• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Etos Kerja Islam

Dalam dokumen Mengelola Keragaman Islam dan Relasi A (1) (Halaman 47-61)

MEMBENTUK MUSLIM ACEH: TEUNGKU DAYAH DAN BALAI PENGAJIAN DI ACEH TIMUR

B. Pengertian Etos Kerja Islam

Etos berasal dari kata Yunani, ethos. artinya : ciri, sifat, atau kebiasaan, adat istiadat, atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang dimiliki seseorang, suatu kelompok orang atau bangsa.7 Menurut Greetz, etos merupakan sikap mendasar manusia terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Etos adalah aspek evaluatif yang bersifat menilal.8 Koentjoroningrat mengemukakan pandangannya bahwa etosmerupakan watak khas yang tampak dari luar, terlihat oleh orang lain.9 Soerjono Soekanto mengartikan etos antara lain : a. nilai-nilai dan ide-ide dari suatu kebudayaan, dan b. karakter umum suatu kebudayaan.10 Menurut Nurcholish Madjid, etos berasal dari bahasa Yunani (ethos), artinya watak atau karakter. Secara lengkap etos ialah karakter dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Dan dari kata etos terambil pula perkataan “etika” yang merujuk pada makna “akhlak” atau bersifat akhlaqiy, yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok manusia termasuk suatu bangsa.11 Musa Asy’arie menjelaskan kata "etos" bisa dikaitkan dengan individu selain dikaitkan dengan masyarakat.12 Dari pengertian-pengertian diatas, etos adalah karakter dan kebiasaan manusia yang dipancarkan oleh sikap mendasar dalam dirinya.

DalamKamus Besar Bahasa Indonesia, kerja artinva kegiatan melakukan sesuatu.13 Sementara itu El-Qussy seorang pakar i1mu Jiwa berkebangsaan Mesir menerangkan bahwa kegiatan atau perbuatan manusia ada dua jenis. Pertama perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan mental, dan kedua tindakan yang

7 Mochtar Buchori, Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di

Indonesia,Jakarta:IKIP Muhammadiyah Press, 1994, hlm, 6; juga lihat Edward Artin et. alWebster The New Internasional Dictionary,(USA : G & C Merriam CO) Vol.1. 1981, hlm.878

8 Taufik Abdullah. ed., Agama, Etos kerja dan Pembangunan

Ekonomi,(Jakarta: LP3ES, 1993). Cet. ke-5, h1m. 3

9Koentjoroningrat, Rintangan-rintangan Mental Dalam Pembangunan

Ekonomi(Jakarta : LIPI, 1980), hlm. 231

10Soejono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: CV. Rajawali,1983),

hlm.174

11Nurcholish Madjid, Islam Dokrin dan Peradaban. (Jakarta Yayasan

Paramadina, 1995). Cet, Ke-3, hlm.410

12Musa Asy’aie,Islam Etos kerja Dan Pemberdayaan Ekonomi Ummat,

(Yogyakarta, Lesfi, 1997), hlm.33

13Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasai

dilakukan secara tidak sengaja. Jenis pertama mempunyai ciri kepentingan, yaitu untuk mencapai maksud atau mewujudkan tujuan tertentu. Sedangkan jenis kedua adalah gerakan random (random movement) seperti terlihat pada gerakan bayi kecil yang tampak tidak beraturan, gerakan refleks dan gerakan-gerakan lain yang terjadi tanpa dorongan kehendak atau proses pemikiran.14 Kerja yang dimaksud di sini adalah kerja menurut arti yang pertama. Yaitu kerja yang merupakan aktivitas sengaja, bermotif dan bertujuan.

Etos Kerja, menurut Mochtar Buchori dapat diartikan sikap dan pandangan terhadap kerja, kebiasaan kerja, ciri-ciri atau sifat- sifat mengenai cara kerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok manusia atau suatu bangsa.15Beliau juga menjelaskan bahwa etos kerja merupakan bagian dari tata nilai (value system). Etos kerja seseorang adalah bagian dari tata ailai individualnya. Demikian pula etos kerja suatu kelompok masyarakat atau bangsa, ia merupakan bagian dari tata nilai yang ada pada masyarakat atau bangsa itu.16 Sejalan dengan itu, Mochtar Buchori mengemukakan adanya kemungkinan etos kerja manusia terwujud sebagai hasil, dari suatu proses sosial historik. Berarti etos kerja suatu bangsa bersifat dinamis sehingga dapat mengalami pasang surut.17 Musa Asy'arie pun berpendapat, etos kerja merupakan bagian dari suatu kebudayaan. la dibentuk oleh proses kebudayaan panjang yang kemudian membentuk kepribadian. Maka jika masyarakat tertentu mempunyai etos kerja yang berbeda dari masyarakat lainnya, hal itu disebabkan oleh proses panjang kebudayaan dan tantangan yang dialami.18

