• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pitfall tata laksana di layanan swasta

Dalam dokumen Departemen Ilmu Kesehatan Anak - FKUI (Halaman 130-132)

Indikasi rawat inap di layanan swasta seringkali sangat longgar. Banyak pasien yang sebenarnya dapat dikelola sebagai pasien rawat jalan, akhirnya dirawat inap. Alasan dilakukan rawat inap antara lain dikhawatirkan asupan makanan tidak adekuat, dan perlu pemberian antibiotika injeksi. Pasien pneumonia dengan keadaan klinis yang masih cukup baik, dengan asupan makanan yang masih cukup, dapat ditata laksana sebagai pasien rawat jalan.

Antibiotik lini pertama seperti kotrimoksazol dan amoksisilin sering dianggap sudah tidak efektif lagi, karena terlalu sering digunakan untuk tata laksana rinofaringitis yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotika. Berbagai pedoman pneumonia masih merekomendasikan penggunaan amoksisilin untuk tata laksana pneumonia rawat jalan.7,8,12 Suatu metaanalisis penggunaan

antibiotika pada pneumonia mendapatkan bahwa untuk pneumonia komunitas rawat jalan amoksisilin masih memberikan hasil terapi yang baik.16 Bahkan

untuk pneumonia rawat inap, amoksisilin oral juga masih dapat digunakan dengan berbagai keuntungan, yaitu lama rawat yang lebih singkat dan biaya yang lebih murah.17

Pemberian antibiotika di layanan swasta tidak jarang langsung ke lini ketiga. Seperti kita ketahui untuk pneumonia komunitas, antibiotika golongan penisilin seperti ampisilin dan amoksisilin masih sensitif dan dianjurkan penggunaannya di berbagai pedoman pneumonia anak.

Kelompok kerja Program Pengendalian Resistensi Antibiotika (Pokja PPRA) RSCM telah membuat pedoman penggunaan antibiotika. Pedoman ini membagi antibiotika menjadi 3 lini. Lini A (pertama) adalah aminoglikosid (gentamisin), penisilin (ampisilin, amoksisilin, ampsisilin sulbaktam, amoksisilin klavulanat), sefalosporin generasi 1 (sefradin, sefaleksin, sefadroksil, sefazolin), kloramfenikol, klindamisin, makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin).18

Antibiotika lini B (kedua) adalah aminoglikosid (amikasin), sefalosporin generasi 3 oral (sefiksim, sefditoren, sefpodoksim, seftibuten, sefprozil), sefalosporin generasi 3 injeksi (sefotaksim, seftriakson, sefoperazon, seftazidim, sefoperazon-sulbaktam, fosfomisin, aztreonam). Sedangkan antibiotika lini C (ketiga) adalah golongan glikopeptida (vankomisin, teikoplanin), golongan oksazolidinon (linezolid), golongan sefalosporin generasi 3 (seftazidim), golongan sefalosporin generasi 4 (sefepim, sefpirom), golongan karbapenem (imipenem, meropenem, ertapenem, doripenem), golongan glisilsiklin (tigesiklin - pada pasien di atas 18 tahun), piperasilin-tazobaktam, kolistin, golongan fluorokuinolon generasi 1-2 (asam pipemidat, siprofloksasin), golongan fluorokuinolon generasi 3-4 (levofloksasin - pada pasien di atas 12 tahun).18

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVII

Queen MA dan kawan-kawan membandingkan pasien yang diberi antibiotika spektrum sempit (lini pertama) ampisilin, amoksisilin, amoksisilin klavulanat dengan atau tanpa makrolid dengan antibiotika spektrum luas (lini kedua dan ketiga) seperti sefalosporin generasi 2 dan 3, fluorokuinolon, dengan atau tanpa makrolid. Ternyata hasilnya sama antara kedua kelompok dalam hal luaran klinis maupun penggunaan sumber daya. Dengan demikian penggunaan antibiotika lini pertama untuk pneumonia komunitas sangat dianjurkan.19 Resistensi kuman terhadap antibiotika merupakan ancaman

universal dalam menghadapi penyakit infeksi. Pemberian antibiotika secara bebas tanpa mengikuti anjuran penggunaan bertahap akan meningkatkan risiko terjadinya resistensi kuman.

