• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Non Muslim Terhadap Penerapan Syariat Islam

Dalam dokumen Mengelola Keragaman Islam dan Relasi A (1) (Halaman 34-41)

Islam sebagai surga simbol, dan memiliki kekuatan untuk melegalkan simbol-simbol tersebut kedalam suatau sistem yang lebih besar dalam upaya mengontrol dengan menggunakan legitimasi agama, yang sudah mulai merajalela, seperti Kerudung, pelarangan minuman keras, pelarangan perjudian, pelarangan pelacuran , adalah contoh kecil pelegalan simbol-simbol agama kedalam sistem pemerintahan. Seperti yang di terapkan oleh pemerintah Kota Langsa.

31Wawancara dengan Mayeska Simbolon (mahasiswi UNSAM Langsa)

pada tanggal 03 Oktober 2013 di Langsa pukul 16. 15

32 Wawancara dengan ibu Dona (Guru SMAN 3 Langsa) pada tanggal 07

Oktober 2013 di Langsa pukul 17. 00

33 Wawancara dengan bapak Purba (Sekretaris Gereja HKBP Langsa)

Penampakan simbol-simbol agama mempunyai tujuan yang cukup bagus, yaitu menciptakan tatanan hidup masyarakat yang lebih baik. Namun, yang menjadi persoalan adalah mengapa suatu peraturan hanya diambil dari satu agama saja (Islam) seperti Syariat Islam.

“..Syariat Islam dikelola sendiri oleh orang Islam… “ Syariat Islam itu adalah salah satu aturan yang menjurus ke islam, jadi hanya dikalangan islam sendiri, tidak menutup kemungkinan kedepannya akan menjurus kepada masyarakat yang lain untuk melaksanakannya..”34 Lalu bagaimana status diluar agama non Islam, seperti agama Kristen atau Budha. Penerapan Syariat Islam di Kota Langsa tentunya akan berdampak lebih jauh terhadap kehidupan kaum minoritas. Walaupun peraturan itu dikhususkan bagi umat Islam, dampaknya tentu saja akan mempengaruhi pola aktivitas kehidupan kaum minoritas. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Liem35

“...Dulu sebelum konflik, rasanya tidak ada hal yang terlalu mengganggu dalam aktivitas kehidupan kami. Saat itu tidak ada keharusan untuk berpakaian Muslim. Ketika konflik terjadi kami betul-betul merasa ketakutan terutama terhadap situasi pada saat itu, kami harus menyetor sejumlah uang kepada oknum tertentu kalau kami ingin selamat. Banyak teman-teman kita yang kemudian pindah ke Medan karena merasa tidak aman. Pada saat itu kondisi benar-benar terasa sulit, Kami tetap bertahan karena kami tidak punya tempat yang lain di medan. Sekarang setelah aman ada penerapan syariat Islam. Saya sendiri belum pernah diapa-apakan oleh petugas dari Dinas Syariat Islam. Tapi ada orang kita yang dibentak-bentak ketika ada razia karena memakai celana ponggol yang agak ketat...”

Ada semacam rasa ketakutan tertentu bagi kalangan minoritas Tionghoa yang tinggal di Kota Langsa terhadap penerapan Syariat

34 Wawancara dengan Kiki (seorang pemuda keturunan tionghoa) pada

tanggal 13 september 2013 dilangsa Jam 20.30 Wib

35Wawancara dengan Ibu Liem (seorang Pedagang Makanan Keturunan

tionghoa di Toko Belakang) pada tanggal 08 september 2013 di Langsa Jam 10.30 WIB

Islam. Ada semacam rasa ketakutan dikalangan mereka jika Pelaksanaan Syariat Islam akan mengarah ke mereka. Selanjutnya Ibu Liem mengatakan36

“...Sebenarnya saya pribadi tidak ada masalah dengan orang Islam. Toh, dulu Islam sekarang juga Islam, yang kerja sama saya juga semua Islam. Tapi... hati saya kok tidak tenang kalo ada mobil WH lewat, dalam hati saya selalu bertanya, mau ngapain lagi mereka itu...”

Kalau kita lihat hasil wawancara dengan Ibu liem bahwa pada dasarnya tidak ada masalah dengan Islam. Kemungkinan Image (prasangka) yang timbul dikalangan mereka adalah bahwa Syariat Islam identik dengan Dinas Syariat Islam dengan aktor penggerak dilapangan adalah petugas Waliyatul Hisbah (WH).

Dari fenomena diatas kita menyadari bahwa dalam kehidupan kaum minoritas ada berapa hal yang patut diperhatikan, salah satunya dominasi Negara dan pemahaman agama mainstream yang hendak memaksakan kekuasaannya (baik politik maupun agama) melalui perundang-undangan. Akibatnya, akan timbul diskriminasi di mana-mana, proses eksklusif semakin masif, stigmanegatif menimpa mereka yang dianggap minoritas, dan berbagai ancaman konflik sosial dengan intensitas yang beragam. Pemukulan terhadap Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa yang terjadi beberapa waktu yang lalu ketika hendak menghentikan pertunjukan keyboard di kampung karang Anyar menunjukkan adanya hal-hal tertentu yang harus kita waspadai terhadap penerapan Syariat Islam di Kota Langsa.

Program Syariat Islam yang dicanangkan Pemerintah Aceh memang terkesan ada diskriminasi terhadap kaum minoritas tapi mereka punya pandangan dan tafsiran lain terhadap program yang dinilai hanya mementingkan sepihak ini, seperti penilaian Ibu Hesty terhadap Syariat Islam.37

“...Syariat Islam itu memang program umat Islam, kita sebagai umat Kristen harus menghormati pemerintah disini

36Wawancara dengan Ibu Liem (seorang Pedagang Makanan Keturunan

tionghoa di Toko Belakang) pada tanggal 08 september 2013 di Langsa Jam 10.30 WIB

37 Wawancara dengan Ibu Hesty (seorang Ibuyang bekerja di sebuah

apa yang sudah dicanangkan, dan kita juga mendukung dengan kehidupan yang saleh bukan kehidupan dengan yang ngawur, seperti yang lain...”

Dari pernyataan ini mengindikasikan adanya kedewasaan umat beragama dalam menghadapi kehidupan yang pluralistik, serta adanya positif thinking yang timbul dari mereka, kemudian Ibu Hesty juga menyatakan; “…Kami merasa tidak keberatan dan tidak ada masalah, itu kan juga mengarah kepada hal-hal yang baik…”

Senada dengan pernyataan di atas pendapat Ibu Anna salah seorang Jamah Kristen: “..saya tidak keberatan jika syariat Islam dilaksanakan di Kota Langsa karena sasarannya hanya sebatas umat Islam, tetapi perlu adanya sosialisasi lebih lanjut kepada seluruh lapisan masyarakat”….”

Kemudian Ibu Anna juga menyatakan: “saya tidak keberatan selama sasaran Syariat Islam terbatas pada lingkungan umat Islam, karena masalah terpenting adalah bahwa kita sebatas menjalankan firman Tuhan, meliputi setiap syariat kita lakukan dengan baik sesuai dengan agama masing-masing”, beliau menambahkan38 “hal ini untuk menciptakan kesesuaian antara ajaran Islam dengan realita masyarakat muslim sebagaimana halnya dengan umat Kristiani.”

Sedangkan pernyataan Amelia seorang mahasiswa (Khatolik) berpendapat;39

“...saya tidak keberatan jika syariat Islam diterapkan asalkan hal itu tidak mengarah pada pemojokan atau pelecehan agama Kristen. Disisi yang lain, penerapan terhadap Syariat Islam kelihatannya seperti dipaksakan kesemua pihak. Saya pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan ketika terjadi sebuah razia. Pada saat itu saya sudah mengatakan bahwa saya non muslim, tetapi petugas WH tidak percaya dengan apa yang saya katakan. Petugas tersebut tetap ngotot dan tetap menanyakan kenapa saya tidak mengenakan jilbab. Setelah saya ngotot habis-habisan dan memperlihatkan KTP

38 Wawancara dengan Ibu Hesty (seorang Ibuyang bekerja di sebuah

Instansi Vertikal) pada tanggal 06 september 2013 dilangsa Jam 10.30 Wib

39Wawancara dengan Amelia (seorang mahasiswi di sebuah PTS) pada

saya baru mereka percaya. Sejak itu setiap kali ada razia saya selalu mencari jalur alternatif untuk menghindari mereka...” Pernyataan para pemeluk agama Kristen di atas memberikan suatu gambaran , bahwa ada suatu penerimaan dan ada suatu penolakan terhadap kaum minoritas. Disatu sisi mereka melihat secara positif atau menerima syariat Islam sejauh apabila syariat itu diberlakukan dikalangan umat Islam sendiri. Sementara itu disisi yang lain mereka menilai adanya suatu pemaksaan terutama terhadap para petugas dilapangan mengenai pelaksanaan syariat Islam, dalam konteks ini berkenaan dengan pemakaian jilbab.

Kemudian cara pandang umat Budha dan penafsiran meraka terhadap simbol-simbol yang di paraktekkan umat Islam dalam penegakan nilai-nilai Islam seperti peraturan pemakaian kerudung, dan cara berinteraksi mereka.

Umat Budha sebagai sebuah kesatuan mereka harus bergaul dan bekerja sama dengan umat Islam di segala bidang. Faktor yang menarik adalah simbol yang kental seperti kerudung lebih dominan dikalangan umat Islam. Hal ini tentu menjadi perhatian karena bagi umat Budha simbol seperti kerudung tidak ada, dan bagi orang yang mempunyai tafsiran negative tentu akan berakibat fatal, menanggapi simbol Islam tersebut. Tapi berbeda dengan ungkapan Ibu Lieny, bahwa umat Budha di Kota Langsa punya pandangan tertentu40

“..kita itu enjoy-enjoy aja , toh selama ini kita hanya dihimbau untuk berpakaian yang sopan, jika kami punya karyawan maka terhadap mereka memang diharuskan memakai jilbab, sedangkan kami sendiri tidak ada paksaan untuk memakai jilbab…”17

Pernyataan ini tentu sangat mengesankan, karena umat Budha memaknai simbol seperti kerudung secara positif, dan tidak sebaliknya, kemudian lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa41

“...kalau kami lagi pergi keluar kemudian bertemu dengan razia yang dilakukan oleh petugas dari Dinas Syariat Islam,

40 Wawancara dengan Ibu Lieny (seorang pedagang ponsel di toko

belakang) pada tanggal 29 Agustus 2013 dilangsa Jam 20.30 Wib

41 Wawancara dengan Ibu Lieny (seorang pedagang ponsel di toko

kami Cuma ditegur kalau berpakaian kurang sopan, misalnya memakai busana yang terlalu ketat atau rok mini. Tapi semenjak diberlakukannya Syariat Islam kami berusaha berpakaian sesopan mungkin. Mungkin karena kami punya kulit dan muka yang spesifik maka setiap ada razia mereka langsung tahu, kalau kami non muslim...”

Respon dan sikap positif yang ditunjukkan umat Kristen dan Budha diatas serta tidak adanya perlawanan terhadap apa yang telah dilakuakan umat islam itu terjadi karena adanya jalinan komonikasi dan pertemanan yang memang sudah berjalan sebelum adanya pemberlakuan Syariat Islam. Dengan demikian interaksi anatar manusia dijembatani oleh penggunann simbol-simbol penafsiran, oleh kepastian makna dari tindakan-tindakan orang lain, media ini sama dengan penyisipan suatu proses penafsiran diantara stimulus dan respon.

Ada suatu view point yang bisa digarisbawahi dari Formalisasi Syariat Islam yang diterapkan di Aceh. Begitu nyata terlihat dari formalisasi syariat Islam di Aceh yang terjebak dalam problem-problem parsial seputar syahwat, belum melangkah keluar menyelesaikan problem yang lebih kompleks dalam rangka menuju kemaslahatan umat secara holistik (kaffah). “Formulasi Syariat di Aceh telah diramu sedemikian rupa menjadi seperangkat “syariat syahwat” yang sibuk mengurusi syahwat manusia belaka bukannya “syariat hajat” yang mampu mengurus persoalan hajat hidup masyarakat”.

Penerapan Syariat Islam di Kota Langsa seolah-olah memberikan suatu steorotif dikalangan minoritas bahwa Syariat Islam hanya melulu berputar dimasalah sekitar Syahwat . Seolah- olah kehadiran Islam di muka bumi memang bertujuan untuk menggunting celana-celana semi ketat, memotong rambut wanita- wanita yang tidak berjilbab atau memotong tangan dan kaki manusia belaka, tidak lebih daripada itu. Akibatnya bila demikian dangkalnya pemahaman akan syariat Islam, umat lain akan sulit membedakan antara umat muslim yang dikenal beradab dengan suku-suku primitif di jamanbaheulayang terkenal biadab.

Sampai saat ini, belum ada aturan yang jelas tentang hak-hak kaum minoritas yang terformulasi didalam Syariah Islam. Akibatnya belum ada kejelasan tentang hak dan kewajiban kaum minoritas. Efeknya bagi kaum minoritas akan memberikan respon yang negatif terhadap korelasi hubungan antara mayoritas dan

minoritas. Jika semula tidak ada masalah yang signifikan dalam hubungan mayoritas dan minoritas, setelah adanya formulasi terhadap Pelaksanaan Syariat Islam oleh Negara, memberikan sebuah nuansa keterasingan bagi kaum minoritas. Walaupun pernyataan kaum minoritas bahwa mereka menerima Syariat Islam, pada tahap pelaksanaannya ada semacam kekhawatiran terhadap penyimpangan dari pelaksanaan Syariat itu sendiri.

F. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan; pertama, masyarakat Kota Langsa terdiri dari berbagai macam etnis, suku, dan agama. Etnis yang terdapat di Kota langsa seperti etnis China, India, dan penduduk pribumi. Suku yang terdapat di kota Langsa di antaranya Jawa, Aceh, dan Melayu. Keragaman tersebut sehingga Kota Langsa dapat dikatakan sebagai daerah yang plura. Kedua, masyarakat non-muslim yang ada di Kota Langsa menjadi masyrakat minoritas. Hubungan antara minoritas dan mayoritas di Kota langsa secara umum sangat harmonis karena tidak ada kerusuhan yang penyebabnya adalah ketertindasan minoritas.

Ketiga, respon minoritas non muslim terhadap pemberlakuan syari'at Islam di Kota Langsa; bahwa pemberlakuan syari'at Islam di Langsa adalah hak daerah untuk memberlakukan hal tersebut, yang harus menjadi perhatian bagi umat Islam adalah tetap menjaga hak minoritas dalam beragama dan bermasyarakat.

Dalam dokumen Mengelola Keragaman Islam dan Relasi A (1) (Halaman 34-41)