• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Penataan Benda-Benda Museum Sanaboedaja dan Reprensentasi Jawa

MUSEUM SANABOEDAJA : TRANSFORMASI, DAN REPRESENTASI IDENTITAS KEBANGSAAN JAWA

E. Sistem Penataan Benda-Benda Museum Sanaboedaja dan Reprensentasi Jawa

semula digambarkan sebagai ruang sakral dalam konsep rumah Jawa telah dicabut, dan ditetapkan sebagai pusat, penyatu, dan pengikat rekonstruksi Jawa. Rumah Jawa yang terdiri dari tiga ruang seperti,pendapa, pringgitan,dan dalem yang semula merupakan hubungan yang dialektik antara yang trasenden dengan imanen, telah berubah menjadi ruang pameran dengan nilai-nilai kesakralan yang disisakan oleh Karsten sebagai rekonstruksi Jawa.

Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Karsten ini tidak hanya merubah ruang demi ruang dalam rumah Jawa, tetapi juga merupakan pergeseran nilai-nilai praktis dan filosofis dari rumah Jawa. Melalui museum ini Jawa telah ditahklukan, dicabut, ditata, diambil kulit luarnya, dan direkonstruksi sesuai konsep Barat, yaitu dalam bentuk museum.

E. Sistem Penataan Benda-Benda Museum Sanaboedaja dan Reprensentasi Jawa

Setelah dijelaskan mengenai aspek bangunan dari museum Sanaboedaja, maka pada bagian ini akan dijelaskan mengenai benda-benda yang menjadi obyek pameran pada museum Sanaboedaja. Melalui sub-bab ini akan dihasilkan sebuah pemahaman mengenai kolonialisme yang melahirkan institusi seperti museum di dalam penanaman hegemoni atas masyarakat pribumi. Kolonialisme abad XX tidak lagi tampil sebagai kekuatan yang menindas dengan perang yang diciptakan untuk menaklukan pribumi, namun kolonialisme pada kurun waktu ini tampil

sebagai kekuatan laten yang produktif, dan positif, namun memiliki daya cengkeram pada kesadaran pribumi. Masa ini adalahzaman normal yang mampu mengawasi, dan mendisiplinkan pribumi melalui sistem museum.

Pada zaman normal ini, kolonialisme tidak hanya berurusan dengan keuntungan finansial, tetapi juga berurusan dengan benda-benda pribumi. Benda-benda pribumi menjadi proyek baru bagi kolonialisme untuk dipelajari dan ditetapkan dalam prasangka-prasangka Barat. Di dalam studi mengenai benda-benda pribumi ini akan membawa pada pemahaman mengenai kolonialisme yang menanamkan hegemoninya pada masyarakat pribumi, melalui proyek-proyeknya seperti museum Sanaboedaja.

Di dalam sejarah kolonialisme, museum merupakan proyek Barat atas Timur. Melalui museum keberadaan Jawa diproyeksikan secara visual untuk memperoleh keberadaan yang berbeda secara ontologis antara Barat dan Timur. Jawa menjadi obyek kajian yang menarik bagi Barat untuk menetapkan nilai-nilai Timur yang selalu dibedakan dengan Barat. Ketertarikan atas benda-benda Jawa bukan saja didorong atas keinginan untuk mempelajarinya, namun merupakan sifat Barat yang selalu tertarik secara visual atas setiap benda yang ditemukannya di Timur. Sebagai contoh koleksi yang dimiliki oleh Mevrouw A.J. Resink-Wilkens. Tercatat dia memiliki koleksi benda-benda pribadi seperti patung Budha, Budha yang sedang duduk di atas teratai, dan Budha yang duduk di sekeliling teratai.267

267 W. F. Stutterheim, 1934: ‘De Oudheden-Collectie Resink-Wilkens Te Jogjakarta’,Djawa. Jaargang XIV. hal. 177

Gambar 4.Zietende Budha (çakyamuni of Akşobhya). Perunggu.

