• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRIORITAS NASIONAL 9 : LINGKUNGAN HIDUP DAN PENGELOLAAN BENCANA

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 134-147)

REKAPITULASI PELAPORAN UANG GRATIFIKASI TAHUN 2004—

HASIL YANG DICAPA

2.9 PRIORITAS NASIONAL 9 : LINGKUNGAN HIDUP DAN PENGELOLAAN BENCANA

Lingkungan hidup dan pengelolaan bencana sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 -- 2014 merupakan salah satu prioritas nasional yang sangat vital untuk memastikan keberlanjutan pembangunan di masa mendatang. Oleh karena itu, upaya pengelolaan daya dukung lingkungan hidup dan sumber daya alam sangat mutlak diperlukan agar keberlanjutan pembangunan dapat terus terpelihara. Di samping itu, penanggulangan bencana, baik bencana alam maupun bencana iklim, juga terus ditingkatkan agar resiko bencana dapat diminimalisasi.

2.9.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Pelaksanaan pembangunan lingkungan hidup dan pengelolaan bencana masih menghadapi beberapa permasalahan yang membutuhkan penanganan, antara lain, terkait dengan perubahan iklim, pengendalian kerusakan lingkungan, sistem peringatan dini, dan penanggulangan bencana.

2 - 124

Upaya penanggulangan perubahan iklim masih dihadapkan pada berbagai permasalahan, antara lain: (1) sangat luasnya lahan kritis, sedangkan kemampuan untuk merehabilitasi masih sangat terbatas; (2) banyaknya pihak yang berkepentingan di kawasan lahan kritis sehingga menyulitkan dalam pelaksanaan koordinasi; (3) belum lengkapnya kebijakan tentang pengelolaan ekosistem lahan gambut; (4) masih lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaraan di bidang kehutanan; (5) belum selesainya penataan batas kawasan hutan; serta (6) belum terbentuknya kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat tapak/lapangan.

Selanjutnya, permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengendalian kerusakan lingkungan adalah: (1) eksploitasi pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali dan tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan; (2) tingkat pencemaran terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati yang telah melebihi baku mutu lingkungan; (3) rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan institusi pengelola serta masih rendahnya kesadaran masyarakat, pendekatan pelaksanaan pembangunan yang kurang berwawasan lingkungan; (4) kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati yang belum terpadu; (5) tingginya potensi konflik antardaerah dan antarsektor dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDA; serta (6) masih tingginya tingkat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun, terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan, sedangkan peran dan keterlibatan para pihak dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di setiap provinsi masih kurang.

Penyediaan sistem peringatan dini masih dihadapkan pada permasalahan yang secara garis besar meliputi (1) kurang memadainya penyediaan sistem informasi, baik kualitas maupun kuantitasnya dan (2) masih rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan institusi pengelola sistem peringatan dini.

Permasalahan dan tantangan dalam mewujudkan penanggulangan bencana yang efektif dan efisien, antara lain, adalah (1) belum memadainya kinerja penanggulangan bencana karena keterbatasan kapasitas dalam penanggulangan bencana dan (2) masih rendahnya kesadaran terhadap risiko bencana dan pemahaman

2 - 125 terhadap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Selanjutnya, permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan data dan informasi spasial dalam penanggulangan bencana adalah (1) belum memadainya kuantitas serta ketersediaan data dan informasi geospasial, seperti peta rawan bencana dan (2) kurangnya penyediaan peta rawan bencana bagi keperluan mitigasi bencana dalam proses perencanaan pembangunan nasional.

2.9.2 LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL- HASIL YANG DICAPAI

Berbagai upaya pembangunan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana telah dilaksanakan agar daya dukung lingkungan hidup terus meningkat. Selain itu, upaya untuk mengurangi resiko bencana yang mungkin timbul, baik bencana alam maupun bencana akibat kerusakan lingkungan atau perubahan iklim juga terus ditingkatkan. Terkait dengan antisipasi dalam mengatasi perubahan iklim, telah dilakukan beberapa upaya perbaikan lingkungan yang rusak yang mengarah pada upaya mitigasi dampak perubahan iklim serta adaptasi perubahan iklim global yang meliputi (1) penyelenggaraan upaya rehabilitasi hutan dan lahan di DAS prioritas; (2) pengendalian kebakaran hutan dan lahan untuk mendukung penurunan jumlah hotspot kebakaran hutan; (3) pembinaan penyelenggaraan pengelolaan DAS untuk mendukung pengelolaan hutan dan lahan gambut; (4) upaya menurunkan tindak pidana kehutanan; serta (5) upaya konservasi dan rehabilitasi wilayah laut dan pesisir.

