun, pemikiran Thomas mengenai konsep otoritas politik atau negara melebihi Aristoteles. Bagi Aristoteles—atau tradisi rasional Yunani, pada umumnya – eksistensi negara sepenuhnya bersifat sekuler duniawi, kini dan di sini. Kehidupan kenegaraan sepenuhnya merupakan refleksi kehidupan manusia sehingga kebahagiaan yang hendak dicapai melalui pembentukan negara hanyalah kebahagiaan di dunia ini.

Ini karena tradisi rasionalitas Aristoteles cenderung menegasi eksistensi kehidupan lain di luar kehidupan dunia. (Suhelmi, 2001).

Thomas menegaskan, bahwa kehidupan manusia itu tidak hanya di dunia, kini dan di sini. Ada kehidupan lain yang kekal, abadi yang akan dialami manusia setelah kematiannya di dunia yaitu kehidupan akhirat. Nilai-nilai kebajikan spiritual singat menentukan nasib manusia di alam lain ini. Tanpa menyalahkan konsepsi Aristoteles, Thomas menilai bahwa kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hendak dicapai melalui negara duniawi itu hanyalah satu langkah pendek untuk mencapai tujuan akhir kebahagiaan manusia yang kekal, yaitu kebahagiaan bersama Tuhan. Jadi, berbeda pula dengan Aristoteles yang menilai kebahagiaan ditemukan dalam diri manusia, Thomas beranggapan kebahagiaan sejati ditemukan dalam diri Tuhan (Suhelmi, 2001).

Ketiga, lazim diterima pendapat bahwa seorang manusia sederajat berhadapan dengan manusia lainnya. Posisi sederajat itu diterima manusia sejak pertama kalinya manusia dilahirkan ke dunia. Kesamaan derajat itu menurut Thomas berkonotasi teologis dalam arti bahwa manusia sederajat di mata Tuhan. Di sisi lain manusia jelas memiliki perbedaan. Ada sebagian manusia yang lebih dari

146

manusia lain dalam penguasaan kekayaan material, kekuatan fisik, kemampuan mengetahui kebajikan dan kebenaran serta potensi-potensi pengembangan dirinya.

Berdasarkan premis itu, Thomas berkesimpulan bahwa kebanyakan manusia harus menerima kepemimpinan segelintir manusia yang memiliki kelebihan-kelebihan itu dan memiliki keabsahan sebagai penguasa-penguasa politik Melalui merekalah nilai- nilai kehidupan yang baik dapat ditransmisikan kepada orang- orang kebanyakan. (Suhelmi, 2001).

Alam menyeleksi manusia yang patut menjadi penguasa politik itu nampak dari kenyataan bahwa ada segelintir manusia yang diberikan kelebihan dan bakat untuk berkuasa atau menjadi pemimpin. Mereka secara alamiah sejak lahir, telah memiliki watak penguasa dan kepemimpinan. Di lain pihak ada sebagian (besar) manusia yang ditentukan alam memiliki kemampuan melaksanakan tugas dan kewajiban belaka dan tidak memiliki bakat kepemimpinan. Jadi alam telah menentukan kelas superior dan kelas inferior dalam struktur kenegaraan dan kekuasaan politik. Kelas superior inilah yang dinamakan Thomas sebagai nature rulers. Mereka adalah kelompok manusia terbaik dimana kekuasaan yang mereka miliki given by nature.

Maka, kemunculan penguasa politik dalam negara ditentukan secara alamiah, dan bukan produk dari rekayasa politik. Gagasan Thomas ini menampakkan pengaruh kuat Plato.

Hukum kodrat inilah yang mendasari perilaku dan aspiras manusia membentuk negara. Bertitik tolak dari hukum kodrat ini, Thomas berpendapat bahwa eksistensi negara bersumber dari sifat alamiah manusia. Salah satu sifat alami

147

manusia adalah wataknya yang bersifat sosial dan politik. Manusia adalah makhluk sosial dan politik. Thomas dalam hal ini nampak dipengaruhi Aristoteles.

