PERAN POLISI ISTIMEWA DALAM
PERTEMPURAN SURABAYA TAHUN 1945
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh Haris Maulana 11140220000019
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H / 2018 M
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil A‟lamin, penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, kesabaran, dan ketabahan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Shalat serta salam, semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita sebagai umat Islam sampai hari akhir,
Penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk penulis menyelesaikan studi dan mendapatkan gerah Sarjana Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk menyelesaikan syarat tersebut, penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERAN POLISI ISTIMEWA DALAM PERTEMPURAN SURABAYA TAHUN 1945”. Penulis tertarik mengangkat tema ini karena melihat perjuangan Polisi Istimewa pada saat mempertahankan kemerdekaan perlu diapresiasi dan orang-orang yang akan membaca skripsi ini diharapkan mampu menambah kecintaannya terhadap tanah air.
Jakarta, 1 Oktober 2018
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini, ada bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, baik dukungan moril maupun materil. Tanpa bantuan dari beberapa pihak tersebut mungkin sampai saat ini skripsi penulis belum terselesaikan. Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penuli mengucapakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ayahanda Asmawi dan Ibunda Saidah yang selalu memberikan semangat, doa, dan motivasi baik moril maupun materil sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
2. Kakanda Brigadir Pol. Syaiful Anwar, S.H. yang rela
meluangkan waktunya untuk membantu penulis
menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Prof. Dr. Syukron Kamil, M.A. selaku dekan
Fakultas Adab dan Humaniora.
5. Bapak H. Nurhasan, M.A. selaku ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) Fakultas Adan dan Humanioran, dan sebagai dosen pembimbing skripsi. 6. Ibu Sholikatus Sa‟diyah, M.Pd. selaku sekretaris Jurusan
Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) Fakultas Adab dan Humaniora.
vii
7. Bapak Prof. Dr. Didin Saepudin, M.A. selaku dosen pembimbing akademik.
8. Bapak Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum dan Bapak Dr. Abd. Wahid Hasyim, M. Ag selaku Dosen Penguji Skripsi.
9. Seluruh dosen Sejarah dan Peradan Islam (SPI) yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah mendidik, memotivasi, dan memberikan pengetahuan baru kepada penulis selama berada di bangku kuliah.
10. Lembaga-lembaga yang telah membantu penulis dalam memberikan sumber data, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional Indonesia, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Universitas Indonesia, Museum Polri, Perpustakaan Mabes Polri, dan Pusat Sejarah Mabes Polri.
11. Seluruh mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) angkatan 2014, seluruh teman-teman Sejarah dan Peradaban Islam A yang sama-sama berjuang untuk menjadi Sarjana Strata Satu (S1).
12. Seluruh pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Hanya ucapan terimakasih yang mampu penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT yang akan membalas semua kebaikan keluarga dan sahabat-sahabat penulis.
viii
KUTIPAN TENTANG POLISI ISTIMEWA
“Pembela Tanah Air (PETA) yang diharapkan memberi dukungan pada perjuangan rakyat telah dilucuti senjatanya oleh tentara Jepang. Untung ketika itu M. Jasin tampil memimpin Pasukan Polisi Istimewa yang berbobot tempur militer untuk mendukung dan mempelopori perjuangan di Surabaya” –
Sutomo (Bung Tomo).1
“Moh. Jasin dan Pasukan Polisi Istimewa mendahului yang lain muncul di medan juang Surabaya tahun 1945 dan karena itu Pasukan Polisi Istimewa ini adalah modal pertama perjuangan”
– Dr. H. Roeslan Abdulghani.2
“Omong kosong jika ada yang mengaku dalam bulan Agustus 1945 memiliki pasukan bersenjata, yang ada hanya Pasukan Polisi Istimewa dan tanpa pasukan ini tidak akan ada Hari Pahlawan 10 November 1945” – Brigadir Jenderal TNI/AD
Sudarto.3
“Pasukan Polisi Istimewa bertempur melawan tentara Jepang dengan gagah berani” – Abdul Radjab, Ex Tentara Republik
Indonesia Pelajar (TRIP).4
1 Moehammad Jasin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan
Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
2010), 4
2 Jusuf Chuseinsaputra, Peran Polri dalam Trikora dan Dwikorai,
(Minangkabau : Yayasan Dialektika, 2007), 12.
3 Hadiman Suparmin, Lintasan Perjalanan Kepolisian R.I. Sejak
Proklamasi – 1950, (Jakarta : Godhessa Pura Mas, 1985), 28.
ix
“Pak Yasin dan Pasukan Polisi Istimewa adalah guru dan pelatih kami” – Jenderal TNI/AD Sukanto Sayidiman.5
5 Hadiman Suparmin, Lintasan Perjalanan Kepolisian R.I. Sejak
x
ABSTRAK
Haris Maulana. Peran Polisi Istimewa dalam Pertempuran Surabaya Tahun 1945.
Skripsi ini berjudul “Peran Polisi Istimewa dalam Pertempuran Surabaya Tahun 1945”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejarah perjuangan Polisi Istimewa pada saat mempertahankan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam pertempuran di Surabaya tahun 1945. Perjuangan Polisi Istimewa di Surabaya sangat jarang sekali diketahui, karena selama ini yang selalu dimunculkan dalam setiap pertempuran-pertempuran yang terjadi di Indonesia adalah tentara. Padahal dalam pertempuran di Surabaya tahun 1945, Polisi Istimewa merupakan salah satu kekuatan militer paling lengkap dengan memiliki persenjataan berat dan kendaraan tempur. Polisi Istimewa bahkan melatih kemiliteran pejuang-pejuang dan mempersenjatai pejuang-pejuang di Surabaya. Selain melatih dan mempersenjatai pejuang-pejuang di Surabaya, Polisi Istimewa pun turut bertempur melawan Jepang untuk melucuti persenjataannya, serta bertempur melawan Sekutu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sejarah dan sosiologi. Teori yang digunakan adalah teori peranan. Menurut Soerjono (1987), peranan adalah suatu proses dinamis dari kedudukan (status). Seseorang yang sedang melakukan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka orang tersebut sedang melakukan suatu peranan. Dalam penelitian ini akan memaparkan peran Polisi Istimewa dari mulai melucuti persenjataan Jepang hingga bertempur melawan Sekutu. Hasil temuan dari penelitian ini adalah Polisi Istimewa selalu ikut dalam setiap pertempuran yang terjadi di Surabaya tahun 1945.
