• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi KPHL XXV Tapanuli Tengah–Sibolga dalam Perspektif Tata Ruang Wilayah dan Pembangunan Daerah

Tapanuli Tengah–Sibolga dalam Perspektif Tata Ruang Wilayah

E. Posisi KPHL XXV Tapanuli Tengah–Sibolga dalam Perspektif Tata Ruang Wilayah dan Pembangunan Daerah

1. Posisi dalam Perspektif Tata Ruang Wilayah

Wilayah KPHL XXV Tapanuli Tengah–Sibolga, secara administrasi pemerintahan berada di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. Berdasarkan letaknya, sebagian besar kawasan hutan KPHL XXV Tapanuli Tengah– Sibolga merupakan kawasan hutan lindung (43,714.65 ha), dan sisanya adalah kawasan budidaya (kawasan hutan produksi seluas 2,612.04 ha, dan hutan produksi terbatas seluas 13,761.14 ha). Dalam RTRWP telah ditetapkan kebijakan pemantapan terhadap kawasan lindung, strategi untuk mempertahankan luas kawasan lindung, pencegahan alih fungsi lahan, minimalisasi kerusakan kawasan lindung, merehabilitasi dan konservasi kawasan lindung, dan upaya perlindungan lainnya.

KPHL XXV Tapanuli Tengah–Sibolga sebagai institusi pengelola hutan tingkat tapak, mempunyai peranan penting untuk memastikan terpeliharanya fungsi-fungsi kawasan lindung, termanfaatkannya fungsi-fungsi kawasan budidaya secara berkelanjutan, dan terjaganya kawasan strategis provinsi yang telah ditetapkan. Hal tersebut sejalan dengan tugas pokok dan fungsinya dalam menyelenggarakan kegiatan tata hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam. Kegiatan pengelolaan hutan tersebut dikemas dalam kerangka pemberdayaan masyarakat, untuk menuju pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari berlandaskan sinergitas berbasis ekologi, ekonomi dan sosial.

2. Posisi dalam Perspektif Pembangunan Daerah

Pembangunan nasional berkelanjutan selain akan memerlukan berbagai sumberdaya juga menghendaki ketersediaan lahan yang cukup, antara lain untuk memenuhi ekspansi pembangunan pertanian, perkotaan, pemukiman, perhubungan dan pertambangan. Keperluan akan lahan tersebut secara bertahap akan diperoleh melalui konversi lahan hutan menjadi non hutan. Berdasarkan Undang Undang Tata Ruang No. 26 Tahun 2007 penetapan tata ruang dilakukan melalui kajian teknis dan analisa kebutuhan dari berbagai sektor di wilayah

Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL XXV Tapanuli Tengah–Sibolga 2016–2025

tersebut. Sekalipun demikian seringkali hasil akhir ditentukan melalui konsensus antar sektor yang berkepentingan.

Hal lain yang mendorong terus mengemukanya isu tata ruang adalah penataaan ruang yang memberi peluang pengkajian tata ruang provinsi dan kabupaten atau kota dalam setiap lima tahun sekali. Selain itu seiring dengan meningkatnya dinamika pembangunan daerah yaitu munculnya pemekaran daerah kabupaten, sehingga semakin mempersulit penataan ruang provinsi dan berimplikasi pada ketidakpastian alokasi lahan di wilayah tersebut yang pada akhirnya menghambat pembangunan nasional secara umum dan khususnya pembangunan daerah termasuk pembangunan kehutanan di KPHL XXV Tapanuli Tengah–Sibolga.

Posisi wilayah kelola KPHL XXV Tapanuli Tengah–Sibolga masih ditentukan oleh kebijakan provinsi dan kabupaten. Maka dalam melaksanakan pembangunan hutan dan kehutanan senantiasa berkaitan langsung dengan pemanfaatan ruang/ wilayah dan sumber daya lainnya, terkait dengan pemanfaatan ruang maka harus memperhatikan koordinasi dan kebijakan penataan ruang/ wilayah dan pelaksanaan pembangunan daerah baik kebijakan pembangunan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, maupun Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. Dalam implementasinya senantiasa perlu dilakukan sinergisitas dan sinkronisasi, tidak terjadi tumpang tindih program atau kegiatan sehingga tidak mengorbankan kepentingan pembangunan pada umumnya.

KPHL XXV Tapanuli Tengah–Sibolga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pembangunan nasional dan pembangunan daerah. Pembangunan KPH merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 41 tahun 1999, yang telah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2004, PP Nomor 6 Tahun 2007, jo. PP Nomor 3 Tahun 2008, serta menjadi program prioritas sebagaimana tertuang dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional dan Rencana Strategis Kehutanan 2010-2014. Pembangunan berkelanjutan tidak terlepas dari beberapa aspek, antara lain:

a. Aspek Ekologi

Fungsi kawasan lindung ini sangat penting, karena kerusakan hutan lindung, akan berdampak pada berkurangnya sumber mata air dan menurunnya

Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL XXV Tapanuli Tengah–Sibolga 2016–2025

debit air sungai di wilayah ini. Kondisi ini akan meresahkan masyarakat di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. Selain itu ancaman banjir sangat mencemaskan masyarakat, terutama yang tinggal sepanjang aliran sungai. b. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya

Masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, menjadi alasan masyarakat untuk merambah hutan untuk kegiatan perladangan berpindah atau memperluas kebun karet atau sawit. Untuk itu perlu dicari alternatif penghasilan masyarakat, dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu atau menggunakan lahan hutan untuk membangun aktivitas ekonomi yang tidak merusak fungsi dan bentang alam. Aktivitas tersebut dapat dilakukan di luar kawasan hutan, diantaranya adalah beternak lebah madu dan beternak dengan pola silvopasture. Sistem ini memungkinkan terjaganya produksi pakan ternak yang dibutuhkan, di sisi lain tetap menghasilkan produk kayu bernilai ekonomis tinggi. Silvopasture dapat dibuat dengan dua cara, yaitu dengan meningkatkan mutu tanaman pakan ternak (forage) di bawah tegakan yang ada atau menanam pohon di areal bekas perladangan berpindah yang telah menjadi padang rumput atau semak belukar. Dengan demikian, selain pendapatan warga desa akan meningkat, kelestarian kawasan hutan juga akan lebih terjamin.

c. Aspek Kelembagaan

Faktor penyebab kerusakan hutan diantaranya adanya perambahan di dalam kawasan hutan yang dialihfungsikan untuk lahan perkebunan, pertanian dan perladangan masyarakat, fungsi kontrol yang masih lemah dalam menjawab konsistensi pelaksanaan peraturan perundangan di sektor kehutanan, baik dalam pelaksanaan pencegahan (pengamanan hutan) maupun penegakan hukum atas berbagai pelanggaran yang terjadi. Keterbatasan sumber daya baik tenaga maupun dana merupakan faktor yang sering disebut sebagai penyebabnya ketidakseimbangan jumlah tenaga pengamanan hutan dengan luas arael hutan yang diawasi, minimnya sarana dan prasarana pendukung, rendahnya insentif petugas, belum efektifnya koordinasi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus lingkungan menjadi penghambat efektifnya fungsi kontrol tersebut dapat dilaksanakan.

Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL XXV Tapanuli Tengah–Sibolga 2016–2025