Tetapi Thomas memodifikasi konsep binatang politik Aristoteles sehingga cocok dengan filsafat dan doktrin-doktrin Kristiani. Thomas tidak hanya menonjolkan aspek insting hewani sebagaimana Aristoteles, melainkan juga menekankan aspek akal budi yang ada di dalam manusia. Insting dan akal budi merupakan dua esensi kodrati yang menjadikan manusia makhluk politik (Suhelmi, 2001).

Negara merupakan suatu sistem tujuan yang tatanan hierarkis dimana yang berada di atas dan lebih tinggi memerintah, menata, membimbing dan mengatur yang berada bawah atau lebih rendah. Konsep hierarki menjadi penting dalam pemikiran Thomas karena dalam hubungan negara duniawi dengan kekuasaan Tuhan harus dipahami dalam konteks hierarkis. Dalam konteks hierarkis, negara dunia (kekuasaan raja atau kaisar, penguasa duniawi) merupakan subjek dari kekuasaan Tuhan. Ini karena tujuan duniawi hanya bersifat perantara, bukan tujuan akhir dari hidup manusia. Tujuan akhir hidup manusia, yaitu kesenangan, kebajikan bersama Tuhan dan penyelamatan jiwa hanya bisa dicapai melalui kekuasaan Tuhan. Manifestasi dari kekuasaan Tuhan di dunia ini adalah para pemuka agama, pelanjut Santo Petrus, dan Paus (Suhelmi, 2001).

Thomas Aquinas juga melihat negara sebagai suatu sistem barter, ini sama dengan pandangan Plato dan Aristoteles. Pelayanan itu untuk mencapai kebahagiaan dan kebaikan bersama. Menurutnya, setiap kelas sosial, bekerja sesuai dengan profesionalismenya masing-masing. Hasil kerja dari kelas atau kelompok sosial yang satu ditukar dengan lainnya, adanya saling tukar (mutual exchange) adalah manifestasi dari kehidupan kolektif manusia sampai tingkat

148

negara sekalipun ini tidak ubahnya bagai ruh dengan jasad, negara dengan alam.

Negara harus tunduk dengan alam, bila sebaliknya hanya akan membawa kepada kehancuran (Syam, 2007).

Mengenai penguasa atau kepemimpinan, Thomas Aquinas berkesimpulan kebanyakan manusia harus menerima kepemimpinan segelintir manusia yang memiliki berbagai kelebihan dan keabsahan sebagai penguasa politik (Suhelmi, 2001; Syam, 2007). Melalui merekalah nilai-nilai kehidupan yang baik dapat ditransmisikan kepada orang-orang kebanyakan Keharusan bagi seorang penguasa negara, memiliki kewajiban-kewajiban terhadap rakyat yang dikuasakannya. Tugas penguasa negara yang utama adalah mengusahakan kesejahteraan dan kebajikan hidup bersama, ini termasuk bagaimana negara mengusahakan manusia dapat menerima atau mencapai kebahagiaan hidup abadi setelah mati. Itu berarti negara memiliki fungsi spiritual keagamaan yang bersifat sakral. Penguasa juga pembela dan penjaga keadilan. Keadilan memiliki makna hakiki bagi keabsahan kekuasaan penguasa, karena tujuan Tuhan menganugerahkan kekuasaan adalah agar ia mewujudkan keadilan di dunia ini.

Dengan adanya keadilan akan tercipta perdamaian (Syam, 2007).

Untuk itu, Thomas Aquinas memiliki pandangan penguasa dan negara memerlukan suatu hukum yang dirumuskan penguasa yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum kodrat dan tidak boleh bertentangan dengan hukun abadi Tuhan.