Kata Kunci: Polisi Istimewa, Pelucutan Senjata Jepang, Pertempuran Surabaya
xi DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
UCAPAN TERIMAKASIH... vi
KUTIPAN TENTANG POLISI ISTIMEWA ... viii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 12
C. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah ... 13
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13
E. Metode Penelitian ... 14
F. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 18
A. Landasan Teori ... 18
B. Kajian Pustaka ... 19
C. Kerangka berpikir ... 22
BAB III TERBENTUKNYA POLISI ISTIMEWA ... 24
A. Polisi Bersenjata pada Masa Belanda ... 24
B. Pembentukkan Tokubetsu Keisatsu Tai ... 29
C. Terbentuknya Polisi Istimewa ... 33
BAB IV PEREBUTAN SENJATA JEPANG OLEH POLISI ISTIMEWA ... 43
xii
A. Penyerbuan Gudang Senjata Don Bosco ... 43
B. Penyerbuan Markas Kempetai (Polisi Militer Jepang) ... 48
C. Penyerbuan Markas Kaigun (Angkatan Laut Jepang) ... 53
D. Perebutan Senjata di Gedung General Electronic ... 61
E. Perebutan Pedang Samurai Jepang ... 65
F. Pengambilalihan Rumah Sakit Karangmenjangan . 66 G. Perebutan Pangkalan Udara Morokrembangan ... 69
BAB V POLISI ISTIMEWA MELAWAN SEKUTU ... 73
A. Kedatangan Sekutu di Surabaya ... 73
1. Munculnya Resolusi Jihad ... 73
2. Pendaratan Sekutu di Surabaya ... 75
3. Perjanjian Sekutu dan Indonesia di Surabaya ... 81
B. Pertempuran Tiga Hari di Surabaya ... 85
1. Penyebab Pertempuran Tiga Hari ... 85
2. Pertempuran Tiga Hari antara Polisi Istimewa dengan Sekutu... 87
3. Akhir Pertempuran Tiga Hari ... 101
C. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya ... 107
1. Penyebab Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya ... 107
2. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya antara Polisi Istimewa dengan Sekutu ... 111
3. Akhir Pertempuran Polisi Istimewa di Surabaya ... 125
xiii
1. Persenjataan ... 126
2. Keahlian Bertempur ... 126
E. Laskar atau Badan Perjuang yang Terlibat dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945 ... 127
1. BKR (Badan Keamanan Rakyat) ... 128
2. Laskar Hizbullah ... 129
3. Laskar-Laskar dan Badan Perjuangan Pemerintah ... 133
F. Tokoh-Tokoh Polisi Istimewa dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945 ... 134 1. Moehammad Jasin ... 134 2. Soetjipto Danoekusumo ... 135 BAB VI PENUTUP ... 138 A. Kesimpulan ... 138 B. Implikasi ... 139 C. Saran-Saran ... 139 DAFTAR PUSTAKA ... 141 LAMPIRAN ... 147
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahProklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 bagi masyarakat Indonesia bukan hanya secarik kertas tanpa isi, tetapi sebagai bentuk realisasi masyarakat Indonesia yang selama ini
bercita-cita dalam perjuangannya secara gigih. Setelah
diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia yang diketahui secara umum, maka masyarakat Indonesia menuntut supaya apa yang tertulis di dalam proklamasi tersebut bisa lekas terwujud secara nyata. Di mana-mana dilakukan penurunan bendera Hinomaru (Jepang) dengan menggantinya menjadi Sang Saka Merah Putih. Kalau penurunan ini tidak bisa dilakukan secara damai, maka akan dilakukan dengan cara kekerasan. Pada saat itu masih berlangsungnya kekuasaan Jepang di Indonesia, dalam hal tersebut diartikan oleh rakyat sebagai suatu hal yang mengingkari
lahirnya negara baru Republik Indonesia.6
Selama Jepang berkuasa di Indonesia, militer Jepang giat memobilisasi rakyat agar dapat menyediakan tenaga-tenaga rakyat untuk mempertahankan kedudukannya dari ancaman Sekutu. Pada April 1943, militer Jepang mengumpulkan dan melatih para pemuda untuk menjadi pemuda yang bersifat semi-militer yang dikenal dengan sebutan Seinendan. Selain itu masih ada lagi satu organisasi pemuda yang dibentuk oleh militer
6 Memet Tanumidjaja, Sejarah Perkembangan Kepolisian Indonesia,
(Jakarta : Departemen Pertahanan – Keamanan Pusat Sedjarah ABRI, 1971), 25.
Jepang pada bulan Oktober 1943 dan memiliki jumlah anggota terbanyak selain Heiho, yaitu Pembela Tanah Air (PETA).
Pada tahun yang sama, pihak militer Jepang juga membentuk satu lembaga pendidikan militer yang mendidik pemuda Indonesia, akan tetapi hampir terlupakan dalam penulisan sejarah Indonesia, yaitu Sekolah Polisi. Karesidenan Surabaya pun termasuk karesidenan yang memiliki Sekolah Polisi. Di sekolah kepolisian ini tidak hanya menyangkut tentang pengetahuan dan latihan kepolisian, tetapi dilatih juga pendidikan
dan latihan militer.7
Ketika Indonesia sudah merdeka, Jepang sangat berusaha cukup keras supaya dapat mencegah penyebaran berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut. Akan tetapi, para wartawan yang mengetahui hal tersebut tidak habis akal. Mereka
menyebarkan berita tentang kemerdekaan Indonesia
menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa. Bahasa daerah tersebut merupakan bahasa yang kurang dipahami oleh Jepang. Dalam harian Warta Surabaya edisi 17 Agustus 1945 misalnya, berita yang dikeluarkan pada saat itu ditulis menggunakan bahasa Jawa.
Selain berita kemerdekaan Indonesia yang ditulis oleh media cetak menggunakan bahasa daerah, para penyiar radio pun tidak mau ketinggalan. Mereka menyebarkan berita proklamasi
7Lulusan dari pendidikan ini ditempatkan di Dinas Kepolisian Umum
dan sebagian lainnya di Korps Kepolisian Khusus yang disebut Tokubetsu
Keisatsu Tai (Kesatuan Polisi Istimewa). Lihat, Moehammad Jasin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia,
kemerdekaan Indonesia menggunakan bahasa Madura yang tidak dimengerti oleh Jepang. Karena Jepang tidak mengerti bahasa yang disebarkan lewat radio tersebut, akhirnya Jepang tidak
kuasa menahan penyebaran berita tentang proklamasi
kemerdekaan Indonesia di wilayah Jawa Timur.8
Upaya itu dilakukan karena banyak yang belum mengetahui kemerdekaan Indonesia. Walaupun merdekanya Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, tetapi tidak semua masyarakat yang megetahui tepat pada tanggal tersebut. Setelah
mengetahui Kemerdekaan Indonesia, pasukan Tokubetsu
Keisatsu Tai yang nanti akan berganti namanya menjadi Polisi Istimewa ini bersama-sama menurunkan bendera Jepang di Markas Tokubetsu Keisatsu Tai dan menggantinya menjadi bendera Merah Putih. Markas kesatuan ini menempati gedung sekolah yang terletak di Coen Boulevard (sekarang jalan Polisi
Istimewa), Surabaya.9
Tokubetsu Keisatsu Tai merupakan satu-satunya pasukan yang dibentuk oleh Jepang, terdiri atas orang-orang Indonesia yang pada pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia masih memiliki persenjataan lengkap. Sangat beruntung bagi kepolisian (Keisatsu) yang masih dipercaya Jepang dan tidak sampai dilucuti senjatanya, seperti yang terjadi pelucutan senjata terhadap PETA
8 Lorenzo Yauwerissa dan Pusat Sejarah Polri, Pasukan Polisi
Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur,
12-13.
9 Moehammad Jasin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan
Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia, (Yogyakarta : Mata Padi Pressindo,
dan Heiho. Sehingga pada saat itu Tokubetsu Keisatsu Tai masih terorganisir dan memiliki serta memegang persenjataan dalam
mendukung tugas dan fungsi dari kepolisian pada saat itu.10
Memang pasukan inilah salah satu yang diharapkan oleh Jepang dapat membantu ketika perang melawan Sekutu.
Pada tanggal 19 Agustus 1945, di mana Indonesia baru saja merdeka, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), berdasarkan usul Oto Iskandar Dinata, telah menetapkan status polisi sebagai berikut :
a. Supaya susunan Kepolisian Pusat dan Daerah segera dipindahkan ke dalam kekuasaan Pemerintah Indonesia. b. Polisi dan susunannya yang ada di waktu ini, masih tetap
adanya, ditambah dengan tenaga pimpinan dari bekas-bekas PETA dan pemimpin rakyat.
c. Supaya diperintahkan dengan petunjuk-petunjuk sikap baru terhadap rakyat.
Sejak saat itu pula Kepolisian Indonesia dimasukkan ke dalam bagian lingkungan Departemen Dalam Negeri, sehingga status tersebut secara administratif tidak mengalami perubahan antara Kepolisian Indonesia pada saat itu dengan Dinas Polisi
Umum pada masa penjajahan Belanda.11
Pada awal hari-hari kemerdekaan inilah bahwa peran dari Polisi Istimewa menjadi tulang punggung masyarakat Surabaya
10 Jusuf Chuseinsaputra, Peran Polri dalam Trikora dan Dwikorai,
(Minangkabau : Yayasan Dialektika, 2007), 11.
11 Awaloedin Djamin, Sejarah Perkembangan Kepolisian di
Indonesia dari Jaman Kuno sampai Sekarang, (Jakarta : Yayasan Brata Bakti,
dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, hal tersebut dikarenakan hanya Polisi Isitmewa yang saat itu masih bernama
Tokubetsu Keisatsu Tai yang masih memiliki persenjataan.12
Pada tanggal 21 Agustus 1945, Moehammad Jasin membacakan Proklamasi Polisi Istimewa sebagai Polisi Indonesia di Coen Boulevard (sekarang Jalan Dr. Soetomo) Markas Polisi Istimewa Karesidenan Surabaya. Pernyataan Polisi Istimewa tersebut segera diketik dan kemudian disebarluaskan berita tersebut di jalan raya. Menyebarnya berita Polisi Istimewa tersebut memicu para anggota PETA dan Heiho yang sudah dibubarkan untuk bergerak melucuti senjata Jepang dan mengambil alih kekuasaan.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, Moehammad Jasin mendapat pernyataan dukungan dari pemuda Dinoyo. Waktu Polisi Istimewa diproklamirkan, pada saat itu anggota Polisi Istimewa berjumlah 150 orang dan anggota Polisi Istimewa Mojokerto 50 orang. Pasukan tersebut disusun menjadi empat
seksi senapan dan satu senjata berat.13
Meskipun belum memiliki struktur organisasi yang lengkap sebagaimana lembaga negara pada umumnya, namun semangat juang untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya tidak tergantung pada ada atau tidaknya struktur organisasi yang mapan. Para anggota Polisi Istimewa yang telah menyatakan diri
12 Atim Supomo dan Djumarwan, Pelopor, (Jakarta : Pustaka Pelajar,
1998), 31.
