• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pentingnya Pendidikan Marxisme-Leninisme

Dalam dokumen Suar Suroso – Akar dan Dalang (Halaman 111-114)

PKI Membela Pancasila Dasar Negara

TANGGAL 22 April 1956 dibuka sidang Konstituante Bung Karno menyampaikan pidato pembukaan dengan judul: Susunlah Undang-Undang

19. Pentingnya Pendidikan Marxisme-Leninisme

LAPORAN menyatakan, “pendidikan Marxisme-Leninisme syarat mutlak untuk persatuan di dalam partai. Garis umum pembangunan partai yang ditetapkan oleh Kongres Nasional V Partai, yaitu ‘meneruskan pembangunan PKI yang dibolsyewikkan, yang meluas di seluruh negeri, yang mempunyai karakter massa yang luas, yang sepenuhnya terkonsolidasi di lapangan ideologi, politik, dan organisasi’ pada pokoknya sudah kita kerjakan dengan baik. Penyempurnaan pelaksanaan garis pembangunan partai masih harus kita teruskan.” Tepat sekali kesimpulan yang pernah diambil oleh partai kita yaitu, bahwa ‘Persatuan di dalam partai hanya mungkin jika didasarkan atas persatuan pikiran, persatuan ideologi, yaitu pikiran atau ideologi Marxisme-Leninisme. Hanya jika ada persatuan pikiran dari orang-orang komunis, barulah ada persatuan yang sungguh-sungguh di dalam politik dan organisasi Partai Komunis, barulah ada persatuan di dalam aksi-aksi rakyat yang dipimpin oleh Partai Komunis.” Ditegaskan lagi bahwa, “salah satu tugas terpenting

#% , .

sekarang, ialah meneruskan pembangunan partai dengan penekanan pada segi pembangunan ideologi. Dengan mengemukakan ini tidak berarti bahwa kita boleh menganggap remeh masalah pembangunan organisasi. Pembangunan organisasi adalah tetap penting, tetapi lebih penting lagi pembangunan ideologi.” Selanjutnya dikemukakan, bahwa “di dalam partai harus dibangunkan keberanian melakukan kritik, terutama kritik dari bawah kepada atasan, dengan berpegang pada pedoman yang dikemukakan oleh Kawan Mao Zedong yaitu ‘bertitik pangkal pada kemauan bersatu, dan melalui kritik dan self-kritik, mencapai persatuan baru atas dasar yang baru.’ Dengan setia mengamalkan kritik dan self-kritik berarti kita memerangi subjektivisme dan dengan demikian kemungkinan membikin kesalahan menjadi diperkecil serta persatuan di dalam partai lebih diperkuat.”

Kongres ditutup dengan satu resepsi meriah, yang dihadiri sejumlah menteri dan para pejabat tinggi negara, di mana Bung Karno menyampaikan sambutannya dengan pidato berjudul “Yo sanak, yo kadang, yen mati aku sing kelangan!” Dalam pidatonya, antara lain Bung Karno berkata: “Ya, saudara- saudara barangkali sayalah satu-satunya Presiden sesuatu negara di dunia ini, negara yang bukan dinamakan negara sosialis, yang menghadiri satu Kongres Partai Komunis ... (tepuk tangan lama). Nah, betapa tidak saudara- saudara! Betapa tidak hendak saya hadiri, kan udara-saudara juga orang Indonesia, warganegara Indonesia, pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia, pejuang menentang imperialisme yang membela kemerdekaan Inmdonesia ini. (tepuk tangan yang gemuruh) Saudara-saudara adalah utusan-utusan daripada sokoguru Rakyat Indonesia, saudara-saudara adalah sama-sama orang bangsa Indonesia. Malah saya akan berkata dalam bahasa Jawa, saudara-saudara itu ‘yo kadang, yo sanak, malah yen mati aku sing kelangan’ (tepuk tangan gemuruh lama). [Bung Karno ... yo sanak, yo kadang, malah yen mati aku sing kelangan, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1959, halaman 7 ]

Yah saudara-saudara, demikianlah keadaannya, maka oleh karena itupun saya amat bergembira sekali tatkala saya hendak datang di ruangan gedung ini, dari muka istana telah meliwati barisan, barangkali pemuda- pemuda Komunis (tepuk tangan), semua menyerukan yel: Gotongroyong, gotongroyong ...ho lopis kuntul baris, ho lopis kuntul baris, gotongroyong .... ho lopis kuntul baris, ho lopis kuntul baris (semua hadirin bersama-sama menyerukan “ho lopis kuntul baris”). Saya amat gembira oleh karena ya, memang saudara- saudara, jikalau kita hendak menyelesaikan revolusi nasional kita ini, tidak ada jalan lain melainkan gotongroyong dan ho lopis kuntul baris (tepuk tangan).