Dengan demikian, sepanjang etos kerja dipahami sebagai bagian dari budaya, upaya pembinaan dan peningkatan etos kerja individu atau masyarakat dapat dilakukan. Dengan perkataan lain dapat ditransformasikan lewat pendidikan. Etos kerja adalah sifat, watak, dan kualitas kehidupan batin manusia, moral dan gaya estetik serta suasana batin mereka, merupakan sikap mendasar

14Abdul Aziz El-Qussy, Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa Mental.Terj. Dr.

Zakiah daradjat. (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 100-101.

15Mochtar Buchori, Penelitian Pendidikan dan pendidikan Islam di

Indonesia,(Jakarta, IKIP Muhammadiyah Press, 1994), hlm. 6

16Ibid., hlm 7 17Ibid, hlm. 8

18Musa Asy’arie,Islam Etos kerja Dan Pemberdayaan Ekonomi Ummat,

terhadap diri dan dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupan nyata. Etos kerja adalah pancaran dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadap kerja.19

Dari sejumlah definisi dan penjelasan di atas yang beragam, dapat dipahami bahwa etos kerja adalah karakter dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang tercermin dari sikap hidup manusia yang mendasar. Selanjutnya dimengerti bahwa timbulnya kerja dalam konteks ini adalah karena termotivasi oleh sikap hidup mendasar itu. Etos kerja terdapat pada individu dan masyarakat.

Dari uraian di atas, pelacakan arti etos kerja islami tentunya dapat dilanjutkan, dengan menggali kata kunci “sikap hidup mendasar” manusia. Sikap hidup mendasar apa dan bagaimana yang secara natural memberikan motivasi hingga dapat membentuk suatu etos, karakter dan kebiasaan. Dengan adanya kata islami pada ungkapan “etos kerja islami”, sikap hidup apa dan bagaimana yang niscaya timbul?. Dalam sebuah buku berjudul Etos Kerja Islami, dijelaskan Proses terbentuknya etos kerja (termasuk etos kerja Islami), adalah seiring dengan kompleksitas manusia yang bersifat kodrati, melibatkan kondisi, prakondisi dan faktor-faktor yang banyak: fisik biologis, mental psikis, sosio kultural dan mungkin spiritual transendental. Jadi bersifat kompleks dan dinamis.

Untuk memberikan keterangan lebih jelas bagaimana etos kerja manusia terbentuk, (tanpa menyertakan faktor-faktor yang mempengaruhi) dapat digambarkan sebagai berikut :

Paradigma terbentuknya etos tanpa keterlibatan agama

19ibid, hlm. 155

Akal dan/ atau pandangan hidup/ nilai– nilai yang diyakini Sikap hidup mendasar terhadap kerja Etos Kerja

Paradigma terbentuknya etos kerja Islami

Dua gambar di atas menerangkan bagaimana etos kerja non- agama (gambar 1) dan etos kerja islami (gambar 2) terbentuk secara garis besar tanpa menyertakan persoalan atau faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, seperti mendorong, menghambat atau menggagalkannya. Ternyata etos kerja itu bukan sesuatu yang didominasi oleh urusan fisik lahiriah. Etos kerja merupakan buah atau pancaran dari dinamika kejiwaan pemiliknya atau sikap batin orang itu. Membayangkan etos kerja tinggi tanpa kondisi psikologis yang mendorong mirip dengan membayangkan etos kerja robot atau makhluk tanpa jiwa.

Proses terbentuknya etos kerja (termasuk etos kerja Islami), seiring dengan kompleksitas manusia yang bersifat kodrati, melibatkan kondisi, prakondisi dan faktor-faktor yang banyak: fisik biologis. mental psikis,sosial kultular dan mungkin spiritual transendental. Jadi bersifat kompleks serta dinamis.20 Dalam konteks ini, tentu bukan etos kerja demikian yang dikehendaki. Lebih dari itu perlu dijadikan catatan penting bahwa manusia adalah makhluk biologis, sosial, intelektual, spiritual dan pencarian Tuhan.21 Berjiwa dinamis. Oleh karena itu manusia dalam hidupnya termasuk dalam kehidupan kerja sering mengalami

20Ahmad Janan Asifudin. Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja

Islami,(Surakarta, Muhammadiyah Press, 2004), hlm. 42-43

21Prajudi Atmosudirdjo.Pengambilan Keputusan, (Jakarta, Ghalia Indah.