Bagaimana pun juga ketertarikan untuk mengumpulkan benda-benda Jawa telah berubah menjadi kegilaan Barat untuk mengoleksi benda-benda yang berbau Jawa. Kegilaan ini seperti dengan ditemukannya patung-patung tiruan Budha.268

Oleh karena itu tidak penting lagi apakah benda-benda tersebut asli atau tiruan, tetapi yang terpenting adalah segi eksterioritas yang akan didapat atas Timur. Representasi Timur hanya menjadi sekedar barang yang menarik untuk dikoleksi atau dikumpulkan sebagai bentuk wajah dari Jawa. Melalui hal ini keberadaan Jawa menjadi merosot hanya berkisar pada benda-benda mati, bahkan tidak menjadi masalah jika benda tersebut adalah palsu.

Menurut Jessica Evans, fase tersebut adalah fase pertama dari kegiatan pengumpulan benda-benda atas Timur. Fase yang kedua adalah pengumpulan benda-benda Jawa yang tidak hanya berhenti pada batas ketertarikan untuk mengkoleksi, tetapi berlanjut pada keinginan untuk menjadikan benda-benda Jawa Kuna sebagai obyek kajian. Jawa sejak awal telah menjadi obyek Barat untuk dipelajari. Penempatan Jawa sebagai obyek kajian orientalis membawa Jawa pada posisi yang pasif dan menempatkan otoritas Barat di atasnya. Dalam museum Sanaboedaja, Jawa hanya hadir sebagai keberadaan yang tidak mampu berbicara atas dirinya sendiri, dan dibisukan. Barat melalui metode-metode kajiannya memberikan dasar-dasar historis mengenai masyarakat Jawa. Salah satu sifat utama orientalisme adalah sifatnya yang esensial.269 Jawa menjadi ladang kajian secara historis untuk menggali dan menetapkan nilai-nilai yang tinggi dari Jawa Kuna yang telah hilang. Esensialisme ini akhirnya mengkarakterisasikan

268ibid., hal. 169.

peradaban-peradaban yang telah hilang, runtuh, dan hanya dapat kembali dalam ruang-ruang kajian mengenai masyarakat pribumi dengan metode Barat. Sisi esensial dalam kajian para orientalis ini hadir dalam sebuah museum. Museum menjadi perangkat bagi ditetapkannya Jawa. Oleh karena itu, setiap pengunjung yang datang akan berhasil mendapatkan gambaran mengenai Jawa, melalui aturan-aturan museum seperti jalur-jalur, dan oleh kurator museum Sanaboedaja. Inilah kehadiran representasi Jawa oleh otoritas Barat seperti Karsten, dan S. Koperberg.

Pada museum Sanaboedaja terdapat dua perangkat pembentuk representasi Jawa. Yang pertama adalah dari sudut pandang narasi cerita yang diberikan museum Sanaboedaja, yangkedua adalah tata ruang untuk menempatkan benda-benda yang dipamerkan. Perangkat ini merupakan bentuk pengawasan (surveillance), pendisiplinan Jawa. Pengawasan, dan pendisiplinan ini mengatur dalam narasi apa obyek-obyek itu dipamerkan, dan pada kondisi ruang apa benda-benda tersebut dipamerkan, karena benda-benda-benda-benda harus mengikuti ruang-ruang yang ada di museum Sanaboedaja. Inilah bentuk pengawasan, dan pendisiplinan Barat melalui sistem museum yang menghasilkan sebuah representasi mengenai Jawa.

Perangkat yang pertama adalah narasi cerita museum Sanaboedaja. Narasi yang pertama menghadirkan representasi Jawa dalam discourse masa lalu keemasan Jawa.270 Kembalinya Jawa ini adalah kehadiran ulang mengenai kebudayaan Jawa yang dikonstruksikan dalam kebudayaan Jawa, Sunda, Madura,

dan Bali.271 Oleh karena itu studi-studi yang dilakukan dalam perkembangan pemikiran Java-Instituut dikonstruksikan secara visual dalam museum Sanaboedaja.272

Museum Sanaboedaja menghadirkan Jawa sebagai wilayah memorial mengenai masa lalu keemasan. Discourse masa lalu keemasan ini tidak hanya mendorong diproduksinya pengetahuan mengenai Majapahit, seperti yang ditunjukkan oleh studi-studi di Java-Instituut, tetapi juga ditunjukkan dalam pengumpulan benda-benda pameran di museum Sanaboedaja. Di bawah ini merupakan contoh koleksi awal museum Sanaboedaja pada pembukaannya tahun 1935.

