• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengelola Keragaman Islam dan Relasi A (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengelola Keragaman Islam dan Relasi A (1)"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

MENGELOLA

KERAGAMAN: ISLAM DAN

RELASI ANTAR IMAN DI ACEH

(3)

MENGELOLA

KERAGAMAN: ISLAM DAN

RELASI ANTAR IMAN DI ACEH

KONTEMPORER

Editor :

Syamsul Rizal Junaidi

Kontributor :

Nawawi Muhammad Syamsul Rizal Dedi Hendrik Syahrial Nina Afrida

Sulaiman Ismail Mazlan

Mukhlis

(4)

DINAMIKA ISLAM DAN PENGELOLAAN

KERAGAMAN DI ACEH KONTEMPORER

Editor :

Syamsul Rizal Junaidi

Kontributor :

Nawawi Muhammad Syamsul Rizal Dedi Hendrik Syahrial Nina Afrida

Sulaiman Ismail Mazlan

Mukhlis

Muhammad Ichsan Andhika Jaya Putra Diterbitkan Oleh:

Zawiyah

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Zawiyah Cot Kala Langsa

Jl. Meurandeh Kecamatan Langsa Lama Kota Langsa Telp. 0641-22619/23129 Fax 0641-42139

Website:www.stainlangsa.ac.id Email :info@stainlangsa.ac.id

Kerjasama Percetakan Data Printing (Anggota Ikatan Penerbit Indonesia) Jl. Meurandeh – Kampus STAIN Langsa

Contact Person : 085275011114 Website :www.cvdataprinting.co.id

Email : cvdataprinting@yahoo.co.id

November 2014

ISBN : 978-602-71860-6-4

Dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagai atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa seizin tertulis dari penerbit atau

(5)

Dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagai atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa seizin tertulis dari penerbit atau penulis

KATA PENGANTAR

Mengkaji Islam Aceh tidak terlepas dari kajian Islam lokal. Menggunakan istilah Islam lokal (Islam yang sesuai dengan tempat atau lokasi tertentu dimana ia berada) tentunya dapat memunculkan perbedaan pandangan antara setuju dan tidak. Hal ini disebabkan sepintas istilah Islam lokal menyiratkan bahwa Islam pada tiap lokasi berbeda antara satu sama lain, padahal di sisi lain, Islam selalu dipahami sebagai sesuatu yang tunggal dan universal.

Dalam perjalanannya, Islam dengan karakteristik dan ke-khasannya masing-masing akan mendapat dua tarikan, yaitu menjadikannya semakin lekat dengan nilai-nilai lokal setempat (tradisi) dan dorongan dari sesuatu yang berada ‘diluar’ nilai-nilai lokal yang menginginkan adanya perubahan dalam bentuk pembaharuan terhadap Islam lokal tersebut.

Islam Aceh pun tidak dapat dilepaskan dari dua tarikan yang berasal dari ‘luar’ dan ‘dalam’ itu sendiri. Sehingga wajah Islam Aceh mengalami proses ‘pembentukan’ yang dinamis. Pro-kontra terhadap pelaksanaan syariat menjadi kunyahan hari-hari dalam diskursus para pelaksana, pemerhati syariat dan masyarakat pada umumnya.

Bila kita melihat ke dalam kehidupan masyarakat gampong masa lampau, warna Islam cukup terlihat dengan bentuk gampong yang ditandai dengan pola perumahan yang padat dan terpusat dengan arah bangunan menghadap ke kiblat. Bangunan-bangunan rumah berbentuk rumah panggung atau rumoh dengan meunasah sebagai tempat beribadah yang letaknya di tengah-tengah di gampong. Warna Islam juga terlihat dalam Rumoh Aceh yang letaknya membujur dari barat ke timur sebagai cerminan kiblat yang dianut oleh pemeluk agama Islam.

(6)

dan negosiasi yang terjadi di Aceh belakangan ini. Kita menyambut baik kehadiran karya-karya akademik dan sumbangan pemikiran para akademisi di kampus ini untuk menghadirkan pembacaan kembali tentang proses dialektika antara agama dan kearifan lokal di Aceh sehingga dapat menjadi peta dasar dalam melakukan perbaikan di masa mendatang. Memang semestinya, begitulah tugas dosen: mereproduksi pengetahuan, memetakan perubahan-perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat, dan menginformasikan pada publik yang lebih luas dan pada saat bersamaan menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan public tertentu.

Memilih menjadi dosen pada saat bersamaan merupakan sebuah kometmen untuk memberikan sumbangan keilmuan kepada khalayak. STAIN Zawiyah Cot Kala memiliki komitmen yang kuat untuk selalu memfasilitasi para dosen agar mempublikasikan penelitian-penelitian mereka. Pada tahun ini, STAIN Zawiyah Cot Kala menerbitkan lima buah buku yang didedikasikan untuk menerbitkan hasil penelitian dosen pada tahun sbelumnya. Kita berharap agar buku ini dapat memberikan kontribusi keilmuan bagai perkembangan keilmuan di dunia Islam. Selamat membaca.

Langsa, November 2014

(7)

PENGANTAR EDITOR

Buku yang ada ditangan pembaca adalah kumpulan hasil penelitian dosen STAIN Zawiyah cot Kala Langsa tahun 2013. Penelitian tesebut merupakan penelitian individu dan penelitian kelompok. Kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa merupakan merespon terhadap pelaksaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni kegiatan dalam bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat.

Islam Aceh merupakan salah satu bentuk dari Islam lokal. Sebagai sebuah agama yang dominan dan berumur lama di Aceh, Islam menjadi sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari Aceh. Dimana penerapan syariat menjadi salah satu aspek menonjol dalam wajah Islam Aceh saat ini.

Islam Aceh pun tidak dapat dilepaskan dari dua tarikan yang berasal dari ‘luar’ dan ‘dalam’. Sehingga wajah Islam Aceh mengalami proses ‘pembentukan’ yang dinamis. Pro-kontra terhadap pelaksanaan syariat menjadi kunyahan hari-hari dalam diskursus para pelaksana, pemerhati syariat dan masyarakat pada umumnya.

Bila kita melihat ke dalam kehidupan masyarakat gampong masa lampau, warna Islam cukup terlihat dengan bentuk gampong yang ditandai dengan pola perumahan yang padat dan terpusat dengan arah bangunan menghadap ke kiblat. Bangunan-bangunan rumah berbentuk rumah panggung atau rumoh dengan meunasah sebagai tempat beribadah yang letaknya di tengah-tengah di gampong.

(8)

mencuci kaki sebelum orang masuk rumah adalah cermin kebersihan sebagai bagian dari iman Islam yang di anut oleh orang Aceh.

Bila mengaca kepada dua contoh warna Islam di Aceh, penulis menilai bahwa Islam lokal di Aceh memiliki karakteristiknya sendiri, dengan warna dan caranya sendiri. Terlepas dari perdebatan apakah sesuatu itu lebih islami daripada yang lain atau sesuatu itu islami sedangkan yang lain tidak islami.

Buku yang kini berada ditangan pembaca merupakan hasil penelitian Dosen STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa. Buku ini merupakan kumpulan hasil penelitian dalam bidang Sosial keagammaan dan mengambil tema“Minoritas Non Muslim di Kota Langsa dalam Bingkai Pelaksaan Islam di Aceh”, ditulis oleh Nawawi Muhammad, Syamsul Rizal, Dedy Hendrik, dan Syahrial.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pertama, masyarakat Kota Langsa terdiri dari berbagai macam etnis, suku, dan agama. Etnis yang terdapat di Kota langsa seperti etnis China, India, dan penduduk pribumi. Suku yang terdapat di kota Langsa di antaranya Jawa, Aceh, dan Melayu. Keragaman tersebut sehingga Kota Langsa dapat dikatakan sebagai daerah yang plura. Kedua, masyarakat non-muslim yang ada di Kota Langsa menjadi masyrakat minoritas. Hubungan antara minoritas dan mayoritas di Kota langsa secara umum sangat harmonis karena tidak ada kerusuhan yang penyebabnya adalah ketertindasan minoritas.

Ketiga, respon minoritas non muslim terhadap pemberlakuan syari'at Islam di Kota Langsa; bahwa pemberlakuan syari'at Islam di Langsa adalah hak daerah untuk memberlakukan hal tersebut, yang harus menjadi perhatian bagi umat Islam adalah tetap menjaga hak minoritas dalam beragama dan bermasyarakat.

Hasil penelitian yang kedua dalam buku ini adalah

Membentuk Muslim Aceh: Teungku Dayah dan Baial Pengajian di

Aceh Timur. Penelitian ini dilakukan oleh Mazlan. Dalam

(9)

Kedua, motivasi murid-murid dewasa mengaji terbentuk karena kebutuhan mereka akan bagaimana membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar (motivasi intrinsik ) juga dipengaruhi oleh dan ekstrinsik. Pak Ni selaku Teungku yang mengajar di Bale Pengajian Gampong Alue Bu Tuha memliki kegigihan yang tergolong tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan beliau yang menunggu kehadiran murid-muridnya, dan tidak pernah muridnya hadir terlebih dahulu menanti kedatangan beliau.