Upaya yang telah dilaksanakan dalam rehabilitasi hutan dan lahan di DAS prioritas antara lain, (1) koordinasi penentuan sasaran calon lokasi rehabilitasi hutan dan lahan yang hasilnya berupa peta dan data rekapitulasi nasional secara indikatif kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) seluas 239.000 ha; (2) penetapan rencana indikatif lokasi rehabilitasi hutan pada DAS prioritas dengan hasil berupa lokasi rehabilitasi lahan; (3) koordinasi pelaksanaan RHL sumber dana perimbangan daerah telah dilaksanakan di Balikpapan

2 - 126

(wilayah Kalimantan) dan di Sorong (wilayah Papua dan Papua Barat); (4) pembinaan penyelenggaraan RHL sumber dana perimbangan daerah telah dilaksanakan di Surabaya; (5) fasilitasi penetapan kawasan hutan kota kepada pemerintah kabupaten/kota seluas 1.000 ha; (6) koordinasi dan sosialisasi penyusunan rancangan rehabilitasi hutan mangrove, gambut, dan rawa; dan (7) penyusunan rancangan kegiatan RHL dengan hasil peta RHL di wilayah kerja DAS.

Selain itu, dilaksanakan pula rehabilitasi hutan dan lahan melalui pengembangan perhutanan sosial yang meliputi : (1) optimalisasi pemanfaatan dana alokasi khusus (DAK) bidang kehutanan dan dana bagi hasil dana reboisasi (DBH DR) yang dialokasikan di setiap kabupaten/kota untuk fasilitasi pengelolaan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa; (2) penyuluhan dan sosialisasi kepada satuan kerja pemerintah kota/kabupaten dan masyarakat tentang program hutan kemasyarakatan dan hutan desa; (3) penguatan komitmen daerah dalam pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan; (4) penyusunan rancangan pembangunan hutan kota seluas 1.000 ha; (5) penetapan area kerja hutan kemasyarakatan seluas 139.759 ha, penerbitan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan sebanyak 100 kelompok/unit, dan penetapan areal kerja hutan desa (HD) seluas 100.000 ha; (6) pengembangan seed for people di 4 kabupaten, yaitu di Jembrana, Lumajang, Purworejo dan Sumedang; (7) sosialisasi pembangunan hutan rakyat kemitraan sebanyak 19 unit dengan luas 50.000 ha; (8) koordinasi pembentukan sentra hasil hutan bukan kayu (HHBK) sebanyak 6 lokasi; serta (9) pembuatan kebun bibit rakyat (KBR) sebanyak 8.000 unit.

Dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan lahan, langkah kebijakan dan hasil yang telah dicapai, antara lain, meliputi (1) percepatan penerbitan inpres tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan; (2) penguatan peran kementerian/lembaga dan pemberian insentif dan disinsentif; (3) peningkatan sarana dan prasarana kebakaran hutan dan lahan termasuk perlengkapan pemadam kebakaran dan sistem peringatan dini; (4) penguatan brigade pengendalian kebakaran hutan dan lahan

2 - 127 di daerah rawan kebakaran dengan pencapaian, antara lain, (a) pembentukan Brigade Manggala Agni sejumlah 1.605 orang di 10 provinsi; serta (b) pembentukan daerah operasi (daops) baru dengan tenaga sebanyak 180 orang sehingga totalnya menjadi 1.785 orang.

Selanjutnya, pembinaan penyelenggaraan pengelolaan DAS untuk mendukung peningkatan pengelolaan hutan dan lahan gambut telah dilakukan melalui kebijakan-kebijakan, antara lain: (1) pelaksanaan program peningkatan fungsi dan daya dukung DAS yang berbasis pemberdayaan masyarakat; serta (2) pengembangan perhutanan sosial dan perbenihan tanaman hutan.

Pengelolaan hutan juga tidak lepas dari upaya penurunan tindak pidana kehutanan. Langkah kebijakan dan hasil yang telah dicapai meliputi (1) upaya perlindungan dan pengamanan hutan untuk menekan pembalakan liar (illegal logging), perambahan kawasan konservasi, dan perdagangan dan penambangan ilegal; (2) mempercepat proses penyelesaian RUU Tindak Pidana Kehutanan; dan (3) penanganan secara komprehensif terhadap kebijakan pemerintah daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan.