13 Lorenzo Yauwerissa dan Pusat Sejarah Polri, Pasukan Polisi
Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur,
sebagai Polisi Republik Indonesia, dengan senjata lebih baik daripada yang digunakan oleh pejuang lainnya mereka menyatakan akan membela tanah air, yaitu Indonesia.
Untuk lebih megefektifkan perjuangan kemudian dibentuk pos-pos tandingan yang dipusatkan di Ngagel dan Wonokromo yang merupakan urat nadi lalulintas di kota Surabaya. Di setiap pos-pos tandingan tersebut ditempatkan personil Polisi Istimewa, yang merupakan satu-satunya pasukan bersenjata reguler paling lengkap di Surabaya. Sebagai persiapan untuk kedatangan Sekutu ke Surabaya, Polisi Isitmewa menggunakan tanda (pita) pada bagian lengan tangannya dan bertulisan CSP (Central Special Police) yang bertujuan sebagai petunjuk bahwa Polisi Istimewa yang bertugas sebagai penjaga keamanan dan ketertiban umum,
sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak militer.14
Sebagai upaya untuk tetap mempertahankan wilayah Surabaya dari kemungkinan penyerangan oleh Sekutu, para pemuda Surabaya yang dibantu oleh anggota Polisi Istimewa mulai melakukan pelucutan senjata-senjata yang dimiliki oleh pihak tentara Jepang. Hal tersebut merupakan upaya dari rakyat dan Polisi Istimewa agar memiliki persenjataan yang lengkap untuk bisa mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dari serangan-serangan pihak luar maupun pihak Sekutu.
Dalam upaya pelucutan senjata militer Jepang untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Polisi Istimewa merupakan faktor utama yang menambah
14 Aminuddin Kasdi, 50 Tahun Pusdik Brimob Watukosek Pasuruan
semangat dan keberanian rakyat Surabaya dalam melakukan pelucutan senjata militer Jepang. Polisi Istimewa dengan para rakyat Surabaya mulai mengepung dan menyerang markas-markas dari militer Jepang untuk mendapatkan persenjataan dari militer Jepang. Setiap kali dilakukan pemberian senjata oleh
pihak militer Jepang selalu Polisi Istimewalah yang
menandatangani penyerahan senjata-senjata militer Jepang tersebut. Setelah itu senjata-senjata yang didapat dibagikan kepada rakyat Surabaya dan badan-badan pejuangan lainnya. Kemudian, setalah membagi-bagikan senjata, Polisi Istimewa juga terlibat dalam melakukan pelatihan kemiliteran dan juga memberi pelatihan menggunakan senjata kepada rakyat dan pejuang-pejuang untuk mempersiapkan mereka semua dalam
menghadapi Sekutu.15
Bahkan, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Polisi Republik Indonesia ini membuat para pemimpin dari Hizbullah untuk ikut menggerakkan massa untuk berjuang bersama. Mereka memandang bahwa perang mempertahankan tanah air merupakan suatu perang sabil, yaitu suatu kewajiban yang melekat pada setiap orang Muslim. Pernyataan itu membuat para kyai dan murid-muridnya yang berasal dari pesantren-pesantren yang ada di Jawa Timur ikut serta menurunkan massa ke kota Surabaya dan mengambil bagian dalam perjuangan mempertahankan tanah
15 Lorenzo Yauwerissa dan Pusat Sejarah Polri, Pasukan Polisi
Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur,
air. Hizbullah juga dipersenjatai oleh Polisi Istimewa.16 Ditambah lagi dengan munculnya resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 untuk menyerukan perlawanan fisik untuk mempertahankan
kemerdekaan.17
Pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara Sekutu yang diangkut dengan menggunakan kapal Wavenley, Malika, Assidious, Floristen, dan lain-lain, dengan melibatkan juga pengawal yang menggunakan kapal perang, mulai memasuki pelabuhan Surabaya. Jumlah tentara Sekutu yang berlabuh di Surabaya diperkirakan berkekuatan sekitar 6000 tentara yang kebanyakan dari tentara tersebut berasal dari serdadu India yang biasa disebut sebagai tentara Gurkha.
Mengetahui kedatangan pasukan Sekutu itu membuat drg. Moestopo yang merupakan seorang dokter gigi di Surabaya yang menjabat sebagai Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jawa Timur dan dipercaya oleh pemerintah pusat untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan ad-interim, mengirim pesan morse kepada pasukan Sekutu dari Pantai Tanjung Perak supaya pasukan Sekutu tidak mendaratkan pasukannya di Surabaya. Larangan pesan tersebut dilakukan berulang kali dengan menambah ancaman bahwa jika Sekutu sampai berani
16 Moehammad Jasin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang:
Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia, 26.
17 Abdul Latief Bustami dan Tim Sejarah Tebuireng, Resolusi Jihad
“Perjuangan Ulama: dari Menegakkan Agama Hingga Negara”, (Jombang :
mendaratkan pasukannya, pasukan Sekutu harus menerima resiko
berperang melawan pejuang Surabaya.18
Namun oleh Pemerintah Pusat meminta sebaliknya, pemerintah pusat mengatakan bahwa ketika tentara Sekutu datang jangan sampai ada rakyat Surabaya yang mengganggunya. Pada sore harinya, pasukan Sekutu berhasil mendaratkan pasukannya di Surabaya. Untuk memenuhi permintaan Pemerintah Pusat yang ingin menyelesaikan setiap permasalahan dengan damai, kemudian sore itu juga Saudara Sugiri, Bambang Suparto, Roeslan Abdulgani menuju Tanjung Perak. Ketika utusan dari Pemerintah Daerah tersebut menemui Wakil Komandan Tentara Sekutu tersebut yang bertugas di Surabaya di sebuah tempat di pelabuhan, bertanyalah mereka maksud tujuan serdadu Sekutu Angkatan Perang Inggris yang pada saat itu sudah bergerak dan berbaris untuk menuju kota. Kemudian jawaban dari Wakil Komadan Tentara Sekutu tersebut adalah untuk menduduki gedung-gedung yang berada di dalam kota. Mereka akan menduduki gedung-gedung di dalam kota tersebut dengan atau tanpa persetujuan dari pemerintah Republik Indonesia setempat. Akhirnya para utusan Pemerintah Daerah terpaksa harus pulang
dengan tanpa hasil.19
Untuk kelanjutan menanggapi kedatangan tentara Sekutu di Surabaya, diadakan perundingan antara pihak Republik Indonesia dan pihak dari Sekutu pada tanggal 26 Oktober 1945.
18
Moehammad Jasin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang:
Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia, 27.
19 Sutomo, Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan
Perundingan ini diikuti oleh Brigjen Mallaby beserta stafnya dari pihak Sekutu, sementara dari pihak Indonesia diikuti oleh Residen Soedirman, Doel Arnowo, Walikota Radjiman dan Muhammad. Setelah melalui ketegangan-ketegangan, hasil perundingan tersebut menghasilkan keputusan sebagai berikut:
1. Inggris (Sekutu) berjanji bahwa di antara tentaranya yang datang ke Surabaya tidak menyertakan Angkatan Laut dan Angkatan Udara Belanda.
2. Untuk menjamin keadilan dan ketentraman telah disetujui oleh kedua belah pihak untuk bekerja sama antara Indonesia dengan tentara Sekutu.
