• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Latar Belakang Historis

B.1. Perang Jawa dan Masa Depan Kerajaan Jawa

Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai kondisi-kondisi sebelum terjadinya Perang Jawa, dan kondisi-kondisi yang menyertai kerajaan-kerajaan Jawa setelah terjadi Perang Jawa. Kondisi-kondisi ini membawa pada pemahaman mengenai hubungan yang kompleks antara raja dengan Belanda yang di dalamnya terdapat pegawai-pegawai Belanda yang membawa kepentingan pemerintah, dan yang juga memiliki kepentingan pribadi.

Di dalam bukunya yang berjudul “Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743”, Remmelink mencoba memetakan bagaimana hubungan kekuasaan Raja Jawa dengan priyayi-priyayi di bawahnya, untuk menjawab ketidakstabilan politik Jawa, yang menjadi kesulitan VOC untuk mengendalikan

Jawa, dan juga kesulitan para peneliti Jawa dalam menjawabnya.29 Ia membandingkannya dengan teori mengenai kharisma raja oleh B. Anderson yang memandang kekuasaan raja sebagai cahaya yang memancar dari pusat, semakin jauh dari pusat semakin lemah kekuasaannya.30 Selain dengan teori Anderson, Remmelink juga membandingkan dengan teori konsensus Ricklef yang menggambarkan kemampuan raja untuk melakukan konsensus dengan cara memanipulasi kepentingan-kepentingan di bawahnya, dengan cara memamerkan kemampuan perang dan dukungan supranaturalnya.31

Beberapa sistem kontrol yang sering dilakukan raja antara lain, dengan meminta tahanan yaitu istri dan anak-anak dari pejabat-pejabat yang ingin dikontrol, yang sering kali dilakukan pada masa krisis atau perang. Sistem kontrol yang lain dapat dilihat misalnya, padaGarebeg Mulud yang mengharuskan setiap bupati untuk menghadap raja sebagai tanda kesetiaan dengan memberikan sejumlah pajak; ketidak-hadiran seorang bupati akan dibayar dengan penurunan pangkat. Kontrol raja terhadap kekuasaannya juga dilakukan dengan mewajibkan anak-anak pejabat untuk bertugas di kraton. Kewajiban ini menjaga kesempatan untuk meneruskan jabatan ayahnya.32 Metode-metode tersebut termasuk juga melalui perkawinan politik yang tidak efektif, dan sering terjebak dalam keruwetan ikatan raja dengan pejabat di bawahnya. Metode-metode tersebut hanya akan memberi kesimpulan bahwa raja dengan sejumlah metode tersebut, baik dengan kharismanya yang lemah, maupun kegagalan konsensus yang

29 Willem Remmelink, 2002:Perang Cina Dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743, Jendela, Yogyakarta. hal. 6-7

30ibid.,hal. 8

31ibid., hal. 9.

dibuatnya, tidak akan memberikan pemahaman yang memadai mengenai hubungan raja dengan pejabat di bawahnya.

Remmelink berpendapat bahwa hubungan antara raja dengan perangkat di bawahnya didasarkan pada jabatan dan nilai-nilai tradisi. Remmelink menolak hubungan kekuasaan berdasarkan kompetensi parapriyayi yang mendasarkan diri pada hierarki birokratis, karena perselisihan yang terdapat dalam kerajaan Jawa bukanlah sebuah perselisihan secara birokratis, namun semata-mata merupakan masalah status yang menentukan posisinya dalam politik.33 Jabatan diperoleh melalui nilai-nilai tradisi yang menjadi dasar status para priyayi dan merupakan kekuasaan Raja untuk memberikan anugerah tersebut. Kekuasaan raja ditentukan oleh kemampuannya untuk mempertahankan monopoli pemberian jabatan ini.34

Di dalam hal ini raja memegang monopoli kehormatan dari priyayi, sehingga di hadapan raja yang menjadi sumber daya bukan tanah tetapi individu yang terikat pada status dan jabatannya. Oleh karena itu, penghitungan, penentuan kekuasaan pada suatu wilayah didasarkan pada jumlah cacah jiwa, karena tanah ikut pada jumlah jiwa. Status terkait dengan kemakmuran ekonomi yang akan diperoleh para priyayi. Priyayi mengejar kehormatan yang diberikan raja, karena kehormatan menentukan nilai nominal dirinya yang ditetapkan dalam jabatannya yang akan memberikan keuntungan ekonomi, dan juga akan menentukan posisinya dalam percaturan politik.35

Hubungan-hubungan antara raja dengan priyayi di bawahnya yang digambarkan oleh Remmelink menjadi terputus sejak selesainya Perang Jawa.

33ibid.,hal. 20.

34ibid.,hal. 23

Belanda tidak hanya melakukan aneksasi-aneksasi wilayah mancanegara, tetapi juga membentuk sebuah korps bupati yang tunduk pada Belanda.36 Kekuasaan Raja menjadi terputus baik pada monopoli kehormatan yang dijalankannya, maupun sumber daya yang menjadi kekuatannya. Belanda telah berhasil, pertama, memecah-mecah kekuasaan menjadi kekuasaan yang tersebar dan dipenuhi oleh intrik-intrik keluarga kerajaan di dalam kraton, dan kedua, Belanda berhasil membuat Raja dan bupati-bupati menjadi tergantung pada Belanda, yang terlihat dengan adanya kompensasi untuk tanah-tanah dimancanegara yang dianeksasi.

