• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran dokter anak

Dalam dokumen Departemen Ilmu Kesehatan Anak - FKUI (Halaman 164-168)

Dokter anak harus memahami bahwa SA merupakan kasus yang harus dilaporkan berdasarkan pasal 108 KUHAP. Kejadian SA pada anak semakin meningkat, oleh karena itu dokter harus siap untuk menghadapinya, antara lain dengan mengetahui anatomi anogenital anak, perilaku seksual anak yang normal, dan variasi normal sesuai tumbuh kembang anak. Dokter anak dalam mengajukan pertanyaan tentang kemungkinan SA, harus bersifat pertanyaan terbuka dan tidak boleh menjurus.

Bila pada pemeriksaan anogenital ditemukan abnormalitas, maka anak harus dirujuk ke RS yang mempunyai unit untuk penanganan kekerasan pada anak secara terpadu, seperti Pusat Krisis Terpadu RSCM, atau Pusat Pelayanan Terpadu RS POLRI. Kasus lain yang perlu dirujuk adalah kasus

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVII

dugaan SA yang membutuhkan pemeriksaan forensik, pencegahan PMS, HIV dan kontrasepsi emergensi.

Dokter anak harus dapat membantu (support) anak dan keluarga yg

mengalami abuse, dan harus waspada akan pengaruh SA terhadap kesehatan mental anak serta dapat merujuk anak yang mengalami SA ke ahli yang berpengalaman.

Daftar pustaka

1. Modelli ME, Galvao MF, Pratesi R. Child sexual abuse. Forensic Sci Int. 2012;217:1-4

2. Jenny C, Crawford-Jakubiak JE. The evaluation of children in the primary care setting when sexual abuse is suspected. Pediatrics. 2013;132:e558-67.

3. Ouyang L, Fang X, Mercy J, Perou R, Grosse SD. Attention-deficit/hyperactivity disorder symptoms and child maltreatment: a population-based study. J Pediatr. 2008;153:851-6.

4. Hornor G. Child sexual abuse:consequences and implications. J Pediatr Health Care. 2010;24:358-64.

5. Kempe CH. Sexual abuse, another hidden pediatric problem: the 1977 C. Anderson Aldrich lecture. Pediatrics. 1978;62:382-9.

6. Children’s Bureau Administration on Children. Child Maltreatment. Washington DC: US Department of Health and Human Services; 2012.

7. Dimas Siregar.Komnas Anak:Kekerasan seksual terhadap anak meningkat. www. tempo.co/read/news/2014/05/11/064576850/komnas.

8. Pusat Krisis Terpadu. Data perlakuan salah pada anak di PKT RSCM tahun 2013. 9. Finkelhor D, Ormrod R, Turner H, Hamby SL. The victimization of children and

youth: a comprehensive national survey. Child Maltreat. 2005;10:5-25.

10. Edwards VJ, Holden GW, Felitti VJ, Anda RF. Relationship between multiple forms of childhood maltreatment and adult mental health in community respondents : results from the adverse childhood experiences study. Am J Psychiatry. 2003;160:1453-60.

11. Vogeltanz ND, Wilsnack SC, Harris TR, Wilsnack RW, Wonderlich SA, Kristjansen AF. Prevalence and risk factors for childhood sexual abuse in woman:national survey findings.Child Abuse Negl. 1999;23;579-92.

12. Frias SM, Erviti J. Gendered experiences of sexual abuse of teenagers and children in Mexico.Child Abuse Negl. 2014;28:776-87.

13. Kellog N. The evaluation of sexual abuse in children. Pediatrics. 2005;116: 506-12. 14. Schaeffer P, Leventhal JM, Asnes AG. Children’s disclosure of sexual

abuse:learning from direct inquiry. Child Abuse Negl. 2011;35;343-52.

15. Kaufman M. Care of the adolescent with sexual assault victim. Pediatrics. 2008;122:462-70.

16. Zitelli BJ, McIntire SC, Nowalk AJ. Child abuse and neglect. Dalam: Zitelli BJ, McIntire SC, Nowalk AJ, penyunting. Atlas of pediatric physical diagnosis. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders; 2012. h. 181-257.