1982), Cet. ke-6. hlm.32 Wahyu dan Akal Sistem keamanan/ aqidah islam berkenaan dengan kerja Etos Kerja Islami

kesukaran untuk membebaskan diri dari pengaruh faktor-faktor tertentu, baik yang bersifat internal maupun eksternal, yang bersifat internal timbul dari faktor psikis misalnya dari dorongan kebutuhan, frustrasi, suka atau tidak suka, persepsi, emosi, dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat eksternal, datangnya dari luar seperti faktor fisik, lingkungan alam, pergaulan, dan budaya, pendidikan, pengalaman dan latihan, keadaan politik, ekonomi, imbalan kerja serta janji dan ancaman yang bersumber dari ajaran agama.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa etos kerja seseorang terbentuk oleh adanya motivasi yang terpancar dari sikap hidupnya yang mendasar terhadap kerja. Sikap itu mungkin bersumber dari akal dan atau pandangan hidup/nilai-nilai yang dianut tanpa harus terkait dengan iman atau ajaran agama. Khusus bagi orang yang beretos kerja islami, etos kerjanya bertolak dari sistem keimanan/aqidah Islam berkenaan dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerjasama dengan akal. Sistem keimanan itu selain identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah kerja) sebagai tersebut di atas, juga menjadi sumber motivasi bagi terbentuknya etos kerja islami. Pembicaraan tentang etos tersebut memang harus berangkat dari pengakuan terhadap reality bahwasanya Islam berdasarkan ajaran wahyu bekerja sama dengan akal adalah agama amal atau agama kerja.22 Bahwasanya untuk mendekatkan diri serta memperoleh rida Allah, seorang hamba harus melakukan amal saleh yang dikerjakan dengan ihlas hanya karena Dia, yakni dengan memurnikan tauhid, sesuai dengan QS. al- Kahfi/18-110. Artinya : "... barang siapa mengharap akan menemui Tuhannya, hendaklah dia beramal dengan amal saleh dan janganlah la mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya dengan sesuatu apapun.23 Adapun indikasi-indikasi orang yang beretos kerja islami tinggi adalah sebagai berikut: 1. Aktif dan suka bekerja keras; 2. Bersemangat dan hemat; 3. Tekun dan professional; 4. Efisien dan kreatif, 5. Jujur, disiplin dan bertanggung jawab; 6. Mandiri; 7. Rasional serta mempunyai visi yang jauh ke depan: 8. Percaya diri namun mudah bekerjasama dengan orang lain; 9. sederhana, tabah dan ulet; serta 10. Sehat

22Ibid. hlm.216

jasmani dan rohani.24 Jadi secara lahiriyah serupa dengan indikasi- indikasi orang yang beretos kerja tinggi pada umumnya.

Sejarah telah membuktikan bahwasanya aqidah Islam berpotensi besar untuk menjadi sumber motivasi yang mampu merubah serta membangun sikap hidup mendasar, karakter, serta kebiasaan perilaku manusia dalam arti amat positif. Aqidah yang, berhasil ditanamkan Nabi SAW kepada para pengikutnya ketika beliau menjadi Rasul terbukti telah menimbulkan kemajuan (termasuk etos kerja islami) yang luar biasa pada sejumlah besar dari mereka : orang-orang Muhajirin, orang-orang Ansar, bahkan orang-orang yang sebelumnya termasuk “komunitas Jahiliyyah”. Dalam pada itu etos kerja ini secara dinamis selalu mendapat pengaruh dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, sesuai dengan kodrat manusia selaku makhluk psikofisik yang tidak kebal dari berbagai rangsang, baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, terbentuknya etos kerja islami melibatkan banyak faktor dan tidak hanya terbentuk secara murni oleh satu atau dua faktor tertentu.25

C. Kerja dalam Perspektif Islam

Perlu diperhatikan bahwasanva Allah bila menyebut perkataan alladziina aamanuu dalam ayat-ayat al-Qur'an selalu menyambungnya dengan wa’amilush- shaalihaat. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa iman harus disertai amal saleh atau kerja yang baik. Amal saleh dalam kehidupan nyata adalah manifestasi dari iman. Iman yang tidak melahirkan amal saleh dapat disebut iman yang mandul.26 Iman yang tidak menjadi aqidah serta aqidah yang tidak melahirkan perilaku adalah tidak berguna. Keberadaan aqidah dalam kondisi seperti itu laksana mesin yang tidak mampu menggerakkan sistem atau alat-alat yang berhubungan dengannya. Sungguh tepat ungkapan orang yang menegaskan kriteria aqidah dengan ungkapan kebenaran aqidah diukur dengan kenvataan sejauh mana aqidah memberi dorongan pada perbuatan pemiliknya. Maka islam menghubungkan aqidah dengan perilaku yang dituntutnya secara tidak boleh tidak.

24Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami,(Surakarta, Muhammadiyah

Press, 2004), hlm. 38

25Ibid, hlm. 44

26Muhammad Farid Wajdiy,Muhimmutul fil-âlam(al-Qâhirah: Jami’atul

Allah berfirman dalam QS. Al-Insyirah/94:7 yang artinya : "Apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), maka tegakkanlah/kerjakanlah (urusan yang lain)".

Perintah ini tentu saja mengandung anjuran untuk menghargai waktu dan efisien dalam bekerja. FirmanNya lagi : "Maka apabila shalat telah ditunaikan, menyebarlah kamu di muka bumi dan carilah karunia (rizki) Allah .... " (QS. 61:10). Al-Bahiy memberikan keterangan dalam bukunya bahwa ayat tersebut menyiratkan ajaran keseimbangan antara posisi menunaikan ibadah mandlah dengan bekerja untuk kepentingan penghidupan (ma’isyah). A]-,Bahiy melihat hubungan positif antara “ibadah” dan bekerja (yang juga bernilai ibadah). Manusia tidak bekerja dalam hidupnya, menurut pandangan Islam adalah sama dengan orang yang tidak menunaikan ibadah. Dengan demikian, sesungguhnya Allah tidak menyukai manusia-manusia yang pasif bekerja sebagaimana Dia tidak suka kepada orang- orang yang pasif menjalankan ibadah kepadaNya.27 Allah juga berfirman : "Katakanlah : Bekerjalah kamu, niscaya Allah akan melihat peker- jaaamu, serta rasul-Nya dan orang-orang yang beriman —" (QS. at- Taubah/ 9:105). Firman Allah tersebut menyiratkan isyarat, apa yang dikerjakan seseorang itulah yang menentukan eksistensi orang itu di hadapan Allah. Rasul SAW, dan umat beriman.

Dari tiga ayat di atas saja sudah tampak jelas posisi kerja dalam Islam yang begitu vital dan eksistensial. Sedangkan ayat- ayat lain yang secara langsung atau tidak langsung menggarisbawahi posisi itu masih banyak. Lebih lagi kalau diingat kedudukan manusia sebagai khalifah Allah yang bertugas sebagai pemakmur bumi.28Tugas itu tidak mungkin terlaksana dengan baik tanpa kerja sungguh-sungguh dan didukung oleh ilmu yang memadai.

Sehubungan dengan penguasaan kerja atau profesionalitas, Al-Fanjariy mengemukakan sejumlah dalil :

1 . Firman Allah (artinya) : “…..Kamu sekalian pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan (pekerjaan) yang kamu lakukan". QS. anNahl/16:93.

27Muhammad Al-Bahy Wahbah,1973, hlm.106-107

28Lihat. QS hud/11:61 : "...Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah)

dan menjadikan kamu pemakmurnya ... Penggalan ayat diatas memberitahukan salah satu tugas manusia. yaitu pemakmur bumi. Lihat yayasam penyelenggara Penterjemah al-quran Depag R.I.A1-Quran dan Terjemahm,a, (Jakarta: CV.

2 . Firman Allah (artinya) : "...Bekerjalah kamu sekalian dengan baik, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bekerja dengan baik". QS. al-Baqarah/2:195.

3 . Rasul SAW bersabda (artinya) : “…..Sesungguhnya Allah menyukai bila seseorang dari kamu sekalian melakukan sualu pekerjaan, menekuni pekerjaan itu” HR. Abu Ya’lâ dan Ibn ‘Asâkir dari Aisyah.

4 . Allah juga berfirman (artinya) : “Katakanlah, apakah sama antara orang-orang yang tahu (berilmu) dan mereka yang tidak tahu ?”

5 . Rasul SAW bersabda (artinya) : "Sedikit kerja disertai ilmu akan banyak hasilnya, dan sebaliknya banyak kerja tapi tidak didukung oleh ilmu, hasilnya akan sedikit” (periksa al-Sayûty dalam al-Jâmi’ al-Shaghir dan Ibn ‘abd Rabbih dalam a1- 'Aqdud,-Farid juzke 2).

