• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil studi Fritz Plasser, menunjukan faktor pertama yang mempengaruhi peluang kandidat untuk kemenangan pemilu di Eropa adalah image atau citra.2

Citra sebagai kunci kemenangan pemilu juga menjadi keniscayaan di Indonesia sejak pemilu 2004 hingga pilpres 2009. Partai Gerindra yang merupakan bagian dari 18 partai baru juga terlibat dalam usaha pembentukan citra untuk memperoleh dukungan di masyarakat.

Keputusan Partai Gerindra untuk mengusung figur Prabowo subianto sebagai kandidat presiden pada pilpres 2009, tentunya membutuhkan strategi politik yang baik. Karena telah menjadi rahasia umum bahwa Prabowo Subianto memiliki latar belakang sejarah yang bermasalah (kasus HAM) pada saat Dia masih aktif di militer dan sedikit banyak telah mempengaruhi citranya. Citra kurang baik yang melekat di masyarakat mengenai Prabowo akan berdampak pada popularitas yang kurang baik juga terhadap Partai Gerindra. Untuk meningkatkan popularitas partai beserta kandidatnya, Partai Gerindra membutuhkan strategi politik pencitraan untuk membentuk image positif agar mendapatkan kesan yang baik di benak masyarakat dan memperoleh suara yang signifikan pada pilpres 2009.

Pengertian citra (image) itu sendiri adalah gambaran manusia mengenai sesuatu, atau jika mengacu pada Lippman, citra adalah presepsi akan sesuatu yang ada di benak seseorang dan citra tersebut tidak selamanya sesuai dengan realitas

2

sesungguhnya.3 Sementara menurut Peteraf dan Shanley yang dikutip oleh

Firmanzah menyebutkan, citra bukan sekedar masalah persepsi atau identifikasi saja, tetapi juga memerlukan pelekatan (attachment) suatu individu terhadap kelompok atau grup. Pendekatan ini dapat dilakukan secara rasional (kognitif) maupun emosional (afektif).4

Dalam konteks politik, pendekatan kognitif beranggapan bahwa masyarakat akan menilai dan kemudian memilih partai politik yang program kerjanya paling rasional. Maka dari itu, yang menjadi perhatian Partai Gerindra ketika membangun relasi dengan masyarakat seperti ini adalah dengan menyusun dan mengimplementasikan program kerja objektif yang sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, salah satu program kerja tersebut Partai Gerindra menawarkan konsep wacana ekonomi kerakyatan yang akan dibahas pada Bab IV.

Selain pendekatan kognitif Partai Gerindra juga menggunkan pendekatan afektif. Menurut prespektif ini bahwa tidak semua masyarakat memiliki kapasitas untuk berfikir dan menganalisa apa yang mereka butuhkan dan bagaimana memenuhinya. Masyarakat tipe ini adalah masyarakat yang tidak memiliki pendidikan tinggi serta berpemahaman relatif rendah mengenai hak dan kewajiban politiknya. Untuk membangun relasi dengan masyarakat seperti ini Partai Gerindra membangun ikatan emosional dengan menggunakan media informasi, salah satu nya dengan pemanfaatan iklan politik.

“Coba perhatikan iklan Partai Gerindra di TV, lewat iklan dengan tema kerakyatan berhasil menyentuh emosional dan rasional masyarakat. Dalam iklan itu

3

Rahmat, Psikologi Komunikasi, h. 223. 4

Selanjutnya, pendekatan kognitif dan akfektif berawal dari dualisme cara pandang terhadap masyarakat. Pendekatan kognitif lebih menekankan bahwa masyarakat adalah entitas yang rasional dan bisa berfikir.. Pendekatan afektif menekankan pada dimensi emosional. Lihat Firmanzah Ph.D. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, h. 233-240.

diangkat fenomena yang ada di Indonesia lengkap dengan solusi yang kita tawarkan. Tidak salah kalau iklan Partai Gerindra menjadi iklan terpopuler pada

pemilu 2009”.5

Untuk meningkatkan popularitas partai berserta kandidatnya, Partai Gerindra membutuhkan strategi positioning6 yang baik. Dalam konteks politik pembentukan positioning partai sangat dibutuhkan untuk mempermudah konstituen mengidentifikasi sekaligus membedakan prodak dan jasa yang dihasilkan oleh suatu partai atau kandidat politik. Semakin tinggi image yang direkam dalam benak konstituen, semakin mudah pula mengigat partai dan kandidat bersangkutan.

