• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERSAINGAN

D. KPPU Sebagai Badan Penegak Hukum Persaingan Usaha

1. Tugas dan Wewenang

Untuk pertama kali anggota KPPU ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 162/M Tahun 2000 tertanggal 7 Juni 2000, yang terdiri sebelas anggota selama lima tahun ke depan. Tugas dari KPPU dijabarkan dalam Pasal 35 UU Antimonopoli meliputi 79:

a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur di dalam pasal 4 sampai dengan pasal 16;

b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dana tau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24;

c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 25 sampai dengan pasal 28;

d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur di dalam pasal 36;

e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

f. Menyusun pedoman dana tau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini;

g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sebagai sebuah Lembaga Penegak Hukum independen, KPPU dalam melaksanakan tugasnya memiliki visi yaitu “menjadi lembaga pengawas persaingan usaha yang efektif dan kredibel untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”. KPPU memiliki misi, yaitu (1) menegakkan hukum persaingan, (2)

78 Hermansyah, op.cit, hlm. 75.

79 Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 3.

menginternalkan nilai-nilai persaingan, (3) membangun kelembagaan yang efektif dan kredibel.80

Sedangkan wewenang Komisi, sebagai tindak lanjut dari tugas yang diberikan Pasal 35 huruf d. Dan wewenang Komisi tersebut diatur dalam Pasal 36, sebagai berikut:

a. Menerima laporan dari masyarakat dana tau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya.

d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.

f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.

g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi.

h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.

j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat.

k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

80 Suhasril, op. cit, hlm. 150.

Komisi juga mempunyai fungsi sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dalam Pasal 5 menyebutkan:

a. Penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan posisi dominan;

b. Pengambilan tindakan sebagai pelaksanaan kewenangan;

c. Pelaksanaan administratif.

Kewenangan Komisi yang cukup strategis adalah peran konsultatif ketika memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam hal yang berkaitan keputusan suatu Lembaga yang menyangkut kebijakan ekonomi. Kewenangan komisi yang menyerupai Lembaga yudikatif adalah kewenangan komisi melakukan fungsi penyelidikan, memeriksa, memutus, dan akhirnya menjatuhkan hukuman administratif atas perkara diputusnya. Demikian juga kewenangannya menjatuhkan sanksi ganti rugi atau denda kepada terlapor. Kewenangan legislatif pada KPPU adalah kewenangan komisi menciptakan peraturan baik secara internal mengikat pada pekerjanya, maupun eksternal kepada publik, misalnya guidelines, tata cara prosedur penyampaian laporan dan penanganan perkara.81 Selanjutanya kewenangan yang menyerupai Lembaga eksekutif dapat dilihat pada kewenangan KPPU untuk dapat melaksanakan atau mengeksekusi kewenangan yang diberikan oleh UU No. 5/1999 serta peraturan pelaksanaannya seperti Keputusan KPPU. Kewenangan tersebut dibuat oleh KPPU dalam rangka mengimplementasikan Hukum Persaingan di Indonesia.82

Sementara itu guna menjamin independensi dan menghindari benturan kepentingan, maka anggota Komisi terikat oleh kode etik internal Komisi atau

81 Natasya Ningrum Sirait (a), op. cit, hlm. 111.

82 CICODS FH-UGM, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, Yogyakarta: CICODS, 2009, hlm. 159.

disebut juga dengan Tata Tertib Komisi yang melarang anggota Komisi untuk aktif pada posisi berikut ini83:

a. Anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan;

b. Anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi;

c. Pihak yang memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan, seperti konsultan, akuntan publik, dan penilai; dan

d. Pemilik saham mayoritas.