Apabila penguasa negara membuat hukum yang bertentangan dengan hukum kodrat atau hukum Tuhan, rakyat diberikan hak untuk menentangnya atau pembangkangan diri (civil disobedience). Menurut Frans Magnis Suseno (1994),

149

pemikiran Thomas Aquinas ini telah memberikan dasar bagi masyarakat untuk bersifat kritis terhadap negara.

Apabila monarki bentuk negara terbaik, maka tirani menurut ahli pikir dan teolog ini merupakan bentuk negara terburuk. Sekali seorang berhasil merebut kekuasaan dan membentuk negara tirani, maka tidak ada pilihan bagi rakyat kecuali kepatuhan yang total karena tiraninya itu. “ Untuk menghindari penguasa tirani itu, diperlukan pengawasan dan kontrol, yang dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu, Pertama, bagi raja atau penguasa tunggal yang memerintah negara hendaknya harus dianggap berdasarkan pemilihan oleh pemimpin masyarakat. Dipilih berdasarkan kualitas pribadi yang dimilikinya. Di sini ia menolak kekuasaan yang didasarkan kepada warisan atau keturunan (hereditypower); kedua, mekanisme lain untuk menghindari tirani bagi seorang penguasa adalah dengan membatasi kekuasaan penguasa tunggal bersangkutan;

ketiga, tindakan tirani dapat dihindari manakala dalam sistem pemerintahan terdapat pemilikan kekuasaan secara bersama-sama. Maksudnya adalah sharing of power dalam pemerintah (Syam, 2007; Suhelmi, 2001).

Berpijak pada ajaran Kristus, Thomas menilai cara menumbangkan penguasa tiran dengan membunuhnya tidak sesuai dengani ajaran Kristiani, khususnya ajaran Santo Petrus. Rasul Kristiani ini mengajarkan bahwa umat Kristiani hendaklah patuh kepada penguasa mereka, terlepas apakah penguasa itu jahat ataukah lembut dan baik hati. Mengutip kata-kata Petrus, Thomas mengatakan, "Sebab bila seseorang menderita karena ketidakadilan dan ia menanggungnya dengan kesadaran (dan keikhlasan), ini merupakan rahmat Tuhan bagi dirinya” (1 Pet. 2: 18-19).

150

Sebaliknya, Thomas Aquinas berpendapat, bila penguasa tirani dibunuh memang dapat membebaskan masyarakat dari tirani penguasa yang terbunuh itu, namun si pembunuh tirani itu apabila menjadi penguasa akan dibunuh juga oleh orang lain, artinya sebuah kekuasaan dan penguasa yang berakhir dengan kekerasan-revolusioner, penguasa yang muncul dari pasca-revolusioner juga.

Berpijak dari ajaran Kristus, Thomas Aquinas memiliki prinsip bahwa menumbangkan suatu tirani dengan cara kekerasan tidak sesuai dengan ajaran Kristiani, khususnya ajaran Santo Petrus (Syam, 2007; Suhelmi, 2001).

Kepatuhan pada penguasa sangat diperintahkan ajaran agama Kristiani; “Sebab bila seseorang menderita karena ketidakadilan dan ia menanggungnya dengan kesadaran (dan keikhlasan), ini merupakan rahmat Tuhan bagi dirinya.” (Pet. 2:18-129). Sikap pasrah, luhur budi, patuh dari dari orang-orang Kristiani dalam sejarah perkembangan agama ini, telah membuat banyak penguasa dan kaum bangsawan Romawi simpati kemudian tertarik masuk agama Kristiani (Syam, 2007).

