• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERSAINGAN

A. Gambaran Umum Persaingan Usaha

1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha

Indonesia baru memiliki aturan hukum dalam bidang persaigan usaha, setelah atas inisiatif DPR disusun RUU Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. RUU tersebut akhirnya disetujui dalam sidang paripurna DPR pada tanggal 18 Februari 1999, dalam hal ini pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan. Setelah seluruh prosedur legislasi terpenuhi, akhirnya Undang-undang tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ditandatangani Presiden Bachruddin Jusuf Habibie dan diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan.

Sebelumnya persaingan usaha tidak sehat dan tindak pidana monopoli, diatur baik secara eksplisit maupun implisit dalam berbagai perundang-undangan

36 Andi Fahmi Lubis, op. cit, hlm. 3.

yang ada. Berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang telah mengatur persaingan usaha di Indonesia37;

a. Pasal 382 bis W.V.S (KUHP)

“Barangsiapa mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu diancam karena persaingan curang dengan pidana paling lama satu (1) tahun empat bulan atau denda paling banyak Rp.13.500,00 jika hal itu dapat menimbulkan kerugian bagi saingannya sendiri atau saingan orang lain.”

b. Pasal 1365 KUHPerdata

“Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan suatu kerugian tersebut karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”

c. Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Upaya pencegahan terhadap terjadinya praktik monopoli dan usaha tidak sehat terdapat dalam ketetapan-ketetapan MPR, yaitu:

1) Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang GBHN bidang pembangunan ekonomi.

2) Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1978 tentang GBHN pada bidang Pembangunan Ekonomi pada Sub Bidang Usaha Swasta dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah.

3) Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1983 tentang GBHN pada bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Usaha Swasta Nasional dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah

37 Mustafa Kamal Rokan, op. cit, hlm. 21.

4) Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1988 tentang GBHN pada Bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Dunia Usaha Nasional.

5) Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1993 tentang GBHN pada Bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Usaha Nasional.

6) Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN pada kondisi umum

d. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria

Pada pasal 13 ayat (2) UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria menentukan pemerintah harus mencegah usaha-usaha dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta. Dalam ayat 3 disebutkan bahwa monopoli pemerintah dalam lapangan agrarian dapat diselenggarakan asal dilakukan berdasarkan undang-undang.

e. Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

“Dalam pasal 7 memuat ketentuan tentang kewenangan pemerintah untuk melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri untuk: (1) mewujudkan pengembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna, (2) mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan tidak jujur, (3) mencegah pemutusan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.”

f. Pasal 81 dan 82 Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang No. 14 Tahun 1997

Pasal 81 dan 82 berintisarikan melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar milik orang lain atau milik badan hukum untuk barang dan jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan. Menurut pasal 83 perbuatan yang diatur dalam pasal 81 dan 82 merupakan kejahatan.

g. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum

Pada Pasal 15 (1) disebutkan, merger dan konsolidasi hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Menteri Keuangan.

h. Undang-undang No, 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

Dalam Undang-undang ini khususnya Bab VII Pasal 102 hingga 109 yang mengatur mengenai penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi).

i. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

Undang-undang ini menyatakan pemerintah harus menjaga iklim usaha dalam kaitannya dengan persaingan dengan membuat peraturan-peraturan yang diperlukan. Untuk melindungi usaha kecil, pemerintah juga harus mencegah pembentukan struktur pasar yang mengarah pada pembentukan monopoli, oligopoli, dan monopsoni.

j. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Dalam Pasal 10 melarang adanya ketentuan yang menghambat adanya persaingan sehat dalam pasar modal.

k. Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas

Dalam pasal 4 (b) disebutkan bahwa penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan, hanya dapat dilakukan dengan memerhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha.

Latar belakang yang mendorong penyusunan undang-undang antimonopoli adalah perjanjian yang dilakukan antara Dana Moneter Internasional (IMF) dengan pemerintah Republik Indonesia, pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam perjanjian tersebut, IMF menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada Negara Republik Indonesia sebesar US$ 43 miliar yang bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi, akan tetapi dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan diperlukannya undang-undang antimonopoli.38

Ada yang berpendapat bahwa peran serta IMF cukup penting dalam mendorong pemerintah untuk melakukan deregulasi pada beberapa materi perundang-undangan baru khususnya yang menyangkut mengenai persaingan usaha. Walaupun ditentang sebagian pihak, tetapi kenyataannya menunjukkan bahwa peran IMF sebagai bagian dari Letter of Intent cukup signifikan dalam menentukan beberapa perubahan yang terjadi terutama dalam kebijakan perekonomian dan hukum. Beberapa diantara butir-butir kesepakatan Letter of Intent tersebut yang menyentuh dalam persaingan usaha adalah39:

a. Butir (31) bulan November, pemerintah menyusun strategi ambisius untuk reformasi structural yang bertujuan untuk membawa ekonomi kembali kearah pertumbuhan yang cepat dengan mengubah ekonomi biaya tinggi ke ekonomi lebih terbuka, kompetitif, dan efisien. Untuk mencapai perubahan itu strategi yang ditujukan untuk liberalisasi