Pasca Perang Jawa adalah masa disusunnya dan ditetapkannya perjanjian-perjanjian baru. Perjanjian tersebut diserahkan pada tiga komisaris yaitu, P. Merkus, H.G. Nahuys van Burgts, dan J.I. van Sevenhoven.37 Ketiga komisaris tersebut mengatur:

1. Penyerahan daerah-daerahmancanegara kepada Belanda, 2. Penetapan batas-batas baru,

3. Penetapan batas-batas yang jelas antara Yogyakarta dengan Surakarta, 4. Pembentukan korps bupati di bawah Pemerintahan Belanda dan memberi

statusherediter (turunan), sehingga memisahkannya dengan raja, 5. Pengaturan pembayaran kompensasi tanah dimancanegara.

Penetapan perjanjian-perjanjian setelah Perang Jawa tersebut mengakibatkan ketergantungan kerajaan terhadap Belanda.

Ketergantungan-ketergantungan raja terhadap Belanda dapat dilihat dalam penyewaan-penyewaan tanah raja, atau para pangeran kepada

pengusaha-36J.H. Vincent Houben, 2002:Keraton dan Kompeni, Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870, Bentang, Yogyakarta. hal.39-40

pengusaha asing. Hubungan kepentingan ini sangatlah kompleks yang perlu dijaga di antara keduanya.38 Hal itu disebabkan karena raja, pangeran, danpriyayisecara finansial sangat tergantung pada penyewaan-penyewaan tanah untuk membiayai gaya hidup yang sangat mahal. Di sisi lain bahwa pegawai-pegawai Belanda seperti asisten residen, penerjemah, adalah penghubung raja dengan pengusaha-pengusaha swasta, fungsi tersebut diperankan oleh pegawai seperti asisten residen atau penerjemah sebab gaji mereka sangat kecil. Hubungan-hubungan yang sangat kompleks antara raja dengan pegawai pemerintah yang di dalamnya terdapat asisten residen, penerjemah dengan pengusaha swasta, menghasilkan intrik-intrik di kalangan orang Belanda sendiri dan melahirkan pemecatan-pemecatan oleh pemerintah Belanda, seperti J.A. Wilkens seorang penerjemah yang dipecat karena kasus penyewaan tanah.39

Melalui deskripsi mengenai kondisi-kondisi di dalam kerajaan setelah Perang Jawa, Houben tidak hanya menggambarkan hubungan yang kompleks tersebut beserta kekuasaan Belanda yang semakin besar di dalam kerajaan, tetapi juga menegaskan bahwa cultuurstelsel tidak pernah terjadi di vorstenlanden. Mengenai hal ini Sartono juga menegaskan bahwa sistem tanam paksa tidak pernah terjadi di vorstenlanden.40 Di wilayah vorstenlanden tidak terjadi sistem tanam paksa, melainkan penyewaan tanah. Dalam buku-buku sejarah kolonial penyewaan tanah dimulai pada tahun 1870, namun Houben menyatakan bahwa penyewaan tanah telah berlangsung sebelum tahun 1870. Hal ini dibuktikan

38ibid.,hal.122

39ibid.,hal. 223

40 Sartono Kartodirdjo, Djoko Suryo, 1991,Sejarah Perkebunan Di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta. hal. 57.

dengan peran yang dilakukan oleh para pegawai pemerintah seperti asisten residen, dan penerjemah. Sebagai contoh J.W. Winter, dan C.F Winter menjadi perantara bagi Sunan dengan warga Eropa dalam hal penyewaan tanah.41

Hubungan-hubungan antara Sunan dengan para penerjemah merupakan hubungan simbiotik yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Di satu sisi Sunan diuntungkan dengan adanya penyewaan tanah, di sisi lain penerjemah memilki penghasilan tambahan sebagai perantara penyewaan tanah.

Hubungan-hubungan simbiotik yang dipenuhi dengan kompleksitas itulah yang juga hidup di dalamnya kegiatan-kegiatan pengetahuan yang dilakukan oleh para penerjemah seperti C.F. Winter. Kemajuan pengetahuan harus didasari oleh terciptanya hubungan yang saling menguntungkan di kedua belah pihak. Seperti seorang penerjemah yang merupakan gambaran dari dunia ‘persesuaian’ dalam istilah Houben, yang menggambarkan hubungan antara raja dengan pemerintah Belanda, yang dari hubungannya memungkinkan terjadinya penulisan-penulisan transkripsi teks-teks Jawa, atau studi cerita-cerita Jawa. Munculnya studi-studi mengenai Jawa tidak hanya didesak oleh pengetahuan praktis untuk memerintah Jawa setelah Perang Jawa, tetapi juga lahir karena kondisi-kondisi ekonomis raja yang tergantung pada Belanda, dan hilangnya otoritas raja terhadap para priyayi. Kondisi-kondisi tersebut mendorong raja hanya menjadi penguasa secara simbolik dengan memelihara tradisi-tradisi untuk kelangsungan kekuasaannya. Kondisi-kondisi ini mendorong persaingan politik antara kerajaan-kerajaan Jawa tidak lagi melalui perang, tetapi melalui penulisan-penulisanbabad,

serat seperti yang disebutkan oleh Tsuciya, untuk meneguhkan legitimasi secara tradisi.42