3. Supaya kerja sama dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka akan segera diselenggarakan kontak biro.
4. Yang akan dilucuti senjatanya hanya tentara Jepang saja, kemudian pengawasan terhadap tentara Jepang dilakukan oleh pihak Sekutu dan selanjutnya tentara
Jepang akan dipindahkan ke luar Pulau Jawa.20
Walaupun sudah diadakan perundingan dan menghasilkan kesepakatan dari dua belah pihak, tetapi pihak Sekutu tidak mematuhi hasil perundingan yang telah dibuat tersebut. Bersamaan dengan itu, terbongkar juga tujuan utama dari kedatangan Sekutu ke Surabaya. Dalih Sekutu yang pada awalnya mengatakan bahwa kedatangan mereka di Surabaya adalah dalam rangka melucuti senjata militer Jepang yang pada saat itu sudah
20 Hasyim Latief, Laskar Hizbullah: Berjuang Menegakkan Negara
kalah dalam Perang Dunia II, segera terbongkar. Rakyat Surabaya mencium kecurigaan terhadap kedatangan Sekutu yaitu dalam rangka mengembalikan Surabaya kepada Belanda. Perlakuan dan sambutan baik yang dilakukan oleh rakyat Surabaya terhadap Sekutu dibalas dengan tindakan provokatif oleh sekutu. Dengan semena-mena, tentara Sekutu banyak menangkapi anggota-anggota BKR dan melucuti senjatanya yang dimiliki rakyat Surabaya, bukan hanya melucuti senjata-senjata yang dimiliki
oleh tentara Jepang seperti yang tertulis di dalam perjanjian.21
Pada pertempuran pertama melawan Sekutu tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 1945, Polisi Istimewa pun ikut bertempur
melawan Sekutu.22 Kemudian pasukan Sekutu menjadi
terpecah-pecah dan terkepung, sehingga mereka hampir kehabisan peluru dan persediaan makanan. Demikian pula dengan markas Brigadir Jenderal Mallaby beserta pasukan Sekutu juga diserang. Karena menghadapi keadaan yang sangat tertekan, Brigjen Mallaby meminta bantuan Jenderal Hawthorn di Jakarta supaya bisa dilakukan upaya-upaya penyelamatan pasukan Sekutu di Surabaya lewat para pimpinan Republik Indonesia Pusat dengan
jalan mengadakan gencatan senjata.23
21 Lorenzo Yauwerissa dan Pusat Sejarah Polri, Pasukan Polisi
Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur,
51-52.
22 Des Alwi, Pertempuran Surabaya November 1945. Catatan Julius
Pour: Mallaby Dibunuh atau Terbunuh?, (Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer,
2012), 114.
23 Achmad Tahir, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB),
Banyak pertempuran yang dilakukan oleh Polisi Istimewa beserta pejuang lainnya melawan Sekutu yang akhirnya tercipta lagi perundingan dan kesepakatan yang dilakukan kedua belah pihak. Tetapi, pihak Sekutu terus-menerus selalu mengingkari perjanjian tersebut dengan pihak Indonesia yang kemudian mengakibatkan terjadinya pertempuran lagi. Puncak pertemuran tersebut terjadi pada tanggal 10 November 1945 yang merupakan perjuangan heroik dan menjadi salah satu pertempuran yang paling dikenang di Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis melihat ada beberapa hal permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini, di antaranya:
1. Muncul sebagai kekuatan tempur pada saat pertempuran Surabaya tetapi banyak yang tidak mengenal dari Polisi Istimewa, hanya mengenal Kepolisian Republik Indonesia yang dikenal di Indonesia sekarang ini.
2. Memiliki peranan penting dalam peristiwa pertempuran Surabaya, tetapi sangat jarang buku-buku sejarah yang mengisahkan tentang perjuangan Polisi Istimewa.
3. Mohammad Jasin sebagai pasukan pertempuran Polisi Istimewa tetapi perannya tidak banyak yang mengetahui. 4. Banyaknya pejuang yang menjadi tentara setelah berakhirnya
pertempuran tersebut mengakibatkan lebih menonjolnya peran tentara di dalam buku-buku sejarah dalam pertempuan Surabaya dibanding dengan Polisi Istimewa.
5. Polisi Istimewa merupakan kesatuan tempur yang mempersenjatai rakyat yang berjuang dan laskar-laskar pejuang, tetapi banyak yang tidak mengetahuinya.
C. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis
membatasinya pada perjuangan Polisi Istimewa dalam
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia khususnya pada tahun 1945 di Surabaya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Bagaimana terbentuknya Polisi Istimewa di Surabaya?
2. Bagaimana Peran Polisi Istimewa dalam merebut
persenjataan Jepang?
3. Bagaimana peran Polisi Istimewa dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitan ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui terbentuknya Polisi Istimewa.
2. Untuk mengetahui peran Polisi Istimewa dalam merebut persenjataan Jepang.
3. Untuk mengetahui peran Polisi Istimewa dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi literatur untuk mahasiswa UIN dalam mengetahui peran dari Kepolisian
Indonesia dalam pertempuran Surabaya guna mempertahankan Kemerdekaan Indonesia yang pada saat itu berasal dari Pasukan Polisi Istimewa.
2. Penelitian ini diharap bisa memberikan masukan kepada anggota Polisi untuk lebih profesional dalam melaksanakan tugasnya, khususnya dalam masalah keamanan dan pertahanan.
3. Bisa menjadi salah satu informasi bagi peneliti yang akan melakukan penelitian lebih lanjut dalam bidang sejarah. E. Metode Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan penelitian sejarah. Menurut Kuntowijoyo, ada lima tahap dalam
melakukan penelitian sejarah, yaitu: pemilihan topik,
pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sejarah, dan keabsahan
sumber), interpretasi: analisis dan sintesis, dan penulisan.24
1. Pemilihan Topik
Pemilihan topik merupakan langkah awal dalam melakukan penelitian untuk menentukan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian tersebut. Biasanya pemilihan topik ditentukan dari ketertarikan penulis dalam mengkaji topik tersebut dan kedekatan emosional. Hal tersebut cukup diperhatikan oleh para peneliti supaya dapat mendalami permasalahan yang ada di dalam topik tersebut. Untuk topik dalam penelitian ini adalah “Peran Polisi Istimewa dalam Pertempuran Surabaya Tahun 1945”.
24 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta : Tiara
2. Pengumpulan Sumber
Untuk pengumpulan sumber, penulis mencari sumber yang sifatnya sebagai sumber primer dan sumber sekunder. Penulis mendapatkan sumber-sumber tersebut berasal dari
berbagai tempat seperti, Perpustakaan Museum Polri,
Perpustakaan Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan koleksi pribadi penulis baik sumber primer maupun sumber sekunder.
3. Verifikasi
Verifikasi bisa dikatakan juga sebagai kritik sumber. Setelah sumber terkumpul, perlu dilakukan kritik terhadap sumber yang sudah dikumpulkan untuk menilai sumber-sumber mana saja yang dapat digunakan serta untuk menguji autentisitas, keakuratan sumber, dan menilai kredibilitas data dalam sumber-sumber yang digunakan agar memperkuat hasil penelitian yang menggunakan sumber-sumber tersebut dalam penelitian ini.
4. Interpretasi
Interpretasi merupakan suatu penafsiran dari hasil kritik sumber untuk menguaraikan fakta-fakta yang sudah didapat dari hasil kritik sumber. Setelah fakta yang berhasil dikumpulkan kemudian disatukan untuk menjadi kisah sejarah yang benar dan hanya menjabarkan sesuai dengan fakta yang tidak dilebihkan dan tidak dikurangi.
Penulisan atau historiografi merupakan tahap akhir dalam tahap penelitian ini. Penulisan ini hasil dari semua fakta-fakta dan opini yang dituliskan dalam penelitian ini dan dilakukan dengan berdasarkan kronologis dan sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini menggunakan kaidah-kaidah penulisan ilmiah. Sebagai pedoman dalam penulisan skripsi ini menggunakan surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Tulisan ini dibuat untuk membahas peran dari Polisi Istimewa selama Pertempuran Surabaya Tahun 1945. Supaya pembahasan berdasarkan urutan waktu atau kejadian, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I, Dalam bab ini adalah Pendahuluan yang terdiri dari, Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II, Dalam bab ini adalah Kajian Pustaka yang berisikan Landasan Teori, Kajian Pustaka, dan Kerangka Berpikir.
Bab III, Dalam bab ini menjelaskan tentang terbentuknya Polisi Istimewa yang dimulai dari kepolisian bersenjata pada masa penjajahan Belanda, dan masa penjajahan Jepang. Ditambah dengan sejarah terbentuknya Polisi Istimewa.
Bab IV, Dalam bab ini menjelaskan tentang pelucutan atau pengambilan senjata Jepang oleh Pasukan Polisi Istimewa di
berbagai tempat, seperti gudang senjata Don Bosco, Markas Kempetai, dan Markas Kaigun..
Bab V, Dalam bab ini menjelaskan pasukan Polisi Istimewa Surabaya melawan Sekutu.
Bab VI, Bab ini berisikan Penutup yang terdiri dari, Kesimpulan, Implikasi, dan Saran.