Penelitian yang ketiga adalahKepemimpinan Kepala Sekolah Pada SMA Negeri Unggul Aceh Timur Dalam Manajeman Konflik

Penelitian ini dilakukan oleh Sulaiman Ismail, Mukhlis, dan Muhammad Ichsan. Dalam penelitiannya mereka menyimpulkan bahwa, Pertama, Peran kepala sekolah SMA Negeri Unggul Aceh Timur dalam manajemen konflik sangat terlibat secara aktif. Meskipun secara struktur memiliki wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, namun kepala sekolah tetap aktif memberikan saran, masukan, dan solusi terhadap konflik yang terjadi antar-siswa.

Kedua, Konflik yang terjadi di sekolah di antara sesama murid disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a) faktor sosial ekonomi; b) ego pribadi dan kelompok; dan c) faktor persaingan tidak sehat, baik dalam kompetensi intelektual, sosial maupun ekonomi.

Ketiga, Solusi yang diberikan Kepala Sekolah SMA Negeri Unggul Aceh Timur terhadap konflik yang terjadi antar-siswa. a)

Konflik Intern Siswa: dilakukan pendekatan pribadi yang

dilaksanakan secara terus menerus oleh semua guru, mulai kepala asrama, guru pembimbing akademik (wali kelas), wakil kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan dilanjutkan oleh kepala sekolah. Kepala Asrama yang ditunjuk setiap unit asrama (7 asrama = 7 orang) tinggal bersama siswa di asrama, mereka selalu menjaga, membimbing, memotivasi mereka baik untuk belajar dalam program intrakurikuler, dan ekstrakurikuler.

Penelitian yang ketiga adalah Pendidikan Multikultural di

MAN Ranto Panjang Peureulak Penelitian ini dilakukan oleh

Andhika Jaya Putra. Dalam penelitiannya ia menyimpulkan bahwa,

(10)

dengan andanya pemikiran fanatisme sempit, yang menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik, dan kelompok lain harus dimusuhi.

Kedua, Dalam menerapkan pendidikan multikultural sebagai upaya untuk mewujudkan keberagaman inklusif di MAN Rantau Panjang Peureulak Peran Guru sudah menjalankan tugasnya sebagai pendidik dimana mendidik tidak hanya terfokus pada kemampuan berfikir Kognitif, afektif dan juga psikomotorik, guru juga berperan dalam membangun kepercayaan, dan interdepensi (saling membutuhkan), saling menghargai, toleransi, terbuka dan berfikir kerah membangun kepercayaan.

Ketiga, Adapun Strategi yang dilakukan oleh Madrasah

Aliyah Negeri (MAN) Rantau Panjang Peureulak yaitu dengan menerapkan tiga pola yakni: kegiatan intrakurikuler, kegiatan ekstrakurikuler dan metode pembelajaran di sekolah. Sehingga siswa yang berbeda suku dapat terakomodasi sesuai dengan tiga pola itu tadi.

Hasil penelitian terakhir dalam buku ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Nina Afrida. Tema penelitian ini berjudul

(11)

Isi Buku

Kata Pengantar Ketua STAIN – iv Kata Pengantar Editor – vi

Isi Buku – xii

1 Minoritas Non Muslim di Kota Langsa dalam Bingkai Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh– 01

2 Membentuk Muslim Aceh: Teungku Dayah dan Balai Pengajian di Aceh Timur – 32

3 Kepemimpinan Kepala Sekolah Pada SMA Negeri

Unggul Aceh Timur Dalam Manajeman Konflik – 64

4 Pendidikan Multikultural di MAN Ranto Panjang

Peureulak– 87

5 Studi Fenomenologi: Pengalaman Mahasiswa Pada

(12)

1

MINORITAS NON MUSLIM DI KOTA LANGSA DALAM BINGKAI PELAKSANAAN SYARI'AT

ISLAM DI ACEH

Oleh: Nawawi Muhammad, Syamsul Rizal, DedyHendrik, dan Syahrial

A. Pendahuluan

Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah untuk membimbing umat manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ajaran dan aturan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui wahyu yang terhimpun dalam alQur’an yang selanjutkan dijelaskan melalui perkataan dan prilaku Nabi. Dua ajaran dan tuntunan pokok ini, oleh para ulama ditafsirkan dan dikembangkan sehingga menjadi ajaran dan tuntunan hidup yang relative sistematis dan mencakup semua prilaku umat Islam. Dengan demikian Islam tidak hanya membimbing umat manusia dalam hal ibadah saja tetapi berisi bimbingan dan petunjuk untuk seluruh aspek kehidupan, mulai dari hal yang bersifat pribadi hingga persoaalan yang bersifat public, dari permasalahan yang berkaitan dengan manusia, alam dan lingkungan.

Dengan demikian, ajaran islam sangat luas dan menjangkau segala aspek kehidupan manusia, maka para ulama mencoba mengklasifikasikan ajaran – ajaran Islam, diantara para ulama yang mengklasifikasikan ajaran Islam adalah Muhammad Syaltut – salah satu ulama kontemporer – membagi ajaran Islam dua bagian besar, yaitu; aqidah, syari’ah dan akhlak. Pembagian ini didukung dengan sebuah hadist qudsi yang sangat populer yang menjelaskan makna iman (aqidah), makna islam (Syari’ah), dan makna ihsan (akhlak). Dengan demikian, seseorang yang menyatakan dirinya muslim maka konsekwensinya adalah dia harus menjalankan semua ajaran – ajaran Islam.

Aceh1 merupakan daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan agama Islam menjadi ruh dalam diri

1 Mengenai trema “Aceh”, banyak orang yang mencoba mencari asal

(13)

si-masyarakat Aceh. Dalam hal ini dapat kita lihat bagaimana agam Islam sebagai semangat perjuangan masyarakat Aceh dalam mempertahankan tanah rencong2(nama lain dari daerah Aceh) dari penjajahan. Dikarenakan masyarakat Aceh sangat anti dengan orang asing sehingga masyarakat Aceh menganggapnya sebagai orang kafi rmaka mereka mempertahankan daerahnya sampai titik darah penghabisan. Bagi masyarakat Aceh agama bukan hanya sekedar kepercayaan belaka, namun Islam sudah menjadi pakaian masyarakat Aceh, sehingga seluruh aktifitas masyarakat Aceh tidak terlepas dari agama. Dengan kekhasan tersebut maka Aceh diberikan julukan “Serambi Mekkah”.3 Predikat tersebut dikukuhkan (dikuatkan) dengan diberlakukannya syari’at Islam di Aceh.

Kronologis diberlakukannya syari’at Islam di Aceh berawal untuk meredam pemberontakan yang terjadi di Aceh yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.4 Melihat

Aceh-Aceh”, semacam pohon beringin yang besar dan rindang. Lihat abu Bakar Aceh, dalam Ismail Sunni (ed),Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta : Bhatara Karya Aksara, 1980) hlm. 19. Lihat juga A. Hasjimy (peny),Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: al-Ma’arif, 1993), hlm. 188. Namun yang berkembang dikalangan masyarakat bahwa trema “Aceh” merupakan singkatan dari “A” singkatan air “Arab”, “C” singkatan dari “Cina”, “E” singkatan dari “Eropa”, dan “H” singkatan dari “Hindia”. Lihat Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 128.

2 Kata Rencong, selain dipakai untuk nama daerah Aceh kata tersebut

digunakan pula untuk senjata khas Aceh.

3 Dalam Masyarakat Aceh terdapat falsafah “ Adat Bak Poe

Teummeuruhom Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Laksamana”.Adagium ini mengungkapkan latar belakang yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat Aceh dan siapa yang berotoritas didalamnya. Bagi masyarakat Aceh, adatadalah yang bertalian dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan duniawi yang berotoritas adalah raja. Sedangkan hukomadalah ketentuan hubungan manusia dengan Tuhan dan dengan sesama insan yang bersumber dari ajaran Islam (al-Qur’an dan hadis) dan otoritas hukum ditangan ulama. SedangkanQanunadalah adat dan budaya wanita dalam berbagai upacara kemasyarakatan. Dan reusam menyangkut aturan tata karma bagi laki – laki dalam melaksanakan adat kebiasaan dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat. Taufiq Adnan Amal dan Samsul Rizal Pangabean, Politik Syari’at Islam dari Indonesia hingga Negeria, (Jakarta: Pustaka Alvavet, 2004), hlm. 14.