6 . Sabda Rasul SAW (artinya) : “Berpikir satu jam lebih baik daripada ibadah satu tahun”.

7 . Sabda Rasul SAW (artinya) : "Tinta ulama lebih disukai oleh Allah daripada darah para syuhada.29

Dari makna sejumlah dalil yang dikemukakan oleh al-Fanjary di atas. nampak betapa Islam menghargai dan memberikan dorongan amat kuat terhadap profesionalitas serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berdasarkan sejumlah riwayat kehidupan Rasul SAW, para sahabat dan banyak dari kalangan ulama salaf, ternyata mereka layak dijadikan suri tauladan tidak hanya di bidang 'amaliyah

'ubudiyyah. Perjalanan hidup Rasul SAW, khususnya semenjak

beliau diangkat menjadi utusan Allah bukan perjalanan hidup yang selalu mulus tetapi merupakan proses penuh tantangan dan amat banyak onak dan durinya. Ketika Nabi masih berada di Makkah (12 tahun lebih semenjak diangkat menjadi utusan Allah) kehidupan beliau dan para sahabat penuh diwarnai penderitaan dan intimidasi. Ternyata beliau beserta para pengikutnya tetap sabar, tegar dan menghadapi semua itu dengan semangat pengabdian yang mantap. Setelah hijrah ke Madinah, selain aktivitas rutin yang sudah sejak lama dijalani, kegiatan Rasul SAW dan umat Islam kala itu pun bertambah jenisnya. Yaitu berkenaan dengan terjadinya peperangan-peperangan. Menurut catatan tarikh Islam pada masa

29Muhammad Syawqiy al-fanjariy, al-islam wal-musykhilah al-

periode Madinah (lebih kurang sepuluh tahun) terjadi 64 kali perang, dua puluh empat kali Nabi Muhammad ikut serta dan memimpin langsung. Dalam rentang waktu 10 tahun berarti rata- rata peperangan dalam periode Madinah terjadi dua bulan sekali. Tentu saja tiap peperangan memerlukan banyak persiapan, untuk itu diperlukan kerja keras.30

Rasul SAW dan para sahabat telah menjalani peperangan di samping tugas dan kewajiban lain dengan semangat dan perbuatan nyata yang luar biasa, hali ini menunjukkan bahwa rata-rata umat Islam angkatan pertama, utamanya Rasulullah SAW. sendiri adalah seorang yang memiliki etos kerja tinggi. Tanpa etos kerja tinggi, Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya pasti tidak berhasil mengukir prestasi agung yang gemilang. Sepintas sebagian terbesar aktivitas beliau dan para sahabatnya bukan “aktivitas ekonomi langsung”, hal ini bukan karena mereka meremehkan urusan ekonomi. Tetapi tuntutan situasi, kondisi dan tuntutan perjuanganlah yang melatarbelakangi bentuk aktivitas mereka.

Kemudian para sahabat utama terdahulu mempunyai sikap kerja mencerminkan etos kerja tinggi mengagumkan. Seperti khalifah Abu Bakar, sebelum menjadi khalifah beliau adalah seorang pedagang. Setiap hari pergi ke pasar melakukan jual beli. Bahkan sampai beberapa waktu setelah diangkat menjadi khalifah pekerjaan itu masih dia jalani. Hingga Umar dan Abu Ubaidah terpaksa mencegahnya.31 Khalifah berikutnya, yaitu Umar bin al- Khattab, selain termasyur amat sederhana dan jujur, sejarah pun mencatatnya sebagai pemimpin yang suka bekerja keras dan penuh tanggung jawab.

Demikian pula khalifah ketiga dan keempat, mereka dikenal sebagai orang-orang yang jauh dari sifat malas. Khalifah Usman ibn ‘Affan merupakan sosok hartawan murah hati yang amat tekun beribadah dan sebagai pengusaha besar sukses, beliau pasti mempunyai sifat teliti, tekun dan rajin. Khalifah ke empat, yaitu Ali bin Abi Talib, jelas termasuk orang yang giat, baik dalam amaliah ubudiyyah maupun menangani urusan umat. Dia amat menghargai waktu, tercermin dari ungkapan pesan-pesannya : “Hari demi hari adalah lembaran-lembaran umur kamu sekalian.