2. Tahapan Beracara dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999

Menurut ajaran Montesquieu, kekuasaan untuk mempertahankan peraturan perundang-undangan atau kekuasaan peradilan (kekuasaan yudikatif) berada di tangan badan peradilan yang terlepas dan bebas dari campur tangan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Untuk dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, badan peradilan memerlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang akan terjadi jika norma-norma hukum yang telah diadakan tidak ditaati oleh masyarakat. Peraturan-peraturan tersebut dinamakan Hukum Acara ataupun Hukum Formil, yakni suatu rangkaian kaidah hukum yang mengatur tata cara bagaimana mengajukan sesuatu perkara ke muka suatu badan peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan, dan juga dapat dikatakan hukum yang mengatur tentang tata cara memelihara dan mempertahankan hukum meteriil.84

83 Ibid, hlm. 112.

84 CST, Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 329.

Sumber Hukum acara di bidang persaingan usaha terdiri dari85:

a. UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

b. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor: 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara; dan

c. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU.

Mengenai tata cara penanganan perkara atas dugaan pelanggaran Undang-undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana diatur Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU tersebut terdiri dari 7 (tujuh) tahapan yaitu:

a. Penelitian dan klarifikasi laporan, yang mencakup: penyampaian laporan, kegiatan penelitian dan klarifikasi, hasil penelitian dan klarifikasi, dan jangka waktu penelitian dan klarifikasi.

b. Pemberkasan, yang mencakup: pemberkasan, kegiatan pemberkasan, hasil pemberkasan, dan jangka waktu pemberkasan.

c. Gelar laporan, yang mencakup: rapat gelar laporan, hasil gelar laporan, dan jangka waktu gelar laporan.

d. Pemeriksaan pendahuluan, yang mencakup: tim pemeriksa pendahuluan, kegiatan pemeriksaan pendahuluan, hasil pemeriksaan pendahuluan, jangka waktu pemeriksaan pendahuluan, dan perubahan perilaku.

e. Pemeriksaan lanjutan tim pemeriksa lanjutan, kegiatan pemeriksaan lanjutan, hasil pemeriksaan lanjutan, dan jangka waktu pemeriksaan lanjutan.

f. Sidang Majelis Komisi, yang mencakup: majelis komisi, siding majelis komisi, dan putusan komisi.

g. Pelaksanaan putusan, yang mencakup: penyampaian petikan putusan, monitoring pelaksanaan putusan.

85 Ningrum Natasya Sirait dkk, Ikhtisar Ketentuan Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta:

The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program, 2010), hlm. 225.

Mengenai pemeriksaan pendahuluan, KPPU mengenal metode perubahan perilaku yang diatur pada Pasal 37 – Pasal 40 Peraturan KPPU No. 1 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. Dimana Komisi dapat menetapkan tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan meskipun terdapat dugaan pelanggaran, apabila Terlapor bersedia melakukan perubahan perilaku.86 Perubahan perilaku yang dimaksud dapat dilakukan dengan membatalkan perjanjian dan/atau menghentikan kegiatan dan/atau menghentikan penyalahgunaan posisi dominan yang diduga melanggar dan/atau membayar kerugian akibat dari pelanggaran yang dilakukan.87 Selanjutnya selama proses monitoring yang dilakukan oleh Komisi berlangsung dan Komisi menilai bahwa Terlapor telah melaksanakan Penetapan Komisi mengenai perubahan perilaku, maka Komisi akan memberhentikan proses monitoring dan tidak melanjutkan ke Pemeriksaan lanjutan. Namun bila Terlapor tidak melaksanakan penetapan Komisi, maka Komisi akan memberhentikan proses monitoring dan menetapkan untuk melakukan Pemeriksaan lanjutan.88

Namun sayangnya semenjak diberlakukannya peraturan KPPU No. 1 tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara yang menggantikan kehadiran sosok peraturan KPPU No. 1 tahun 2006, tidak ada lagi diatur mengenai perubahan perilaku dalam proses pemeriksaan pendahuluan. Padahal metode tersebut berguna untuk meminimalisir volume perkara yang masuk ke KPPU. Metode perubahan perilaku ini mirip dengan mekanisme proses pemeriksaan milik Federal Trade Commission (selanjutnya disebut sebagai FTC) yang dinamakan

