• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRIORITAS NASIONAL 3 : KESEHATAN

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 57-72)

REKAPITULASI PELAPORAN UANG GRATIFIKASI TAHUN 2004—

2.3 PRIORITAS NASIONAL 3 : KESEHATAN

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005—2025 yang ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 tahun 2007, Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut (manula), dan keluarga miskin.

Pembangunan kesehatan tahap kedua dari RPJPN 2005— 2025, diselenggarakan berdasar pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010—2014. Arah kebijakan RPJMN 2010—2014 adalah pemantapan penataan kembali NKRI, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), membangun

2 - 47 kemampuan Iptek, serta memperkuat daya saing perekonomian. Pembangunan kesehatan yang dilakukan, diprioritaskan pada peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, dengan tema prioritas penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak hanya kuratif, melalui peningkatan kesehatan masyarakat dan lingkungan di antaranya dengan perluasan penyediaan air bersih, pengurangan wilayah kumuh sehingga secara keseluruhan dapat meningkatkan angka harapan hidup dari 70,7 tahun pada tahun 2009 menjadi 72,0 tahun pada tahun 2014, dan pencapaian keseluruhan sasaran Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015. Kegiatan prioritas ini dilakukan melalui 6 substansi inti/kegiatan prioritas, yaitu : a) kesehatan masyarakat; b) sarana kesehatan, c) obat; d) asuransi kesehatan nasional; e) keluarga berencana; f) pengendalian penyakit menular.

2.3.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Permasalahan umum yang masih dihadapi sampai saat ini dalam pembangunan kesehatan adalah masalah akses dan kualitas pelayanan kesehatan terutama pada kelompok penduduk miskin serta kesenjangan status kesehatan antardaerah (disparitas) terutama pada daerah tertinggal, terpencil, dan daerah perbatasan serta pulau-pulau terluar. Hal ini antara lain disebabkan oleh kendala jarak, biaya dan kondisi fasilitas pelayanan kesehatan, terjadinya kekurangan jumlah, jenis, mutu tenaga kesehatan dan penyebarannya yang kurang merata, serta belum optimalnya pemberdayaan dan promosi kesehatan bagi masyarakat.

Secara khusus sesuai dengan substansi inti/kegiatan prioritas, permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan antara lain adalah sebagai berikut.

a. Kesehatan Masyarakat

Rendahnya tingkat sosial ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, beragamnya faktor budaya, rendahnya akses ke fasilitas kesehatan, sulitnya transportasi, dan kurangnya pemerataan tenaga profesi kesehatan terlatih terutama bidan seluruhnya berkontribusi

2 - 48

pada angka kematian ibu di Indonesia. Risiko kematian ibu bahkan lebih besar bagi ibu dengan 4 ”terlalu” yaitu: (i) terlalu banyak (anak), (ii) terlalu lama (untuk mendapatkan layanan), (iii) terlalu tua, atau (iv) terlalu muda (usia ibu). Risiko ini juga lebih besar bagi ibu dengan kondisi khusus (menderita anemia, penyakit menular, dll.) yang masih merupakan masalah umum di sebagian besar daerah di Indonesia.

Keadaan kesehatan anak di Indonesia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu sebagai akibat dari perbaikan layanan kesehatan dan higiene, yang diiringi oleh penurunan angka kematian bayi dan anak. Pada tahun 1992, angka kematian bayi (AKB) mencapai 68 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2002, angka tersebut menurun menjadi 35 kematian per 1.000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2007 AKB tercatat 34 kematian per 1.000 kelahiran hidup (SDKI,2007), akan tetapi masih terjadi disparitas antarpropinsi.

Peningkatan akses terhadap air minum dan sanitasi memiliki dimensi yang sangat kompleks karena sangat berkaitan dengan tingkat pendapatan, kondisi geografis, iklim, dan perilaku masyarakat. Tantangan terbesar dalam penyediaan air bersih dan sanitasi dasar adalah tingginya tingkat urbanisasi dan kurangnya pemahaman para pemangku kebijakan, sektor swasta dan masyarakat umum tentang dampak ekonomi dan kesehatan yang merugikan sebagai akibat dari air minum dan layanan sanitasi yang tidak aman dan tidak layak.

Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan sektor air minum dan sanitasi, meliputi 1) menurunnya kualitas dan kuantitas sumber daya air; 2) masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menerapkan praktik perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS); 3) masih terbatasnya kapasitas pemerintah daerah untuk menangani sektor air minum dan sanitasi, padahal penyediaan dan pengelolaan air minum dan sanitasi telah menjadi kewenangan pemerintah daerah; 4) masih belum optimalnya kinerja perusahaan air minum yang dimiliki dan beroperasi di wilayah hukum pemerintah daerah; 5) masih adanya persepsi masyarakat bahwa air adalah sesuatu yang

2 - 49 gratis daripada komoditas yang langka; dan 6) belum adanya kebijakan komprehensif lintas sektor dalam penyediaan air minum dan fasilitas sanitasi yang layak.

b. Sarana kesehatan

Pembangunan kesehatan saat ini masih dihadapkan pada masalah, yaitu belum optimalnya akses, keterjangkauan dan mutu pelayanan kesehatan, antara lain disebabkan oleh sarana pelayanan kesehatan seperti RS, Puskesmas, dan jaringannya yang belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat, terutama bagi penduduk miskin yang terkait dengan biaya dan jarak.

Rendahnya tingkat pelayanan kesehatan dasar dan rujukan disebabkan oleh terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas layanan kesehatan yang berkualitas, terutama penduduk miskin di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Fasilitas pelayanan kesehatan belum seluruhnya menjadi tempat untuk pelayanan kesehatan bagi penduduk akibat terbatasnya akses, baik kendala jarak, kendala biaya, maupun masalah budaya masyarakat. Selain itu, penyediaan sarana yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak, yaitu pelayanan obstetrik neonatal emergensi komprehensif (PONEK), pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED), posyandu dan unit transfusi darah belum merata dan belum seluruhnya terjangkau oleh seluruh penduduk. Sistem rujukan dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit juga belum berjalan dengan optimal. Hal itu ditambah lagi, dengan kendala geografis dan hambatan transportasi yang sering menjadi hambatan untuk mengakses fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan.

c. Obat

Permasalahan dalam penyediaan obat merupakan ancaman fluktuasi harga obat yang masih tinggi antara lain karena tingginya ketergantungan pada bahan baku obat dari impor. Selain itu, penggunaan obat generik berlogo masih belum optimal terutama di RSUD, RS swasta, dan apotek. Standardisasi mutu obat juga menjadi

2 - 50

satu area yang kurang diperhatikan dengan baik terutama dalam menghadapi pasar tunggal ASEAN.

Kemudian dalam pengawasan obat dan makanan dikatakan bahwa sampai saat ini peredaran obat illegal, obat palsu, dan kandungan bahan kimia obat yang disangsikan khasiatnya masih tinggi. Di samping itu, masih maraknya peredaran obat tradisional yang mengandung bahan berbahaya, suplemen makanan yang tidak memenuhi syarat keamanan, dan lemahnya pengawasan makanan jajanan anak sekolah. Selain itu, untuk pengawasan sarana produksi dan distribusi, evaluasi premarket dan evaluasi postmarket terhadap produk-produk tersebut masih perlu ditingkatkan kinerja pengawasannya.

d. Asuransi Kesehatan Nasional

Pembangunan kesehatan saat ini masih dihadapkan pada berbagai masalah antara lain masih belum optimalnya akses, keterjangkauan, dan mutu pelayanan kesehatan, terutama disebabkan oleh sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas dan jaringannya yang belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat, terutama bagi penduduk miskin yang terkait dengan kendala biaya dan jarak. Pembiayaan kesehatan cenderung meningkat, tetapi belum sepenuhnya dapat memberikan jaminan perlindungan kesehatan masyarakat terutama bagi penduduk miskin dan penduduk di sektor informal. Selain itu, jaminan kesehatan juga belum sepenuhnya dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat miskin, terutama dalam penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang masih belum memadai, terutama untuk daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan.