1 5 , #"

Di belakang ada ditulis, “Kongres Nasional ke-VI PKI Untuk Demokrasi dan Kabinet Gotongroyong” (tepuk tangan). Saya dengan tegas berkata kepada saudara-saudara, Kabinet Gotongroyong tetap menjadi cita-cita Bung Karno! (tepuk tangan lama). Sebab sebagai tadi saya katakan, menyelesaikan revolusi nasional kita, apalagi revolusi kita setelah memasuki fase sosial ekonominya untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur sebagai amanat penderitaan Rakyat tidak ada jalan lain melainkan dengan gotongroyong dan ho lopis kuntul baris. Maka oleh karena itu, saudara-saudara, saya tadi berkata, tetap bercita-cita Kabinet Gotongroyong dan di samping itu,

saudara-saudara melihat bahwa saya telah membentuk Dewan

Pertimbangan Agung atas dasar gotongroyong, telah membentuk Depernas atas dasar gotongroyong dan insya Allah, saya akan membentuk MPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat atas dasar Gotong Royong pula (tepuk

tangan lama). [Bung Karno, yo sanak, yo kadang, malah yen mati aku sing

kelangan, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1959, halaman 7-8 ]

Pedato Presiden yang sangat bersahabat dengan PKI memberi pengaruh baik bagi meningkatnya martabat PKI. Kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang didukung oleh PKI memainkan peranan penting dalam mendorong maju situasi politik di Indonesia..

Dengan dijadikannya Manipol Garis-Garis Besar Haluan Negara, maka terjadilah pengintegrasian program PKI ke dalam program negara. Ini terjadi berkat hasil kerja D.N. Aidit sebagai Ketua Panitia perincian Manipol. Program PKI untuk penyelesaian tuntutan-tuntutan revolusi Agustus sampai keakar-akarnya, telah berintegrasi dengan Manipol, program negara. Langkah-langkah Bung Karno melakukan dua kali regrouping kabinet menghasilkan kian berkurangnya kekuatan kepala batu dalam kabinet, dan masuknya Ketua dan wakil-wakil Ketua CC PKI ke dalam kabinet, yaitu sebagai wakil-wakil Ketua MPRS dan Parlemen, D.N. Aidit dan M.H. Lukman menjadi Menteri ex-officio, Menteri tanpa portefolio, dan Njoto menjadi Menteri anggota Presidium Kabinet. Perkembangan PKI yang sampai tokoh-tokoh pimpinan bisa masuk Pemerintah Pusat Indonesia adalah menghantui Amerika Serikat. Para penguasa Amerika Serikat sudah membayangkan bahwa di bawah kekuasaan Sukarno, Indonesia segera jatuh ke dalam pelukan kekuasaan komunis.

Desember 1960 berlangsung Sidang Pleno ke-II CC ke-VI PKI di Jakarta. Dalam sidang ini, D.N. Aidit menyampaikan laporan berjudul Maju Terus

Menggempur Imperialisme dan Feodalisme! Laporan menunjukkan bahwa

“periode yang ditinjau ditandai oleh pergulatan antara golongan yang

## , .

mendukung dan golongan yang menolak Manipol. Golongan yang menolak dan menentang pelaksanaan Manipol tadinya dipelopori oleh Masyumi-PSI

dan ‘Liga Demokrasi’. Sesuai dengan kehendak Rakyat terbanyak partai-

partai kepala batu Masyumi-PSI telah dibubarkan oleh Presiden Sukarno. Bubarnya partai-partai yang paling kanan ini merupakan suatu peristiwa penting dalam sejarah perjuangan nasional kita” [D.N. Aidit, Maju Terus Menggempur Imperialisme dan Feodalisme!, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1961, hal. 3-4 ]