Kegiatan konservasi dan rehabilitasi juga dilakukan di wilayah laut dan pesisir. Langkah kebijakan dan hasil yang dicapai, antara lain, meliputi (1) pengelolaan kawasan konservasi perairan yang mencapai 13,5 juta ha sampai dengan pertengahan 2010; (2) kerja sama antar negara tetangga melalui Coral Triangle Initiative (CTI), Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion (SSME), dan Bismarck Solomon Seas Ecoregion (BSSE); (3) pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang pada 23 kabupaten/kota di 8 provinsi; dan (4) penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi dan peningkatan pengawasan kawasan.

Upaya pengendalian kerusakan lingkungan untuk mempertahankan pelestarian lingkungan dan meningkatkan kualitas daya dukung lingkungan telah dilaksanakan melalui berbagai langkah kebijakan pembangunan.

2 - 128

Pada tahun 2009 hingga 2010 telah dicapai hasil, antara lain, penataan lingkungan serta pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan dengan memberlakukan (1) Program Kali Bersih (Prokasih) dengan peserta sebanyak 341 perusahaan yang meliputi 6 kota supervisi Prokasih dan penanganan kasus pencemaran lingkungan; (2) Program Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) dengan melibatkan 679 perusahaan yang dinilai kinerja pengelolaan lingkungannya; (3) penerapan bensin tanpa timbal sejak tahun 2008; (4) pengawasan ketaatan pengendalian pencemaran air limbah dan emisi di 680 kegiatan industri dan jasa; (5) pengelolaan air limbah domestik; (6) pengembangan program 3R (reduce, reuse, recycle) di 5 kota; (7) pengembangan 2 instalasi pengolah air limbah (IPAL) terpadu biogas untuk sentra industri kecil; (8) program Adipura di 126 kota; (9) program Langit Biru di 20 kota; (10) Pembinaan pengendalian pencemaran di kabupaten/kota; serta (11) pengelolaan limbah industri skala kecil.

Upaya untuk menjaga kelestarian lahan, antara lain, dilakukan melalui (1) program Menuju Indonesia Hijau (MIH); (2) penerapan upaya penurunan laju kerusakan lingkungan di 11 DAS pada tahun 2010; (3) pemantauan ekosistem pesisir dan laut; (4) pengembangan model pemulihan lingkungan pesisir dan laut di 7 lokasi; (5) pengelolaan pesisir terpadu di 6 provinsi; (7) pengelolaan 4 lokasi kawasan karst; dan (8) pengelolaan 3 daerah rawan longsor.

Berkaitan dengan program rehabilitasi hutan dan lahan, telah dilakukan berbagai upaya, yaitu (1) reboisasi dan penghijauan melalui gerakan One Man One Tree yang melibatkan dunia usaha dan masyarakat. Sampai dengan bulan Desember 2009 telah dilakukan penanaman pohon sebanyak 251.622 juta batang. Pelaksanaan gerakan tersebut telah meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya upaya penanaman sebagai budaya sehingga dapat memberikan dampak cukup signifikan terhadap upaya perbaikan lingkungan. Kegiatan tersebut pada tahun 2010 telah dikembangkan menjadi One Billion Indonesia Trees (OBIT) for the World dan pada saat ini telah ditanam pohon sebanyak 15.027 batang.

2 - 129 Upaya peningkatan penegakan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup juga dilakukan dengan (1) pengesahan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah untuk menerapkan prinsip mengelola sampah dengan 3R (reduce, reuse, dan recycle), penetapan sanksi pidana bagi pengimpor sampah dan pengelola sampah, pengelolaan gas metana dari sampah, seperti pengomposan, pengembangan mekanisme clean development

mechanism (CDM), hingga peningkatan program Adipura yang

bertujuan untuk mendorong pemerintah daerah dan masyarakat agar dapat mewujudkan kota bersih dan teduh dengan prinsip-prinsip good governance; (2) pengesahan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan pedoman bagi pembangunan lingkungan hidup di Indonesia. Berbagai peraturan perundang-undangan di bawahnya tengah disiapkan untuk memastikan UU tersebut dapat dilaksanakan dengan baik; (3) pengembangan instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yakni instrumen untuk mengkaji dampak kebijakan terhadap lingkungan sebelum kebijakan tersebut dilaksanakan; (4) penyusunan indeks (komposit) kualitas lingkungan hidup (IKLH) tahun 2009 yang merupakan angka pencerminan kualitas lingkungan hidup di tingkat provinsi; serta (5) penyusunan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk provinsi/kabupaten/kota yang meliputi Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan Wilayah dan Rencana Aksi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang salah satunya berbentuk rencana zonasi/ tata ruang laut.