18 BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori
Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian sejarah dengan pendekatan sejarah dan sosiologi. Metode yang digunakan yaitu metode sejarah. Menurut Sartono Kartodirdjo, pendekatan sosiologi merupakan suatu barang tentu yang akan meneropong segi-segi sosial suatu peristiwa yang akan dikaji, misalnya kelompok sosial mana yang berperan, serta
nilai-nilainya, konflik berdasarkan kepentingan, dan lain sebagainya.25
Sementara pendekaan sejarah menurut Basri MS untuk menjelaskan secara rinci mengapa suatu peristiwa dapat terjadi
atau latar belakang terjadinya suatu peristiwa.26
Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori peranan. Sebenarnya, istilah “peran” berasal dari dunia teater. Dalam teater, seorang aktor harus memainkan karakter tokoh yang sudah ditetapkan dalam suatu adegan tertentu dan dalam posisinya memerankan tokoh tertentu diharapkan dapat
berprilaku seperti tokoh yang sudah ditentukan.27
Menurut Soerjono, peranan adalah suatu proses dinamis dari kedudukan (status). Seseorang yang sedang melakukan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka orang
25 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 4.
26
Basri MS, Metodologi Penelitian Sejarah: (Pendekatan, Teori, dan
Praktik), (Jakarta : Restu Agung, 2006), 35.
27 Marvin E. Shaw dan Philip R. Costanzo, Teori-Teori Psikologi
tersebut sedang melakukan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dari peranan adalah demi kebutuhan dan kepentingan ilmu pengetahuan. Kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan, karena yang satu tergantung dengan yang lainnya, maupun sebaliknya. Tidak ada peranan tanpa kedudukan, maupun
sebaliknnya tidak ada kedudukan tanpa peranan.28
Dalam hal ini, Polisi Istimewa, sebagai pasukan bersenjata dan berkekuatan militer, melaksanakan hak dan
kewajibannya dengan melatih kemiliteran masyarakat,
mempersenjatai badan perjuangan lainnya, dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia sesuai dengan kedudukannya. B. Kajian Pustaka
Secara umum tulisan sejarawan tentang Pertempuran Surabaya 1945 sangat banyak. Akan tetapi yang pembahasannya lebih fokus kepada peran Polisi Istimewa dalam Pertempurn Surabaya masih sangat jarang ditemukan. Padahal masyarakat pejuang di Surabaya pada saat itu sangat berharap terhadap bantuan Polisi Istimewa dalam setiap pertempuran-pertempuran melawan tentara Sekutu. Oleh karena itu penelitian tentang Peran Polisi Istimewa dalam Pertempuran Surabaya tahun 1945 sangat menarik karena pasukan inilah yang sangat diandalkan pada saat itu.
Mengenai penggambaran permasalahan yang ada di atas, terdapat beberapa literatur yang membahas tentang peran Polisi Istimewa dalam Pertempuran Surabaya. Di bawah ini merupakan
28 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rajawali
kumpulan referensi yang menjadi rujukan dalam penelitian peran Polisi Isitmewa dalam Pertempuran Surabaya tahun 1945, anatara lain:
1. Buku “Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Kepolisian Indonesia” karya Moehammad Jasin. Buku ini menceritankan tentang penulis buku tersebut dalam pengalaman Pertempuran Surabaya dan menceritakan juga bagaimana terbentuknya Polisi Istimewa tersebut, karena penulis buku ini memang sebagai pelaku sejarah dalam peristiwa tersebut serta penulis buku ini juga sebagai komandan Polisi Isitmewa yang memproklamirkan Kepolisian yang dibentuk oleh Jepang kemudian menjadi Kepolisian Republik Indonesia yang akan setia kepada
negara Indonesia.29 Buku tersebut menjadi buku rujukan
utama bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan ini. 2. Buku karya Lorenzo Yauwerissa dan Pusat Sejarah Polri
yang berjudul “Pasukan Polisi Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur” buku ini
mengkisahkan peran dari Polisi Istimewa dalam
mempertahankan Kemerdekaan Indonesia yang baru
berumur sebentar, buku ini khususnya mengisahkan
perjuangan Polisi Istimewa dalam mempertahankan
29 Moehammad Jasin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang:
Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka
Kemerdekaan Indonesa di daerah Jawa Timur.30 Buku ini sangat membantu penulis dalam mencari
perjuangan-perjuangan Kepolisian dalam Pertempuran Surabaya
sehingga buku ini juga bisa dijadikan sebagai rujukan utama dalam penulisan karya tulis ini.
3. Buku Pertempuran Surabaya November 1945: Catatan Julius Pour, Mallaby dibunuh atau terbunuh?” yang ditulis oleh anak angkat dari Bung Hatta yang bernama Des Alwi ini merupakan pelaku sejarah dalam pertempuran Surabaya ini. Dalam buku tersebut banyak mengkisahkan berbagai macam peran dari badan perjuangan di Surabaya. Salah satunya adalah peran dari Polisi Istimewa yang banyak melatih pejuang-pejuang yang akan bertempur mempertahankan kemerdekaan di Surabaya. Selain itu, Des Alwi juga mengkisahkan dirinya pada awal bertemu Bung Hatta dan Sutan Syahrir dan dijadikan sebagai anak angkat dari kedua tokoh tersebut, dan bagaimana Des Alwi ikut dalam
pertempuran Surabaya pada tahun 1945.31
Penelitian ini akan menggunakan literatur-literatur tersebut sebagai referensi untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
30 Lorenzo Yauwerissa dan Pusat Sejarah Polri, Pasukan Polisi
Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur,
(Yogyakarta : Mata Padi Pressindo, 2013)
31 Des Alwi, Pertempuran Surabaya November 1945: Catatan Julius
Pour, Mallaby dibunuh atau terbunuh?, (Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer,
C. Kerangka Berpikir
Keterangan :
Polisi Istimewa merupakan kesatuan bersenjata yang dibentuk oleh Jepang pada saat berkuasa di Indonesia dengan Tokubetsu Keisatsu Tai. Setelah Indonesia merdeka, kesatuan tersebut memproklamirkan bahwa Polisi Istimewa akan berpihak kepada Indonesia dan menjadi Polisi Indonesia. Setelah memproklamirkan terbentuknya Polisi Istimewa, kesatuan ini menjadi pasukan terdepan dengan laskar-laskar perjuangan lainnya dalam menjaga dan mepertahankan kemerdekaan
Polisi Istimewa Teori Peranan Merebut Senjata Militer Jepang Kedatangan Sekutu ke Surabaya Pertempuran Tiga Hari Pertempuran Polisi Istimewa dalam 10 November 1945 di Surabaya
Indonesia serta berperan penting dalam setiap pertempuran mempertahankan kemerdekaan.
Polisi Istimewa ini satu-satunya pasukan yang masih memiliki persenjataan lengkap pada awal kemerdekaan Indonesia, karena kesatuan-kesatuan militer lainnya dibubarkan oleh Jepang. Untuk mempertahankan kemerdekaan pada saat itu, harus memiliki persenjataan dan harus mempersenjatai pejuang-pejuang lainnya, sehingga Polisi Istimewa dan masyarakat pada saat itu bersama-sama merebut persenjataan militer Jepang dan kemudian membagi-bagikannya kepada pejuang-pejaung lainnya. Perebutan senjata ini dilakukan sebelum kedatangan Sekutu ke Surabaya.
Setelah Sekutu sudah datang ke Surabaya, akhirnya pemerintah daerah dan pihak Sekutu mengadakan peremuan untuk membuat perjanjian apa saja yang boleh dilakukan dan apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh Sekutu di Surabaya. Tetapi Sekutu mengingkari perjanjian tersebut sehingga mengakibatkan pertempuran antara Sekutu dengan pejuang-pejuang Indonesia termasuk Polisi Istimewa yang berlangsung selama tiga hari.
Pertempuran tiga hari tersebut bukan pertempuran terbesar yang terjadi di Surabaya pada saat awal kemerdekaa Indonesia. Pertempuran terbesar terjadi pada tanggal 10 November 1945, yang mengakibatkan korban jiwa sampai ribuan dari dua belah pihak. Pada pertemuran ini Polisi Istimewa berperan dalam pertempuran tersebut dan karena pertempuran hebat tersebut sehingg pada tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.
24 BAB III
TERBENTUKNYA POLISI ISTIMEWA A. Polisi Bersenjata pada Masa Hindia Belanda
Pendidikan Polisi pertama kali dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1911 untuk Agen van Polisi (Politie Agent) di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Pembukaan pendidikan polisi ini dimaksudkan untuk menambah jumlah
personil Polisi di tempatnya masing-masing.32 Tetapi, pada tahun
1914 pendidikan polisi dipusatkan di Batavia untuk tingkat Agent
van Politie (Agen Polisi)33, Inspecteur van Politie (Inspektur
Polisi)34, dan Aspirante Commissaris van Politie (Komisaris
Polisi)35. Sekolah kepolisian ini terletak di jalan Jatibaru,
Batavia.36
32 Mabes Polri, Sejarah Kepolisian di Indonesia, (Jakarta : Markas
Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 1999), 30.
