• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGUASAAN PASAR SEBAGAI KEGIATAN YANG

A. Perjanjian yang Dilarang

Sebelum membahas masalah penguasaan pasar sebagaimana yang termasuk dalam kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999, penulis akan sedikit membahas tentang perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5/1999 karena bunyi putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016 menyinggung masalah perjanjian tertutup sebagaimana diatur dalam pasal 15 UU No. 5/1999. Secara umum, perjanjian diartikan sebagai suatu peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal.105 Jika diperhatikan pasal 1 angka 7 UU No. 5/1999, perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Dalam BAB III UU No. 5/1999 diatur mengenai beberapa pasal tentang perjanjian yang dilarang, yaitu dari pasal 4 sampai dengan pasal 16. Beberapa perjanjian tersebut adalah106:

1. Oligopoli (Pasal 4) 2. Penetapan Harga

a. Penetapan Harga (Pasal 5) b. Diskriminasi Harga (Pasal 6) c. Jual Rugi (Pasal 7)

d. Pengaturan Harga Jual Kembali (Pasal 8) 3. Pembagian Wilayah (Pasal 9)

105 Hermansyah, op.cit, hlm. 24

106 Andi Fahmi Lubis, op.cit, hlm. 92.

4. Pemboikotan (Pasal 10)

a. Exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat 1) b. Tying agreements (Pasal 15 ayat 2)

c. Vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat 3) 10. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16)

Pasal 4: “Perjanjian Oligopoli yaitu dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

Pengertian oligopoli dalam Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang disusun oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes adalah suatu tipe struktur pasar (market structure) yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut107:

1. Sedikit perusahaan dan banyak pembeli 2. Produknya homogen atau dibedakan 3. Pasar yang sulit dimasuki

Pasal 5: “Perjanjian penetapan harga (price fixing) dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”

Pasal 6: “Perjanjian Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga uang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama (diskriminasi harga).

Pasal 7: “Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 8: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah dari pada yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

107 Hermansyah, op.cit, hlm. 25.

Ketentuan Pasal 5 adalah perjanjian menetapan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan. Penetapan harga ini dapat dilakukan sesame pelaku usaha yang menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang sama dengan menetapkan harga yang harus dibayar oleh konsumen. Untuk Pasal 6 yang berbicara mengenai diskriminasi harga dimana diskriminasi harga itu sendiri dapat menguntungkan maupun merugikan. Sebagai contoh diskriminasi harga yang digunakan sebagai alat untuk mendorong sebuah pabrik untuk melakukan produksi dengan kapasitas penuh sehingga memungkinkan produksi ekonomi yang berskala besar untuk dicapai. Di sisi lain diskriminasi harga mungkin digunakan sebagai suatu alat untuk memperbesar laba monopoli dengan demikian jelaslah dilarang dalam UU No. 5/1999 itu adalah diskriminasi harga yang digunakan sebagai alat atau instrumen yang dapat menimbulkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.108

Kemudian pada pasal 9 mengatur tentang pembagian wilayah. Pembagian wilayah adalah perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 UU No. 5/1999. Ketentuan pasal 9 ini berbunyi sebagai berikut:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.”

Perjanjian wilayah ini dapat bersifat vertikal atau horizontal. Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar. Wilayah pemasaran dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia atau bagian wilayah negara Republik

108 Ibid, hlm. 28.

Indonesia misalnya kabupaten, provinsi, atau wilayah regional lainnya. Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa, menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa.109

Bagian ke empat, Pasal 10 mengenai Pemboikotan, dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Atau pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut akan merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan. Hal ini dapat juga disebut dengan group boykot.110

Bagian kelima, Pasal 11 mengenai Kartel dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan. Adapun teori mengenai kesuksesan perjanjian kartel ini adalah sangat bergantung kepada kesetiaan para pelakunya yang bila tidak dapat dipertahankan maka akan mengakibatkan harga kembali pada titik persaingan.111

Bagian keenam, Pasal 12 mengenai Trust dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perusaan atau perseroan yang lebih

109 Ibid, hlm. 31.

110 Natasya Ningrum Sirait(a), op.cit, hlm. 91.

111 Ibid, hlm. 92.

besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.112

Bagian ketujuh, Pasal 13 mengenai Oligopsoni dimana pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Untuk bagian kedelapan, Pasal 14 mengenai integrasi vertikal dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.113

Pada umumnya argumentasi pembenaran dari tindakan melakukan integrase vertikal adalah alasan pencapaian efisiensi yang sebenarnya justru disarankan oleh undang-undang. Tetapi yang menjadi perhatian dari perilaku yang menghambat persaingan apabila suatu perusahaan ketika menghadapi persaingan kemudian melakukan transfer pricing ataupun kecurangan biaya produksi dalam invoice atau kwitansi mereka. Transfer pricing adalah saat pelaku usaha

112 Ibid.

113 Ibid, hlm. 93.

memberikan harga yang lebih rendah kepada perusahaan yang terintegrasi diatas atau dibawahnya dengan tujuan membuat biaya produksi lebih rendah sehingga akan mengakibatkan harga jual yang lebih rendah dibanding pesaingnya karena biaya produksi yang relatif lebih rendah. Tujuannya adalah menekan biaya yang terjadi di level terbawah yang akan menjadi relatif rendah dibandingkan dengan biaya produk yang tidak berasal dari proses Integrasi Vertikal.114

Mengenai Pasal 15 yang berbicara mengenai perjanjian tertutup, pada prinsipnya seorang pelaku usaha bebas untuk menentukan sendiri pihak penjual atau pembeli atau pemasok suatu produk di pasar sesuai dengan berlakunya hukum pasar. Karena itu, dilarang setiap perjanjian yang bertentangan dengan kebebasan tersebut dan dapat mengakibatkan timbulnya persaingan tidak sehat.

Perjanjian yang dapat membatasi kebebasan pelaku usaha tertentu untuk memilih sendiri pembeli, penjual, atau pemasok, disebut dengan istilah “perjanjian tertutup”.115 Adapun bunyi pasal 15 sebagai berikut:

1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

3. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:

a. Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau

b. Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

114 Ibid, hlm. 94.

115 Susanti Adi Nugroho, op.cit, hlm. 213.

Untuk pasal 16 yang mengatur perjanjian dengan pihak luar negeri menjelaskan bahwa perjanjian dengan pihak luar negeri adalah perjanjian yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 16 UU No. 5/1999. Selengkapnya pasal ini mengatakan bahwa “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat”.116