Permasalahan lainnya dalam pelaksanaan jaminan kesehatan pada masyarakat (Jamkesmas) adalah distribusi kartu Jamkesmas yang sampai saat ini belum semua sasaran yang sebesar 76,4 juta jiwa mendapatkannya terutama untuk gelandangan, pengemis, dan anak-anak telantar. Hal ini disebabkan oleh sulitnya pendataan, adanya perhitungan ganda (double counting), cepatnya penduduk

2 - 51 yang berpindah ke daerah, adanya kelahiran baru dan yang meninggal dunia.

e. Keluarga Berencana

Permasalahan yang masih dihadapi dalam pembangunan kependudukan dan keluarga berencana adalah masih besarnya pertambahan jumlah penduduk secara absolut walaupun laju pertumbuhan penduduk cenderung menurun. Hal ini terutama disebabkan oleh masih tingginya jumlah kelahiran, dan masih terdapatnya disparitas angka kelahiran total/Total Fertility Rate (TFR) antarprovinsi, antarwilayah desa dan kota, serta antartingkat pendidikan dan kesejahteraan. Tingginya disparitas pencapaian TFR tersebut disebabkan oleh masih rendahnya angka pemakaian kontrasepsi (contraceptive prevalence rate/CPR) dan tingginya kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi pada pasangan usia subur/PUS (unmet need) dengan disparitas yang lebar antarprovinsi, antarwilayah, dan antarkondisi sosial ekonomi. Rangkaian hal tersebut di atas, terutama disebabkan oleh masih rendahnya akses/jangkauan dan kualitas pelayanan KB, serta kurangnya pengetahuan dan kesadaran pasangan usia subur dan remaja tentang hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi.

f. Pengendalian Penyakit Menular

Secara umum terjadi penurunan angka kesakitan, tetapi penularan infeksi penyakit menular utamanya ATM (AIDS/HIV, TBC, dan Malaria) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol dan perlu upaya keras untuk dapat mencapai target MDGs. Selain itu, terdapat beberapa penyakit seperti penyakit filariasis, kusta, frambusia cenderung meningkat kembali. Demikian pula, penyakit Pes masih terdapat di berbagai daerah.

Di samping itu, terjadi peningkatan penyakit tidak menular terutama penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus, dan kanker yang berkontribusi besar terhadap kesakitan dan kematian, utamanya pada penduduk perkotaan. Target cakupan imunisasi belum tercapai,

2 - 52

perlu peningkatan upaya preventif dan promotif seiring dengan upaya kuratif dan rehabilitatif.

2.3.2 LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL- HASIL YANG DICAPAI

Dengan memperhatikan permasalahan tersebut, arah kebijakan pembangunan kesehatan selama 2 tahun terakhir ini diprioritaskan pada upaya 1) pelaksanaan upaya kesehatan preventif terpadu yang meliputi penurunan tingkat kematian ibu saat melahirkan; penurunan tingkat kematian bayi; pemberian imunisasi dasar kepada bayi; penyediaan akses sumber air bersih dan akses terhadap sanitasi dasar berkualitas; 2) ketersediaan dan peningkatan kualitas layanan puskesmas dan rumah sakit; 3) pemberlakuan daftar obat esensial nasional sebagai dasar pengadaan obat di seluruh Indonesia dan pembatasan harga obat generik bermerek; 4) penerapan asuransi kesehatan nasional untuk seluruh keluarga miskin dengan cakupan 100 persen pada tahun 2011 dan diperluas secara bertahap untuk keluarga Indonesia lainnya antara tahun 2012—2014; 5) peningkatan kualitas dan jangkauan layanan KB pada 23.500 klinik KB pemerintah dan swasta, melalui (a) peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB serta jaminan ketersediaan kontrasepsi terutama bagi keluarga miskin (Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I) dan rentan lainnya, pasangan usia subur (PUS) mupar (muda dan paritas rendah), serta daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan, serta daerah dengan unmet need KB tinggi; (b) peningkatan promosi dan pelayanan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP); (c) peningkatan akses informasi dan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi bagi individu dan keluarga untuk meningkatkan status kesehatan perempuan dan anak dalam mewujudkan keluarga sehat dengan jumlah anak yang ideal serta pencegahan berbagai penyakit seksual dan penyakit alat reproduksi; (d) pengoptimalisasian upaya- upaya advokasi, promosi dan KIE Program KB Nasional untuk peneguhan dan kelangsungan program dan kelembagaan serta pembinaan kemandirian institusi masyarakat, LSOM dan swasta yang menyelenggarakan pelayanan keluarga berencana yang berkualitas; (e) peningkatan dukungan sarana dan prasarana pada 4.700 klinik KB pemerintah dan swasta; dan (f) pembinaan kuantitas