Peningkatan sistem peringatan dini dilakukan dengan menerapkan berbagai langkah kebijakan yang mengarah pada peningkatan kualitas, keakuratan dan ketepatan, serta kecepatan dan jangkauan penyebaran informasi dini iklim dan cuaca untuk mendukung kualitas pembangunan di bidang iklim dan cuaca.

Dalam kurun waktu 2008--2010 telah dilakukan pembangunan sarana dan pengembangan informasi meteorologi, klimatologi, kualitas udara, dan geofisika secara komprehensif. Beberapa hasil yang dapat dilihat, antara lain: (1) kecepatan waktu penyediaan informasi gempa bumi dan tsunami yang saat ini telah mengalami

2 - 130

peningkatan yang signifikan, yaitu di bawah 5 menit; (2) penayangan informasi cuaca dan kejadian gempa bumi di media massa dan media elektronika menjadi 4 kali per hari dalam kondisi khusus; (3) penyampaian layanan cuaca penerbangan pada bandar udara, serta layanan cuaca maritim pada pelayaran yang disiarkan melalui radio pantai; dan (4) penyusunan peta iklim, peta agroklimat (Pulau Jawa), serta peta iso dan peta curah hujan di seluruh Indonesia.

Selain hasil tersebut diatas, pengembangan sistem peringatan dini iklim dan cuaca juga mencapai hasil: (1) meningkatnya akurasi dan kecepatan penyampaian informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami; (2) meningkatnya penyebaran dan akses informasi kepada masyarakat, termasuk informasi mitigasi bencana dan potensi sumber daya alam dan lingkungan serta peningkatan akurasi dan kecepatan penyampaian informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami; (3) meningkatnya sistem peringatan dini cuaca (MEWS) yang meliputi pengelolaan radar cuaca di 26 lokasi, automatic weather station (AWS) di 128 lokasi, automatic rain gauge (ARG) di 29 lokasi dan 120 stasiun pengamatan cuaca; (4) terpeliharanya sistem peringatan dini tsunami (TEWS) yang fase pertamanya telah diresmikan oleh Presiden RI pada tanggal 11 November 2008; (5) dikembangkannya sistem peringatan dini iklim (CEWS) yang meliputi, antara lain, pemasangan AWS di 10 lokasi, ARG di 10 lokasi, dan penakar hujan di 1.000 lokasi; serta (6) terbangunnya sistem diseminasi informasi BMKG ke media massa yang mencakup 11 stasiun televisi, pemda, BNPB, Mabes Polri, Mabes TNI, dan institusi perantara lain serta penyebaran informasi dini tsunami ke masyarakat melalui media pos-el (e-mail), SMS, faks, laman dan RANET/DVB.

Selanjutnya, dalam penyediaan kerangka geodesi dan geodinamika, telah dilakukan upaya-upaya, antara lain (1) pemantauan dinamika bumi untuk multihazard; (2) pengelolaan staf tetap GIS; (3) pemantauan deformasi kerak bumi dan pemeliharaan kerangka referensi geodetic; (4) penyediaan jaring kontrol horizontal dan jaring kontrol vertikal; (5) pemetaan geoid dan operasionalisasi stasiun pasang surut realtime. Hasil yang dicapai saat ini berupa pengadaan dan instalasi 20 unit peralatan stasiun pasang surut; sewa

2 - 131 komunikasi data di 90 stasiun pasang surut dari berbagai lokasi di wilayah Indonesia ke kantor Bakosurtanal di Cibinong dan kantor BMKG di Jakarta; pengadaan dan instalaasi 33 unit peralatan stasiun tetap GPS; serta sewa komunikasi data (internet dan VPN IP) untuk pengiriman data realtime dari 80 stasiun GPS ke Bakosurtanal dan BMKG.

Dalam rangka pengelolaan penanggulangan bencana telah dilaksanakan berbagai upaya di berbagai bidang. Pendekatan langkah kebijakan yang ditetapkan mencakup (1) pengelolaan hutan untuk pencegahan pembalakan liar dan kebakaran hutan; (2) peningkatan ketahanan wilayah pesisir dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan bencana; (3) penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 provinsi; (4) pembentukan tim gerak cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis, yaitu Jakarta dan Malang yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia; serta (5) penyediaan peta dasar dan peta tematik sebagai data dan informasi dalam pengelolaan penanggulangan bencana.