33 Agent van Politie (Agen Polisi) merupakan pangkat terendah dalam
kepolisian pada saat itu. Pada saat ini, pangkat terndah dalam kepolisian adalah Bhayangkara Dua (Bharada). Wawancara dengan Brigadir Polisi Syaiful Anwar, Tangerang Selatan, 4 Mei 2018.
34 Inspecteur van Politie (Inspektur Polisi) merupakan nama pangkat
yang masih digunakan sampai sekarang di Indonesia dengan nama bahasa Indonesia yaitu, Inspektur Polisi. Sekarang ini seorang polisi yang sudah melalui pendidikan perwira akan mendapatkan pangkat Inspektur Polisi Dua (Ipda). Wawancara dengan Brigadir Polisi Syaiful Anwar, Tangerang Selatan, 4 Mei 2018.
35 Aspirante Commissaris van Politie (Komisaris Polisi) merupakan
pangkat tertinggi dari lulusan sekolah polisi yang belaku pada saat kolonial Belanda. Jika ada seorang yang ingin menjadi polisi dan mendapatkan pangkat Komisaris Polisi hanya mengikuti pendidikan Aspirante Commissaris van Politie (Komisaris Polisi). Pada saat ini, pangkat Komisaris Polisi pun masih di gunakan di Indonesia. Tetapi, setiap anggota polisi yang ingin mendapatkan pangkat Komisaris Polisi harus lulusan perwira dan mendapatkan pangkat Inspektur Polisi Dua (Ipda) terlebih dahulu, kemudian harus menunggu
Pada tahun 1920, pendidikan polisi ini dipindahkan ke daerah Buiten Zorg (Bogor) dengan nama Opleinding‟s School voor Het Personeel der Algemene Politie (Pendidikan Anggota Polisi). Kemudian pendidikan polisi ini dipindah ke daerah Sukabumi pada tahun 1925. Pada saat pendidikan polisi di daerah Sukabumi sampai tahun 1930, ada orang pribumi yang berhasil lulus pendidikan tingkat Komisaris Polisi berjumlah tiga orang,
salah satu orang tersebut adalah R. Said Soekanto
Tjokrodiatmodjo yang nanti akan menjadi Kepala Kepolisian
Republik Indonesia yang pertama.37 Terpilihnya Raden Said
Soekanto Tjokrodiatmodjo terjadi pada tanggal 29 September 1945, sejak saat itu resmi menjadi Kepala Kepolisian Republik
Indonesia Pusat.38
Pada tanggal 8 Maret 1942, Polisi yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda secara resmi dibubarkan. Kemudian
kenaikan pangkat sesuai waktu yang sudah ditetapkan dan memiliki prestasi sehingga bisa sampai pangkat Komisaris Polisi. Seorang perwira yang ingin mendapatkan pangkat Komisaris Polisi harus melalui beberapa pangkat terlebih dulu, dari Inspektur Polisi Dua (Ipda), Inspektur Polisi Satu (Iptu), Ajun Komisaris Polisi (AKP), dan Komisaris Polisi (Kompol). Kepolisian sekarang ini, seorang yang baru lulus pendidikan tidak bisa langsung mendapatkan pangkat Komisaris Polisi. Wawancara dengan Brigadir Polisi Syaiful Anwar, Tangerang Selatan, 4 Mei 2018.
36 Awaloedin Djamin, I Ketut Ratta, I Gede Putu Gunawan, dan
Ambar Wulan, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia: dari Zaman
Kuno sampai Sekarang, (Jakarta : Yayasan Brata Bhakti, 2007), 63.
37 Wahid Rahmanto dan Yoyok Widoyoko, Setengah Abad
Mengabdi: Memperingati Bhayangkara Emas 1 Juli 1996, (Jakarta : Markas
Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 1996), 49-50.
38 Awaloedin Djamin, Kedudukan Kepolisian Negara RI dalam
Sistem Ketatanegaraan: Dulu, Kini, dan Esok, (Jakarta : PTIK Press, 2007),
petugas-petugas kepolisian yang berasal dari Eropa pada akhir April 1942 berakhir di kamp-kamp sipil Jepang, mereka berada di kamp-kamp tersebut bersama dengan orang Eropa lainnya. Sejak
saat itulah kepolisian Hindia Belanda berakhir.39 Setelah itu
bergantilah Jepang yang menguasai Indonesia menggantikan Belanda.
Pada tahun 1912, ketika Belanda masih berkuasa, dibentuk Polisi Bersenjata yang ditugaskan sebagai alat kekuataan dari pemerintah Hindia Belanda yang ditempatkan di
daerah-daerah.40 Polisi Bersenjata ini dipercayai oleh pemerintah
Hindia Belanda memiliki tugas pokoknya sebagai berikut: 1. Mampu menjamin keamanan, ketentraman, dan ketertiban. 2. Mampu mengendalikan dan mempertahankan wilayah yang terjadi kekacauan, hingga kemudian tentara mengambil alih tugas. 3. Untuk memperkuat situasi daerah-daerah yang baru
dikuasai.41
Polisi Bersenjata ini merupakan polisi yang bersifat militer. Sebagai pimpinan, Polisi Bersenjata dikepalai oleh seorang Perwira Polisi. Untuk pegawai-pegawainya kebanyakan diambil dari para tentara. Setiap anggota dari Polisi Bersenjata ini diasramakan. Korps ini terbagi dalam divisi-divisi, divisi berada
39 Marieke Bloembergen, Polisi Zaman Hindia Belanda: dari
Kepedulian dan Ketakutan, terjemahan Tristan P. Moeliono, Anna Whardana,
Nicolette P. R. Moeliono, dan Tita Soeprapto Mangoensadjito, (Jakarta : Kompas, 2011), 464.
40
Mabes Polri, Sejarah Kepolisian di Indonesia, 28.
41 Awaloedin Djamin, I Ketut Ratta, I Gede Putu Gunawan, dan
Ambar Wulan, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia: dari Zaman
di dalam brigade, dan brigade berada di dalam detasemen. Selain itu, Polisi Bersenjata ini berada di bawah lingkungan Departemen
Binenlans Bestuur (Departemen Dalam Negeri).42
Polisi Bersenjata ini memang memiliki perkembangan yang cepat, tetapi juga redup dengan cepat. Keredupan dari Polisi Bersejata ini karena tidak ahli dalam memberantas kejahatan-kejahatan yang terjadi, selain itu Polisi Bersenjata ini tidak bisa melakukan penyidikan dan penyelidikan karena tidak memiliki keahlian tersebut. Polisi Bersenjata juga semakin redup dengan adanya pertambahan Polisi Umum yang semakin banyak di kota karena adanya reorganisasi yang mengakibatkan banyaknya penjahat yang meninggalkan kota karena terdesak sehingga harus
ke luar kota.43
Polisi Bersenjata ini juga seringkali melakukan tindakan-tindakan indisipliner, akhirnya tindakan-tindakan-tindakan-tindakan indisipliner tersebut diketahui oleh pemerintah kolonial yang mengakibatkan
pemerintah kolonial merasa kehilangan muka karena malu.44
Lama-kelamaan Polisi Bersenjata ini pun berakhir dan pegawai-pegawainya yang dinilai masih bisa melanjutkan kerjanya dididik pada Sekolah Polisi untuk dikerjakan pada Polisi Lapangan
42 M. Odang, Perkembangan Kepolisian di Indonesia, (Jakarta :
Markas Besar Kepolisian RI, 1952), 7.
43
Mabes Polri, Sejarah Kepolisian di Indonesia, 28.
44 Marieke Bloembergen, Polisi Zaman Hindia Belanda: dari
Kepedulian dan Ketakutan, terjemahan Tristan P. Moeliono, Anna Whardana,
(Veldpolitie). Polisi Lapangan ini sebagai penyelenggara dan
mempertahankan keamanan di luar kota.45
Menurut Engelhard, kegagalan dari Polisi Bersenjata adalah kurangnya pengawasan dari kepemimpinan yang efektif, hal tersebut dikarenakan beban berat yang dipegang oleh pejabat-pejabat pemerintah. Selain itu, perekrutan, pendidikan, dan pelatihan yang buruk yang menyebabkan kinerja dari Polisi
Bersenjata ini semakin memburuk.46 Karena kinerja dari Polisi
Bersenjata semakin buruk, mengakibatkan pemerintah kolonial merasa kehilangan muka.
