• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUSEUM SANABOEDAJA : TRANSFORMASI, DAN REPRESENTASI IDENTITAS KEBANGSAAN JAWA

B. Visual Kolonialisme: Proyek Museum Benda-Benda Pribumi

Pada awal penulisan ini telah ditekankan bahwa tujuan dari penulisan sejarah Java-Instituut adalah membuka wilayah tak sadar positif dari kolonialisme. Wilayah tak sadar positif dari kolonialisme yang dimaksud adalah hubungan kekuasaan dengan produksi pengetahuan yang membuahkan efek-efek pada wilayah kesadaran pribumi. Pada wilayah ini tidak banyak yang membukanya sebagai penulisan sejarah. Sejarah selalu ditulis dalam rangka

222 Benedict Anderson, 2002:Imagined Communities,komunitas-komunitas terbayang, INSIST, Yogyakarta.

penulisan antitesis kolonial, sebagai contoh sejarahperang, sejarahtanam paksa, atau sejarah politik kekerasan. Penulisan sejarah tersebut telah menutup pemahaman yang utuh mengenai kekuasaan yang ditanamkan kolonialisme. Wilayah yang tak terungkap tersebut membuka pemahaman bahwa kolonialisme tidak hanya berurusan dengan kepentingan ekonomi, politik, tetapi juga berurusan dengan benda-benda pribumi, dan kebudayaannya.

Kolonialisme pada abad pertamanya merupakan pengalaman pertemuan antara bangsa Barat dengan Timur, yaitu melalui koloni-koloninya di Asia, Afrika. Pertemuan tersebut mendorong bangsa Barat untuk mengenali, dan mempelajari Timur. Oleh karena latar belakang kepentingan politik dan ekonomi, Barat memproyeksikan dirinya menjadi lebih superior, dan beradab dibandingkan Timur. Timur dikenali untuk mendefinisikan hubungan kekuasaan antara Barat-Timur, dan Timur dimengerti sebagai dunia yang ‘Lain’.

Kajian-kajian mengenai masyarakat pribumi tumbuh seiring dengan penaklukan wilayah pribumi. Kajian-kajian mengenai masyarakat pribumi ini merupakan tradisidiscourse orientalisme yang memberikan metode-metode bagi kolonialisme untuk menjalankan pemerintahannya atas masyarakat pribumi. Melalui hal ini kolonialisme tidak bersifat negatif, tetapi positif, yaitu melahirkan berbagai pengetahuan mengenai pribumi baik secara etnografis, anthropologis, maupun filologis. Namun, lahirnya pengetahuan tersebut adalah sebuah relasi kekuasaan Barat dan Timur yang mengukuhkan kemajuan peradaban Barat atas keterbelakangan Timur.

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai ketertarikan kolonialisme pada benda-benda pribumi yang mendorong kajian-kajian pribumi seperti etnografi, anthropologi, dan filologi. Jessica Evans mengatakan bahwa museum menjadi bagian dari kegiatan keilmuan Barat mengenai pribumi, yang oleh Nicholas Mirzoeff disebut sebagai visual kolonialisme.223

Sejarah ilmu pengetahuan Barat yang muncul di Hindia-Belanda atau di daerah koloni manapun sulit ditentukan sebagai sebuah upaya perkembangan pengetahuan yang murni. Hal ini dikarenakan studi-studi mengenai dunia Timur dilahirkan melalui sifat-sifat superioritas Barat, yang telah menetapkan Timur sebagai wilayah yang disebut sesuatu yang ‘Lain’. Dunia Timur yang ada dibenak mereka adalah dunia yang dipenuhi benda-benda yang aneh, kebiasaan-kebiasaan yang tidak lazim dan mencengangkan mereka.224 Bagi Barat dunia Timur adalah dunia yang harus ditaklukan dengan sekian banyak pengetahuan. Tidak hanya ditaklukan secara politik, tetapi dunia Timur yang sepenuhnya menjadi misteri bagi Barat, telah diterangi dengan ilmu-ilmu Barat seperti ilmu Filologi.

Studi mengenai benda-benda secara khusus dimulai pada tahun 1885 oleh Archelogische Vereeniging.225 Studi ini mengungkapkan bagaimana Timur menjadi obyek yang ditaklukkan secara utuh, sehingga Timur menjadi ringkasan lengkap mengenai adat istiadat, kebiasaan, dan karya-karya Timur.226 Studi-studi mengenai benda-benda yang dilakukan olehArcheologische Vereeniging tersebut adalah gambaran ketertarikan Barat atas keanehan Timur, yaitu dengan

223 Nicholas Mirzoeff (ed)op.,cit. hal. 282

224 Edward Said op.,cit. hal. 135-136.

225 F.D.K. Bosch, 1935: ‘De Ontwikkeling Van Het Museumwezen in Nederlandsch-Indie’,

Djawa, Jaargang XV. hal. 210.

diselengarakannya museum oleh Bataviaasch Genootscaph.227 Timur adalah benda-benda yang menarik untuk dipamerkan, ditonton, dan dikenali sebagai sesuatu yang ‘Lain’. Tiga hal yang terkait dengan museum adalah essensialism, otherness, dan absence.228 Ketiga hal tersebut membawa pada hubungan kuasa antara Barat yang superior, beradab, dengan Timur yang inferior, serta biadab.

Setelah arkeologi muncul sebagai studi mengenai benda-benda pribumi, etnografi juga merupakan dasar ketertarikan pada suku-suku di Nusantara. Ketertarikan yang membuahkan studi mengenai masyarakat pribumi tersebut juga diikuti dengan penyelenggaraan museum, seperti museum di Tegal yang bernama Ngesti Moelja, dan museum Sriwedari di Sala.229 Pengumpulan benda-benda pribumi yang semakin banyak, mendorong semakin tumbuhnya pendirian museum, seperti Oudheidkundige Vereeniging Madjapahit yang dipimpin oleh Maclaint Pont, seorang orientalis yang telah dipelajari di bab terdahulu, dengan tujuan mengumpulkan benda-benda peninggalan Madjapahit yang indah.230

Perkembangan permuseuman semakin penting sebagai upaya Barat untuk mengkonstruksikan Jawa dengan munculnya pameran-pameran yang diselenggarakan oleh Java-Instituut, sebagai contoh Soerabajasche Museum Vereeniging yang dibuka tahun 1926 oleh Java-Instituut sebagai museum etnografi. Melalui Java-Instituut rekonstruksi Jawa diletakkan sebagai masa lalu keemasan yang hilang dan konstruksi kebudayaan Hindu, yaitu kebuadayaan

227 Bosch op.,cit., hal. 210

228 Timothy Mitchell, 1998: ‘Orientalism and The Exhibitonary Order’, dalam Nicholas Mirzoeff (ed),The Visual Culture Reader, Routledge, London and New York. hal. 293

229 Bosch,op.,cit.hal. 271.

Jawa, Sunda, Madura, dan Bali. Konstruksi ini semakin jelas dengan didirikannya museum Sanaboedaja pada tahun 1935.

Pengetahuan mengenai museum-museum di Hindia-Belanda semakin maju dengan adanya studi mengenai museum yang dilakukan oleh S. Koperberg, yang menjabat sebagai sekretaris dari Java-Instituut. Studinya meliputi studi pada museum di Amerika Utara, Belanda, dan Belgia.231 Proses studi tersebut didahului dengan diterimanya surat ijin dariHet Dagelijksche Bestuur pada tanggal 16 Juni 1939. Kemudian, melalui Gubernur Jendral surat tersebut diarahkan kepada perwakilan di Washington, Tokyo, Hongkong, dan Kobe. Pada tanggal 18 Oktober 1939 surat tersebut ditujukan kepada menteri kolonial, selain itu ditujukan juga kepada Minister van Buitenlandsche Zaken, yaitu kepada H.M Gezant di Belgia dan kepada Minister van Onderwijs en Eeredienst voor de Directeuren der Nederlandsche Musea.

Pada bagian pertama dari penelitian tersebut mengungkapkan prinsip-prinsip modern dan penjelasan mengenai kegiatan museum yang tidak hanya merupakan kegiatan pengumpulan benda-benda pribumi, tetapi juga merupakan kegiatan administrasi, inventarisasi, katalogisasi, seni artistik, dan teknik dari museum.232 Melalui studi ini dapat terlihat bagaimana museum tidak lagi menjadi gambaran dari kegiatan pengumpulan benda-benda pribumi, tetapi merupakan pengorganisasian yang rapi mengenai dunia Timur. Timur diorganisasikan dalam museum dan seperti Said katakan Timur adalah ringkasan lengkap karya-karya

231 S Koperberg, 1941: ‘Beschouwingen Van Een Studie-Reis Over Het Museumwezen In De V.S. Van Noord-Amerika, Nederland, en Belgie’,Djawa, Jaargang XXI, No. 2.

mengenai dunia Timur, dan adat kebiasaan yang semuanya itu dapat ditemukan di dalam katalog yang telah disusun oleh Barat.

Selanjutnya S. Koperberg mendeskripsikan mengenai museum-museum di Amerika Utara, Belanda, dan Belgia, sebagai proyek percontohan bagi museum Sanaboedaja. Museum-museum di Amerika dari segi keorganisasian merupakan contoh museum yang baik, yang memiliki sistem pengumpulan, pemeliharaan barang, serta yang berkaitan dengan aturan-aturan pameran, yaitu aturan jam kunjungan untuk museum.233 Dalam salah satu deskripsinya mengenai museum Leiden, terdapat pameran mengenai benda-benda peninggalan Hindu-Jawa.234

Museum Leiden tersebut menjadi gambaran essensialisme dalam orientalisme mengenai kebudayaan-kebudayaan Timur. Pameran-pameran mengenai Jawa dalam museum Leiden tersebut merupakan representasi Jawa, yaitu sebuah kehadiran ulang dari Jawa. Jawa yang utuh tidaklah penting, Jawa hanya sebuah keabsenan yang bisu dan berada pada otoritas orientalis untuk merepresentasikannya.

Melalui studi yang dilakukan oleh S. Koperberg tersebut dapat dipahami mengenai sifat yang essensial dari orientalisme. Sifat yang esensial dari orientalisme tersebut terlihat pada museum Leiden yang mendefinisikan perbedaan Barat dengan Timur. Melalui museum Leiden, Timur dikenali sebagai sifat yang ‘Lain’ yang berbeda dengan Barat. Inilah konsep-konsep yang telah disimpulkan oleh orientalis seperti Maclaine Pont, S. Koperberg, dan Bosch untuk menetapkan identitas antara Barat dan Timur.

233ibid.,hal. 114.

Pada sub-bab berikutnya akan lebih mendalam dijelaskan mengenai museum Sanaboedaja, seperti analisis pada arsitektur bangunan, obyek-obyek yang dipamerkan, dan sistem tata kota. Semua ini dilakukan untuk menangkap representasi yang dihasilkan oleh museum Sanaboedaja Melalui representasi tersebut akan terlihat sebuah identitas Jawa yang merupakan identitas parapriyayi Jawa seperti, Hoesein Djajadiningrat, Soetatma Soeriokoesoema, Poerbatjaraka.