• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan

Dalam dokumen PROFIL ANAK INDONESIA 2017 (Halaman 157-162)

BAB VII PERLINDUNGAN KHUSUS

7.2 Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan

Salah satu perlindungan khusus yang harus diberikan kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Pasal 59 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Pemerintah menerbitkan undang-undang khusus yang mengatur masalah anak yang berhadapan dengan hukum pada tahun 1997, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang tersebut selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Kemudian dalam Pasal 1 ayat (2) dijelaskan yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Dengan adanya Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 ini, perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum mengalami kemajuan dengan adanya perubahan paradigma dalam menangani perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Proses penyelesaian perkara anak tidak hanya dapat diselesaikan melalui proses peradilan akan tetapi juga dapat diselesaikan melalui diversi dengan pendekatan keadilan restoratif. Menurut undang-undang tersebut yang dimaksud dengan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Profil Anak Indonesia 2017

122

Dalam Pasal 20 dijelaskan bahwa yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali. Selain itu dalam Pasal 22 juga disebutkan negara, pemerintah, dan pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Dalam Pasal 59 ayat (1), Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 disebutkan pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak. Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada :

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berhadapan dengan hukum;

c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme;

l. Anak Penyandang Disabilitas;

m.Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;

n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.

Perlindungan khusus bagi anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya :

a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial,

b. serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;

c. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;

d. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan e. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

Profil Anak Indonesia 2017

7.2.1 Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam Pasal 21 dijelaskan tentang pengambilan keputusan oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional untuk anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana. Ada dua keputusan yang bisa diambil, yaitu: menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

Tabel 7.1 Perkembangan Komposisi Hasil Pendampingan terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum (Persen), 2014-2016

Hasil Pendampingan terhadap Anak

Berkonflik dengan Hukum 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4)

Diversi 52,69 55,23 40,00

Diversi Anak Kembali Ke Orang Tua 51,12 51,58 37,32

Diversi Anak Ke Panti Sosial Atau Lainnya 1,57 3,65 2,68

Putusan Tindakan 10,76 5,60 15,12

Putusan Anak Kembali ke Orang Tua 8,74 3,65 8,19

Putusan diserahkan ke Panti Sosial atau

lainnya 2,02 1,95 6,93

Putusan Pidana 36,55 39,17 44,88

Putusan Pidana Bersyarat 6,50 3,16 13,23

Putusan Pidana Penjara 30,04 36,01 31,65

Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM

Tabel 7.1 menyajikan perkembangan komposisi hasil pendampingan terhadap penyelesaian ABH selama tahun 2014-2016. Pada tahun 2014 dan 2015, pendekatan keadilan restoratif ini berdampak signifikan pada penyelesaian ABH. Hal ini terlihat dari

131

Profil Anak Indonesia 2017

125 memiliki persentase yang paling besar dibanding penyelesaian lainnya. Namun pada tahun 2016, persentase penyelesaian ABH melalui diversi lebih sedikit (40 persen) dibanding melalui putusan pidana (44,88 persen).

Pasal 81 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) menjelaskan bahwa pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. Hal ini disebabkan sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan azas perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir (Pasal 2 UU SPPA). Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat (Pasal 3 UU SPPA). Pasal 33 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 menentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan anak yang diduga keras melakukan tindak pidana (kenakalan) berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dasar diperkenankannya suatu penahanan anak adalah adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup bahwa anak melakukan tindak pidana (kenakalan). Pasal 32 ayat 2 huruf a dan b dalam UU No. 11 Tahun 2012 menegaskan bahwa penahanan dilakukan apabila anak yang melakukan tindak pidana berusia 14 tahun keatas dan diancam pidana penjara 7 tahun keatas yang ditentukan oleh undang-undang.

Perbedaan antara penahanan terhadap anak dengan penahanan orang dewasa terletak pada jangka waktu penahanan dan perpanjangan penahanan apabila proses penyidikan belum selesai. Penahanan tahap pertama bagi orang dewasa 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari. Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak, yakni lembaga penempatan anak sementara (LPAS) atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial (LPKS) apabila belum terdapat LPAS. Penahanan yang dilakukan benar-benar dengan mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat.