4 Pemberontakan yang terjadi di Aceh semasa dalam kesatuan Negara

(14)

melihat ancaman disintegrasi bangsa tersebut pemerintah pusat mengambil kebijakan untuk mengesahkan Rancangan Undang – undang No. 44 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (PERDA) No. 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan syari’at Islam.

Dengan diterapkannya syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam maka masyarakat Aceh harus menanti, mengamalkan dan menjalankan hukum Islam seacara kafah. Peraturan Daerah tersebut meliputi ; aqidah, ibadah, akhlaq, mu’amalah, munakahat, warisan, pendidikan, dakwah islamiyah, dan hal – hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pelaksanaan peraturan tersebut harus sesuai dengan al-Qur’an dan hadis serta mengadopsi perubahan zaman. Dengan diberlakukannya syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam diharapkan membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat Aceh.

Namun, dengan diberlakukannya syaria’at Islam di Aceh akan menimbulkan pertanyaan yang sifatnya mendasar, yaitu; apakah pelaksanaan syari’at Islam mengikat seluruh masyarakat Aceh yang beragama Islam atau pelaksanaan syari’at Islam mengikat seluruh masyarakat yang tingggal Aceh? Apabila pemberlakuan syari’at Islam hanya mengikat masyarakat Aceh yang beragama Islam, maka hal itu tidak menimbulkan permasalahan yang besar dikarenakan sudah menjadi kewajiban setiap muslim menjalankan semua kewajiban yang terdapat dalam agamanya. Akan tetapi, jikalai syari’at Islam mengikat seluruh masyarakat yang ada di Aceh, maka hal itu akan menimbulkan permasalahan yang sangat komplek dikarenakan masyarakat Aceh bukan hanya beragam Islam namun terdiri dari berbagai etnis dan suku yang bukan beragama Islam. Dan golongan inilah yang nantinya dalam penelitian ini disebut dengan kaum minoritas.

Kaum minoritas adalah golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih sedikit atau kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat dan karena itu didiskriminasikan oleh golongan lain yang lebih besar (mayoritas)5. Definisi lain yang senada adalah suatu kelompok yang kecil powernya, atau tidak memiliki power. Minoritas biasanya berkaitan Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Hasan Tiro. Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka, (Jakarta: Madani Press, 2000), hlm. 137.

5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

(15)

dengan suku, etnis, ras dan agama. Biasanya, kelompok minoritas lebih miskin daripada yang mayoritas, tidak memiliki prestise dan terkena dikriminasi.6 Penelitian ini akan melihat kaum minoritas dan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Dan dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kaum minoritas adalah masyarakat Aceh yang bukan beragama Islam (agama Hindu, Budha dan kristen) dan masyarakat yang bukan suku dan etnis (seperti; Cina dan Hindia) Aceh.

Dikarenakan daerah Aceh sangat luas dan tidak mungkin penelitian dilakukan dengan jangka waktu yang rlative singkat maka peneliti memfokuskan penelitian ini di Kota Langsa. Alasan mengapa peneliti mengambil di Kota Langsa sebagai lokasi penelitian dikarenakan Kota Langsa sudah dikatagorikan kota yang plural. Dan Kota Langsa adalah kota yang terdiri dari berbagai etnis seperti Cina dan India, suku seperti suku Jawa, Padang dan Batak, dan berbagai agama seperti Kristen dan Hindu. Dengan peneliti membatasi penelitian ini akan dilakukan di Kota Langsa maka nantinya peneliti ini tidak membicarakan penerapan syari’at Islam di daerah – daerah lain yang ada di Aceh. Walaupun nantinya ada penyebutan kota lain selain Kota Langsa itu merupakan penjelasan atau pelengkap dari penelitian ini.

Dari latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: bagaimana kondisi sosial keagamaan minoritas non muslim di Kota Langsa? Kedua, bagaimana respon minoritas di Kota Langsa terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh?

Selanjutna, syari’at Islam telah leih dari lima tahun diterapkan di Aceh. Dengan rentan waktu yang cukup lama tersebut maka pelaksanaan syari’at Islam di Aceh telah menjadi perhatian publik dan telah menjadi obyek penelitian dilingkungan akademik. Penelitian yang sudah pernah dilakukan diantaranya adalah; penelitian yang dilakukan oleh Bustami, dalam penelitiannya ia menjelaskan bagaimana sejarah terbentuknya syari’at Islam di Aceh. Ia membahas pelaksanaan syari’at Islam di Aceh secara global, dan ia mengakhiri penelitiannya dengan membahas bagaimana kafir zimmi dalam ruang lingkup pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Kafir zimmi adalah kafir yang berada dalam Negara

6 Kaum minoritas dapat kita contohkan; bagaimana Nabbi Muhammad

(16)

Islam dan kafir tersebut tidak bersaha melakukan pemberontakan di negara Islam. Dan hukum yang berlaku bagi mereka bukanlah hukum Islam namun hukum yang diatur oleh Negara (hukum perdana atau hukum perdata).7

Dalam hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Bustami terdapat kesamaan dan perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Persamaannya adalah sama – sama membahas kafrizimmi

walau dalam penelitian ini nantinya dikatakan dengan kaum minoritas. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Bustami adalah; pertama, dalam penelitian Bustami pembahasan tentang kafir zimmi merupakan sub bab namun dalam penelitian ini merupakan tema utama. Kedua,pembahasan Bustami yang berkaitan dengan kafirzimmidijelaskan dengan sangat umum serta tidak spesifik dan belum menjelaskan perdaerah, namun dalam penelitian ini akan membahas secara terperinci dan akan membahas khusus di Kota Langsa sebagai lokasi penelitian ini. Perbedaan antara penelitian ini dengan yang telah dilakukan oleh Bustami menunjukkan bahwa penelitian ini belum dilakukan dan dibahas oleh Bustami.

Penelitian lain yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh adalah penelitian yang dilakukan oleh Intan Melya. Dalam penelitiannya ia membahas bagaimana respon perempuan Aceh terhadap qanun syari’at Islam.8Selanjutnya buku yang ditulis oleh Taufiq Adnan Amal dan Samsul Rizal Pengabaean yang diberi judul Politik Syari’at Islam dari Indonesia hingga Negeria. Dalam bab pertama mereka membahas Syaria’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Dan dalam bab tersebut mereka menceritakan agama Islam yang sangat dekat dengan warga Aceh, selanjutnya mereka menjelaskan beberapa Peraturan Daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam. Peraturan yang dijelaskan dalam buku tersebut adalah, Peraturan Daerah No. N6/1968 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Pelaksanaan Syari’at Islam, Peraturan Daerah No. 3/2000 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Peraturan Daerah no. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam,

7 Bustami, Formalisasi Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam,

Tesis di Pascasarjana UGM Yogyakarta, Program Studi Antropologi Bidang Ilmu Humaniora, 2004,

8 Intan Melya, Perempuan dan Syari’at Islam Respon Perempuan

(17)

Peraturan Daerah no. 6/1968 tentang penyelenggaran Pendidikan, dan qanun yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.9

Dalam hasil penelitian dan buku yang telah disebutkan diatas seluruhnya berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh, namun keseluruhannya belum menjelaskan bagaimana kaum minoritas dan syari’at Islam di Aceh serta belum menjelaskan pelaksanaan syari’at Islam di Kota Langsa yang menjadi tema pokok dalam penelitian ini.

Penelitian atau buku – buku yang membahas kaum minoritas adalah; buku yang ditulis oleh M. Ali Kettani.10 Dalam bukunya Ali Kettani menjelaskan kaum minoritas muslim yang berdomisili di negara Non-muslim. Ali Kettani mengelompokkan minoritas muslim dalam tiga kelompok, kelompok pertama, yaitu yang dahulunya mayoritas, tetapi belakangan kehilangan kekuasaan dan prestise, seperti di Palestina, Etiopia, dan Herzegovina. Kelompok kedua mereka yang dahulunya minoritas sebagai penguasa, tetapi kekuasaan mereka berakhir dan mereka tetap sebagai minoritas agama, contohnya dinegara India dan Balkan. Kelompok ketiga,

mereka adalah non-muslim yang pindah agama Islam dalam lingkungan non-muslim seperti Sri Lanka.

Alaef Theria Wasin dalam buku Antologi Studi Islam Teori dan Metodelogi membahas minoritas dan mayoritas dengan menggunakan pendekatan psikologi sosial keagamaan. Permasalahan minoritas dan mayoritas agama mencakup persoalan dalam bidang budaya, ekonomi, serta politik yang semuanya terkait dengan persoalan identitas. Disamping itu, beliau menegaskan bahwa sebagai fenomena sosial keagamaan, minoritas dan mayoritas akan lebih tepat kalau didekati secara sosialogis-keagamaan, antropologis-budaya agama, dan psikologi sosial agama.

