• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyerbuan Gudang Senjata Don Bosco

BAB IV PEREBUTAN SENJATA JEPANG OLEH

A. Penyerbuan Gudang Senjata Don Bosco

Gedung Don Bosco merupakan gedung yang digunakan oleh Jepang sebagai gudang senjata yang dikuasai oleh Dai 10360 Butai Kaisutiro Butai, gedung ini berada di bawah pimpinan Mayor Hashimoto. Pasukan Mayor Hashimoto ini terdiri atas satu detasemen tentara serta pegawai sipil yang berjumlah 150 orang. Gedung ini terletak di perbatasan Surabaya sebelah barat, dekat perkampungan Sawahan. Gedung ini dulunya sebagai gedung asrama pendidikan Katolik.

Sejak tanggal 26 September 1945, gudang senjata Don Bosco sudah mulai didatangi oleh masyarakat. Masyarakat yang datang ke gudang senjata Don Bosco ini membawa berbagai macam senjata, ada yang membawa bambu runcing dan ada yang membawa senjata api yang didapatkan dari perampasan terhadap tentara Jepang. Masyarakat ini sudah datang ke Don Bosco sejak pagi dan jumlah mereka pun semakin lama semakin bertambah. Mereka yang datang ke Don Bosco sambil berteriak dengan sangat semangat menandakan bahwa mereka sudah tidak sabar

untuk mengambil senjata dari gudang senjata Don Bosco.76 Hal

tersebut karena gudang senjata Don Bosco ini merupakan gudang senjata milik tentara Jepang terbesar di Asia Tenggara yang

76 Des Alwi, Pertempuran Surabaya November 1945. Catatan Julius

Pour: Mallaby Dibunuh atau Terbunuh?, (Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer,

terletak di Surabaya, sehingga gudang senjata ini menjadi pusat

perhatian untuk pengambilan senjata.77

Pada saat dalam perebutan senjata di Don Bosco ini Polisi Istimewa menjadi pelopor, karena Polisi Istimewa memiliki

persenjataan yang lengkap dari Jepang.78 Akhirnya pihak dari

Don Bosco yang diwakili oleh seorang perwira berbadan besar menemui Bung Tomo untuk melakukan perundingan. Dalam perundingan tersebut pihak Jepang tidak ingin menyerahkan senjata-senjata tersebut sebelum ada perintah dari Panglima

Tentara Jepang di Jawa Timur, Mayor Jenderal (Mayjen) Iwabe.79

Terjadi perundingan antara Bung Tomo dengan komandan gudang senjata Don Bosco yaitu Mayor Hashimoto. Mayor Hashimoto merasa keberatan bila pihak Don Bosco harus berhadapan langsung dengan rakyat yang berada di luar. Supaya ada yang bisa bertanggung jawab untuk menjamin keamaan, akhirnya Mayor Hashimoto meminta agar bisa berhubungan

dengan pembesar Republik Indonesia.80 Permintaan tersebut pun

dituruti, kemudian Bung Tomo menghubungi markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan kantor Pemerintah Kota Surabaya. Tidak lama kemudian datang Soejitno dari Barisan Pencegah

77

Moehammad Jasin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang:

Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia

Pustaka Utama, 2010), 22.

78 Lorenzo Yauwerissa dan Pusat Sejarah Polri, Pasukan Polisi

Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur,

(Yogyakarta : Mata Padi Pressindo, 2013), 29.

79

Sutomo, Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan

Pengalaman Seorang Aktor Sejarah, (Jakarta : Visimedia, 2008), 34

80 Sutomo, Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan

Bahaya Udara (Keibodan) Kota dan H. R. Mohammad (mantan Daidancho Peta Sidoarjo) untuk melakukan perundingan. Hasil perundingan tersebut, yaitu:

1. Komandan gudang senjata Don Bosco beserta wakil dari Kempetai harus berjanji akan menyerahkan senjata-senjatanya setelah Panglima Tentara Jepang di Jawa Timur Mayjen Iwabe mengetahui semua peristiwa yang terjadi.

2. Rakyat yang melakukan pengepungan gudang senjata Don

Bosco diminta untuk membubarkan diri.81

Keesokan harinya, komandan Polisi Istimewa Karesidenan Surabaya, Moehammad Jasin datang ke gudang senjata Don Bosco. Moehammad Jasin ini menjadi juru bicara dalam perundingan pengambilan senjata ini, Mayor Hashimoto mengatakan bahwa Panglima Tentara Jepang di Jawa Timur mendapat perintah dari atasannya kalau mereka harus tetap menjaga keamanan.