2 - 53 dan kualitas SDM terutama di tingkat lini lapangan dan peningkatan kualitas manajemen program KB Nasional; dan 6) menurunkan angka kesakitan akibat penyakit menular, yang ditandai dengan menurunnya prevalensi tuberculosis; menurunnya kasus malaria (Annual Parasite Index-API); dan terkendalinya prevalensi HIV pada populasi dewasa.

Dalam pelaksanaannya, pembangunan kesehatan memprioritaskan upaya promotif dan preventif yang dipadukan secara seimbang dengan upaya kuratif dan rehabilitatif. Perhatian khusus diberikan kepada pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, daerah tertinggal dan daerah bencana, dengan memperhatikan kesetaraan gender.

Hasil-hasil yang dicapai sampai saat ini adalah sebagai berikut.

a. Kesehatan Masyarakat

Meskipun perkiraan angka kematian ibu bervariasi berdasarkan sumbernya, perkiraan terbaik adalah 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup untuk periode 2004—2007. Hal ini, jika dibandingkan dengan 307 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada 1998—2002 dan 390 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1991 (SDKI), menunjukkan adanya penurunan angka kematian ibu secara bertahap.

Area intervensi utama yang memengaruhi AKI mencakup pelayanan antenatal yang adekuat, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, perawatan yang memadai untuk kehamilan risiko tinggi, program keluarga berencana untuk menghindari kehamilan dini, mengurangi tingkat aborsi tidak aman dan post abortion care, serta program-program perubahan perilaku (meningkatkan kesadaran) di kalangan perempuan usia subur.

Data menunjukkan bahwa 93 persen wanita hamil memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan terlatih selama masa kehamilan, dan angka tersebut tetap stagnan selama satu dekade

2 - 54

terakhir. Sekitar 66 persen wanita hamil melakukan empat kali kunjungan pelayanan antenatal atau lebih sesuai dengan yang dianjurkan, jika dibandingkan dengan target 90 persen yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan (SDKI 2007). Salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan angka kematian ibu adalah mendapatkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih. Sekitar 77 persen persalinan saat ini ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih (Susenas 2009), jika dibandingkan dengan yang dibantu tenaga kesehatan terlatih yang mengalami peningkatan sesuai dengan usia, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan ibu. Hanya sekitar 14 persen perempuan miskin yang melakukan persalinan dengan dibantu oleh tenaga kesehatan terlatih, jika dibandingkan dengan 83 persen di kalangan perempuan kaya.

Sementara itu, kesehatan anak di Indonesia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu sebagai akibat dari perbaikan layanan kesehatan dan higiene, yang diiringi dengan penurunan angka kematian bayi dan anak. Pada tahun 2002, angka kematian bayi sebesar 35 kematian per 1.000 kelahiran hidup dan menurun pada tahun 2007 AKB tercatat 34 kematian per 1.000 kelahiran hidup (SAKI 2007). Tingkat kematian anak (balita) juga memperlihatkan penurunan. Pada tahun 2003 angka kematian balita (AKBA) adalah 46 kematian per 1.000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2007 AKBA turun menjadi 44 kematian per 1.000 kelahiran hidup.

Pada tahun 2010 dimulai pelaksanaan pengembangan bantuan operasional kesehatan (BOK). Pengembangan BOK dilakukan dengan target 8.000 Puskesmas yang mendapat bantuan operasional kesehatan dan menyelenggarakan lokakarya mini untuk menunjang pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM). Untuk mendukung pelaksanaan BOK, telah dilakukan uji coba penyaluran dana kepada 303 Puskesmas uji coba, dan pelatihan manajemen BOK pada 303 Puskesmas uji coba, yang setiap Puskesmas mendapat dana sebesar Rp 100 juta/tahun.