Untuk memahami prilaku agama minoritas dan mayoritas diperlukan diperlukan adanya keterbukaan dalam penghayatan agama yang tidak sadar dan tidak logis. Kondisi dan situasi tertentu seringkali dapat membawa pada skala represi – sensitasasi. Secara psikologis dapat dipahami adanya pengalaman schizotipik yang berupa gangguan kepribadian yang ditandai dengan pengucilan diri,

9Taufiq Adnan Amal dan Samsul Rizal Pangabean,Politik Syari’at Islam

dari Indonesia hingga Negeria,(Jakarta: Pustala Alvabet, 2004)

10M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini, ter. Zarkowi

(18)

dan kadang – kadang dengan pikiran – pikiran eksentrik. Pengalaman ini juga merupakan keterbukaan terhadap aspek – aspek pengalaman non-logis.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa kajian tentang pengaruh sosial keagamaan dalam persoalan minoritas dan mayoritas akan menemukan berbagai ketidaksetaraan power sesuatu kelompok dan seseorang untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Apabila mayoritas memahami bahwa mereka dapat mempengaruhi even-even, maka minoritas merasa bahwa mereka kehilangan dan tidak lagi memegang control even.

Penelian minoritas non muslim di kota Langsa akan dianalisa dengan teori hegemoni dan dominasi yang di pinjam dari Gramsci. Hegomoni dalam bahasa Yunani kuno disebut dengan“eugemonia”

, sebagaimana dikemukakan dalam Encylopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polis atau citystates) secara individual, misalnya yang dilakukan oleh negara kota Athena dan Sparta, terhadap negara lain yang sejajar. Dalam pengertian dizaman ini, hegomoni menunjukkan sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara – negara lain yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dengan negara “pemimpin”. Dalam penelitian ini akan menggunakan teori hegemoninya Gramsci.

Bagi Gramsci, kelas sosial akan mencapai keunggulan (supremasi) melalui dua cara, yaitu melalui cara dominasi

(coercion) dan cara yang kedua adalah melalui kepemimpinan intelektual serta moral. Dalam pandangan Gramsci hegemoni merupakan suatu kemenangan yang diperoleh melalui kesepakatan “consensus” dari pada suatu penindasan kelas sosia terhadap yang lain. Hal ini dicapai dengan berbagai macam cara, misalnya melalui lembaga – lembaga masyarakat. Ketika Gramsci berbicara tentang

consensus, ia selalu mengaitkan dengan spontanitas bersifat psikologis yang mencakup berbagai penerimaan atau sosiopolitis ataupun aspek – aspek aturan.

Hegemoni terjadi lewat proses consensus,consensustersebut dicapai dengan melalui penyesuaian. Ada tiga katagori penyesuaian yang meliputi :

(19)

Disini konformitas ditempuh melalui penekanan dan sangsi – sangsi yang menakutkan.

2. Orang menyesuaiakan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan – tujuan tertentu. Konfirmitas dalam hal ini merupakan partisipasi yang tidak terefleksi dalam bentuk aktifitas yang tetap, sebab orang menganut pola – pola tingkah laku tertentu dan jarang kemungkinan untuk menolak.

3. Konformitas yang muncul dari tingkah laku mempunyai tingkat – tingkat kesadaran dan persetuan tertentu dengan masyarakat.

Teori hegemoni Gramsci dapat digunakan dalam penelitian ini dikarenakan kaum minoritas di Kota Langsa tidak dapat melakukan aktifitas sesuai dengan agama dan kebuyaan, karena mereka terhegemoni oleh peraturan yang ada di Kota Langsa. Kategori penyesuaian dalam teori hegemoni Gramsci dapat kita gunakan dalam melihat bagaimana minoritas bersedia memakai pakaian Islam dan simbol – simbol Islam? Serta dapat untuk menjelaskan bagaimana khalwat (perbuatan mesum) di Kota Langsa dapat ditekan?. Hal ini dikarenakan mereka takut dengan sangsi – sangsi yang diberikan bila mereka tertangkap atau terkena razia. Kaum minoritas memakai simbol – simbol serta pakaian Islam merupakan hasil kesepakatan (conssensus) antara diri mereka dengan peraturan dan kondisi sosial masyarakat setempat. Pernyataan ini dapat kita lihat kaum minoritas memakai simbol – simbol serta pakaian Islam sebagai penghormatan terhadap orang Islam dan untuk keamanan mereka tinggal. Untuk keamanan inilah alasan yang lebih dominan bagi masyarakat.

Dalam penelitian ini, menggunakan pula teori rasional (rational choice theory). Teori pilihan rasional (rational choice theory) atau sering disebut teori tindakan rasional (rational action

theory) menganut pandangan bahwa satuan-satuan prilaku

(20)

keputusan dan teori permainan dan kedua teori ini masih berkaitan erat dengan teori pilihan rasional.

Teori putusan berkaitan dengan kondisi parametric yang mengasumsikan bahwa si pengambil keputusan atau pelaksana tindakan tidak perlu membuat perhitungan mengenai apa yang dilakukan oleh sipelaku dalam mengambil keputusan. Sebaliknya, apabila pelaku perlu membuat perhitungan mengenai bagaimana dengan orang lain akan memilih (tindakan) dalam mengambil keputusan (tindakan-tindakan) maka ini berkaitan dengan teori permainan dan didalam kondisi strategic. Aplikasi teori pilihan rasional (rational choice theory) dalam penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana minoritas di Kota Langsa dalam memilih tindakan – tindakan yang ia lakukan. Tindakan – tindakan yang mereka pilih bisa dalam bentuk pengakuan dan mengikuti apa yang telah ditetapkan dalam undang – undang serta memakai atribut Islam dengan penuh kesadaran dan sukarela atau mereka tidak mempunyai pilihan yang rasional untuk memilih tindakan.

B. Ekologi Kota Langsa

Penelitian ini di laksanakan di Kota Langsa. Sebelum Ditetapkan Menjadi Kota, Langsa Adalah Bagian Dari kabupaten Aceh Timur Yang Ibukota Kabupatennya adalah langsa dan Merupakan Kota Administratif Yang Dibentuk Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1991 Tanggal 22 Oktober 1991, dan Diresmikan Oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Pada Tanggal 2 April 1992. Kemudian, sesuai dengan perkembangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam baik dari segi Budaya, Politik dan Ekonomi, Propinsi ini Semakin Dituntut Mengembangkan diri, Khususnya dari segi Pemerintahan sehingga pada Tahun 2001 terbentuklah Kota Langsa yang merupakan Pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 pada tanggal 21 Juni 2001 dan Peresmiannya dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2001. Luas wilayah Kata Langsa 262, 41 Km², serta ketinggian diatas permukaan laut 25 meter dengan suhu rata-rata 28° C sampai dengan 32° C.11Pada awal terbentuknya Kota Langsa terdiri dari 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Langsa Barat, Kecamatan Langsa Kota dan Kecamatan Langsa Timur dengan Jumlah Desa Sebanyak 45 Desa (Gampong) dan 6 Kelurahan. Kemudian dimekarkan

(21)

menjadi 5 Kecamatan Berdasarkan Qanun Kota Langsa No 5 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Langsa lama dan Langsa Baro.

Secara umum tatanan kehidupan masyarakat Kota Langsa sangat baik dan harmonis dikarenakan mereka hidup dengan sara kekeluargaan yang sangat tinggi. Keharmonisan dalam kehidupan masyarakat sangat dituntut dan harus diutamakan dikarenakan penduduk Kota Langsa sangat plural. Pluralnya penduduk Kota Langsa dapat dilihat dari berbagai etnis (seperti Cina dan India), suku (seperti Jawa, Batak, dan Minang) dan agama (seperti Hindu, Budha dan Keristen) selain agama Islam.

Dalam kehidupan beragama, sensitifitas masyarakat Kota Langsa sangatlah tinggi meskipun masih diragukan pengamalan beragamanya sehari-hari. Namun bila agama yang diyakininya mendapat celaan dan hinaan (terutama dari agama lain) mereka tidak segan-segan melakukan tindakan anarkhis. Kondisi keagamaan berjalan dinamis, persoalan akan muncul bila dihadapkan dengan persoalan penghinaan dari agama lain. Akan tetapi lain persoalannya bila celaan tersebut muncul atau dari orang yang berasal dari agama yang sama hanya sebagai celotehan burung saja, atau sebagai bahan pembicaraan dikalangan jamaah pengajian tanpa menimbulkan tindakan yang mengarah kepada anarkhis.

Sarana peribadatan di Kota Langsa sudah sangat memadai dan mengakomodasi bagi umat beragama yang akan melaksanakan ritual keagamaannya. Sarana peribadatan yang ada seperti masjid,

(22)

jiwa mereka tenang di masjid mereka bisa khusuk dalam berdoa untuk meminta keselamatan bagi diri dan keluarga mereka.