Awalnya Mayor Hashimoto tetap ingin menjalankan perintah dari Panglima Tentara Jepang di Jawa Timur Mayjen Iwabe, tetapi setelah mengetahui alasan kenapa rakyat ingin mengambil persenjataan di Don Bosco, Mayor Hashimoto pun bertanya kepada perwakilan Indonesia yang hadir dalam pertemuan tersebut tentang perwakilan Indonesia bisa menjamin keamanan dan keselamatan pihak mereka atau tidak. Kemudian

81 Lorenzo Yauwerissa dan Pusat Sejarah Polri, Pasukan Polisi

Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur,

Moehammad Jasin selaku Komanda Polisi Istimewa Karesiden Surabaya dan sebagai juru bicara menyanggupi hal tersebut, asalkan persenjataan dan perlengkapan untuk pemerintah dapat

ditambah dengan secukupnya.82

Pihak Don Bosco akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain menyerahkan persenjataan beserta gedungnya, tetapi pemberian senjata tersebut harus berada di bawah tanggung jawab dari Polisi

Istimewa.83 Setelah itu Mayor Hashimoto meminta Moehammad

Jasin untuk membuat surat penyerahan persenjataan yang akan diberikan kepadanya. Surat tersebut sebagai barang bukti kepada tentara Sekutu bahwa persenjataan diberikan kepada pihak Indonesia untuk menambah perlengkapan senjata untuk menjaga

keamanan.84

Dalam proses penandatangan penyerahan senjata, pihak Don Bosco berdiam diri, hal tersebut mencerminkan sebenarnya mereka tidak ingin menyerahkan senjata dan juga khawatir kalau mereka nanti dituduh sebagai penjahat perang oleh pihak Sekutu karena telah memberikan persenjataan ke pihak Indonesia. Kemudian Moehammad Jasin meminta Mayor Hashimoto untuk cepat melakukan penandatanganan tersebut. Hal tersebut dikarenakan masyarakat yang berada di luar gedung sudah mulai berteriak-teriak, masyarakat yang di luar sudah lama menunggu.

82 Sutomo, Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan

Pengalaman Seorang Aktor Sejarah, 37-38.

83

Des Alwi, Pertempuran Surabaya November 1945. Catatan Julius

Pour: Mallaby Dibunuh atau Terbunuh?, 170.

84 Sutomo, Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan

Selain itu juga Moehammad Jasin khawatir kalau perundingan tersebut terlalu lama akan menimbulkan penilaian yang keliru oleh masyarakat di luar terhadap perwakilan yang sedang

berunding.85

Karena adanya desakan dari masyarakat yang berada di luar

gedung, akhirnya Mayor Hashimoto segera melakukan

penandatanganan.86 Kemudian naskah penyerahan senjata

tersebut ditandatangani oleh Mayor Hashimoto dengan

Moehammad Jasin yang didampingi oleh Bung Tomo. Setelah naskah tersebut ditanda tangani, kemudian naskah tersebut dibawa keluar oleh Moehammad Jasin untuk ditunjukkan kepada masyarakat yang berada di luar sebagai bukti bahwa gudang beserta isinya (persenjataan) sudah menjadi milik Republik Indonesia. Kemenangan ini disambut dengan teriakan “Merdeka”

oleh masyarakat.87

Setelah penyelesaian tanda tangan naskah tersebut,

penyerahan senjata di gudang senjata Don Bosco ini berjalan

dengan tertib dan suasana tenang.88 Setelah berhasil mendapatkan

senjata yang ada di Don Bosco, kemudian senjata-senjata tersebut dibagi-bagikan kepada rakyat dan badan-badan perjuangan

85 Moehammad Jasin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang:

Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia, 22-23.

86 Fadma Yulista, “Perebutan Senjata Jepang di Surabaya Tahun 1945”. AVATAR, e-Journal Pendidikan Sejarah 5, no. 3, (2017): 925.

87

Moehammad Jasin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang:

Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia, 24.

88 Sutomo, Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan

lainnya.89 Karena gudang senjata Don Bosco merupakan gudang senjata tentara Jepang terbesar di Asia Tenggara, jumlah senjata yang didapat dari gudang senjata Don Bosco ini sangat banyak, bahkan sebanyak empat gerbong kereta berisi senjata dikirim ke

Jakarta.90 Dalam pengambilan senjata di Don Bosco ini Polisi

Istimewa menunjukkan peran pentingnya, apalagi dengan komandan Polisi Istimewa yaitu Moehammad Jasin sangat bisa melakukan perundingan dengan pihak Don Bosco sehingga bisa meyakinkannya untuk memberikan senjata-senjatanya dan menjamin keselamatan mereka.

B. Penyerbuan Markas Kempetai (Polisi Militer Jepang)