86 Pasal 37 ayat 1 Peraturan KPPU No. 1 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU.

87 Pasal 37 ayat 2 peraturan KPPU No. 1 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU

88 Ibid, Pasal 38 – Pasal 41.

consent order/consent decree89. Saat FTC mengirimkan pemberitahuan bahwa pemeriksaan akan dimulai, maka pemberitahuan itu juga dibarengi dengan consent order. Bila terlapor setuju dengan isi consent order, maka keputusan itu akan didaftarkan dalam registrasi publik selama 60 hari untuk melihat pendapat atau reaksi. Dimana kemudian FTC mengeluarkan penerimaan atau bila ditolak, mengeluarkan disposisi bahwa pemeriksaan akan dimulai dan prosedur consent order ini telah ditutup. Prosedur selanjutnya adalah diikuti dengan prosedur hukum acara yang biasa atau pembuktian sebagaimana umumnya.90

Dalam rangka pemeriksaan lanjutan, Undang-undang memberikan hak kepada KPPU untuk mendengar keterangan saksi, saksi ahli, dan atau pihak lainnya yang relevan. Sebagai jaminan atas diri pelapor, KPPU wajib merahasiakan identitas pelapor yang bukan pelaku usaha yang dirugikan. Demikian juga sebaliknya sebagai jaminan bagi pelaku usaha yang diperiksa, KPPU juga diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan atas segala informasi yang diperoleh KPPU dari pelaku usaha yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan.91

Proses penanganan perkara persaingan usaha berdasarkan UU No. 5/1999 sebahagian berada dalam lingkup kewenangan penuh dari KPPU dan sebahagian lagi berada di luar lingkup kewenangan KPPU. Proses penanganan perkara yang berada sepenuhnya berada dalam lingkup kewenangan KPPU terdiri dari92:

89 Consent Decree merupakan persetujuan para terlapor untuk menghentikan tindakan atau perbuatan yang masih diduga sebagai pelanggaran tanpa adanya pengakuan bersalah sebagaimana yang diajukan oleh FTC dalam Hikmahanto Juwana dkk, Peran Lembaga Peradilan Dalam Menangani Perkara Persaingan Usaha, (Jakarta: PBC, 2003), hlm. 60.

90 Natasya Ningrum Sirait (a), op.cit, hlm. 209.

91 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 58.

92 Natasya Ningrum Sirait dkk, op. cit, hlm. 227.

a. Tindak Lanjut Pelaporan

Dalam hal ini UU tidak menyebutkan secara jelas bagaimana tindakan konkrit dari tindak lanjut laporan tersebut, akan tetapi dalam Pasal 38 ayat 4 diberikan wewenang kepada KPPU untuk mengatur lebih lanjut ketentuan pelaporan.

b. Pemeriksaan pendahuluan atas laporan masyarakat baik yang tidak dirugikan secara langsung maupun laporan pelaku usaha yang dirugikan dan pemeriksaan atas inisiatif KPPU tanpa adanya laporan masyarakat.

c. Pemeriksaan Lanjutan d. Membuat Putusan

Mengenai penyampaian laporan atas dugaan pelanggaran Undang-undang No.

5/1999 ini diatur dalam ketentuan Pasal 38. Pasal 38 ayat (1):

“setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada komisi dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor.”

Pasal 38 Ayat (2):

“Pihak yang dirugikan sebagai akibat pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada komisi dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.”

Berdasarkan Pasal 38 Ayat (1) dan (2) itu dapat disimpulkan bahwa yang dapat menyampaikan laporan atas dugaan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat itu kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha terbagi dalam 2 (dua) pihak, yaitu93:

93 Hermansyah, op. cit, hlm. 97.

a. Setiap orang atau siapa yang mengetahui telah terjadi atau adanya dugaan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha tertentu.

b. Pihak yang secara langsung mengalami kerugian yang diakibatkan adanya pelanggaran terhadap Undang-undang No. 5 Tahun 1999.

Selanjutnya mengenai persyaratan dan tata cara penyampaian laporan telah terjadi atau dugaan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ditentukan dalam Pasal 38 ayat (4) yang menyatakan bahwa tata cara penyampaian laporan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut oleh komisi. Dimana kelanjutannya terdapat dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 14 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2006 tentang Tata cara Penanganan Perkara di KPPU.94

Pasal 12 Ayat (1):

“Laporan dibuat secara tertulis dengan ditandatangani oleh pelapor dalam Bahasa Indonesia dengan memuat keterangan yang jelas dan lengkap mengenai telah terjadinya atau dugaan terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang dengan menyertakan identitas diri”.

