• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.2. Investasi, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Pembangunan

3.2.2. Pertumbuhan dan Pemerataan Pembangunan

Secara umum, tujuan pembangunan ekonomi dapat diklasifikasikan kedalam dua kategori yaitu efisiensi (growth)dan pemerataan (equity). Namun demikian, diantara kedua tujuan tersebut tidak selalu compatible. Dalam istilah ilmu ekonomi, terkadang terjadi trade-off diantara efisiensi dan pemerataan (Pogue dan Sgontz, 1978). Dalam hal ini Todaro (2000) meyakini bahwa kedua tujuan pembangunan ekonomi tersebut dapat dicapai secara simultan.

Dalam teori pembangunan ekonomi, terdapat dua aliran dalam memandang disparitas ekonomi atau ketidakmerataan yaitu aliran klasik dan aliran strukturalis. Aliran klasik, didasarkan pada pemikiran Adam Smith, tokoh ekonomi klasik. Menurut aliran ini, proses pembangunan berpegang pada konsep keseimbangan alokasi sumberdaya dan konsep pasar bebas dimana harga menjadi acuan dalam proses pertukaran. Perbedaan kondisi antar sektor atau antar wilayah akan menyebabkan pertukaran dan alokasi sumberdaya secara efisien tanpa ada campur tangan pemerintah hingga mencapai kondisi pareto optimal. Berdasarkan aliran ini, tanpa adanya campur tangan pemerintah, pemerataan akan terjadi dengan sendirinya pada saat negara telah mencapai tingkat pembangunan dan pendapatan per kapita yang tinggi.

Lewis (1954) membahas aspek disparitas ekonomi melalui model ekonomi dua sektor. Dengan menggunakan mahzab klasik, teori Malthus Lewis mengasumsikan tenaga kerja tersedia dengan jumlah berlebih dan pada tingkat upah subsisten yang tetap. Teori ini menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan akan muncul pada tahap awal pembangunan dan akan menghilang ketika dicapai hasil pembangunan. Terdapat dua alasan meningkatnya ketimpangan pendapatan pada awal pertumbuhan ekonomi. Pertama, kontribusi pemilik kapital meningkat,

pada saat peran sektor modern meningkat sehingga meningkatkan kesenjangan pendapatan antara pemilik modal dan buruh. Kedua, kesenjangan distribusi buruh sendiri juga meningkat dengan bertambahnya tenaga kerja (namun masih dalam jumlah yang masih sedikit) yang pindah dari tingkat upah sektor subsisten ke tingkat upah sektor modern yang lebih tinggi. Ketimpangan tersebut berubah ketika surplus tenaga kerja diserap oleh sektor modern yang menyebabkan tenaga kerja berubah menjadi faktor produksi yang langka. Tingkat upah kemudian meningkat yang pada akhirnya akan menurunkan ketimpangan pendapatan sekaligus mengurangi tingkat kemiskinan (Lewis dalam Todaro, 2000).

Penjelasan yang sama mengenai ketimpangan, dikemukakan oleh Williamson (1965) namun dari aspek ekonomi wilayah. Dikemukakan bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi disparitas dalam distribusi pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang pada awalnya sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan SDM. Kemudian pada tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Hoover dan Giarratani (1985). Pada tahap awal pembangunan ekonomi nasional dihubungkan dengan meningkatnya disparitas pendapatan regional, sementara tingkat pendapatan wilayah cenderung konvergen dalam suatu perekonomian nasional yang lebih dewasa/maju. Migrasi dan perdagangan dapat menjadi semakin lebih penting selama pertumbuhan sebagai hasil dari adanya peningkatan dalam transportasi. Migrasi dan perdagangan muncul yang secara signifikan mendesak/menekan konvergensi. Keduanya beroperasi dalam suatu lingkungan yang berubah secara

cepat dimana faktor-faktor dinamis dapat mengimbangi pengaruh migrasi dan perdagangan tersebut. Akan tetapi apakah ini merupakan kasus yang berlaku umum, tidak dapat ditetapkan menjadi a priori grounds.