Laporan menyatakan, bahwa “Sidang Pleno CC kali ini dilangsungkan dengan dijiwai oleh dua kemenangan besar, kemenangan nasional dan kemenangan internasional. Kemenangan pertama ialah kemenangan Rakyat Indonesia berhubung telah ditetapkannya dengan suara bulat oleh MPRS Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Kemenangan kedua, ialah kemenangan gerakan komunis sedunia dengan adanya Pernyataan para wakil Partai Komunis dan Buruh beserta seruannya kepada Rakyat-Rakyat di seluruh dunia yang dengan suara bulat dikumandangkan oleh 81 Partai Komunis dan Buruh, mewakili 36 juta Komunis dari 5 benua dalam bulan November yang baru lalu” [Idem, hal. 6-7 ]

Laporan menyatakan, bahwa PKI berpendapat bahwa Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional menurut ketetapan nomor II MPRS sampai batas-batas tertentu sesuai dengan watak revolusi Indonesia yang nasional dan demokratis yang anti imperialisme dan anti feodalisme, yaitu tidak mementingkan investasi modal asing, mementingkan ‘landreform’ dan pertanian, mementingkan industrialisasi dan industri berat, dan menempatkan ekonomi sektor negara pada kedudukan memimpin perekonomian negeri.

Maka tak ayal lagi kekuatan reaksi menggalakkan rekayasa demi pembasmian komunis di Indonesia dan penggulingan Presiden Sukarno. Kekuatan reaksi menggerakkan berbagai usaha untuk mengisolasi PKI. Salah satu di antaranya menggunakan Pancasila, yaitu berusaha memfitnah PKI anti Pancasila. Dalam rangka menciptakan syarat untuk melarang PKI, awal 1961, T.B. Simatupang menulis sebuah makalah tentang TNI dan Masa depan Indonesia, yang memaparkan argumentasi bahwa “Marxisme-Leninisme adalah bertentangan dengan Pancasila.” Dalam makalahnya ini Simatupang sudah menggunakan istilah “zaman post-Sukarno” [H. Rosihan Anwar, Sukarno-Tentara-PKI, Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006 ]. .Ini berarti, sudah diperhitungkan digantinya Sukarno sebagai Presiden. Dalam pada itu, Pemerintah telah

1 5 , #!

mengeluarkan Penpres No. 7/1959 dan Perpres No. 13/1960, yang menetapkan, bahwa Pemerintah hanya mengakui Partai-Partai yang dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan tujuannya tidak untuk mengganti dasar negara. Partai-Partai diminta menyesuaikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya dengan Penpres No. 7/1959 dan Perpres No. 13/1960. Pemerintah membentuk Panitia Tiga yang terdiri dari Roeslan Abdoelgani, Ketua DPA, A.H. Nasution Menteri Pertahanan dan Ipik Gandamana, Menteri Dalam Negeri, untuk menyeleksi Partai-Partai sehubungan dengan Penpres dan Perpres ini.

5 September 1960 Politbiro CC PKI mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa untuk memenuhi Penpres No. 7 Tahun 1959, Pasal 3, bagi PKI tidaklah mempunyai keberatan apa-apa untuk menyatakan dengan tegas, bahwa PKI menerima dan mempertahankan UUD ’45 dan ‘Pancasila’. Dalam sidang Pleno ke-II CC PKI akhir Desember 1960, Politbiro CC mengusulkan agar mengamendir Konstitusi Partai dengan menambahkan rumusan berikut: “PKI menerima dan mempertahankan UUD ’45, yaitu Undang Undang Dasar Republik Indonesia yang dalam Pembukaannya memuat hasrat Rakyat Indonesia untuk hidup merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dan memuat Pancasila sebagai dasar-dasar negara; bertujuan membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian Bangsa Indonesia, dan mendasarkan program kerjanya pada Manifesto Politik Republik Indonesia serta perinciannya yang sudah ditetapkan oleh Sidang Pertama MPRS tanggal 19 November 1960 sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia”. [Njono, Pengantar diskusi untuk memperkuat statement Politbiro CC PKI

mengenai Pen.Pres.No.7/1959, Jajasan Pembaruan, 1961, dokumen Sidang

Pleno ke-II CC ke-VI PKI, hal. 29-30 ]. Usul ini diterima dan menjadi keputusan sidang.

25-30 April 1962 di Jakarta berlangsung Kongres Nasional ke-VII PKI. Dalam laporan politiknya, D.N. Aidit menyempaikan bahwa “Menurut Keputusan Presiden RI No. 123/1961, PKI telah mendapat pengakuan sebagai Partai yang memenuhi syarat-syarat seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan tersebut” [D.N. Aidit, Untuk Demokrasi, Persatuan Dan

Mobilisasi, Laporan Umum kepada Kongres Nasional ke-VII PKI, 25 April

1962, Depagitprop CC PKI, Djakarta 1962, hal. 5].