Tabel. 1. Benda-benda awal yang dimiliki museum Sanaboedaja sebagai rekonstruksi masa lalu keemasan Jawa.

No. Nama Materi Asal Ruang

1 Awalokiteswara Bronzen Abad-9 Bronzen

afdeeling

2 Kala kop als spuier Andesiet Abad-10 Beeld galery

3 Terracota kop - Abad 14 Beeld galery

4 Garoeda als voestuk Andesiet Oost Java Beeld galery

5 Vorstenbeeld Kalkasteen Oost Java Beeld galery

6 Relief paneeltje Steen Oost Java Beeld galery

Sumber:Djawa1935.

Selain rekonstruksi mengenai masa lalu keemasan Jawa yang dihadirkan melalui benda-benda peninggalan Majapahit, narasi yang muncul dalam museum Sanaboedaja adalah konstruksi kebudayaan Jawa, Sunda, Bali, dan Madura. Di dalam bab III konstruksi kebudayaan ini telah hadir dalam bentuk studi-studi

271ibid.,

bahasa yang dilakukan oleh Pigeaud, dan selanjutnya konstruksi kebudayaan Jawa juga hadir secara visual melalui benda-benda yang dipamerkan. Di bawah ini adalah contoh benda-benda yang dipamerkan oleh musem Sanaboedaja. Benda-benda yang dipamerkan ini adalah sumbangan-sumbangan, dan pinjaman dari anggotaJava-Instituut.

Tabel.2. Benda-benda sumbangan, dan pinjaman dari koleksi pribadi dan instansi.273

No Nama Benda Asal Penyumbang

1. Krissen van Sultan Hamengkoe

Boewana VII van Jogjakarta Jogjakarta P.A. Djajakoesoema

2. Portret 6 Maskers Oost-Java Z.H.P.A.A.

Mangkoenegara VII 3. Tjinde Hoofddeksel Serimpi Surakarta Prinses Pakoe Alam

VII

4. Klompen(paar), Klamboehaken Madoera Ir.J.L.Moens 5. Een partij vlechtwerk(hoeden,

taschen, sigarenkokers, mandjes) Tasikmalaya Regentschapsraadvan Tasikmalaya

6 Batikrek Oost Java Ir. E. J. van der

Beek

7. Deurbeslag Madoera W.M.v.Griethuyzen.

8. Draagstoel, Beeld (hout) Bali Anak Agoeng I

dewa ktoet Ngoerah 9. Pelangi, 4 Tjinde (Bruikleen) Cirebon S. Koperberg 10. Een aantal voorbeelden van

batikbewerking.(bruikleen) Jogjakarta Afd. Departement Nijverheid,van Economische Zaken

Pada tahun 1938, koleksi museum Sanaboedaja bertambah dengan adanya kiriman dari Sultan Hamengkoeboewana VIII, yang berupa keris, tlempak, Lans (tombak). Mangkoenagoro VII mengirim keris, juga dari Pakoe Alam yang

273 Lihat dalam ‘Geschenken Voor De Oudheidkundige En Volkenkunde Verzameling’,Djawa, 1935. hal. 235-239.

mengirim keris, Lansen (tombak), dan Zwaarden (pedang) dan Messen (pisau). Hal yang sangat menarik adalah sumbangan untuk koleksi museum Sanaboedaja dari koleksi pribadi Van Den Heer A. Gall dari Surabaya, yang menyumbang keris sebanyak 368 buah, Lanspunten (tombak) sebanyak 69 buah, Zwaarden (pedang) sebanyak 30 buah, Messen (pisau) sebanyak 15 buah, dan Stijgbeugels (sanggurdi) sebanyak 1 buah.274 Jumlah sumbangan yang begitu banyak ini sangat menarik perhatian bahwa orang Barat seperti A. Gaal memiliki koleksi pribadi benda-benda pribumi yang sangat banyak. Jumlah sumbangan ini masih ditambah lagi pada tahun 1940. Penambahan ini dibagi menjadi dua tahap. Tambahan koleksi koleksi ini seperti senjata, benda-benda Cina seperti keramik, benda-benda kebudayaan lokal, dan peninggalan Hindu-Budha.275

Gambar 7. Vorstenbeeld. Oost-Java. Kalksteen.

274 ‘Inzending van den Heer A. Gall, Soerabaja,Djawa1938. hal. 261-274.

275 ‘Mededeelingen Betreffeende Het Museum Sana Boedaja Te Djokjakarta, verslag van de aanwinsten over het Ie, 2e halfjaar 1940,Djawa1940.

Gambar 8. Garoeda als Voestuk. Andesiet. 10de eeuw.

Gambar 10. Terracotta-kop. Madjapahit. 14de eeuw.

Gambar 12. Reliefpaneeltje. Oost Java. Steen.

Kebudayaan Jawa yang telah ditransformasikan melalui studi filologi, kebudayaan, dan sejarah hadir secara visual dalam koleksi-koleksi yang dipamerkan dalam ruang galeri museum Sanaboedaja. Di dalam ruang pameran ini dipamerkan benda-benda yang mewakili dan merepresentasikan kebudayaan Jawa, Sunda, Madura, dan Bali. Konstruksi ini dibalut dan disatukan dalam pidato pembukaan museum Sanaboedaja:

In zijn collecties een algemeen beeld geven van de historische ontwikkeling en den huidigen toestand van de Javaansche en de met deze verwante Soendanesche, Madoeresche, en Balinesche culturen.276

Pada gambaran umum koleksi-koleksinya memberikan perkembangan sejarah, dan keadaan Jawa kini dan hubungan keluarga dengan kebudayaan Sunda, Madura, dan Bali.

Perhatikanlah pada kata ‘verwante’. Kata ini berarti ‘pertalian darah’ atau ‘pertalian keluarga’277, suatu hubungan yang mengikat kebudayaan Sunda,

Madura dan Bali menjadi kebudayaan Jawa. Ikatan yang dapat terlihat dalam warisan Hindu. Di dalam hal ini para orientalis bekerja dalam ruang kajian pribumi, dan museum Sanaboedaja. Museum Sanaboedaja tidak hanya merepresentasikan kebudayaan Jawa, tetapi kebudayaan Jawa menjadi obyek yang mati dan dapat dipamerkan sebagai barang yang aneh dan primitif. Pada posisi ini orientalisme merupakan kekuatan laten yang menempatkan kebudayaan Jawa sebagai obyek yang beku. Kehadiran Jawa oleh Barat dalam museum merupakan bentuk ketidakberdayaan Jawa, yang hanya dapat kembali dalam ruang pameran museum Sanaboedaja. Jawa telah ditahklukan melalui kajian akademis Java-Instituutdan melalui tata benda yang dipamerkan dalam museum Sanaboedaja.

Sisi lain dari pameran museum Sanaboedaja adalah terciptanya alur cerita evolutif mengenai Jawa. Museum Sanaboedaja melalui pameran-pameran mengenai zaman megalitikhum, Hindhu, Islam, dan Barat, telah menghadirkan plot cerita yang evolutif mengenai peradaban Jawa. Orientalisme memiliki tradisi pemikiran yang meletakkan peradaban pada proses yang evolutif, seperti munculnya kata ‘ontwikkeling’.278 Plot cerita mengenai gerak evolutif suatu peradaban ini merupakan representasi peradaban Timur yang terbelakang yang ditampilkan melalui tahapan primitif menuju kemajuan peradaban Barat. Kajian-kajian Barat mengenai Jawa telah menghasilkan peradaban Jawa yang esensial yang memiliki keberadaan yang berbeda dan selalu dilawankan dengan kemajuan peradaban Barat. Perbedaan selalu ditekankan oleh Barat dalam ruang

277 S. Wojowasito.op.,cit. S. Wojowasito.

278 Kataontwikkelingmuncul sebagai gambaran bahwa orientalisme tidak hanya mendekati dengan disiplin ilmu pengetahuan, namun juga diberikan perbendaharaan bahasa untuk menyebut, dan memanggil Timur. Said,op., cit. hal. 95.Lihat bab III. hal. 80.

kolonialisme untuk merepresentasikan Barat yang superior dan pribumi yang inferior. Inilah hubungan yang terus diciptakan oleh Barat untuk memperoleh kekuasaan atas Timur.279

Perangkat kedua yang dimiliki oleh museum Sanaboedaja adalah tata ruang pameran. Karsten ketika mengambil rumah Jawa tidak hanya mengubah ruang dalem, tetapi juga telah mengubah secara total secara fungsional rumah Jawa menjadi ruang-ruang pameran museum Sanaboedaja. Perangkat ini tentunya mendisiplinkan benda-benda peninggalan Jawa. Ruang-ruang museum Sanaboedaja tentunya telah berdiri sebelum benda-benda tersebut masuk ke dalam ruang museum, sehingga benda-benda yang dipamerkan mengikuti ruang yang ada. Benda-benda diatur dalam ruang yang telah tersedia baik secara praktis maupun klasifikasi benda-benda. Di bawah ini adalah ruang-ruang yang dirancang oleh Karsten.

Tabel 3. Ruang Pameran museum Sanaboedaja

No Ruang Fungsi pameran

1. Pendapa Benda-benda gamelan, dan ruang

pertemuan

2. Beeldgalery Patung, relief

3. Dalem, Petanen Tempat tidur Sultan Hamengku Buwana I

4. Wajanggalery Pameran wayang

5. Balizaal Ruang Bali

6. Modellenzaal Patung-patung Bali

7. Prauwen kabinet Ruang Pra sejarah, zaman Hindhu, dan lontar

8. Nyverheidsafdeeling Tempat kerajinan

9. Bronzenafdeeling Ruang perunggu, benda cina

10. Tuin Topeng-topeng

279 Nicholas Mirzoeff, 1998: ‘Photography at The Heart of Darknes, Herbert Langs Congo photographs (1909-15)’. Tim Barringer and Tom Flynn (ed),Colonialism and The Object.Routledge , London, and New York. hal.168.

11. Werkplaatsen enz Ruang produksi kerajianan Sumber : Th. Karsten 1935.

Melalui museum Sanaboedaja, peradaban Jawa menemukan sosoknya. Peradaban Jawa yang telah direpresentasikan sebagai masa lalu keemasan dan konstruksi kebudayaan Jawa, Sunda, Madura, dan Bali telah hadir secara visual dalam bentuk museum. Sebagai paradoks, kehadirannya ini menempatkan, dan mengukuhkan Barat sebagai peradaban yang berbeda dengan Jawa, dan perbedaan itu hadir dalam bentuk museum Sanaboedaja. Museum Sanaboedaja merupakan tatanan benda yang mengimajinasikan representasi Jawa yang dilepaskan dari bentuk aslinya, yaitu Jawa itu sendiri.

Seluruh deskripsi di atas merupakan upaya Barat untuk membuat isi dari museum Sanaboedaja, yaitu dengan rekonstruksi masa lalu keemasan, konstruksi kebudayaan, dan proses evolutif peradaban Jawa. Karsten hanya mengambil rumah Jawa sebagai cangkangnya, tetapi mengenai isinya, orientalisme telah menghadirkannya, menciptakannya dalam representasi-representasi mengenai Jawa.

Sesuai dengan zamannya, yaitu zaman normal, museum Sanaboedaja menjadi aparatus kolonial yang memiliki kuasa yang bekerja pada sistem tata ruang, dan tatanan benda. Sistem tata ruang, dan tatanan benda yang disesuaikan dengan plot cerita merupakan bentuk pengawasan, pendisiplinan Jawa. Benda-benda diawasi dalam ruang-ruang yang telah disediakan, dan didisiplinkan dalam narasi-narasi yang dibangun oleh Barat. Untuk menangkap kuasa-kuasa yang halus inilah deskripsi mengenai tata ruang, dan tatanan benda dilakukan. Museum

Sanaboedaja dalam hal ini adalah aparatus kolonial yang melalui kuasa-kuasanya bekerja dalam ruang-ruang kesadaran pribumi.

F. Museum Sanaboedaja: Transformasi Tata Kota Jawa sebagai