C. Reorientasi Minoritas

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, manusia akan selalu membutuhkan manusia lainnya, dan atas dasar itulah terjadi interaksi atau hubungan timbal-balik antar manusia. Interaksi antara satu manusia dengan manusia lainnya akan membawa mereka ke hubungan sosial yang lebih luas, membuat semacam rantai panjang yang menghubungkan satu sama lain. Adanya interaksi tersebut dapat membentuk sebuah komunitas sosial yang pada dasarnya dipersatukan oleh sebuah konsensus, kepentingan bersama, yang diinginkan oleh setiap anggota komunitasnya.

Dalam sebuah komunitas sosial, bukan tidak mungkin jika di dalamnya masih terdapat pengelompokan-pengelompokan yang berskala lebih sempit, yang mana tiap-tiap kelompok memiliki sebuah kesamaan yang lebih spesifik daripada konsensus secara umum yang tercipta dari sebuah komunitas sosial. Secara umum sebuah komunitas sosial masih dapat dipecah lagi menjadi dua bagian, yaitu kelompok mayoritas dan minoritas. Mayoritas adalah jumlah terbanyak dalam suatu kelompok, sedangkan minoritas adalah mereka yang secara konsisten tidak setuju terhadap pengaruh kaum mayoritas. Kelompok minoritas memiliki anggota dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan kelompok mayoritas. Contohnya, sebuah kelompok yang terdiri atas tiga orang, dimana seorang individu yang berbeda dengan dua orang lainnya adalah minoritas, sedangkan sisanya adalah mayoritas.

(23)

Minoritas sejauh ini memang lebih merupak sejumlah kriteria yang ditetapkan oleh pihak luar kepada kelompok yang ditentukan. Sebagai ilustrasi minoritas dan mayoritas dapat dilihat dari definisi yang diungkapkan oleh UN Special Rapporteur, Francesco Capotorti yang dikutib oleh Hikmah Budiman dalam buku Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Dalam laporannya Capotorti mencoba menerangkan minoritas, yaitu;

"A group, numerically inferior to the rest population of a State, in a non dominant position, whose members being nationals of the State possess ethnic, religious or linguistic chacteritics differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religion or language."12

Selajutnya Hikmah Budiman mengutip definisi yang didefinisi oleh Jules Deschennes:

"A group of citizens of a State, constituting a numerical minority and in a non-dominant position in the State, endowed with athnic, religious, or linguistic characteristics which differ from those of the majority of of the population, having a sense of solidarity with one another, motivated, if only implicitly, by a collective will to survive and whose aim is to achieve aquality with the majority in fact and law".13 Secara teoritis kelompok minoritas dan mayoritas selalu dilihat dari berbagai aspek kepentingan, ada tinjauan secara kualitatif, kuantitatif,etnis, ras, budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Bahkan hampir tidak ditemukan teori kelompok minoritas dan mayoritas dari sudut pandang kelompok agama. Ketika perbincangan mengenai kelompok suatu agama, maka hampir setiap individu merasakan sangat sensitive dan rentan. Orang dapat tersinggung dan bahkan saling membunuh bila menyentuh wilayah agama masing-masing dan bahkan dapat memicu konflikdi antara umat beragama. Oleh karena itu, persoalan agama bisa menjadi potensi konflik bila salah digunakan, dan bila

12 Hikmat Budiman, Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme Di

Indonesia, (Jakarta: The Interseksi Fondation, 2005), hlm. 10

(24)

disampaikan secara benar, akan menjadi sumber kekuatan persatuan, tergantung mana yang akan dimanfaatkan oleh suatu kepentingan kelompok tertentu.

Menurut Liliweri minoritas kelompok berdasarkan agama selalu digambarkan oleh pengelompokan sejumlah orang beragama tertentu, yang secara kuantitatif maupun kualitatif berbeda dengan agama kelompok mayoritas. Di Indonesia, secara nasional orang selalu mengatakan Indonesia bukan negara Islam, tetapi Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Artinya, kelompok Islam merupakan mayoritas dan kelompok agama lainnya merupakan minoritas. Namun di bagian tertentu wilayah Indonesia lainnya ada kelompok mayoritas yang non-muslim, seperti di Provinsi NTT dapat dikatakan "provinsi Kristen" yang menggambarkan penduduk di wilayah ini mayoritas kelompok keagamaan Kristen, sedangkan kelompok Islammerupakan penduduk minoritas.14

Dari definisi minoritas di atas terdapat lima hal yang perlu diperhatikan dengan crmat ketika melihat minoritas dan mayoritas, pertama, dalam kedua definisi di atas minoritas ditunjukkan oleh perbandingan nomerik dengan sisa populasi yang lebih besar. Artinya, sebuah kelompok dapat disebut sebagai munoritas jikalau jumlahnya signifikan lebih kecil dari sisa populasi lainnya dalam sebuah Negara.

Kedua, berhungan erat dengan yang pertama, minoritas mengandaikan sebuah posisi yang tidak dominan dalam konteks sebuah Negara, tetapi fase "tidak dominan" tersebut tidak dijelaskan secara spesifik. Artinya, pengandaian tersebut juga menuntut pengandaian lain: bahwa term "dominan" dapat dipahami sebagai sebuah makna tunggal yang melingkupi seluruh sector kehidupan social. Kongkritnya, untuk kembali pada problematic sebelumnya, kalau sebuah kelompok minoritas dalam jumlah tetapi ia dominan dalam sector ekonomi sebuah Negara. Sebaliknya, jikalau sebuah kelompok tidak berada pada posisi dominan dalam sector apapun , tetapi kelompok tersebutmayoritas dalam jumlah, kelompok tersebutjuga tidak dapat diesebut sebagai kelompok minoritas.

Ketiga, menjadi minoritas juga mengandaikan terdapatnya perbedaan salah satu atau semuanya dari tiga wilayah, yakni, etnik,

14 Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas

(25)

agama, dan linguistic, dengan sisa papulasi lain. Batasan seperti ini sulit untuk dipahami kedalam konteks multiplisitas identitas yang terdapat dalam kelompok etnis, agama, dan penutur linguistic tertentu. Pengaju definisi ini menggunakan sebuah cara pandang yang melihat karakteristik orang atau kelompok orang, yang jumlah anggotanya terbatas itu sebagai sebuah konsep uniter, tunggal dan utuh. Etnis, agama dan bahasa dilihat sebagai satuan kecil yang secara bersama-sama yang secara bersama-sama menentukan karakteristik sebuah kelompok.

Keempat, menjadikan minoritas mengharuskan orang atau kelompok orang memiliki rasa solidaritas antara sesama mereka, dan membagi bersama keinginan untuk melestarikan agama, bahasa, tradisi, budaya dan kepentingan untuk meraih persamaan didepan hukum dengan populasi diluarnya. Meskipun sekilas cukup masuk akal, tetapi batasan ini menetapkan minoritas menjadi sebuah criteria yang sudah selesai disematkan kepada sekelmpok masyarakat, dan menutup adanya peluang reposisi hubungan social dengan kelompok-kelmpok di luarnya.

Selanjutnya, formulasi konsep minoritas juga diikuti oleh pemisahan dari apa yang disebut "indigenous people". Pemisahan ini dapat dilihat dari definisi yang diungkapkan oleh Jose Martines Cobo:

"Indigenous communities, people and nations are those which, having a historical continuity with pre-invasion and pre-colnial that developed on their territories, consider themselves distics from other sector of the societies now prevailing in those territories or parts of them. They form at present non-dominant sectors of that society and are determined to preserve, develop and transmit to future generations their ancestral territories, and their ethnic identity, as the basis of their continued existence as peoples, in accordance with their own cultural patterns, social institutions and legal systems".

(26)

sesungguhnya yang benar merupakan penduduk asli dari suatu daerah tertentu. Jikalau term "suku terasing"sering melahirkan pertanyaan tentang makna "terasing" yang dimaksud dalam konsep tersebut. Jikalau "terasing" dipahami sebagai sebuah criteria eksistensialis dan diletakkan dalam konteks relasi manusia dengan dunianya, penggunaan istilah "suku terasing" bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang memilih jalan hidupnya sendiri yang berbeda dengan mayoritas warga itu jelas tidak memiliki landasan teritis yang kuat.

Selanjutnya kata "terasing" diganti dengan kata "terpencil",15 kata ini tidak hanya merujuk kepada "geografis" tetapi juga merujuk kepada "cultural". Kelompok-kelompok mayarakat yang terkategori "terpencil" bukan hanya karena secara geografis kebetulan mereka jauh dari pusat-pusat kehidupan kelompok mayoritas, tetapi juga kerena mereka dianggap terpisah dari mayoritas melalui program-program modernisasi. Terpencil bukan hanya berarti jauh dari fisik tetapi juga psikologis, karena ia jga identik dengan status terbelakangan dibanding mayoritas.

