• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGUASAAN PASAR SEBAGAI KEGIATAN YANG

A. Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016

2. Pertimbangan Hukum KPPU

Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Pertimbangan hukum muncul saat setelah terungkapnya fakta yang ada setelah dilangsungkannya persidangan dari awal sampai sebelum pembacaan putusan. Pertimbangan hukum juga dijadikan sebagai materi dalam amar putusan. Untuk itu, pertimbangan hukum diperlukan dalam memutus suatu perkara.

Berdasarkan kesimpulan Terlapor I menyatakan yang pada pokoknya bahwa Tim Investigator telah salah memproses perkara a quo sebagai perkara inisiatif;

Bahwa atas pendapat tersebut, Majelis Komisi memberikan pertimbangan sebagai berikut:

a. Berdasarkan ketentuan Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1999, Majelis Komisi berpendapat bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 tanpa adanya laporan;

b. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 15 Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 ditegaskan kembali bahwa KPPU dapat melakukan penanganan perkara berdasarkan data atau informasi, tanpa adanya laporan tentang adanya dugaan pelanggaran Undang-Undang;

c. Bahwa data dan informasi tersebut dapat bersumber paling sedikit dari:

1) Hasil Kajian;

2) Berita di media;

3) Hasil Pengawasan;

4) Laporan yang tidak lengkap;

5) Hasil Dengar Pendapat yang dilakukan Komisi;

6) Temuan dalam Pemeriksaan.

Atas dasar ketentuan tersebut, Majelis Komisi menilai bahwa perkara a quo telah memenuhi ketentuan tata cara penanganan perkara sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 dan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010.

Untuk pemenuhan unsur Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No. 5/1999, Majelis menimbang bahwa Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No. 5/1999 menyebutkan sebagai berikut:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok”

b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok

Untuk membuktikan terjadi atau tidaknya pelanggaran Pasal 15 ayat (3) huruf b UU No. 5/1999, Majelis memberikan pertimbangan Unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur Pelaku Usaha

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5/1999 tentang pelaku usaha, Terlapor I dan Terlapor II memenuhi unsur tersebut karena para terlapor merupakan pelaku usaha sebagai mana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5/1999. Terlapor I dan Terlapor II juga merupakan pelaku usaha yang berkaitan dengan kegiatan pemasaran produk. Terlapor I merupakan pemasok dan Terlapor II sebagai distributor yang terikat dengan perjanjian eksklusif dengan Terlapor I untuk memasarkan produk Terlapor I saja.

Berdasarkan pertimbangan ini, unsur pelaku usaha terpenuhi.

b. Unsur membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa;

Bahwa menurut pasal 1 angka 7 UU No. 5/1999 menyebutkan Batasan pengertian perjanjian yaitu “suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”. Serta dalam Pasal 1 angka 16 UU No. 5/1999 juga menyebutkan Batasan pengertian barang yaitu “setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak

bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”. Menurut pertimbangan majelis, unsur barang ini memenuhi, barang yang dimaksud sebagaimana terdapat dalam pasar produk yaitu produk air minum dalam kemasan (AMDK). Majelis juga memberi pertimbangan berdasarkan alata bukti terkait bahwa Terlapor I menetapkan harga beli distributor dan selanjutnya Terlapor I menetapkan rekomendasi strata harga jual produk yang ditetapkan kepada Sub-Distributor (Star Outlet, Whole Saler, dan Retail).

Berdasarkan alat bukti terkait yaitu komunikasi dua arah antara Terlapor I dan Terlapor II melalui e-mail yang ditemukan investigator yang berisikan pelaksanaan degradasi dan ancaman degradasi bagi sub-distributor, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang terkait dengan harga atau potongan harga karena kedudukan pelaku usaha dalam bagian sub-distributor sangat menentukan tingkat harga yang didapat pelaku usaha yang dipasok.

Dengan ini majelis mempertimbangkan sesuai alat bukti yang didapat bahwa Terlapor I dan Terlapor II membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa.

c.

Unsur yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Berdasarkan alat bukti terkait dengan perilaku para terlapor dalam pelaksanaan degradasi dan ancaman degradasi bagi sub-distributor, majelis memberi pertimbangan berdasarkan komunikasi dua arah antara Terlapor I

dan Terlapor II melalui e-mail bahwa apabila pelaku usaha sub-distributor tetap menerima dan/atau memasarkan yang merupakan produk pesaingnya, maka terlapor akan memberikan sanksi berupa degradasi yang berdampak pada harga beli yang diperolehnya. Serta berdasarkan keterangan para saksi yang telah di degradasi tokonya dan dilarang untuk menjual air mineral merek Le Minerale. Atas dasar pertimbangan tersebut majelis menilai unsur Unsur yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok terpenuhi.

Majelis Komisi juga memberikan pertimbangan terhadap pemenuhan unsur pasal 19 huruf a dan b UU No. 5/1999. Beriikut bunyi pasal 19 huruf a dan b:

“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa”;

a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau;

b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;

Untuk membuktikan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran Pasal 19 huruf a UU No. 5 Tahun 1999, maka Majelis Komisi mempertimbangkan unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur pelaku usaha

Bahwa yang dimaksud pelaku usaha sudah diterangkan sebelumnya sesuai Pasal 1 angka 5 UU No. 5/1999. Terlapor I dan Terlapor II memenuhi unsur sebagai pelaku usaha. Dengan demikian unsur pelaku usaha terpenuhi.

b.

Unsur Melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain

Sebagaimana telah diuraikan bahwa Terlapor I dan Terlapor II secara bersama-sama melakukan kegiatan usaha untuk memasarkan barang yang diproduksi oleh Terlapor I. Serta dalam kerjasama, Terlapor I telah menunjukkan secara eksklusif kepada Terlapor II sebagai distributor yang memasarkan produk Terlapor I di area fokus yang telah ditetapkan.

Dengan demikian Unsur Melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain terpenuhi.

c.

Unsur menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan

Berdasarkan alat bukti yang diperoleh, majelis memiliki pertimbangan berdasarkan penilaian telah terbukti adanya perilaku Para Terlapor terhadap para Sub-Distributor untuk tidak menjual produk Le Minerale diproduksi oleh PT Tirta Fresindo Jaya. Majelis Komisi menilai perilaku Para Terlapor tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan

menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.

d. Unsur dapat mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No.5/99, persaingan usaha tidak sehat didefinisikan sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Majelis menilai perilaku para Terlapor tersebut dapat dikategorikan sebagai hambatan persaingan usaha.

Majelis mempertimbangkan unsur-unsur terjadinya pelanggaran Pasal 19 huruf b UU No. 5/1999 sebagai berikut:

a. Unsur Pelaku Usaha

Yang dimaksud pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 No. 5/1999 sebagaimana dibahas dalam perkara yang bersangkutan adalah Terlapor I dan Terlapor II.

b.

Unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain

Bahwa Terlapor I dan Terlapor II secara bersama-sama melakukan kegiatan usaha untuk memasarkan barang yang diproduksi oleh Terlapor I. Dalam kerja sama tersebut, Terlapor I telah menunjukan

secara eksklusif Terlapor II sebagai distributor yang memasarkan produk Terlapor I di area fokus yang telah ditetapkan. Dengan demikian Unsur Melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain terpenuhi.

c.

Unsur Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya

Dasar pertimbangan hukum majelis berdasarkan alat bukti yang diperoleh selama proses persidangan. Majelis menilai telah terbukti adanya perilaku para Terlapor terhadap para Sub-distributor untuk tidak menjual produk Le Minerale yang diproduksi oleh PT Tirta Fresindo Jaya. Majelis menilai perilaku para Terlapor tersebut dapet dikategorikan sebagai tindakan menghalangi konsumen atau pelanggan produk Le Minerale yang diproduksi pesaing Terlapor I. Maka majelis komisi menilai bahwa perilaku para terlapor tersebut dapat dikategorikan tindakan menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya.

Sebelum memutus, Majelis juga membuat pertimbangan serta memandang perlu memberikan rekomendasi pada Kementrian Perdagangan untuk pengawasan terhadap pelaku usaha distributor dan keagenan agar dalam melaksanakan bisnis atau aktifitasnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Kementerian Perdagangan dan prinsip persaingan usaha yang sehat. Serta memberikan rekomendasi juga kepada Kementerian Tenaga Kerja Republik

Indonesia untuk melakukan pengawasan kepada Terlapor I dan Terlapor II dalam pelaksanaan peraturan kepegawaian agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Sebelum memutus, Majelis juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan serta memberatkan;

a. Bahwa Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang meringankan bagi Terlapor I yaitu kooperatif dalam memberikan data dan dokumen

b. Bahwa Majelis Komisi juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan bagi Terlapor I yaitu bersikap tidak sopan dalam proses persidangan

c. Bahwa Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang meringankan bagi Terlapor II yaitu kooperatif dalam memberikan data dan telah bersikap sopan dalam persidangan

Mengenai penghitungan denda, Majelis Komisi mempertimbangkan sanksi denda bagi para terlapor, Majelis Komisi memperhitungkan hal-hal sebagai berikut:

a. Bahwa menurut Pedoman Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut “Pedoman Pasal 47”) tentang Tindakan Administratif, denda merupakan usaha untuk mengambil keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang dihasilkan dari tindakan anti persaingan. Selain itu denda juga ditujukan untuk menjerakan pelaku usaha agar tidak melakukan tindakan serupa atau ditiru oleh calon pelanggar lainnya;

b. Bahwa berdasarkan Pasal 36 huruf l jo. Pasal 47 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999;

c.

Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf g UU No. 5 Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif berupa pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);

d.

Bahwa berdasarkan Pedoman Pasal 47, Majelis Komisi menentukan besaran denda dengan menempuh dua langkah, yaitu pertama, penentuan besaran nilai dasar dan kedua, penyesuaian besaran nilai dasar dengan menambahkan dan/atau mengurangi besaran nilai dasar tersebut;

e.

Bahwa dalam penentuan rentang besaran denda, Perkom menentukan jumlah akhir dari besaran denda dalam keadaan apapun tidak boleh melebihi 10% dari total turn over tahun berjalan dari pihak Terlapor.

Apabila 10% turn over lebih besar dari Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) maka akan dikenakan denda akhir sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), sementara apabila 10%

turn over dari pihak Terlapor lebih kecil dari Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) maka akan dikenakan denda akhir sebesar 10%

turn over;

f. Bahwa dalam perkara a quo nilai turn over atau nilai penjualan dari para Terlapor adalah sebagaimana diuraikan pada butir 5 Tentang Hukum, dimana 10% dari nilai turn over tersebut jauh melebihi Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);

g. Bahwa Perkom mengatur juga mengenai pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan sebagai dasar untuk melakukan penyesuaian besaran nilai dasar denda. Namun, oleh karena nilai 10% turn over jauh melebihi Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) sebagai batasan sanksi denda maksimal, maka Majelis Komisi tidak lagi memperhatikan hal-hal dimaksud.