Penyidik yang melakukan tindakan penahanan harus terlebih dahulu mempertimbangkan dengan matang akibat dari tindakan penahanan dari segi kepentingan anak, seperti pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental maupun sosial. Selain itu juga dipertimbangkan dengan matang dari segi kepentingan masyarakat, misalnya dengan ditahannya tersangka masyarakat menjadi aman dan tentram. Dalam penerapannya, hal ini sulit dilakukan, sebab dalam mempertimbangkan kepentingan yang dilindungi, dengan melakukan penahanan tidak mudah dan

Profil Anak Indonesia 2017

124

7.2.1 Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam Pasal 21 dijelaskan tentang pengambilan keputusan oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional untuk anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana. Ada dua keputusan yang bisa diambil, yaitu: menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

Tabel 7.1 Perkembangan Komposisi Hasil Pendampingan terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum (Persen), 2014-2016

Hasil Pendampingan terhadap Anak

Berkonflik dengan Hukum 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4)

Diversi 52,69 55,23 40,00

Diversi Anak Kembali Ke Orang Tua 51,12 51,58 37,32

Diversi Anak Ke Panti Sosial Atau Lainnya 1,57 3,65 2,68

Putusan Tindakan 10,76 5,60 15,12

Putusan Anak Kembali ke Orang Tua 8,74 3,65 8,19

Putusan diserahkan ke Panti Sosial atau

lainnya 2,02 1,95 6,93

Putusan Pidana 36,55 39,17 44,88

Putusan Pidana Bersyarat 6,50 3,16 13,23

Putusan Pidana Penjara 30,04 36,01 31,65

Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM

Tabel 7.1 menyajikan perkembangan komposisi hasil pendampingan terhadap penyelesaian ABH selama tahun 2014-2016. Pada tahun 2014 dan 2015, pendekatan keadilan restoratif ini berdampak signifikan pada penyelesaian ABH. Hal ini terlihat dari perbandingan persentase antara ABH melalui diversi, putusan tindakan dan putusan pidana, dimana selama dua tahun tersebut persentase penyelesaian ABH melalui diversi

Profil Anak Indonesia 2017

menyulitkan pihak penyidik yang melakukan tindakan penahanan. Dalam tindakan penahanan, penyidik seharusnya melibatkan pihak yang berkompeten, seperti pembimbing kemasyarakatan, psikolog, kriminolog, dan ahli lain yang diperlukan, sehingga penyidik anak tidak salah mengambil keputusan dalam melakukan penahanan.

7.2.2 Narapidana Anak

Pada Pasal 1 (Ketentuan Umum) Butir 8 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dijelaskan bahwa anak didik pemasyarakatan adalah :

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua/walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai dengan berumur 18 (delapan belas) tahun.

Seperti dijelaskan dalam Pasal 1 (Ketentuan Umum), anak didik pemasyarakatan apapun kriterianya baik anak pidana, anak negara, maupun anak sipil semuanya telah menerima keputusan pengadilan. Sementara itu, sejumlah tahanan anak yang tinggal di rumah tahanan anak, cabang rumah tahanan anak dan tempat-tempat tertentu masih harus menunggu keputusan pengadilan. Sesuai dengan penjelasan pada butir 4, pasal 1 Bab 1 bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di rumah tahanan negara, cabang rumah tahanan negara dan tempat tertentu. Pejabat pelaksana hukum seperti penyelidik, penuntut umum dan hakim (hakim pengadilan, hakim banding dan hakim kasasi) berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak untuk melaksanakan berbagai macam kepentingan, antara lain penyidikan (Pasal 44), penuntutan (Pasal 46) dan pemeriksaan (Pasal 47, Pasal 48 dan Pasal 49).

Sesuai dengan laporan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah anak pelaku tindak pidana yang menjadi tahanan atau narapidana di seluruh Indonesia pada tahun 2016 mencapai sebanyak 3.213 anak. Dari jumlah tersebut, seperti yang disajikan pada Tabel 7.2 sebanyak 899 anak atau 27,98 persen masih berstatus sebagai tahanan dan

133

Profil Anak Indonesia 2017

127 dibanding tahun 2015. Sebagian besar narapidana anak dan tahanan anak adalah laki-laki

Tabel 7.2 Jumlah Narapidana dan Tahanan Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin, 2015-2016

Kelompok

Usia Status

2015 2016

Laki-Laki Perempuan Jumlah Laki-Laki Perempuan Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Dewasa Narapidana 108 665 6 218 114 883 128 359 7 477 135 836 Tahanan 52 707 3 196 55 903 60 086 3 486 63 572 Jumlah 161 372 9 414 170 786 188 445 10 963 199 408 Anak-anak Narapidana 2 178 37 2 215 2 275 39 2 314 Tahanan 554 17 571 873 26 899 Jumlah 2 732 54 2 786 3 148 65 3 213 Dewasa dan Narapidana 110 843 6 255 117 098 130 634 7 516 138 150 Anak-anak Tahanan 53 261 3 213 56 474 60 959 3 512 64 471 Jumlah 164 104 9 468 173 572 191 593 11 028 202 621