Istilah minoritas hendaknya janganlah dipandang sebagai sesuatu yang given. Status minoritas harus dipandang lebih sesuatu hasil proses interaksi antar kelompok dalam masyarakat majmuk yang sering diwarnai praktek mendominasi. Dalam hal ini, dapat dicontohkan komunitas Tengger, yang tergolong pula komunitas local. Terbentuknya komunitas Tengger tersebut karena diakibatkan karena desakan social-ekonomi yang mendorong banyak penduduk yang pada awalnya berdomisili di kaki bukit Tengger dan harus berpindah kepegunungan yang sulit dijangkau, untuk menghindari desakan otoritas tradisi Jawa dan colonial yang

15 Penegasan masyarakat terpencil ini tertuang dalam Kepres No.11 tahun

(27)

membutuhkan wilayah subur dan banyak manusia untuk tenaga pasukan dan pengelola pertanian.16

Dalam konteks perbedaan tentang minoritas, mungkin menarik mengutip gagasan Homi Bhabha. Menurut Homi Bhabha membicarakan masalah minoritas tanpa sikap kritis akan menyeret kita kedalam minoritas. Bhabha melihat sumbernya dapat dilacak bagaimana minoritas dinarasikan atau direpresentasikan. Peran pemerintah sampai saat ini sangat kuat di dalam menentukan identitas minoritas yang dianggap bisa direpresentasikan (representable). Dalam wacana multikulturalisme, narasi tentang minoritas juga cendrung dipandang secara oposisi biner; maju/terbelakang, modern/tradisional, baik/buruk, dan seterusnya. Bhabha mengusulkan konsep minoritas yang dilihat dalam rangkaian "in-between" yakni bahwa formasi diri identitas minoritas sebagai bentuk dari agen kolektif sesungguhnya dibangun melalui "memorisasi" kolektif. Dalam hal ini, Bhabha ingin menunjukkan bahwa minoritas bukanlah sesuatu yang bersifat territorial, akan tetapi bersifat temporer, kesementaraan yang memiliki kemungkinan untuk terus berubah.17

Konsen "in between" ini maksudnya, ranah social selalu berada pada posisi di antara satu kultur dengan kultur lainnya yang saling tumpang tindih. Sehingga, batasan-batasan kategorikal pada soal identitas kultur selalu menjadi sangat kabur jika dihadapkan dengan fakta-fakta di lapangan. Karena itu, dapat dipahami bahwa, dalam konteks budaya,betapa kabur pula batas-batas kebudayaan yang membedakan antara "yang modern" dan "yang bukan modern". Dengan pemahaman terhadap konsep minoritas yang demikian, praktik marjinalisasi kelompok minoritas bisa dipahami sebagai produk dari akibat-akibat diskursif, dan bukan sesuatu yang berangkat dari persoalan ontologis.18

Will Kymlica memberikan empat karakteristik untuk dapat dikatakan minoritas, yaitu: pertama, kelompok tersebut jumlah populasinya kecil.Kedua, kelompok tersebut memiliki posisi social yang lemah. Ketiga, kelompok tersebut memiliki perbedaan pada salah satu hal atau semuanya dengan sisa populasi lainnya dalam

16Tania Murray Li,Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia

(Jakarta: Yayasan Obor, 2002), hlm. 14

17 Homi K Bhabha, Culture's in Between" dimuat dalam Multicultural

State Rethinking Difference And Identity(London: Routledge, 1998), hlm. 8.

18Mashudi Noorsalim, (edt),Hak Minoritas Minoritas, Multikulturalisme

(28)

wilayah agama, etnik, ras, dan bahasa (perbedaan askriptif).

Keempat, kelompok tersebut memiliki komitmen bersama untuk memperjuangkan emansipasi mereka di depan hukum dengan populasi mayoritas.19 Selanjutnya Will Kymlica menjelaskan bahwa cukum sulit untuk memasukan dalam kategori sebagai kelompok minoritas karena harus memenuhi empat kategori tersebut. Problemnya adalam persyaratan tersebut seolah-olah merekomendasikan sejenis determinasi cultural terhadap konsep mengenai kelompok minoritas dan tidak memberian kemungkinan adanya bentuk-bentuk reposisi social pada konsep mengenai kelompok minoritas.

Dalam membahas minoritas dan mayoritas ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda- yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Konsep multicultural sangat bervariasi dalam menjelaskannya, diantaranya adalah konsepsi yang ditawarkan oleh Bhikhuni Parekh, yaitu sebagai fakta adanya perbedaan kultur dan kulturalisme merupakan tanggapan atau respon yang normative terhadap fakta tersebut. Menurut Parekh terdapat tiga perbedaan yang dapat dilihat dalam masyarakat, yaitu: pertama

perbedaan subkultur (subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang berlaku. Kedua, perbedaan dalam perpektif (perspectival diversity), yaitu individu atau kelompok dengan perpektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya. Ketiga, perbedaan komunalitas (communal

diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan

gaya hidup yang genuinesesuai dengan identitas komunal mereka (indigeneous people way of life).20

Sementara H.A.R. Tilaar mengatakan bahwa multicultural sangat berkaitan dengan asal katanya yaitu "multi" yang berarti majmuk (plural) dan kulturalisme yang berarti cultural atau

19 Will Kymlica,Kewargaan Multikultural, Teori Liberal Mengenai

Hak-hak MinoritasTerj. Edlina Hafmini Eddin (Jakarta: LP3ES, 2002), hlm. 33

20Bikhu Parekh. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity

(29)

budaya yang memiliki makna beragam atau berjenis-jenis.21

Selanjutnya, multikulturalisme adalah kata yang berdekatan dengan kata-kata multicultural. Multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Multikulturalisme dapat diartikan sebagai “keberagaman budaya”.22 Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition), terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.23

Multikulturalisme sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah tiga dekade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini. Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya:5 kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin akademik lain,

21 H.A.R. Tilaar,Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Golobal Masa

Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 83

22 Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), Recognition And

Difference: Politics, Identity, Multiculture(London: Sage Publication, 2002), hlm. 5

23 Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of

(30)

pembebasan melawan imperialisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/masyarakat adat (indigeneous people), post-kolonialisme,

globalisasi, post-nasionalisme, post-modenisme dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi stuktur kemapanan dalam masyarakat.

Multikulturalisme gelombang kedua ini, memunculkan tiga tantangan yang harus diperhatikan sekaligus harus diwaspadai, yaitu, pertama adanya hegemoni barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya negara-negara berkembang, perlu mempelajari sebab-sebab dari hegemoni barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah- langkah seperlunya mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia barat. Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu sendiri di dalam era globalisasi. Ketiga, proses globalisasi, bahwa globalisasi bisa memberangus identitas dan kepribadian suatu budaya.24

D. Minoritas dan Mayoritas di Kota Langsa

Agama Islam adalah agama mayoritas masyrakat Kota Langsa dan rakyat Aceh umumnya. Hukum Syariat Islam menjadi aturan dasar dalam kehidupan masyarakat Kota Langsa. Agama Kristen juga menjadi bagian dari populasi, sementara Buddha banyak diadopsi oleh komunitas warga Tionghoa (China). Kota Langsa merupakan kota yang kaya akan perbedaan etnis dan, bagaimanapun, penduduk tetap hidup dalam damai dan memiliki toleransi beragama yang kuat, walaupun masih ada krikil – krikil halus yang harus dibenahi dalam toleransi beragama. Lokasi Kota Langsa sangat dekat dengan Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara, sehingga menempatkan Kota Langsa sebagai kota yang strategis dan kaya imigran.

Selanjutnya, untuk melihat bagaimana minoritas non-muslim di Kota Langsa maka dapat kita lihat dari dua sisi kehidupan non muslim dalam masyarakat muslim. Pertama, relasi minoritas non muslim dalam masyarakat muslim Kota Langsa. Dalam masyarakat multikultural seperti Kota Langsa sebuah tinjauan

(31)

minoritas-dominan dan minoritas mayoritas merupakan kategori analisis untuk melihat secara kuantitatif. Keberagaman etnis, suku dan agama yang hidup berdampingan di Kota Langsa membuat peneliti untuk harus mencari informasi mengenai hubungan non muslim dengan masyarakat muslim di Kota ini, dari beberapa responden yang saya wawancarai dengan latar belakang agama dan etnis yang berbeda, mereka ada yang beretnis Batak dengan meyakini Kristen sebagai agama yang benar, dan sebagian mereka merupakan etnis Cina yang beragamakan Budha, juga tentunya dengan latar belakang pofesi yang berbeda pula : Pegawai Negeri Sipil, pegawai swasta, pedagang, ibu rumah tangga, mahasiswi dan sisiwi. Mayoritas yang saya wawancarai perempuan Kristen yang mengenakan jilbab dalam waktu – waktu tertentu, walaupun saya juga mewawancarai perempuan Kristen Langsa yang saat penelitian dilakukan sudah tidak berjilbab.

Sebut saja seperti Mayeska Simbolon, dia adalah perempuan non muslim yang mengenakan jilbab hanya pada saat pergi kuliah, ketika ditanyai seputar pelaksanaan syari’at Islam di Kota Langsa dia berpendapat bahwa, secara konprehensif pelaksanaan syari’at Islam sudah berjalan dengan baik, namun dia merasa masih ada unsur paksaan dari petugas yang berwenang sehingga membatasi ruang gerak perempuan non muslim,“ walaupun non muslim tolonglah hargai” itulah penggalan kata yang keluar dari petugas dinas syari’at Islam katanya, kendatipun menurut mayeska dia telah berbusana sopan. dia juga mendapatkan sikap yang tidak menyenangkan dari beberapa oknum dosen yang ketika proses belajar mata kuliah bahasa inggris namun dosen tersebut membawa arah pelajaran kepada agama, berikut adalah pernyataannya; “saya sempat beradu argumentasi dengan dosen bahasa inggris, saat pelajaran berlangsung dia (dosen itu) selalu menonjolkan agama Islam dan seakan – akan merusak agama saya”25

Berbeda halnya dengan pengakuan bapak Purba, kepada peneliti dia menceritakan pengalaman tentang kehidupan sosial ditengah masyarakat Aceh yang notabenenya mayoritas penganut agama Islam, pada prinsipnya dia sangat menjujung tinggi toleransi antar umat beragama, sehingga dalam menjalankan kehidupan di tengah-tengah masyarakat muslim akan terciptanya relasi yang baik dan harmonis, ini buktikan jika ada kegiatan – kegiatan sosial

25Wawancara langsung dengan Mayeska Simbolon (mahasiswi UNSAM

(32)

keagamaan dia ikut serta. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan yang disampaikan oleh Bapak purba; “saya jika ada musibah kemalangan kawan – kawan kantor ikut untuk menghadiri musibah, kemudian jika ada perayaan hari – hari besar Islam saya juga turut andil pada kegiatan itu”.26

Selanjutnya, bentuk relasi toleransi Bapak Purba terhadap mayoritas muslim di Kota Langsa pemotongan gaji untuk zakat. Zakat merupakan kewajiban yang dibebankan terhadap umat Islam namun beliau menyisihkan gajinya untuk zakat yang bukan menjadi kewajiban umat Kristiani; “Ketika saya masih aktif sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di BKPP Aceh Timur uang gajih saya juga dipotong untuk zakat, ini semata – mata saya lakukan atas dasar sikap toleransi beragama”.27

Namun ketika ditanya apakah dia pernah mendapat diskriminasi dari mayoritas, dia menjawab tidak ada perlakuan diskrimanasi yang menonjol, namun dia mengaku bahwa ada salah seorang dari jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang enggan untuk melaksanakan pengajian dirumahnya, karena dikhawatirkan masyarakat disekitar rumahnya merasa terganggu dengan adanya pengajian tersebut.

Hal senada juga disampaikan oleh ibu Dona, dia memiliki prinsip dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, artinya dalam kehidupan bermasyarakat beliau menyadari bahwa manoritas herus lebih bisa memahami kearifan lokal, hal ini dibuktikan dengan seringnya dia mengikuti pengajian dengan kawan – kawan mayoritas “ saya kalau diundang untuk datang ke pengajian maka saya akan datang”28 ujar seorang perempuan yang berprofesi sebagai guru ini.

Hal serupa juga disampaikan oleh ramia, dalam kehidupan sehari-hari dengan mayoritas tidak merasakan perbedaan atau diskriminasi dengan umat muslim, dia bergaul layaknya sesama muslim bergaul, bahkan dia sangat mengahargai toleransi antar umat beragama, berikut petikan wawancaranya: “saya sudah lama tinggal di Aceh, dalam pergaulan sehari-hari saya berbaur baik dengan umat muslim, bahkan kadang jika sedang duduk sore

26 Hasil Wawancara dengan Bapak Purba (Sekretaris Gereja HKBP ota

Langsa) tanggal 04 Oktober 2013 di Langsa pada pukul 17. 00

27Ibd

28 Wawancara dengan ibu Dona (guru SMAN 3 Langsa) tanggal 07

(33)

dengan ibu-ibu begitu masuk azan maghrib saya langsung pulang kerumah”29

Dia juga menambahkan mengenakan jilbab merupakan kesadaran sendiri, bahkan sebelum pelaksanaan syariát Islam diterapkan di Aceh dia sudah mengenakan selendang, ketika penerapan syariát Islam dia memilih melakukan peneysuaian tanpa permintaan pihak manapun.

Kedua, keterpaksaan diri dalam bermasyarakat. Dalam pergaulan sehari – hari di masyarakat, baik disekitar lingkungan rumah maupun di lingkungkan perguruan tinggi tempat dia menuntut ilmu, mayeska merasakan keadaan yang baik, walaupun ada sedikit diskriminasi dari kawan – kawannya yang menjauhinya ketika mereka tahu agama yang dipeluk mayeska, hal ini yang memaksa dia merasa malas untuk terlalu bergaul dalam masyarakat berikut penggalan hasil wawancara: “sebenarnya saya kepingin bergaul dengan kawan – kawan, namun karena sikap mereka yang menarik diri dari saya karena mengetahui perbedaan agama”30

Ia juga menceritakan bahwasannya kawan – kawan yang muslim tidak pernah mau untuk singgah kerumahnya, padahal yang dia lakukan tidak lebih untuk menghargai tamu yang dating kerumahnya, inilah ungkapan yang disampaikan saat diwawancara:

“ada kawan saya datang kerumah untuk mengambil KHS, kebetulan saya sempat menjabat sebagai komisaris, kemudian saya persilahkan masuk, namun tidak satupun dari mereka untuk masuk, padahal apa salahnya hanya sekedar masuk dan duduk sebentar, ini saya lakukan karena untuk memuliakan tamu, tidak lebih”

Selanjutnya, Mayeska juga mengaku ketika dia mengenakan jilbab saat pergi kuliah itu tidak lain karena untuk menghindari keterasingan dan menyesuaikan diri dengan kaum mayoritas, dengan keadaan lingkungan ditempat dia kuliah dimana semua teman perempuannya mengenakan jilbab, berikut ungkapannya saat dilakukan wawancara :

29 Wawncara dengan ibu riyamah (Guru SDN 5 Langsa) tanggal 08

Oktober 2013, di Langsa pukul 15. 15

30 Wawncara dengan mayeska simbolon (mahasiswi UNSAM Langsa)

(34)

“ pada awal – awal kuliah pihak kampus memberikan kebesasan kepada saya untuk tidak mengenakan jilbab, tapi setelah saya jalani saya merasa asing dengan kawan – kawan yang lain, karena Cuma saya sendiri yang tidak berjilbab sehingga saya menjadi sorotan, akhirnya saya coba tanya sama keluarga dan keluarga pun mengizinkan saya untuk berjilbab, makanya saya putuskan untuk berjilbab saat kuliah”31

Berbeda halnya dengan ibu Dona, dia merasa tidak asing hidup berdampingan dengan masyarakat mayoritas, karena setiap ada acara hari besar Kristen kawan – kawan muslim pun ikut datang untuk bersilaturahmi, berikut kutipan hasil wawncara: “mereka (mayoritas muslim) jika telah tiba Natal dan tahun baru selalu bertanya kepada saya kapan dirumah saya kosong yang tidak ramai dengan keluarga sehingga mereka akan datang kerumah”32

Hal serupa juga diungkapkan oleh pak purba, dia tidak merasakan terasing hidup ditengah – tengah masyarakat mayoritas, kepada peneliti dia mengungkapkan bahwa dalam menjalankan kehidupan dimasyarakat mayoritas dia merasa enjoy dan nyaman – nyaman saja, berikut isi hasil dari wawancara: “pada dasarnya semua kembali kepada pribadi masing – masing, bagaimana kita menyikapi kehidupan sosial, harusnya kita lebih bijak dan santun dalam pergaulan sehingga akan terciptanya situasi yang aman dan harmonis”33

E. Respon Non Muslim Terhadap Penerapan Syariat Islam

Islam sebagai surga simbol, dan memiliki kekuatan untuk melegalkan simbol-simbol tersebut kedalam suatau sistem yang lebih besar dalam upaya mengontrol dengan menggunakan legitimasi agama, yang sudah mulai merajalela, seperti Kerudung, pelarangan minuman keras, pelarangan perjudian, pelarangan pelacuran , adalah contoh kecil pelegalan simbol-simbol agama kedalam sistem pemerintahan. Seperti yang di terapkan oleh pemerintah Kota Langsa.

31Wawancara dengan Mayeska Simbolon (mahasiswi UNSAM Langsa)

pada tanggal 03 Oktober 2013 di Langsa pukul 16. 15

32 Wawancara dengan ibu Dona (Guru SMAN 3 Langsa) pada tanggal 07

Oktober 2013 di Langsa pukul 17. 00

33 Wawancara dengan bapak Purba (Sekretaris Gereja HKBP Langsa)

(35)

Penampakan simbol-simbol agama mempunyai tujuan yang cukup bagus, yaitu menciptakan tatanan hidup masyarakat yang lebih baik. Namun, yang menjadi persoalan adalah mengapa suatu peraturan hanya diambil dari satu agama saja (Islam) seperti Syariat Islam.

“..Syariat Islam dikelola sendiri oleh orang Islam… “ Syariat Islam itu adalah salah satu aturan yang menjurus ke islam, jadi hanya dikalangan islam sendiri, tidak menutup kemungkinan kedepannya akan menjurus kepada masyarakat yang lain untuk melaksanakannya..”34 Lalu bagaimana status diluar agama non Islam, seperti agama Kristen atau Budha. Penerapan Syariat Islam di Kota Langsa tentunya akan berdampak lebih jauh terhadap kehidupan kaum minoritas. Walaupun peraturan itu dikhususkan bagi umat Islam, dampaknya tentu saja akan mempengaruhi pola aktivitas kehidupan kaum minoritas. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Liem35

“...Dulu sebelum konflik, rasanya tidak ada hal yang terlalu mengganggu dalam aktivitas kehidupan kami. Saat itu tidak ada keharusan untuk berpakaian Muslim. Ketika konflik terjadi kami betul-betul merasa ketakutan terutama terhadap situasi pada saat itu, kami harus menyetor sejumlah uang kepada oknum tertentu kalau kami ingin selamat. Banyak teman-teman kita yang kemudian pindah ke Medan karena merasa tidak aman. Pada saat itu kondisi benar-benar terasa sulit, Kami tetap bertahan karena kami tidak punya tempat yang lain di medan. Sekarang setelah aman ada penerapan syariat Islam. Saya sendiri belum pernah diapa-apakan oleh petugas dari Dinas Syariat Islam. Tapi ada orang kita yang dibentak-bentak ketika ada razia karena memakai celana ponggol yang agak ketat...”

Ada semacam rasa ketakutan tertentu bagi kalangan minoritas Tionghoa yang tinggal di Kota Langsa terhadap penerapan Syariat

34 Wawancara dengan Kiki (seorang pemuda keturunan tionghoa) pada

tanggal 13 september 2013 dilangsa Jam 20.30 Wib

35Wawancara dengan Ibu Liem (seorang Pedagang Makanan Keturunan

(36)

Islam. Ada semacam rasa ketakutan dikalangan mereka jika Pelaksanaan Syariat Islam akan mengarah ke mereka. Selanjutnya Ibu Liem mengatakan36

“...Sebenarnya saya pribadi tidak ada masalah dengan orang Islam. Toh, dulu Islam sekarang juga Islam, yang kerja sama saya juga semua Islam. Tapi... hati saya kok tidak tenang kalo ada mobil WH lewat, dalam hati saya selalu bertanya, mau ngapain lagi mereka itu...”

Kalau kita lihat hasil wawancara dengan Ibu liem bahwa pada dasarnya tidak ada masalah dengan Islam. Kemungkinan Image (prasangka) yang timbul dikalangan mereka adalah bahwa Syariat Islam identik dengan Dinas Syariat Islam dengan aktor penggerak dilapangan adalah petugas Waliyatul Hisbah (WH).

Dari fenomena diatas kita menyadari bahwa dalam kehidupan kaum minoritas ada berapa hal yang patut diperhatikan, salah satunya dominasi Negara dan pemahaman agama mainstream yang hendak memaksakan kekuasaannya (baik politik maupun agama) melalui perundang-undangan. Akibatnya, akan timbul diskriminasi di mana-mana, proses eksklusif semakin masif, stigmanegatif menimpa mereka yang dianggap minoritas, dan berbagai ancaman konflik sosial dengan intensitas yang beragam. Pemukulan terhadap Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa yang terjadi beberapa waktu yang lalu ketika hendak menghentikan pertunjukan keyboard di kampung karang Anyar menunjukkan adanya hal-hal tertentu yang harus kita waspadai terhadap penerapan Syariat Islam di Kota Langsa.

Program Syariat Islam yang dicanangkan Pemerintah Aceh memang terkesan ada diskriminasi terhadap kaum minoritas tapi mereka punya pandangan dan tafsiran lain terhadap program yang dinilai hanya mementingkan sepihak ini, seperti penilaian Ibu Hesty terhadap Syariat Islam.37

“...Syariat Islam itu memang program umat Islam, kita sebagai umat Kristen harus menghormati pemerintah disini

36Wawancara dengan Ibu Liem (seorang Pedagang Makanan Keturunan

tionghoa di Toko Belakang) pada tanggal 08 september 2013 di Langsa Jam 10.30 WIB

37 Wawancara dengan Ibu Hesty (seorang Ibuyang bekerja di sebuah

(37)

apa yang sudah dicanangkan, dan kita juga mendukung dengan kehidupan yang saleh bukan kehidupan dengan yang ngawur, seperti yang lain...”

Dari pernyataan ini mengindikasikan adanya kedewasaan umat beragama dalam menghadapi kehidupan yang pluralistik, serta adanya positif thinking yang timbul dari mereka, kemudian Ibu Hesty juga menyatakan; “…Kami merasa tidak keberatan dan tidak ada masalah, itu kan juga mengarah kepada hal-hal yang baik…”

Senada dengan pernyataan di atas pendapat Ibu Anna salah seorang Jamah Kristen: “..saya tidak keberatan jika syariat Islam dilaksanakan di Kota Langsa karena sasarannya hanya sebatas umat Islam, tetapi perlu adanya sosialisasi lebih lanjut kepada seluruh lapisan masyarakat”….”

Kemudian Ibu Anna juga menyatakan: “saya tidak keberatan selama sasaran Syariat Islam terbatas pada lingkungan umat Islam, karena masalah terpenting adalah bahwa kita sebatas menjalankan firman Tuhan, meliputi setiap syariat kita lakukan dengan baik sesuai dengan agama masing-masing”, beliau menambahkan38 “hal ini untuk menciptakan kesesuaian antara ajaran Islam dengan realita masyarakat muslim sebagaimana halnya dengan umat Kristiani.”

Sedangkan pernyataan Amelia seorang mahasiswa (Khatolik) berpendapat;39

“...saya tidak keberatan jika syariat Islam diterapkan asalkan hal itu tidak mengarah pada pemojokan atau pelecehan agama Kristen. Disisi yang lain, penerapan terhadap Syariat Islam kelihatannya seperti dipaksakan kesemua pihak. Saya pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan ketika terjadi sebuah razia. Pada saat itu saya sudah mengatakan bahwa saya non muslim, tetapi petugas WH tidak percaya dengan apa yang saya katakan. Petugas tersebut tetap ngotot dan tetap menanyakan kenapa saya tidak mengenakan jilbab. Setelah saya ngotot habis-habisan dan memperlihatkan KTP

38 Wawancara dengan Ibu Hesty (seorang Ibuyang bekerja di sebuah

Instansi Vertikal) pada tanggal 06 september 2013 dilangsa Jam 10.30 Wib

39Wawancara dengan Amelia (seorang mahasiswi di sebuah PTS) pada

Gambar

TABEL IIIKEADAAN SISWA MAN

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu aspek yang penting untuk dikembangkan di PAUD adalah aspek perkembangan kognitif khususnya dalam mengenal konsep bilangan 1-10.Kemampuan kognitif sangat

c. Fasilitas belajar sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa. Fasilitas belajar sekolah yang memadai

Alim Setiawan Slamet, S.TP, M.Si, mengatakan bahwa mahasiswa yang mengikuti program dari perusahaan dapat menambah pengalaman dan soft skill sehingga setelah lulus nanti tidak

Senyawa fenolik antioksidan dapat terbentuk melalui proses biosintesa dengan bantuan Rhizopus oryzae menggunakan substrat limbah kulit pisang kepok.. Limbah kulit

Ayah dan bunda, minggu ini tema kegiatan bermain yang akan kita lakukan bersama ananda tercinta di rumah adalah “TANAMAN” , dengan beberapa kegiatan bermain yang dapat dipilih

Hasil penelitian bahwa roti tawar mulai dari hari ke 4 sudah tidak layak untuk di konsumsi jika di simpan pada suhu kamar 25 o C karena dari warnanya roti tawar

Mengurutkan gambar melalui metode demonstrasi yang menggunakan gambar keluarga, merupakan strategi yang digunakan guru agar anak mengenal kata-kata dalam gambar dan juga

Hamli menjawab dengan dukacita, tetapi dengan suara mantap, “Dengan sangat menyesal, saya tak dapat mengabulkan permintaan itu.” (Memang jodoh: 352–353)” Data di