Dalam perkembangan kepolisian di masa Hindia Belanda, Polisi Bersenjata pun digantikan dengan Polisi Lapangan yang
memiliki tugas yang sama dengan Polisi Bersenjata.47 Polisi
Lapanganan ini dibentuk pada tahun 1920.48 Setelah dibentuknya
Polisi Lapangan ini, tugas-tugas Polisi Bersenjata diambil alih oleh Polisi Lapangan. Polisi Lapangan merupakan pasukan yang selalu siap ditugaskan dengan keahlian cepat, menjalankan tugas-tugas kepolisian dengan mahir, mampu melakukan pengsutan tindak kejahatan, dan diperkenankan menggunakan pukulan dengan senjatanya. Sebenarnya, tugas utama Polisi Lapangan adalah melakukan preventif dalam tugas kepolisian, yaitu melakukan pencegahan pada tindak kejahatan dan gangguan
45 M. Odang, Perkembangan Kepolisian di Indonesia, 8.
46 Marieke Bloembergen, Polisi Zaman Hindia Belanda: dari
Kepedulian dan Ketakutan, terjemahan Tristan P. Moeliono, Anna Whardana,
Nicolette P. R. Moeliono, dan Tita Soeprapto Mangoensadjito, 78.
47 Aminuddin Kasdi, 50 Tahun Pusdik Brimob Watukosek Pasuruan
Jawa Timur, (Jakarta : Unesa University Press, 2004), 29.
keamanan. Untuk melakukan pengusutan sebenarnya hanya sebatas perluas mandat saja, tugas utama melakukan pengusutan
merupakan tugas Polisi Pangreh Praja49 dan Reserse Desa.50
B. Pembentukan Tokubetsu Keisatsu Tai
Perbedaan pada saat Belanda berkuasa di Indonesia dengan Jepang berkuasa adalah saat Belanda berkuasa di Indonesia hanya terdapat satu pemerintahan sipil di Indonesia, tetapi saat Jepang berkuasa di Indonesia, tentara pendudukan Jepang membagi Indonesia menjadi tiga pemerintahan militer, yaitu:
1. Jawa dan Madura berada di bawah kekuasaan Tentara Keenam Belas (Angkatan Darat) berpusat di Jakarta. 2. Sumatera berada di bawah kekuasaan Tentara Kedua
Puluh Lima (Angkatan Darat) berpusat di Bukittinggi. 3. Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, Nusa Tenggara, dan
Irian Jaya berada di bawah kekuasaan Armada Selatan
Kedua (Angkatan Laut) yang berpusat di Makassar.51
Selain itu, susunan organisasi kepolisian pada saat pendudukan Jepang terbagi-bagi menjadi regional tidak terpusat dan masing regional ini memiliki kantor pusat
49
Polisi Pangreh Praja merupakan kesatuan-kesatuan kecil yang ditugaskan di daerah-daerah yang dipimpin oleh Camat, Wedana, dan Bupati. Lihat, Awaloedin Djamin, I Ketut Ratta, I Gede Putu Gunawan, dan Ambar Wulan, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia: dari Zaman Kuno
sampai Sekarang, 58.
50 Aminuddin Kasdi, 50 Tahun Pusdik Brimob Watukosek Pasuruan
Jawa Timur, 30.
51 Awaloedin Djamin, I Ketut Ratta, I Gede Putu Gunawan, dan
Ambar Wulan, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia: dari Zaman
masing. Untuk anggota polisi pada saat pendudukan Jepang ini, Jepang mendapat anggota polisi yang pernah bekerja pada saat Belanda berkuasa di Indonesia. Jumlah anggota polisi yang diterima oleh Jepang sebanyak 31.620 anggota yang terdiri atas, 10 Hopkomisaris, 117 Komisaris Polisi, 13 Wedana Polisi, 63 Hopinspektur Polisi, 88 Asisten Wedana, 545 Inspektur Polisi, 1.463 Mantri Polisi, 513 Hopagen Polisi, 154 Hopposhuis Komandan, 2.582 Poshuis Komandan/Reserse dan 26.073 Agen
Polisi.52 Jepang mendapat keuntungan dengan mengambil
anggota-anggota polisi yang pernah bekerja pada masa kolonial
Belanda.53
Pada masa pendudukan Jepang ini kepolisian terdiri dari 4 region, yaitu:
1. Kepolisian di Pulau Jawa dan Madura, yang berkantor pusat di Jakarta dan di bawah kendali Angkatan Darat (Rikugun)
2. Kepolisian di Pulau Sumatera, yang berkantor pusat di Bukittinggi dan di bawah kendali Angkatan Darat (Rikugun).
52 Hopkomisaris, Komisaris Polisi, Wedana Polisi, Hopinspektur
Polisi, Asisten Wedana, Inspektur Polisi, Mantri Polisi, Hopagen Polisi, Hopposhuis Komandan, Poshuis Komandan/Reserse, dan Agen Polisi adalah kepangkatan yang digunakan di masa kolonial Belanda. Struktur kepangkatan pada saat itu berbeda dengan strukutur kepangkatan kepolisian di Indonesia sekarang dan nama-nama kepangkatannya pun berbeda, hanya ada beberapa yang sama seperti, Inspektur Polisi dan Komisaris Polisi. Wawancara dengan Brigadir Polisi Syaiful Anwar, Tangerang Selatan, 4 Mei 2018.
3. Kepolisian region Timur Besar yang meliputi Pulau-pulau Sumatera, Maluku, dan Irian Barat, yang berkantor pusat di Makassar dan berada di bawah kendali Angkatan Laut (Kaigun).
4. Kepolisian di Pulau Kalimantan, yang berkantor pusat di Banjarmasin dan di bawah pimpinan Angkatan Laut
(Kaigun).54
Pada awal tahun 1943, posisi Jepang pada Perang Pasifik mulai berubah. Jepang mengalami banyak kekalahan terutama dalam pertempuran laut di sekitar Midway dan Laut Karang. Pada saat itu Jepang mulai melakukan posisi bertahan karena keadaan Jepang mulai terdesak. Kemudian Jepang mencari dukungan pada penduduk Indonesia untuk membantu perang tersebut. Pada tanggal 9 Maret 1943, Jepang membentuk Seinendan atau barisan pemuda. Tujuannya adalah untuk mendidik para pemuda Indonesia supaya bisa menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Sebenarnya maksud Jepang membentuk Seinendan supaya menjadikan para pemuda sebagai pasukan
cadangan untuk kepentingan perangnya.55
Memasuki tahun 1944, keadaan Jepang semakin tertekan dalam perang tersebut, bahkan beberapa wilayah kekuasaan Jepang dapat direbut Sekutu. Selain itu serangan Sekutu juga
54 Wahid Rahmanto dan Yoyok Widoyoko, Setengah Abad
Mengabdi: Memperingati Bhayangkara Emas 1 Juli 1996, 35.
55 Awaloedin Djamin, I Ketut Ratta, I Gede Putu Gunawan, dan
Ambar Wulan, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia: dari Zaman
sudah mulai menyerang negari Jepang sendiri.56 Pada tahun ini juga Jepang membentuk pasukan yang mobil dan mempunyai persenjataan yang lebih lengkap di setiap Syu (Karesidenan), dan Kochi (Kerajaan), di Jawa dan Madura. Pasukan ini dibentuk dengan maksud sebagai pasukan penggempur di bawah perintah Syu Chiang Butyo (Bagian Keamanan Karesidenan), dengan sebutan Tokubetsu keisatsu tai. Di setiap karesidenan pasukan ini
terdiri dari 60 sampai 150 orang.57
Anggota Tokubetsu Keisatsu Tai ini terdiri dari polisi muda atau pemuda polisi. Pasukan ini memiliki persenjataan yang lebih lengkap dibanding dengan Polisi Umum. Untuk memobilisasikan pasukan, maka setiap anggota diasramakan, mendapatkan pendidikan dan pelatihan khusus, sebagai pasukan terlatih, berdisiplin tinggi, terorganisir dengan rapih, dan ahli dalam menggunakan persenjataan. Tujuannya adalah supaya memiliki peran dalam kamtibmas dan siap diturunakan dalam
front pertempuran.58
Seluruh anggota dari Tokubetsu Keisatsu Tai ini dipilih dari polisi yang sudah ada pada saat itu, kemudian setiap anggota yang akan menjadi pasukan Tokubetsu Keisatsu Tai diberi latihan tentang kemiliteran yang sangat berat selama 3 bulan. Selain diberi latihan militer seperti perang, setiap anggota Tokubetsu
56 Awaloedin Djamin, I Ketut Ratta, I Gede Putu Gunawan, dan
Ambar Wulan, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia: dari Zaman
Kuno sampai Sekarang, 89.