Pemberian oksigen pada pneumonia merupakan suatu tindakan terapeutik. Perlu dilakukan dengan benar dari berbagai aspeknya, dosis, cara dan alat yang digunakan, lama pemberian dan perhatian terhadap berbagai risiko bahaya terapi oksigen. Pitfall yang kerap terjadi adalah dalam pemakaian antarmuka (interface) oksigen. Secara umum yang sering digunakan adalah nasal prong dan masker. Oksigen yang bisa diberikan adalah dengan aliran pelan, maksimal 4L/menit. Bila aliran oksigen >4L/menit menggunakan nasal prong, maka akan menimbulkan rasa tidak nyaman, nyeri dan iritasi pada mukosa hidung pasien. Sebaliknya, pemakaian masker untuk aliran udara yang lebih besar, minimal 5L/menit. Bila alirannya <5L/menit namun menggunakan masker, maka dapat terjadi akumulasi CO2 dalam masker yang akan terhirup lagi oleh pasien sehingga dapat terjadi hiperkarbia.13

Pemberian steroid pada pneumonia juga lazim dijumpai pada layanan swasta. Pneumonia adalah penyakit inflamasi, sehingga timbul pemikiran untuk tata laksananya perlu pemberian anti-inflamasi. Steroid menghambat ekspresi banyak sitokin proinflamasi yang dilepaskan dalam proses inflamasi pneumonia. Pada pasien pneumonia dewasa, penggunaan steroid memberi dampak luaran klinis yang baik. Dalam kenyataannya tidak semua penyakit inflamasi memerlukan pemberian steroid, bahkan steroid dapat berpotensi merugikan.20

Dalam sebuah penelitian Weiss AK dan kawan-kawan mendapatkan bahwa hanya 35% pasien pneumonia yang mendapat steroid. Secara keseluruhan lama rawat pasien yang mendapat steroid lebih pendek. Pasien kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien pneumonia yang diberi inhalasi b-agonis untuk gejala mengi, dan yang tidak mendapat inhalasi b-agonis karena tidak ada mengi. Ternyata pasien yang lama rawatnya lebih singkat adalah yang mendapat steroid dan inhalasi b-agonis (dengan gejala mengi). Sedangkan kelompok yang yang tidak disertai gejala mengi, lama rawat lebih panjang pada pasien yang mendapat steroid.20

Kaidah Terapi dan Tata Laksana Pneumonia pada Anak

Terapi inhalasi b-agonis sering diberikan pada pasien pneumonia anak. Indikasi yang benar pemberian inhalasi b-agonis adalah sebagai bronkodilator pada pasien asma atau pasien dengan keluhan mengi akibat bronkokonstriksi inflamasi. Inhalasi pada pasien pneumonia diberikan dengan alasan untuk membantu bersihan jalan napas. Proses utama inflamasi pada pneumonia adalah di parenkim paru. Inflamasi saluran respiratori merupakan konsekuensi dari proses patogenesis pneumonia dari bagian atas ke bagian bawah saluran respiratori. Memang terjadi hipersekresi di saluran respiratori, tetapi bukan merupakan lokasi utama inflamasi. Inhalasi b-agonis pada pasien asma tidak memberi manfaat banyak kecuali jika pasien memang mengalami asma atau disertai gejala mengi. Tidak ada satupun pedoman tata kelola pneumonia anak yang menyebutkan inhalasi b-agonis sebagai salah salah satu modalitas tata laksana pneumonia anak.

Pitfall lain terkait terapi nebulisasi adalah menggunakan oksigen dinding sebagai sumber aliran alat nebulisasi. Bukan kekeliruan yang fatal, namun merupakan pemborosan oksigen. Yang diperlukan adalah aliran udaranya (+8L/menit), bukan kandungan oksigennya. Aliran ini bisa diperoleh dengan mesin nebulizer, sehingga menghemat pemakaian oksigen.

Dengan alasan yang sama yaitu membantu bersihan saluran respiratori, fisioterapi dada terkadang dilakukan pada pasien pneumonia. Sama halnya dengan terapi inhalasi, fisioterapi dada juga tidak dianjurkan dalam berbagai

pedoman tata kelola pneumonia.7,8,12 Chaves GSS dan kawan-kawan

melakukan kajian terhadap uji klinis. Kesimpulannya tidak terkumpul bukti yang kuat untuk melakukan fisioterapi dada pada pasien pneumonia.21

Dalam dokumen Departemen Ilmu Kesehatan Anak - FKUI (Halaman 130-132)