Dalam rangka meningkatkan akses air minum, kegiatan penyediaan air minum berbasis masyarakat dan perluasan cakupan

2 - 55 instalasi air minum di rumah terus ditingkatkan. Sementara itu, pembangunan sektor sanitasi, dilakukan melalui strategi sanitasi total berbasis masyarakat (STBM), yang menekankan persoalan pada perubahan perilaku dan partisipasi masyarakat luas dalam menciptakan lingkungan yang bersih, memperbaiki akses dan perilaku, dan pada saat yang sama membangun infrastruktur yang dibutuhkan.

Proporsi penduduk yang memiliki akses air minum dan sanitasi yang layak meningkat menjadi 47,71 persen dan 51,19 persen pada tahun 2009. Namun, masih terdapat lebih dari separuh total penduduk belum memiliki akses terhadap air minum layak, dan sekitar setengah penduduk belum dapat mengakses sanitasi dasar. Di samping itu, disparitas antarwilayah dan sosial ekonomi dalam hal akses air minum dan sanitasi masih menjadi tantangan tersendiri. Dengan demikian, ke depan diperlukan kebijakan komprehensif lintas sektor dan koordinasi yang lebih intensif dalam pelaksanaan program penyediaan air minum dan fasilitas sanitasi yang layak, termasuk dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat, sektor swasta, organisasi nonpemerintah, dan pemerintah daerah.

Selain itu, Pemerintah telah menargetkan 314 lokasi kawasan dan desa terfasilitasi pembangunan/penyediaan air minum untuk mendukung kesehatan masyarakat dengan kemajuan pembangunan fisik sebesar 42,60 persen; dan fasilitasi pembangunan prasarana sanitasi (air limbah pada 9 kabupaten/kota yaitu Kota Medan, Kota Cirebon, Kota Bandung, Kota Surakarta, Kota Yogyakarta, Kota Sleman, Kota Bantul, Kota Banjarmasin, Kota Denpasar) dan drainase pada 10 kabupaten/kota yaitu Banda Aceh, Lhoksumawe, Meulaboh, Kota Medan, Kota Palembang, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Makasar, Kab. Pinrang, Kota Denpasar) dengan kemajuan pembangunan fisik sebesar 34,22 persen.

b. Sarana Kesehatan

Penyediaan fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, puskesmas pembantu, poskesdes, serta rumah sakit terus ditingkatkan terutama di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Rasio

2 - 56

puskesmas terhadap penduduk sebesar 3,74 per 100.000 penduduk (2008), jumlah puskesmas pembantu (pustu) sebanyak 23.163 (2008). Akses masyarakat dalam mencapai sarana pelayanan kesehatan dasar terus membaik, yaitu 94 persen masyarakat dapat mengakses sarana pelayanan kesehatan kurang dari 5 kilometer. Pada tahun 2007, jumlah rumah sakit pemerintah sebanyak 667, sedangkan rumah sakit swasta sebanyak 652. Rasio tempat tidur (TT) rumah sakit terhadap penduduk sebesar 63,3 TT per 100.000 penduduk (2007).

Revitalisasi rujukan adalah usaha mengupayakan agar rumah sakit provinsi/kabupaten/ kota dapat berfungsi dengan baik dalam meningkatkan pelayanan kesehatan. Peningkatan kemampuan pelayanan kesehatan rujukan terutama diutamakan di daerah pemekaran dan daerah terpencil. Saat ini sedang dilakukan pengembangan sistem rujukan. Penguatan RS dalam rangka mendukung Jamkesmas dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah tempat tidur kelas III di RS.

Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di semua tingkatan, dikembangkan pelayanan kesehatan berkelas dunia (world class hospital). Pada tahap awal dikembangkan pelayanan kesehatan di beberapa rumah sakit. Sasaran yang diharapkan dalam rumah sakit kelas dunia adalah sebagai berikut. 1) berdirinya rumah sakit (publik, swasta) dengan akreditasi internasional di 5 kota, yaitu Jakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, dan Makassar; 2) terselenggaranya pelayanan kesehatan dengan standar internasional sehingga mampu menjadi penyedia pelayanan kesehatan dari asuransi kesehatan internasional; 3) terselenggaranya pelayanan kesehatan unggulan yang menjadi acuan standar internasional; dan 4) terselenggaranya alih pengetahuan dan alih penguasaan teknologi dari tenaga medik/paramedik asing bagi mitra kerjanya di rumah sakit tempat mereka bekerja atau di lingkungan yang lebih luas. Langkah ini sekaligus dimaksudkan untuk menjawab tantangan banyaknya orang Indonesia yang berobat ke luar negeri. Upaya pengembangan pelayanan kesehatan ini dilakukan secara terus-menerus di sarana pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit maupun di puskesmas.