Sexual abuse: Bagaimana Mengenal Tanda dan Gejala

17. Adams JA, Harper K, Knudson S, Revilla J. Examination findings in legally confirmed child sexual abuse:it’s normal to be normal. Pediatrics 1994;94:310-7. 18. Mc Cann J, Miyamoto S, Boyle C, Rogers K. Healing of hymenal injuries in

prepubertal and adolescent girls: a descriptive study. Pediatrics 2007;119:e1094- 1106.

19. Mc Cann J, Miyamoto S, Boyle C, Rogers K. Healing of non hymenal injuries in prepubertal and adolescent girls: a descriptive study. Pediatrics 2007;120:1000-11. 20. Hornor G. Common conditions that mimic findings of sexual abuse. J Pediatr

Health Care 2009;23;283-8.

21. Berenson AB, Chacko MR, Wiemann CM, Mishaw CO, Friedrich WN, Grady JJ. Use of hymenal measurement in the diagnosis of previous penetration. Pediatrics 2002;109:228-35.

22. Bond GR, Dowd MD, Lansman I, Rimsza M. Unintentional perineal injury in prepubescent girls: a multicenter, prospective report of 56 girls. Pediatrics 1995;95:628-31.

23. Girardet G, Lahoti S, Howard LA, Fajman NN, Sawyer MK, Driebe EM, dkk. Epidemiology of sexual transmitted infection in suspected child victim of sexual assault. Pediatrics 2009; 124:79-86.

A-B-C-S pada Sindrom Syok Dengue

Sri Rezeki S Hadinegoro Objektif

1. Peserta dapat memahami komplikasi yang terjadi pada Sindrom Syok Dengue

2. Peserta dapat melaksanakan pengobatan komplikasi yang terjadi pada Sindrom Syok Dengue dengan baik

Secara klinis infeksi dengue dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu, fase demam, fase kritis (atau fase syok), dan fase konvalesens (atau fase penyembuhan). Mengenal fase-fase tersebut sangat penting dalam mengetahui perjalanan penyakit dan akan menjadi panduan dalam memberikan pengobatan selanjutnya. Syok pada infeksi dengue atau dikenal sebagai Sindrom Syok Dengue terjadi pada sekitar hari sakit ke-3 sampai ke-5, saat terjadi time of fever defervescence, yaitu saat suhu turun menjadi 37.50C atau lebih

rendah. Sangatlah penting mendeteksi saat defervescence terjadi yang

merupakan perpindahan dari fase demam ke fase kritis, saat terjadi peningkatan permeabilitas kapiler , sehingga terjadi perembesan plasma (plasma leakage) dan hemokonsentrasi. Saat itu pula paling berbahaya dalam perjalanan penyakit infeksi dengue yang terjadi hanya dalam waktu 24-48 jam (Tabel 1).1 Maka seorang dokter harus dapat memonitor kapan saat time of fever

defervescence itu terjadi, untuk mendeteksi syok sedini mungkin atau mengobati syok sesegera mungkin.

Di samping mengatasi syok hipovolemik yang terjadi, beberapa keadaan yang menyertai syok sangat perlu diperhatikan dan diatasi dengan segera. Makin berat dan lama syok yang terjadi makin banyak komplikasi yang menyertainya. Hipoksia dan asidosis, merupakan hal harus selalu diingat apabila kita berhadapan dengan kasus sindrom syok dengue. Namun ketidakseimbangan elektrolit termasuk hiponatremia, hipokalsemia, dan penurunan kadar gula darah perlu mendapat perhatian. Apabila syok tidak berhasil diatasi, maka harus difikirkan telah terjadi perdarahan yang tidak tampak atau occult bleeding.

A-B-C-S pada Sindrom Syok Dengue

Dalam dokumen Departemen Ilmu Kesehatan Anak - FKUI (Halaman 164-168)