Dalam Kongres ini D.N. Aidit menyampaikan laporan politik berjudul “Untuk Demokrasi, Persatuan dan Mobilisasi”. Kongres ini adalah Kongres Luarbiasa, yang diadakan berhubung dengan keharusan penyesuaian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan Program PKI dengan ketentuan-ketentuan Penpres No. 7/1959 dan Perpres No. 13/1960. Kongres

! , .

mengesahkan Anggaran Dasar – Anggaran Rumah Tangga (Konstitusi) yang dalam Preambulnya antara lain memuat: “Seluruh pekerjaan PKI didasarkan atas teori Marxisme-Leninisme dan karena Marxisme-Leninisme bukanlah dogma, melainkan suatu pedoman untuk aksi, maka dalam setiap aktivitetnya PKI berpegang teguh pada prinsip memadukan kebenaran umum Marxisme-Leninisme dengan praktek yang kongkrit daripada perjuangan revolusioner Indonesia. PKI berjuang melawan revisionisme, baik yang lama maupun yang modern, juga melawan tiap fikiran yang tidak kritis, melawan dogmatisme dan empirisisme... Karena PKI telah mengambil bagian yang sangat aktif dalam Revolusi Agustus 1945 dan terus akan mengambil bagian yang sangat aktif dalam menyelesaikan tuntutan- tuntutan Revolusi Agustus sampai ke-akar-akarnya, maka azas dan tujuan PKI tidak bertentangan dengan azas dan tujuan negara Republik Indonesia dan programnya tidak dimaksud untuk merombak azas dan tujuan negara tersebut. PKI menerima dan mempertahankan UUD 1945 yang dalam Pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar-dasar negara dan bertujuan membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian bangsa Indonesia. PKI mendasarkan program kerjanya atas Manifesto Politik RI dan perinciannya yang sudah ditetapkan oleh Sidang Pertama MPRS sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara RI. PKI dalam memperjuangkan tujuannya menggunakan jalan-jalan damai dan demokratis. Ini adalah yang dikehendaki dan diperjuangkan dengan sekuat tenaga oleh PKI”. [CC PKI,

AD-ART (KONSTITUSI) PKI, Djakarta, 1962, hal. 5-17 ] Dengan rumusan

tersebut di atas PKI memenuhi syarat yang dituntut oleh Penpres No. 7/1959 dan Perpres No. 13/1960, maka PKI diakui sebagai Partai yang sah.

Dalam laporan ini D.N. Aidit mengemukakan: “Badan-badan kenegaraan seperti DPA, DPR GR, DEPERNAS, MPRS dan berbagai DPRD dan Pemerintah Daerah, serta belakangan ini penggolongan-kembali atau regruping (regrouping) Kabinet Kerja dan dibentuknya Musyawarah Pimpinan Negara (MPN) memang semuanya ini merupakan usaha-usaha untuk mengadakan pengubahan demokratis dalam sistim politik sesuai dengan tuntutan-tuntutan massa Rakyat. Tetapi semuanya ini adalah usaha yang masih harus dilanjutkan, karena pemerintahan dan alat-alat negara tidak mengalami perubahan-perubahan yang besar seperti yang diinginkan oleh Konsepsi Presiden Sukarno, Manipol, Djarek, Amanat Pembangunan Presiden dan Resopim. Resopim tegas menghendaki adanya retuling alat- alat negara”. Dengan demikian, tetap tidak ada jaminan bahwa Plan Pembangunan 8 Tahun, Triprogram Kabinet dan Trikomando Rakyat tidak akan menjumpai rintangan-rintangan serius dari dalam dan luar aparatur

1 5 , !

negara, tetap tidak akan ada tindakan tegas dan tepat terhadap imperialisme dan feodalisme, terhadap mereka yang menyeleweng dan mensabot pelaksanaan Ketetapan-Ketetapan MPRS, Triprogram dan Trikomando Rakyat” [D.N. Aidit, Untuk Demokrasi, Persatuan dan Mobilisasi, hal. 13 ]

Dalam dokumen Suar Suroso – Akar dan Dalang (Halaman 111-114)