2 - 57 Pelayanan kesehatan di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK) diupayakan sama dengan daerah lain. Namun karena kondisi geografis di DTPK relatif sulit, pelayanan kesehatan di DTPK harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Diharapkan semua puskemas di DTPK dapat ditingkatkan menjadi Puskemas rawat inap.

c. Obat

Upaya untuk meningkatkan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan dilakukan dengan target capaian 80 persen ketersediaan obat dan vaksin melalui penetapan regulasi tentang pelaksanaan dana alokasi khusus bidang kesehatan untuk pengadaan obat di kabupaten/kota; penyusunan dokumen rencana kebutuhan obat (RKO) untuk tingkat Pusat terdiri dari obat program Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak, gizi, haji dan vaksin; dan dari bulan Januari hingga Juni 2010 telah dicapai 15 persen obat dan vaksin tersedia di 33 provinsi.

Dalam upaya menjamin keterjangkauan harga obat esensial, Pemerintah telah menetapkan harga obat generik di sarana pelayanan kesehatan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/Menkes/146/I/2010 tanggal 27 Januari 2010. Selanjutnya, dalam upaya pembatasan harga obat bermerek dagang masih konsisten diberlakukannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 696/Per/VI/2007 tentang Harga Obat Generik Bernama Dagang pada Sarana Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Dalam pemanfaatannya ditetapkan pula kewajiban penulisan resep obat generik di sarana kesehatan pemerintah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK. 02.02/Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah tanggal 14 Januari 2010 dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/ Menkes/159/I/2010 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penggunaan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.

2 - 58

Indikator yang ditetapkan untuk mengukur keberhasilan program pengawasan obat dan makanan adalah ‘Proporsi obat yang memenuhi standar (aman, manfaat dan mutu)’ serta ‘Proporsi makanan yang memenuhi syarat’. Selama periode bulan Oktober 2009 – Juni 2010 capaian indikator ini adalah 99,49 persen obat yang memenuhi standar serta 80,63 persen makanan yang memenuhi syarat. Dalam program ini, dilaksanakan 18 kegiatan prioritas, yang keberhasilannya masing-masing diukur oleh satu atau lebih indikator kinerja.

d. Asuransi Kesehatan Nasional

Jaminan Kesehatan merupakan suatu cara pelayanan kesehatan terkendali, yang mengandung kendali biaya (efisien), kendali mutu (efektifitas), serta kendali pemerataan (dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan). Bahwa dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan ini telah dilakukan kendali biaya dan kendali mutu melalui penerapan Indonesian Diagnostic Related Group (INA- DRG), yaitu pengklasifikasian setiap tahapan pelayanan kesehatan sejenis ke dalam kelompok yang mempunyai arti relatif sama. Setiap pasien yang dirawat di sebuah RS diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sejenis dengan gejala klinis yang sama serta biaya perawatan yang relatif sama. Pada saat ini diupayakan pada masyarakat termarginalkan, seperti penghuni lapas, penghuni panti- panti, anak telantar, dan tuna wisma, tercakup dalam Jamkesmas.

Saat ini cakupan asuransi kesehatan di Indonesia sekitar 50,8 persen, terdiri atas: 14,8 persen asuransi kesehatan pegawai negeri sipil (PNS), TNI/POLRI, tenaga kerja di sektor formal dan asuransi swasta bagi penduduk yang mampu, serta 36 persen Jamkesmas. Cakupan sasaran Jamkesmas meningkat dari 60 juta orang (2006) menjadi 76,4 juta orang (2009) mencakup katagori sangat miskin, miskin, dan hampir miskin serta tidak mampu dan gelandangan, pengemis, dan anak-anak telantar. Jumlah rumah sakit yang telah

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 57-72)