Pasal 12 Ayat (2):

“Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas disampaikan kepada Ketua Komisi”.

Pasal 12 Ayat (3):

“Dalam hal Komisi telah memiliki kantor perwakilan di daerah, laporan sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat disampaikan kepada Ketua Komisi melalui kantor perwakilan Komisi di daerah”.

Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa laporan atas telah terjadi atau dugaan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat itu wajib

94 Ibid, hlm. 98.

dibuat secara tertulis dan diperkuat oleh keterangan yang jelas dan lengkap. Ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi bagi setiap orang yang mengetahui dan pihak yang dirugikan atas pelanggaran UU No. 5/1999 yang berkehendak untuk menyampaikan laporan telah terjadinya atau dugaan terjadinya praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok pelaku usaha.95

Untuk proses penanganan perkara yang berada di luar lingkup kewenangan penuh KPPU dan penanganan proses tersebut harus melibatkan badan peradilan yakni Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung adalah:96

a. Pemeriksaan upaya hukum keberatan b. Kasasi; dan

c. Eksekusi putusan

Setelah KPPU menyelesaikan pemeriksaan lanjutan, KPPU diwajibkan untuk memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 dalam tenggang waktu tiga puluh hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan. Kewajiban ini ditentukan dalam Pasal 43 ayat (3) UU No. 5/1999.

Putusan tersebut harus dibacakan dalam upaya persidangan yang terbuka untuk umum, yang harus diberitahukan kepada pelaku usaha.97 Segera setelah Majelis Komisi membacakan Putusan Komisi, Panitera menyampaikan petikan putusan komisi berikut Salinan putusannya kepada terlapor.98

Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan Putusan Majelis KPPU dan tidak pula melakukan upaya hukum keberatan terhadap putusan Majelis Komisi, maka

95 Ibid, hlm. 99.

96 Natasya Ningrum Sirait dkk, op.cit, hlm. 228.

97 Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, op. cit, hlm. 59.

98 Natasya Ningrum Sirait dkk, op.cit, hlm. 272.

Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 44 ayat (4) UU No. 5/1999). Apabila Pelaku Usaha tidak mengajukan upaya hukum keberatan, maka putusan komisi telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan terhadap putusan tersebut dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Ketentuan penetapan eksekusi ini dipertegas dalam Perma No.

3 Tahun 2005. Pasal 7 ayat (1) Perma tersebut menyatakan Permohonan penetapan eksekusi atas putusan yang tidak diajukan keberatan, diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kedudukan hukum pelaku usaha.99

Apabila pelaku usaha telah menerima pemberitahuan petikan putusan KPPU, pelaku usaha dapat menentukan sikapnya, yaitu tidak menerima isi putusan dengan cara mengajukan keberatan atau menerima isi putusan tersebut, dalam arti pelaku usaha tidak mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri. Dasar hukum pengajuan keberatan ditentukan dalam pasal 44 ayat (2) UU No. 5/1999 yang berbunyi:

“pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut”.

Ketentuan lebih lanjut dapat juga dilihat dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2) terkait dengan pengajuan upaya hukum pelaku usaha yang keberatan terhadap putusan KPPU, sebagai berikut:

(1) Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut.

(2) Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.

99 Ibid, hlm. 279.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Perma RI No. 3 Tahun 2005 Keberatan terhadap keputusan KPPU diajukan ke Pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum usaha Pelaku Usaha tersebut100. Keberatan atas Putusan KPPU diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim.101

Pasal 3 Perma RI No. 3 Tahun 2005 mengkategorikan Putusan atau Penetapan KPPU mengenai pelanggaran Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tidak termasuk sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Merujuk pada Ketentuan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU, bahwa ketentuan Pasal 4 ini diatur dalam 8 (delapan) ayat, untuk mengatur tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU, uraiannya sebagai berikut102:

(1) Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak Pelaku Usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU dan atau diumumkan melalui website KPPU.