Sumber: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM

Berdasarkan Tabel 7.3 dapat dilihat bahwa sebagian besar narapidana anak yang berada di lapas pada tahun 2016 adalah napi anak pidana, dengan rata-rata sebanyak 2.332 orang atau 98,65 persen dari total narapidana anak. Sementara untuk narapidana yang berstatus napi anak negara dan napi anak sipil, persentasenya sangat kecil (kurang dari 2 persen).

Gambar 7.1 menunjukkan selama tahun 2015 – 2016 jumlah narapidana anak setiap bulannya berfluktuatif namun cenderung mengalami penurunan. Pada semester pertama tahun 2015, jumlah narapidana anak berkisar 2.500 s.d 3.000 orang, kemudian pada semester berikutnya sampai dengan akhir tahun 2016 jumlah narapidana anak menurun dan berada pada kisaran 2.000 s.d 2.500 orang.

Profil Anak Indonesia 2017

126

menyulitkan pihak penyidik yang melakukan tindakan penahanan. Dalam tindakan penahanan, penyidik seharusnya melibatkan pihak yang berkompeten, seperti pembimbing kemasyarakatan, psikolog, kriminolog, dan ahli lain yang diperlukan, sehingga penyidik anak tidak salah mengambil keputusan dalam melakukan penahanan.

7.2.2 Narapidana Anak

Pada Pasal 1 (Ketentuan Umum) Butir 8 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dijelaskan bahwa anak didik pemasyarakatan adalah :

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua/walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai dengan berumur 18 (delapan belas) tahun.

Seperti dijelaskan dalam Pasal 1 (Ketentuan Umum), anak didik pemasyarakatan apapun kriterianya baik anak pidana, anak negara, maupun anak sipil semuanya telah menerima keputusan pengadilan. Sementara itu, sejumlah tahanan anak yang tinggal di rumah tahanan anak, cabang rumah tahanan anak dan tempat-tempat tertentu masih harus menunggu keputusan pengadilan. Sesuai dengan penjelasan pada butir 4, pasal 1 Bab 1 bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di rumah tahanan negara, cabang rumah tahanan negara dan tempat tertentu. Pejabat pelaksana hukum seperti penyelidik, penuntut umum dan hakim (hakim pengadilan, hakim banding dan hakim kasasi) berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak untuk melaksanakan berbagai macam kepentingan, antara lain penyidikan (Pasal 44), penuntutan (Pasal 46) dan pemeriksaan (Pasal 47, Pasal 48 dan Pasal 49).

Sesuai dengan laporan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah anak pelaku tindak pidana yang menjadi tahanan atau narapidana di seluruh Indonesia pada tahun 2016 mencapai sebanyak 3.213 anak. Dari jumlah tersebut, seperti yang disajikan pada Tabel 7.2 sebanyak 899 anak atau 27,98 persen masih berstatus sebagai tahanan dan sebanyak 2.314 anak atau 72,02 persen telah berstatus narapidana atau anak didik. Baik tahanan anak maupun narapidana anak pada tahun 2016 jumlahnya meningkat

Profil Anak Indonesia 2017

Tabel 7.3 Jumlah Narapidana Anak Menurut Statusnya, 2016

Bulan Anak Negara Napi Anak Sipil Napi Anak Pidana Napi Total

(1) (2) (3) (4) (5) Januari 18 0 2 254 2 272 Februari 23 6 2 270 2 299 Maret 8 3 2 299 2 310 April 14 9 2 421 2 444 Mei 26 0 2 431 2 457 Juni 21 12 2 372 2 405 Juli 36 60 2 350 2 446 Agustus 21 63 2 268 2 352 September 6 1 2 378 2 385 Oktober 17 4 2 437 2 458 November 12 4 2 378 2 394 Desember 18 3 2 123 2 144 Rata-rata 18 14 2 332 2 364

Sumber: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM

Gambar 7.1 Perkembangan Jumlah Narapidana Anak Per Bulan, Januari 2015 - Desember 2016

Sumber: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM

Dalam dokumen PROFIL ANAK INDONESIA 2017 (Halaman 157-162)