38 Ibid, hlm. 12

39 Natasya Ningrum Sirait, op. cit, hlm. 8.

perdagangan dan investasi asing, deregulasi kegiatan domestic dan mempercepat program swastanisasi. Pada saat yang bersamaan, dipertimbangkan langkah-langkah lanjutan untuk menghadapi kemiskinan.

b. Butir (32) pemerintah sudah menyiapkan strategi ekonomi yang lebih terbuka dan meningkatkan daya saing dengan mencabut monopoli Bulog untuk produk gandum, kedelai, bawang putih. Importir diperkenankan menjual seluruh produk ini di pasar dalam negeri, kecuali gandum. Untuk mempermudah penyesuaian ongkos bagi petani, tarif yang saat ini masih dibatasi 20% akan diturunkan sampai 5% pada tahun 2003.

c. Butir (33) Harga Patokan Sementara (HPS) semen dihapus serta penurunan harga bahan-bahan konstruksi pada bulan November. Tarif produk kimiia akan diturunkan menjadi 5% mulai 1 Januari 1998, sedangkan untuk barang metal dan baja akan dimulai sejak 1 Januari 1999. Dengan demikian tarif maksimum produk-produk ini ditargetkan mencapai 10% pada tahun 2003.

d. Butir (41) terhitung sejak 1 Februari 1998 para pedagang produk-produk pertanian seperti cengkeh, jeruk, dan vanilla akan memiliki kebebasan membeli, menjual, komoditinya tanpa ada batasan wilayah.

Cengkeh, para pedagang bisa membeli dan menjualnya dengan harga bebas, dan BPPC akan dibubarkan pada bulan Juni 1998.

e. Butir (43) monopoli Bulog akan dibatasi pada beras. Efektif sejak 1 Februari 1998, semua pedagang akan diizinkan untuk mengimpor gula dan memasarkannya pada pasar domestik, dan petani akan dibebaskan dari ketentuan formal dan informal untuk menanam tebu.

Perjanjian tersebut memang bukan satu-satunya alasan penyusunan undang-undang antimonopoli. Sejak 1989, telah terjadi diskusi intensif di Indonesia mengenai perlunya perundang-undangan antimonopoli. Reformasi sistem ekonomi yang luas dan khususnya kebijakan regulasi yang dilakukan sejak tahun 1980, dalam jangka waktu 10 tahun telah menimbulkan situasi yang dianggap sangat kritis. Timbul konglomerat pelaku usaha yang dikuasai oleh keluarga atau partai tertentu, dan konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan pelaku usaha kecil dan menengah melalui praktek usaha yang kasar serta berusaha

untuk mempengaruhi semaksimal mungkin penyusunan undang-undang serta pasar keuangan.40

Kalangan konglomerat tersebut bahkan menikmati perlindungan undang-undang melalui serangkaian kartel untuk semen, kaca, kayu, serta penetapan harga semen, gula, dan beras, pengaturan akses ke pasar untuk kayu dan kendaraan bermotor, lisensi istimewa untuk pajak pabean, dan kemudahan kredit dalam sektor industri pesawat dan mobil.41 Dengan latar belakang demikian, maka disadari bahwa pembubaran ekonomi yang dikuasai negara dan perusahaan monopoli saja tidak cukup untuk membangun suatu perekonomian yang bersaing.42

Disadari juga hal-hal yang merupakan dasar pembentukan setiap undang-undang antimonopoli, yaitu justru pelaku usaha itu sendiri yang cepat atau lambat melumpuhkan dan menghindarkan dari tekanan persaingan usaha dengan melakukan perjanjian atau penggabungan perusahaan yang menghambat persaingan serta penyalahgunaan posisi kekuasaan ekonomi untuk merugikan pelaku usaha yang lebih kecil. Disadari adanya keperluan bahwa negara menjamin keutuhan proses persaingan usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha dengan menyusun undang-undang, yang melarang pelaku usaha mengganti hambatan perdagangan oleh Negara yang baru saja ditiadakan dengan hambatan persaingan swasta.43

Fenomena diatas berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambilan keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara

40 Ibid, hlm. 13.

41 Suyud Margono, Hukum Antimonopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 26.

42 Andi Fahmi Lubis, loc.cit.

43 Ibid.

langsung maupun tidak langsung, sehingga makin memperburuk keadaan, serta cenderung menunjukkan corak yang monopolistik. Para pelaku usaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak pada kesenjangan sosial. Dengan memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.44

Tahun-tahun awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa keprihatinan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi pemerintah sehingga mereka dapat mengatur pasokan atau supply barang dan jasa serta menetapkan harga-harga secara sepihak yang tentu saja menguntungkan mereka.45

Koneksi yang dibangun dengan birokrasi Negara membuka kesempatan luas untuk menjadikan mereka sebagai pemburu rente. Apa yang mereka lakukan sebenarnya hanyalah mencari peluang untuk menjadi penerima rente (rent seeking) dari pemerintah yang diberikan dalam bentuk lisensi, konsesi, dan hak-hak istimewa lainnya. Kegiatan pemburuan rente tersebut, oleh pakar ekonomi

44 Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.

11.

45 Andi Fami Lubis, loc.cit.

William J. Baumol dan Alan S. Blinder dikatakan sebagai salah satu sumber utama penyebab infisiensi dalam perekonomian.46