Untuk melakukan positioning Partai Gerindra menggunakan media reputasi partai. Salah satu positioning Partai Partai Gerindra adalah dengan menempatkan posisi partai sebagai partai wong cilik atau partai yang memperjuangkan rakyat kecil. Terbukti dengan terjalinnya hubungan baik antara Partai Gerindra maupun Prabowo Subianto dengan kelompok-kelompok masyarakat, baik itu dari golongan petani, nelayan, dan kelompok lainnya. Positioning yang dilakukan Partai Gerindra dengan menampilkan nilai-nilai

5

Inke Suharni, “Humas dalam Kompanye Politik: Studi Partai Gerindra Menghadapi pemilu 2009”, h. 86

6

Positioning dalam marketing didefinisikan sebagai semua aktivitas untuk menanamkan kesan di benak para konsumen agar mereka bisa membedakan produk dan jasa yang dihasilkan oleh organisasi bersangkutan. Dalam positioning, atribut produk dan jasa yang dihasilkan akan di rekam dalam bentuk image (citra) yang terdapat dalam sistem kognitif konsumen. Dengan demikian, konsumen akan mudah mengidentifikasi dan membedakan produk dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dengan produk yang lainnya. Dalam konteks politik, pemahaman

positioning adalah usaha untuk memasukan pesan politik atau menjejalkan suatu citra politik (kesan) mengenai sebuah partai politik kedalam jendela benak para konstituen atau calon konstituen. Lihat Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, h. 189. Lihat juga, DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Acuan Kompanye manajemen Pemasaran Partai Politik: Strategi Pemenangan Pemilu 2009, h. 28.

ekonomi kerakyatan yang menjadi identitas partai.7 Sebagaimana dikemukakan

oleh M. Asrian Mirza:

“Pencitraan partai baru, sebagai partai baru kita ingin memperkenalkan ini partai kita, partai kita adalah partai wong cilik, partai untuk petani, partai untuk pedagang pasar, partai untuk nelayan, itu yang akan kita bela. Nah itu semua kita citrakan melalui media. Ini yang membedakan perjuangan partai kita dengan partai lain. Kita memposisikan partai kita sebagai partai wong cilik yang ingin memperjuangkan nasib rakyat kecil. Semuanya

berusaha kita rangkul”.8

Seperti yang dikemukakan oleh Joe Marconi orang yang memandang suatu benda yang sama dapat mempunyai persepsi yang berlainan terhadap benda itu.9 Maka dari itu, dalam konteks politik pembentukan positioning partai sangat

dibutuhkan untuk mempermudah konstituen mengidentifikasi sekaligus membedakan produk dan jasa yang dihasilkan oleh suatu partai atau kandidat politik. Semakin tinggi image yang direkam dalam benak konstituen, semakin mudah pula mengingat produk dan jasa bersangkutan.

Politik pencitraan dalam era demokrasi dan informasi menjadi keniscayaan semua partai politik di Indonesia termasuk Partai Gerindra dalam menghadapi pertarungan politik pada pilpres 2009. Hal itu dikarenakan politik pencitraan itu sendiri adalah konstruksi atas representasi dan presepsi masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik.10 Dari uraian tesebut dapat dipahami bahwa Partai Gerindra

7 Suharni, “Humas dalam Kampanye Politik: Studi Partai Partai Gerindra Menghadapi

pemilu 2009,” h. 81-13. 8

Arifi Bambani Amri, “Kepak Syap Gerindra”. Artikel diakses 4 Agustus 2011 dari http://sorot.vivanews.com/news/read/27935-kepak_sayap_gerindra.

9

Siswanto Sutojo, Manajemen Perusahaan Indonesia: Sebuah Pendekatan Filosofis dan Akademis Praktis, (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 2004), h. 18.

10

Selanjutnya, Citra politik tidak selalu mencerminkan realitas objektif. Suatu citra politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak nyata atau imajinasi yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan fisik. Citra politik dapat diciptakan, dibangun, dan diperkuat, namun bisa juga

menggunakan politik pencitraan sebagai salah satu strategi untuk membangun image (citra) partai beserta kandidat (Prabowo Subianto) agar ingatan akan reputasi Prabowo yang buruk pada masa lalu dapat dilupakan, selain itu Partai Gerindra juga membentuk image positif supaya popularitas partai meningkat sehingga berkorelasi pada perolehan suara yang signifikan pada pilpres 2009.

Dalam mengkonstruksi image (citra) partai politik atau konstestan individu membutuhkan strategi komunikasi agar citra yang dibangun bisa sampai pada konstituen. Maka dari itu usaha pencitraan yang dilakukan Partai Gerindra membutuhkan strategi komunikasi politik dalam penyampaiannya.