Senjata lain untuk menghadapi penguasa yang tirani dalam suatu negara, Thomas Aquinas menyeru hendaklah berdoa, agar penguasa tirani berubah hatinya, Hati yang bengis, kejam berubah menjadi hati yang lembut serta baik hati;

”hati seorang raja (penguasa) berada dalam tangan Tuhan, ke arah manapun Ia kehendaki, Ia dapat melakukannya.” Ini dibuktikannya dengan penguasa Assuerus yang terkenal kejam yang telah menyiapkan kematian bangsa Yahudi ternyata berubah hatinya menjadi lemah lembut dan baik hati (Syam, 2007; Suhelmi, 2001). Munculnya penguasa dan negara tirani tetap dalam skenario Tuhan. Raja-raja zalim datang ke dunia seizin Tuhan dengan maksud menghukum rakyat yang

151

berdosa dan merupakan ujian ketabahan bagi orang yang beriman. Melalui penguasa tiran, orang beriman dituntut untuk selalu meningkatkan kesalehan mereka dan ingat kepada Tuhan. Hanya dengan selalu membersihkan diri dari dosa-dosa, Tuhan akan menghilangkan penguasa tiran dari dunia ini (Suhelmi, 2001).

Tuhan adalah penguasa alam semesta. Dan karena kekuasaan politik seorang penguasa diberikan kepada golongan manusia terbaik, maka merupakan anugerah Tuhan. Semua bentuk kekuasaan apa pun, seperti dikatakan Paulus, adalah datang dan berasal dari Tuhan penguasa alam semesta. Kekuasaan politik tidak lepas dari ketentuan itu maka ia, demikian Thomas, merupakan suatu lembaga yang bersifat ketuhanan. Kekuasaan politik bersifat sakral dan karena itu harus dipergunakan sesuai dengan kehendak Tuhan.

Berdasarkan basis teologis normatif itu, Thomas kemudian merumuskan bagaimana seharusnya kekuasaan dipergunakan dan tujuan- tujuan, serta tugas-tugas penguasa politik ditetapkan. Kekuasaan, karena berasal dari Tuhan, haruslah dipergunakan demi kebaikan bersama dan tidak dibenarkan untuk kepentingan pribadi Penyimpangan kekuasaan tidak dibenarkan, karena itu berarti pengingkaran terhadap anugerah Tuhan.

Karena doktrin Kristiani meyakini keberadaan alam akhirat yang abadi, menurut Thomas tugas negara juga mencakup usaha bagaimana manusia dapat mencapai kebahagiaan hidup abadi setelah mati. Itu berarti negara memiliki fungsi spiritual keagamaan yang bersifat sakral. Negara, dengan demikian dituntut menyediakan sarana ibadah dan menciptakan iklim yang kondusif bagi terwu-judnya masyarakat spiritual di dunia ini.

152

Penguasa negara juga pembela dan penjaga keadilan. Keadilan hakiki bagi keabsahan kekuasaan penguasa, karena tujuan Tuhan menganugerahkan kekuasaan adalah agar ia mewujudkan keadilan di dunia ini. Dengan adanya keadilan akan tercipta perdamaian. Untuk menjadi pembela keadilan itu, penguasaan diberikan hak untuk menetapkan hukum. Penguasa menjadi legislator yang mengatur komunitas politik. Hukum yang dirumuskan penguasa tentu harus berdasarkan prinsip-prinsip hukum kodrat dan tidak boleh bertentangan dengan hukum abadi Tuhan.

Menurut Bogingiari (1965), meskipun kekuasaan datang dan berasal dari Tuhan tidaklah berarti bahwa Thomas menganggap kekuasaan sebagai kebijakan hukum Tuhan. Negara sebagai bentuk simbolik dan akumulasi kekuasaan politik, tetap merupakan suatu organisasi manusia yang terikat pada hukum manusia. Artinya, negara sebagai organisasi manusia bisa semata-mata bersifat sekuler. Ia menjadi bagian dari dunia dan bersifat duniawi semata.

Dominium, menurut Thomas (Bongingiari, 1965):

“dikemukakan oleh ius gentium, yang merupakan hukum manusia” Lebih lanjut Thomas berpendapat' "Kekuasaan dari Tuhan tapi berbagai formasi politik yang dimungkinkan dengan pelaksanaan kekuasaan ini merupakan hasil dari hukum alam, karena negara adalah alami”