30ibid, hlm. 58-59

31Isâ Abduh wa Ahmad Ismail Yahya.Al-amal fil-Islam.(al-qâhirah : Dâr

Maka abadikanlah waktu-waktu dengan amal kebaikan”.32 Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang amat baik dan adil di masa Daulah Bani Umayyah ternyata memberikan penghargaan amat tinggi pula terhadap waktu. Ketika seseorang memberikan saran agar bersedia menunda pekerjaannya, dia rnenanggapi : "Terhadap pekerjaan yang tidak berhasil terselesaikan dalam satu hari ini, wajarkah aku menundanya hingga menjadi pekerjaan dua hari ? Lalu bagaimana aku akan menyelesalkannya besok ?33

Dalam perjalanan sejarah ulama-ulama terdahulu banyak terdapat pribadi-pribadi dengan prestasi luar biasa, tidak terbayangkan bagaimana mereka berhasil mengukir prestasi tanpa didukung oleh etos kerja yang tinggi. Misalnya Imam al-Ghazaliy yang hidup hanya sekitar 55 tahun (450 H - 505 H), seperti dimaklumi bertahun-tahun dia menjalani 'uzlah dan beri'tikaf dalam rangka mencari hakikat. Di antara kegiatan- kegiatannya, ternyata ulama besar ini amat tekun dan berhasil menulis buku-buku dan risalah berkualitas tinggi hingga buah karyanya mencapai jumlah 200 buah. Karya-karya itu tidak hanya menceritakan pengalaman batin saja, lebih dari itu meliputi beberapa bidang ilmu seperti aqidah, usul fiqih, fiqih, filsafat, logika dan akhlaq di samping taSAWuf.34

Lebih "fantastik" lagi Imam Suyutiy (849 11 - 911 H), dalam usianya yang mencapai 62 tahun, ulama ini berhasil menulis 600 buku besar - kecil. Konon dia menulis mulai usia 17 tahun.35Masih banyak ulama-ulama dengan bidang ilmu bermacam-macam di masa lalu terbukti berhasil dengan karya-karya luar biasa yang tidak mungkin diwujudkan tanpa dukungan etos kerja tinggi pada mereka. Di antara nama-nama itu dapat dijumpai Imam al- Bukhariy, Imam Muslim dan lain-lain dari para pengumpul hadits yang begitu gigih, teliti dan hati-hati mengumpulkan serta mencatat hadits-hadits Rasululiah SAW. Tercatat pula nama al-Kindi, Fakhrurrâzy, Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim.36 Dapat ditambahkan pula nama-nama : Ibn Sinâ yang ahli di bidang Filsafat dan ilmu kedokteran, Ibn Khaldûn, pakar sejarah, dan Ibn Rusyid yang diakui ke dalaman ilmunya di bidang fiqih di samping

32Ahmad Janan Asifudin.Etos Kerja Islami,(Surakarta, Muhammadiyah

Press, 2004), hlm. 65

33Ibid.hlm.66 34Ibid.,hlm.67 35Ibid.,hlm.67 36Ibid hlm. 67

filsafat. Di bidang ilmu pengetahuan (sain) pun terukir nama-nama besar ulama muslim seperti Ya'qûb al-FazzâriY pakar astronomi. Ahmad Al-Khawârizmy pakar matematika, Ibn al-Haitsâm di bidang optika. Jâbir bin Hayyân ahli ilmu kimia, al-Bairûniy di bidang, fisika, al-Mas'dy untuk geografi, dan ar-Razi di bidang ilmu kedokteran.37

Sehubungan dengan ulama-ulama Islam yang berkenan mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan (sain) seperti nama- nama tersebut di atas menurut Harun Nasution karena dijiwai dan didorong oleh penghargaan mereka terhadap akal yang oleh Tuhan dianugerahkan kepada manusia.38 Sikap demikian justru ditunjukkan dalam peri kehidupan ulama-ulama zaman klasik. Kesemua itu menjadi bukti bahwa etos kerja tinggi hakikatnya sudah menyatu dengan kehidupan sebagian tokoh-tokoh panutan umat muslimin dan muslimat semenjak masa permulaan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang diikuti oleh sejumlah besar masyarakat Islam di berbagai negeri dan kawasan.

Walaupun kemudian terdapat banyak orang-orang Islam yang beretos kerja rendah, hal itu pasti bukan disebabkan oleh ajaran agama mereka, melainkan karena kesalahan faktor manusia, pemahaman atau disebabkan oleh faktor-faktor lain. Dengan

Dalam dokumen Mengelola Keragaman Islam dan Relasi A (1) (Halaman 47-61)