Teori yang dikemukakan Lewis dalam Todaro (2000) maupun Williamson (1965) mengenai ketimpangan pendapatan sejalan dengan hipotesa dari Kuznets yang dikenal dengan hipotesa “U-terbalik". Kuznets (1957) menjelaskan hipotesanya tersebut bahwa pada tahap awal dari suatu proses pembangunan ekonomi nasional, perbedaan dalam laju pertumbuhan regional yang besar antar propinsi mengakibatkan kesenjangan dalam distribusi pendapatan antar propinsi. Tetapi, pada jangka panjang, pada saat kondisi ekonomi mencapai tingkat kedewasaan (maturity) dan dengan asumsi mekanisme pasar bebas dan mobilitas semua faktor-faktor produksi antar propinsi tanpa sedikitpun rintangan atau distorsi, maka perbedaan dalam laju pertumbuhan output antar propinsi cenderung mengecil bersamaan dengan tingkat pendapatan per kapita (dan laju pertumbuhannya) rata-rata yang semakin tinggi di setiap propinsi, yang akhirnya menghilangkan kesenjangan ekonomi regional. Ketimpangan pendapatan akan akan memburuk pada tahap awal pembangunan disebabkan upah buruh masih relatif rendah. Dengan demikian, pertumbuhan tidak banyak memberikan manfaat bagi golongan miskin. Akan tetapi dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita, maka permintaan terhadap sarana publik (transportasi, komunikasi, pendidikan dan lain-lain) juga meningkat. Kondisi ini akan menimbulkan trickle– down effect bagi golongan miskin dengan meningkatnya upah buruh melalui sektor lain (Kuznets dalam Todaro, 2000). Menurut Hogendorn (1992), fenomena kurva Kuznets tersebut dapat dilihat pada masyarakat dimana distribusi pendapatan yang merata pada awalnya dijumpai di sektor pertanian. Namun

begitu sebagian masyarakat berpindah ke sektor industri yang memiliki upah lebih tinggi, maka ketimpangan pendapatan masyarakat segera muncul.

Aliran strukturalis muncul karena hingga saat ini, konsep kurva Kuznets tersebut terus menjadi perdebatan. Menurut Todaro (2000) karena tidak cukup bukti empiris untuk menunjukkan hipotesis kurva Kuznets tersebut. Banyak hasil studi di banyak negara seperti Taiwan, Korea Selatan, Cina, Kosta Rika dan Sri Langka yang membuktikan bahwa peningkatan pendapatan justru seringkali disertasi dengan terus melebarnya kesenjangan pendapatan, semuanya itu sangat tergantung pada kondisi-kondisi dasar dan karakter dari proses pembangunan yang dijalankan masing-masing negara. Disamping itu berdasarkan hasil studi di 43 negara berkembang, tidak ada bukti yang menunjukkan terlaksananya efek penetesan ke bawah (trickle–down effect) atau menyebarnya hasil-hasil pembangunan ke lapisan masyarakat bawah secara otomatis. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni efek penghisapan ke atas (trickle–up effect), yakni hasil-hasil pembangunan justru lebih banyak mengalir ke golongan lebih makmur dibandingkan dengan rata-rata. Selanjutnya hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa struktur ekonomi dan bukannya tingkatan ataupun laju pertumbuhan ekonomi yang merupakan faktor penentu utama atas pola-pola distribusi pendapatan.

Selanjutnya Todaro (2000) mengidentifikasi terdapat empat argumen dalam menentang teori Lewis mengenai distribusi pendapatan. Pertama, ketimpangan menciptakan kondisi dimana hanya kaya yang dapat menginvestasikan kembali sebagian besar pendapatannya untuk memperoleh hasil yang lebih besar lagi, sementara mereka yang miskin membelanjakan pendapatannya untuk barang konsumsi. Semakin lama hal ini akan menciptakan

ketimpangan yang lebih besar lagi. Kedua, ketiadaan akses investasi golongan miskin secara akumulatif akan menyebabkan rendahnya pertumbuhan GNP dibandingkan apabila terdapat pemerataan pendapatan yang lebih besar. Ketiga, asumsi hasil produksi golongan kaya akan diinvestasikan kembali secara empiris meragukan. Yang terjadi adalah pengalihan modal ke luar negeri karena alasan keamanan dan tingginya tingkat konsumsi barang mewah oleh golongan atas. Keempat, rendahnya taraf hidup golongan miskin mengakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional.

Berbeda dengan aliran klasik yang percaya bahwa pemerataan pendapatan akan terjadi dengan sendirinya dengan meningkatnya pendapatan per kapita, aliran strukturalis menganggap bahwa masalah distribusi pendapatan dan pemerataan harus dilakukan melalui intervensi pemerintah. Dalam hal ini terdapat dua pendekatan ekstrim dalam mencapai pertumbuhan dan pemerataan, yaitu aliran ekstrim (radikal) kanan atau aliran yang menganut faham kapitalis yang memfokuskan pada pertumbuhan (“grow first, then redistribute”) dan aliran ekstrim kiri atau aliran yang menganut faham sosialis, yang memfokuskan pada masalah pemerataan (“redistribute first, then grow”). Sebagai alternatif dari dua aliran ekstrim tersebut, terdapat satu strategi yang beraliran moderat untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan secara bersama, yaitu redistribusi dengan pertumbuhan (“redistribution with grow/RWG”) yang dikembangkan oleh Bank Dunia (Gillis et al., 1987).

Dalam aliran ekstrim kanan, sasaran pembangunan ekonomi bukan mengarah pada pemerataan yang lebih besar melalui mekanisme trickle-down, melainkan melalui pemusatan pendapatan pada golonan yang lebih kaya. Produksi diatur secara efisien, kemudian baru diredistribusi untuk memperoleh

distribusi pendapatan yang diinginkan melalui transfer atau pajak yang diyakini tidak akan mendistorsi ekonomi. Namun aliran ini telah gagal. Contoh empiris kegagalan tersebut adalah kebijakan pembangunan ekonomi di Brazil, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat sangat cepat namun disertai dengan tingkat ketidakmerataan yang sangat tinggi dan perkembangan tingkat kemiskinan yang sangat lambat. Pemilikan aset sangat terkonsentrasi, akses terhadap pendidikan sangat tidak merata, pembangunan industri maupun pertanian diutamakan pada skala usaha besar dan teknologi padat kapital. India juga memiliki pola pemerataan yang sama dengan Brazil yang memiliki wilayah dengan pertumbuhan sangat tinggi, seperti Punjab dan Bombay, tetapi sebaliknya juga banyak wilayah- wilayah yang sangat miskin.

Di lain pihak, dalam aliran ekstrim kiri, pemerintah mengambil alih pemilik modal dan pemilik tanah dengan membagikan aset mereka ke produsen skala kecil yang seringkali melalui sistem pemilikan bersama. Kebijakan tersebut menghasilkan dua dampak. Pertama, dampak secara langsung yaitu tingkat pemertaan pendapatan akan segera meningkat secara nyata. Kedua, dampak dalam jangka panjang. Apabila usaha-usaha berskala kecil dan melalui kepemilikan bersama tersebut dapat menghasilkan keuntungan besar dan dikelola secara efisien dan produktif, maka efek redistribusi tersebut akan meningkat. Namun apabila tidak dikelola secara produktif, pemilik awal akan kehilangan aset mereka dan pemilik baru tidak akan memperoleh manfaat secara proporsional. Negara yang masuk dalam aliran ini adalah negara-negara Uni Soviet dan RRC.

Kedua aliran ekstrim kiri dan kanan dari faham strukturalis ini kurang disukai karena keduanya masih tetap menyisakan masalah dalam upaya mencapai pertumbuhan dan pemerataan pendapatan. Di negara-negara penganut ekstrim

kanan, meskipun terjadi tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat, akan tetapi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masih menjadi masalah besar. Sementara di negara-negara penganut ekstrim kiri, pada umumnya tingkat pertumbuhan ekonomi rendah karena setiap upaya redistribusi akan menurunkan stok modal yang pada akhirinya menurunkan laju pertumbuhan. Kelemahan kedua aliran dalam faham strukturalis tersebut mendorong munculnya konsep “redistribution with grow/RWG” sebagai strategi dalam mencapai pertumbuhan dan pemerataan hasil pembangunan secara bersamaan. Dengan konsep ini, diharapkan manfaat pertumbuhan ekonomi dapat didistribusikan sehingga distribusi pendapatan meningkat sepanjang waktu dengan meningkatnya pertumbuhan. Hanya melalui peningkatan GNP akan ada sesuatu yang berarti untuk dapat didistribusikan dan distribusi tidak dapat diharapkan sebagai produk sampingan dari pertumbuhan melainkan harus diciptakan dari unsur kebijakan. Ide dasar dari RWG adalah kebijakan pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen berpendapatan rendah (yang pada umumnya berlokasi terutama di sektor pertanian dan industri pedesaan berskala kecil) akan melihat peluang untuk meningkatkan pendapatan (Gillis et al., 1987).

Konsep RWG tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Todaro (2000) bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan distribusi pendapatan yang lebih merata tidak harus dipisahkan sebagai tujuan-tujuan pembangunan. Dalam kondisi tertentu, keduanya bisa saja diraih secara sekaligus, dan ada sejumlah negara yang telah berhasil membuktikannya. Dalam hal ini, maka seluruh negara berkembang perlu meninjau kembali seluruh prioritas pembangunan. Pada dasarnya salah satu tujuan pokok pembangunan adalah menciptakan keseluruhan

pola pertumbuhan pendapatan yang diinginkan dengan penekanan khusus pada akselerasi pertumbuhan pendapatan golongan miskin. Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan mulia tersebut, negara-negara berkembang jelas memerlukan strategi yang sama sekali berbeda dengan strategi yang selama ini dijalankan yang hanya berorientasikan pada maksimisasi laju pertumbuhan GNP tanpa mempertimbangkan segala konsekuensinya terhadap distribusi pendapatan. Meskipun analisis ekonomi pada umumnya tidak menyinggung soal hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, namun sebagian besar teori yang ada nampaknya memang mengisyaratkan bahwasanya distribusi pendapatan yang sangat tidak merata merupakan sesuatu yang terpaksa dikorbankan demi memacu laju pertumbuhan ekonomi secara cepat.

Selanjutnya Todaro mengemukakan bahwa dengan menganalisis faktor- faktor yang menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan, maka akan tampak bahwa hal itu terjadi akibat dari sangat tidak meratanya distribusi kepemilikan aset atau faktor-faktor produksi seperti tanah serta modal di kalangan penduduk di banyak negara-negara dunia ketiga. Oleh sebab itu, setiap usaha untuk memperbaiki taraf hidup golongan miskin tersebut harus diupayakan tidak hanya dengan cara meningkatkan manfaat ekonomi dari faktor-faktor produksi yang mereka miliki secara terbatas, tetapi juga harus disertai dengan kegiatan nyata untuk melangsungkan serangkaian perubahan secara drastis atas pola pemusatan kepemilikan modal fisik dan sumberdaya manusia dari kelompok kaya ke kelompok-kelompok berpendapatan rendah. Senada dengan yang dikemukan oleh Rodan (1943) bahwa keterbelakangan atau kemiskinan terjadi karena adanya kelangkaan atau rendahnya kapital (Rodan dalam Basu 1984).

Sementara menurut Gillis et al. (1987) terdapat tujuh instrumen kebijakan yang dapat digunakan untuk mancapai tujuan dari konsep RWG, yaitu: (1) mengubah harga tenaga kerja dan kapital untuk memberi dorongan pada tenaga kerja tidak berpendidikan, (2) melakukan redistribusi aset melalui investasi yang memungkinkan dimiliki oleh kelompok miskin, (3) melalui pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, (4) menerapkan pajak progresif, (5) melengkapi sarana publik untuk kebutuhan makanan pokok penduduk miskin, (6) melakukan intervensi pada pasar komoditi untuk membantu produsen dan konsumen, serta (7) mengembangkan teknologi baru yang membuat pekerja berpendapatan rendah lebih produktif.

Sementara Richardson (1972) menggambarkan secara grafis bagaimana realokasi sumberdaya kapital dan tenaga kerja dapat mencapai efficiency dan

equity antar wilayah atau tidak. Gambar 5 memperlihatkan diagram kotak Edgeworth (digambarkan sebagai suatu persegi yang menunjukkan stok kapital dan tenaga kerja sebagai suatu persentase dari total stok kapital dan total tenaga kerja), dengan titik asal dua region pada sudut yang berlawanan. Dengan menggambarkan isokuan-isokuan dari kedua region dan ditambah dengan distribusi tenaga kerja dan kapital antar wilayah, maka diperoleh isokuan untuk output agregat. Suatu peta isokuan semacam ini digambarkan pada Gambar 5, dimana output pada masing-masing isokuan digambarkan sebagai suatu persentase dari titik output Z agregat yang maksimum yang berada dalam kondisi competitive

equilibrium. Ini menunjukkan tempat titik-titik yang efisien dalam

mengalokasikan sumberdaya kapital dan tenaga kerja, suatu sufficient condition

bagi fungsi produksi Cobb-Douglas dimana dua fungsi produksi memberikan hasil decreasing returns to scale. Jika Z berlokasi di dekat salah satu sudut boks,

ini mengimplikasikan bahwa fungsi produksi dari kedua wilayah berbeda. Jika distribusi aktual tenaga kerja dan kapital diantara kedua region adalah pada Y, deviasi Y dari Z dapat dijelaskan dengan pasar bersaing tidak sempurna (market imperfections).

Dapat juga dipetakan bagaimana pendapatan didistribusikan diantara dua wilayah. Ratio pendapatan per kapita pada region 1 terhadap region 2 dinamakan

the equity ratio (R12), dan loci dari equal equity ratios dapat diperoleh dengan menumpangtindihkan loci dari equal per capita incomes dari kedua wilayah pada diagram boks yang sama. Loci dari equal equity ratios adalah suatu set kurva yang membentang secara konvergen dari titik asal region satu ke titik asal wilayah yang lain. Region 1 0 L1/L 100% Region 2 100% 1/8 K1/K 8 4 2 90 80 R12 = 1 95 97 98 99 Y - 100

Gambar 5. Edgeworth Box Diagram Modal dan Tenaga Kerja di Region 1 Sebagai Presentasi dari Modal dan Tenaga Kerja Agregat

Sumber: Richardson, 1972.

Keterangan : --- = locus of an equal aggregat efficiency ratio

_______ = locus of an equal equity ratio

_______ =trnsformation surface with mobile labour and capital

--- =trnsformation lines with ono mobile and one fixe factorl

Ketika dua diagram boks yang menghubungkan ke total output dan equito ratio ditumpangtindihkan, implikasi dari setiap distribusi tenaga kerja dan kapital untuk efisiensi dan equiti dapat terlihat. Titik produksi output maksimum Z tidak terletak pada locus R12=1. Alasannya adalah bahwa distribusi pemilikan kapital secara regional mungkin tidak merata, nilai sewa dari irreproducible dan

immobile factors seperti land, mines dan lain-lain tidak merata. Jika Z tidak terletak pada kurva R12=1, suatu kompromi harus dibangun diantara efisiensi dan

interregional equiti. Jika tenaga kerja dan kapital keduanya dapat didistribusikan kembali, suatu transformasi dapat diperoleh melalui titik-titik yang memberikan output agregat maksimum yang dapat dicapai sepanjang setiap locus dari suatu sebaran equiti ratios yang berbeda yang terpilih. Pada Gambar 4, suatu bidang tranformasi digambarkan untuk suatu trade off diantara maximum efficiency dan

perfect equity. Jika hanya satu faktor yang mobile maka bidang transformasi menghilangkan suatu garis yang melalui titik awal distribusi titik Y dan paralel dengan sumbu kapital (tenaga kerja) ketika kapital (tenaga kerja) mobile.Ada tiga alternatif bidang tranformasi yang dapat digambarkan kembali dalam ruang

efficiency-equity dengan E (the efficiency ratio) diukur pada sumbu vertikal dan R12 pada sumbu horizontal, dimana E adalah rasio dari output agregat maksimum pada a given value dari R12 terhadap output agregat maksimum yang tidak terkendala. Persamaan maximum efficiency point:

) 1 1 ( 12 1 1 z z zR p p E − + = ………. (11)

Dimana p1z = L1/L dan R12z adalah the equito ratio, dan keduanya didefinisikan pada Z, titik output agregat yang maksimum.

Selanjutnya berdasarkan gambar dan model matematik di atas, Richardson (1972) menyimpulkan bahwa: (1) bidang transformasi diantara efisiensi dan pemerataan dapat diperoleh jika fungsi produksi wilayah dapat diketahui, (2) biaya dari efisiensi lebih besar, disparitas antar wilayah dalam pendapatan per kapita lebih lebar pada titik efisiensi, (3) biaya efisiensi lebih rendah pada kondisi fungsi produksi Cobb-Douglas dimana substitusi antar factor produksi memungkinkan daripada pada kondisi fungsi produski pada koefisien yang tetap, dan (4) Jika fungsi produksi Cobb-Douglas lebih reaistis daripada koefisien yang tetap, maka redistribusi populasi lebih kuat daripada redistribusi capital sebagai suatu alat pencapaian pemertaan antar wilayah (keculai pada kasus dimana p1z relative kecil dan tingkat tingkat homogenitas fungsi produksi mendekati unity.

3.3. Peranan Pembangunan Ekonomi Sektoral dalam Pembangunan