(2) Keberatan diajukan melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata dengan memberikan Salinan keberatan kepada KPPU.

(3) Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari 1 (satu) Pelaku Usaha untuk putusan KPPU yang sama, dan memiliki kedudukan hukum yang sama, perkara tersebut harus didaftar dengan nomor yang sama.

(4) Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari (1) Pelaku Usaha untuk putusan KPPU yang sama, tetapi berbeda tempat kedudukan hukumnya,

100 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Keputusan KPPU, 18 Juli 2005, Pasal 2 ayat 1.

101 Ibid, Pasal 2 ayat 2.

102 Suhasril, op. cit, 196-197.

KPPU dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung untuk menunjuk salah satu Pengadilan Negeri disertai usulan Pengadilan mana yang akan memeriksa keberatan tersebut.

(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), oleh KPPU ditembuskan kepada seluruh Ketua Pengadilan Negeri yang menerima permohonan keberatan.

(6) Pengadilan Negeri yang menerima tembusan permohonan tersebut harus menghentikan pemeriksaan dan menunggu penunjukkan Mahkamah Agung.

(7) Setelah permohonan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari menunjuk Pengadilan Negeri yang memeriksa keberatan tersebut.

(8) Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri yang tidak ditunjuk harus mengirimkan berkas perkara disertai (sisa) biaya perkara ke Pengadilan Negeri yang ditunjuk.

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 4 di atas, ada 3 (tiga) aturan pokok secara esensial diatur di dalamnya, yakni103:

a. Mengenai jangka waktu pengajuan keberatan terhadap putusan KPPU ke Pengadilan Negeri sesuai dengan prosedur perkara perdata dengan melampirkan Salinan putusan KPPU;

b. Mengenai Pengadilan Negeri yang berwenang atau mempunyai kompetensi untuk memeriksa keberatan terhadap putusan KPPU;

c. Mengenai wewenang Mahkamah Agung untuk menunjuk Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa keberatan terhadap putusan KPPU tersebut.

Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri, dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam pasal 45 ayat (3) dan (4), yang menyatakan:

103 Ibid.

(3) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

(4) Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima.

Pengajuan Permohonan Kasasi ini adalah sesuai dengan Tata Cara Permohonan Kasasi yang diatur dan berpedoman kepada Hukum Acara Perdata.

Karena hal ini tidak diatur dalam UU No. 5/1999 maupun peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006. Hanya berpedoman kepada Pasal 8 peraturan MA No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU.104

104 Ibid, hlm. 200.

BAB III

PENGUASAAN PASAR SEBAGAI KEGIATAN YANG DILARANG DALAM UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

A. Perjanjian yang Dilarang

Sebelum membahas masalah penguasaan pasar sebagaimana yang termasuk dalam kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999, penulis akan sedikit membahas tentang perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5/1999 karena bunyi putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016 menyinggung masalah perjanjian tertutup sebagaimana diatur dalam pasal 15 UU No. 5/1999. Secara umum, perjanjian diartikan sebagai suatu peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal.105 Jika diperhatikan pasal 1 angka 7 UU No. 5/1999, perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Dalam BAB III UU No. 5/1999 diatur mengenai beberapa pasal tentang perjanjian yang dilarang, yaitu dari pasal 4 sampai dengan pasal 16. Beberapa perjanjian tersebut adalah106:

1. Oligopoli (Pasal 4) 2. Penetapan Harga

a. Penetapan Harga (Pasal 5) b. Diskriminasi Harga (Pasal 6) c. Jual Rugi (Pasal 7)

d. Pengaturan Harga Jual Kembali (Pasal 8) 3. Pembagian Wilayah (Pasal 9)

105 Hermansyah, op.cit, hlm. 24

106 Andi Fahmi Lubis, op.cit, hlm. 92.

4. Pemboikotan (Pasal 10)

a. Exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat 1) b. Tying agreements (Pasal 15 ayat 2)

c. Vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat 3) 10. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16)

Pasal 4: “Perjanjian Oligopoli yaitu dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama

Pasal 4: “Perjanjian Oligopoli yaitu dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama