BAB V KESEHATAN DASAR DAN KESEJAHTERAAN ANAK
5.1 Penolong Persalinan
Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dapat mengurangi resiko komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan, serta kematian ibu dan bayi. Sodikin (2009) menyebutkan bahwa bila seorang ibu meninggal, maka anak-anak yang ditinggalkannya akan memiliki kemungkinan tiga sampai sepuluh kali lebih tinggi untuk meninggal dalam waktu dua tahun bila dibandingkan dengan mereka yang masih mempunyai kedua orang tua.
Faktor budaya di daerah perdesaan masih mempengaruhi ibu untuk memilih dukun sebagai penolong persalinan. Keputusan memilih penolong persalinan masih banyak ditentukan oleh suami. Oleh karenanya, upaya yang lebih keras lagi harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi persalinan yang ditolong oleh bukan tenaga kesehatan. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019 menyebutkan bahwa salah satu sasaran program bina gizi dan kesehatan ibu dan anak adalah meningkatnya ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh masyarakat. Salah satu indikator pencapaian sasarannya adalah persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 85 persen. Pemilihan penolong persalinan yang kompeten juga berpengaruh terhadap pencapaian target program ASI eksklusif. Penolong persalinan tenaga kesehatan diwajibkan untuk memastikan penerapan inisiasi menyusui dini guna mencapai keberhasilan ASI eksklusif.
49
Profil Anak Indonesia 2017
47 tahun melahirkan ditolong oleh bidan, namun karena ada komplikasi kehamilan dan alat-alat kesehatan yang kurang memadai menyebabkan proses persalinannya ditolong oleh dokter kandungan, maka penolong persalinan terakhir adalah dokter kandungan.
Gambar 5.1 menyajikan persentase perempuan pernah kawin (PPK) usia 15-49 tahun yang melahirkan hidup menurut penolong persalinan terakhir. Persentase penolong persalinan tertinggi oleh tenaga kesehatan yaitu bidan sebesar 63,53 persen dan dokter sebesar 28,33 persen. Daerah perkotaan dan perdesaan menunjukkan pola yang sama. Di daerah perkotaan penolong persalinan oleh tenaga medis cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Hal yang menarik adalah masih ada 6,82 persen penolong persalinan, baik di perkotaan maupun di perdesaan yang ditolong oleh dukun beranak/paraji. Namun jika dilihat dari tahun sebelumnya persentase dokter yang menolong persalinan mengalami peningkatan.
Gambar 5.1 Persentase Perempuan Pernah Kawin (PPK) Berumur 15-49 Tahun yang Melahirkan Hidup dalam Dua Tahun Terakhir menurut Penolong Kelahiran dan Tipe Daerah, 2016
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016, BPS
Persalinan yang ditolong oleh bukan tenaga kesehatan (nonmedis) dapat menyebabkan komplikasi persalinan, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi. Provinsi di daerah timur Indonesia memiliki persentase penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yang relatif tinggi. Provinsi Papua memiliki persentase tertinggi yaitu 36,07 persen, juga Provinsi Maluku sebesar 34,38 persen, Maluku Utara
Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan
36,69 19,47 28,33 59,38 67,93 63,53 0,61 3,16 0,87 0,73 10,70 6,82 0,11 0,05 0,85 0,18 0,47 0,11
Dokter Bidan Tenaga Kesehatan Lain Dukun Beranak Lainnya Tidak Ada
Profil Anak Indonesia 2017
46
tinggal mencakup anak yang tinggal di rumah bukan milik sendiri dan anak yang tinggal di rumah kumuh. Dimensi lingkungan dan sanitasi mencakup anak dengan akses sanitasi layak dan air layak.
Bab ini menggunakan data yang bersumber dari hasil Susenas 2016, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), dan SUPAS. Kesehatan anak mencakup kesehatan anak sebelum lahir (penolong kelahiran), kematian neonatum, bayi dan balita, kesehatan balita yang mencakup pemberian air susu ibu (ASI) dan imunisasi, inisiasi menyusui dini (IMD), kesehatan anak usia 0-17 tahun mencakup keluhan kesehatan, angka kesakitan, rawat jalan, rawat inap alasan tidak berobat, jaminan kesehatan, antropometri, perilaku merokok, serta perilaku hidup bersih dan sehat. Sedangkan Kesejahteraan anak mencakup kepemilikan rumah, akses terhadap sanitasi layak, akses terhadap air layak, dan anak yang tinggal di rumah kumuh.
5.1 Penolong Persalinan
Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan dapat mengurangi resiko komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan, serta kematian ibu dan bayi. Sodikin (2009) menyebutkan bahwa bila seorang ibu meninggal, maka anak-anak yang ditinggalkannya akan memiliki kemungkinan tiga sampai sepuluh kali lebih tinggi untuk meninggal dalam waktu dua tahun bila dibandingkan dengan mereka yang masih mempunyai kedua orang tua.
Faktor budaya di daerah perdesaan masih mempengaruhi ibu untuk memilih dukun sebagai penolong persalinan. Keputusan memilih penolong persalinan masih banyak ditentukan oleh suami. Oleh karenanya, upaya yang lebih keras lagi harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi persalinan yang ditolong oleh bukan tenaga kesehatan. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019 menyebutkan bahwa salah satu sasaran program bina gizi dan kesehatan ibu dan anak adalah meningkatnya ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh masyarakat. Salah satu indikator pencapaian sasarannya adalah persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 85 persen. Pemilihan penolong persalinan yang kompeten juga berpengaruh terhadap pencapaian target program ASI eksklusif. Penolong persalinan tenaga kesehatan diwajibkan untuk memastikan penerapan inisiasi menyusui dini guna mencapai keberhasilan ASI eksklusif.
Susenas 2016 mendefinisikan penolong persalinan sebagai penolong terakhir anak lahir hidup dalam dua tahun terakhir. Sebagai contoh seorang ibu usia 15-49
Profil Anak Indonesia 2017
sebesar 27,20 persen, NTT sebesar 22,12 persen, dan Sulawesi Barat sebesar 19,83 persen pada Lampiran Tabel L-5.1 sampai Tabel L-5.3.
Selain penolong persalinan, tempat melahirkan juga dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Gambar 5.2 memperlihatkan PPK usia 15-49 tahun yang melahirkan hidup dalam dua tahun terakhir menurut tempat melahirkan. Sejalan dengan penolong persalinan, persentase tempat melahirkan tertinggi di Indonesia adalah klinik/bidan/ praktek dokter sebesar 36,33 persen, dan di RS/RS bersalin sebesar 30,69 persen. Persentase PPK berumur 15-49 tahun yang melakukan persalinan di klinik/bidan/ praktek dokter di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan, yaitu 42,20 persen berbanding 30,10 persen. Begitu pula dengan persentase yang melahirkan di RS/RS bersalin lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, yaitu 40,58 persen berbanding 20,20 persen. Hal lain yang menarik dari hasil Susenas 2016 adalah di daerah perdesaan masih banyak yang melahirkan di rumah, yaitu sebesar 31,76 persen.
Gambar 5.2 Persentase Perempuan Pernah Kawin (PPK) Berumur 15-49 Tahun yang Melahirkan Hidup dalam Dua Tahun Terakhir menurut Tempat Melahirkan dan Tipe Daerah, 2016
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016, BPS 40,58 20,20 30,69 42,20 30,10 36,33 8,16 17,48 12,68 8,80 31,76 19,94 0,26 0,47 0,36
Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan
RS/RS Bersalin Klinik/ Bidan/ Praktek Dokter
Puskesmas/ Polindes/ Pustu Rumah