57 Mabes Polri, Sejarah Kepolisian di Indonesia, 43-44.
58 Aminuddin Kasdi, 50 Tahun Pusdik Brimob Watukosek Pasuruan
Keisatsu Tai juga diberikan pelatihan disiplin dan semangat juang
yang tinggi.59 Tetapi setahun kemudian Jepang harus rela
meletakan kekuasaan di Indonesia karena kalah perang dan menyerah terhadap Sekutu.
C. Terbentuknya Polisi Istimewa
Pada tanggal 19 Agustus 1945, dua hari setelah Indonesia merdeka, Jepang melakukan pelucutan senjata terhadap pasukan
Peta (Pembela Tanah Air), Gyugun (di Sumatera), dan Heiho.60
Kesatuan militer tersebut berhasil dilucuti persenjataannya oleh Jepang, tetapi hanya (Polisi) Keisatsu termasuk Tokubetsu Keisatsu Tai kesatuan bersenjata yang tidak dilucuti oleh Jepang karena masih ditugaskan sebagai pasukan yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat.61 Masih diberikannya
Tokubetsu Keisatsu Tai persenjataan oleh Jepang, karena Tokubetsu Keisatsu Tai memiliki status yang resmi dan keberadaannya diakui oleh Sekutu. Hal tersebut memang dikehendaki oleh pihak Sekutu, agar seluruh pihak aparatur Jepang beserta Polisi Indonesia sebagai pemegang pengendali keamanan yang sah dapat membantu Sekutu pada saat pasukan
59
Mabes Polri, Setengah Abad Polri Melayani Masyarakat, (Jakarta : Dinas Penerangan Polri, 1995), 38.
60 Pelucutan senjata tersebut dilakukan karena Jepang masih merasa
dihantui dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Peta di Blitar yang di bawah pimpinan Cudanco Supriadi pada bulan Februari 1945. Team Kodak X Jatim, Peranan Polri dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur Tahun
1945-1949, (Surabaya : Grafika Dinoyo, 1982), 28.
61 Awaloedin Djamin, I Ketut Ratta, I Gede Putu Gunawan, dan
Ambar Wulan, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia: dari Zaman
Sekutu tiba di Indonesia. pernyataan tersebut tercantum di dalam Piagam Teluk Tokyo:
“… We hereby command all civil, military, and naval officials to obey and enforce all proclamations, orders and directives deemed by the Supreme Commander for the Allied Powers to be proper to effectuate this surrender and issued by him or under his authority and we direct all such officials to remain at their posts and to continue to perform their non-combatant duties unless specifically relieved by him or under his authority.
We hereby command the Japanese Imperial Government and the Japanese Imperial Headquarters at once to liberate all Allied prisoners of war and civilian internees now under Japanese control and to provide for their protection, care, maintenance and immediate transportation to places as directed.
The Japanese Imperial Headquarters further orders its commanders in Japan and abroad to disarm completely all forces or under Japanese control they situated, and to deliver intact and in safe condition all weapons and equipment at such time and at such places as many be prescribed by the Allied Commanders indicated above. All Japanese and Japanese-controlled military and civil authorities shall assist the occupation of Japan and
Japanese controlled areas by forces of the Allied Powers…”62
Dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
“… Kami dengan ini memerintahkan semua pejabat sipil, militer, dan angkatan laut untuk mematuhi dan menegakkan semua pernyataan, perintah, dan arahan yang disebut oleh Panglima Tertinggi untuk Sekutu agar tepat untuk menerapkan penyerahan ini dan dikeluarkan olehnya atau di bawah otoritasnya dan kami mengarahkan semua pejabat tersebut untuk tetap berada di pos mereka dan terus menjalankan tugas non-tempur mereka kecuali secara khusus dibebaskan olehnya atau di bawah otoritasnya.
Kami dengan ini memerintahkan Pemerintah Kekaisaran Jepang dan Markas Besar Kerajaan Jepang sekaligus untuk membebaskan semua tawanan perang Sekutu dan tahanan sipil yang kini berada di bawah kendali Jepang dan untuk menyediakan perlindungan, perawatan, pemeliharaan, dan transportasi segera ke tempat-tempat seperti yang diarahkan.
Markas Besar Kekaisaran Jepang lebih lanjut memerintahkan para komandannya di Jepang dan luar negeri untuk melucuti semua pasukan secara total atau di bawah kendali Jepang yang mereka tempati, dan untuk menyerahkan dengan lengkap dan dalam kondisi aman
62 Barlan Setiadijaya, 10 november ‟45: Gelora Kepahlawanan
semua senjata dan peralatan dan pada saat itu dan di tempat-tempat seperti banyak yang ditentukan oleh Komandan Sekutu yang ditunjukkan di atas.
Semua orang Jepang dan otoritas militer dan sipil yang dikendalikan oleh Jepang akan membantu pekerjaan Jepang dan area yang dikendalikan Jepang oleh kekuatan-kekuatan Sektutu... ”
Pemerintah Jepang yang ada di Jawa dan Sumatera melakukan pelucutan senjata dan pembubaran Peta. Gyugun, dan Heiho yang dilakukan pada tanggal 18 sampai 25 Agustus 1945 yang kebanyakan anggota dari kesatuan militer tersebut belum
mengetahui tentang kemerdekaan Indonesia.63 Pelucutan senjata
tersebut karena kekhawatiran Jepang terhadap kesatuan-kesatuan militer tersebut akan melakukan pemberontakan ulang. Selagi Sekutu belum datang, pihak Jepang merasa masih berkuasa di
Indonesia.64
Di Surabaya, setelah mengetahui kemerdekaan Indonesia, para polisi dan anggota Tokubetsu Keisatsu Tai langsung bergerak cepat dalam merespon berita kemerdekaan Indonesia. Pada malam hari kemerdekaan Indonesia, Soeratmin memangil S. Prawirosoedirdjo rekan sesama anggota Tokubetsu Keisatsu Tai beserta dengan kawan-kawan yang lainnya untuk membicarakan
63 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj: Satrio
Wahono, Bakar Bilfagih, Hasan Huda, Miftah Helmi, Joko Sutrisno, dan Has Manadi, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), 431.
64 Awaloedin Djamin, I Ketut Ratta, I Gede Putu Gunawan, dan
Ambar Wulan, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia: dari Zaman
masa depan dari Tokubetsu Keisatsu Tai. Di dalam pembicaraan tersebut memutuskan pergantian nama dari Tokubetsu Keisatsu
Tai menjadi Polisi Istimewa, yang disingkat PI.65 Nama Polisi
Istimewa tersebut diambil dari arti kata Tokubetsu Keisatsu Tai
(Tokubetsu = Istimewa, Keisatsu = Polisi, Tai = Kesatuan).66
Perubahan nama Tokubetsu Keisatsu Tai menjadi Polisi Istimewa ini belum diresmikan.
Setelah sehari diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia. Seorang anggota Tokubetsu Keisatsu Tai bernama Agen Polisi
III67 Nainggolan baru mengetahui berita kemerdekaan Indonesia,
yang kemudian memberitahukan berita tersebut kepada atasannya yang bernama Inspektur Polisi I Moehammad Jasin. Nainggolan mengetahui kabar tersebut berasal dari kantor Domei yang merupakan kantor berita Jepang yang ada di Surabaya. Pada tanggal 19 Agustus 1945, Nainggolan bersama rekannya, Soegito menurunkan bendera Jepang di markas Tokubetsu Keisatsu Tai dan menggantinya dengan bendera Indonesia (merah putih). Markas Tokubetsu Keisatsu ini berada di Coen Boulevard
65
Lorenzo Yauwerissa dan Pusat Sejarah Polri, Pasukan Polisi
Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur,
(Yogyakarta : Mata Padi Pressindo, 2013), 24.
66 Moehammad Jasin, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang:
Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 2010), 4.
67 Agen Polisi III merupakan pangkat terendah dalam kepolisian pada
saat kolonial Jepang. Jika disamakan dengan pangkat kepolisian di Indonesia sekarang ini, sebagai pangkat terendah sama dengan Bhayangkara Dua (Bharada). Wawancara dengan Brigadir Polisi Syaiful Anwar, Tangerang Selatan, 4 Mei 2018.