Upaya untuk menanggulangi praktek pembalakan liar telah dilakukan melalui operasi hutan lestari, operasi fungsional, gabungan, dan rutin. Operasi tersebut telah berhasil menurunkan angka kasus pembalakan liar di Indonesia yang pada tahun 2008 menjadi 161 kasus. Sementara itu, sampai dengan Juli 2010 baru tercatat 45 kasus pembalakan liar, serta berhasil menghindari potensi kerugian negara sebanyak Rp 25 triliun. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dilakukan melalui pembaruan data sebaran hotspot secara periodik, antisipasi penanggulangan kebakaran hutan secara dini berdasarkan hotspot, peningkatan kesiagaan posko dan patroli kebakaran hutan, dan penguatan kelembagaan pengendali kebakaran hutan. Upaya tersebut telah berhasil mengurangi jumlah hotspot di dalam kawasan hutan, tetapi belum mampu mengurangi jumlah hotspot di luar kawasan hutan. Jumlah hotspot nilai tiap tahunnya fluktuatif, yaitu tahun 2008 sebanyak 30.616 dan menjadi sebanyak 39.463 pada tahun 2009.

2 - 132

Diperkirakan pada tahun 2010 turun sebesar 11.778 hotspot (atau sebesar 20%) sehingga pada akhir tahun 2010 diperkirakan jumlahnya menjadi 47.112 hotspot. Luas area yang terbakar (baik di dalam maupun di luar kawasan hutan) diperkirakan juga cenderung mengalami penurunan. Luas kawasan hutan yang terbakar terutama di 10 provinsi rawan kebakaran hutan pada tahun 2009 adalah 6.793,08 ha, sedangkan luas areal yang terbakar di luar kawasan hutan adalah sebesar 9.344 ha. Pada tahun 2010 luas kawasan hutan yang terbakar diharapkan turun kira-kira 10% dengan upaya tersebut. Untuk selanjutnya, dapat ditekan pada tingkat yang lebih rendah.

Dalam rangka meningkatkan ketahanan wilayah pesisir dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan bencana, sampai dengan pertengahan 2010 telah dilakukan upaya, antara lain, (1) penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Mitigasi Bencana; (2) pengembangan kapasitas masyarakat di bidang mitigasi bencana, adaptasi dampak perubahan iklim, dan mitigasi pencemaran melalui sosialisasi, penyadaran masyarakat dan pelatihan, serta pembuatan sistem informasi mitigasi bencana tsunami di Kabupaten Pesisir Selatan; (3) gerakan bersih pantai dan laut; (4) pembangunan rumah nelayan sejumlah 2078 di 51 kabupaten/kota; (5) penanaman/rehabilitasi bakau di beberapa lokasi dengan luas rehabilitasi mencapai 47 ha dengan target 50 ha pada tahun 2010 serta penguatan kelembagaan pengelolaan bakau (mangrove) melalui Kelompok Kerja Mangrove Nasional; dan (6) pengembangan climate resilient village (ketahanan desa pesisir) terhadap perubahan iklim.

Sebagai upaya penguatan kapasitas penanggulangan bencana di daerah, dibentuk lembaga penanggulangan bencana daerah yang selanjutnya disebut Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang pembentukannya diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 dan Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2008 di 29 provinsi dan 87 kabupaten/kota yang memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana.

Untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, melalui arahan Presiden, telah dibentuk Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC-PB) yang dilengkapi dengan

2 - 133 peralatan dan perlengkapan yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis di Jakarta dan Malang yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Sejak dibentuknya, Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC-PB) telah melaksanakan tugas penanganan kedaruratan di berbagai wilayah terkena bencana di Indonesia serta mendukung misi kemanusiaan penanganan kedaruratan di negara lain yang terkena bencana.

Selanjutnya, untuk memenuhi ketersediaan data dan informasi khususnya untuk penanggulangan bencana, dilakukan pemetaan tematik sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH) matra darat melalui upaya kegiatan (1) pengembangan basis data tematik SDA darat; (2) pembaruan dan pengadaan data SDA dan LH regional; (3) inventarisasi SDA dan LH; ekspedisi geografi Indonesia; serta (4) diseminasi dan pencetakan produk. Hasil yang telah dicapai hingga saat ini adalah berupa basis data rawan banjir yang dibuat dengan menghimpun data rawan banjir yang berada di instansi-instansi terkait secara terpadu sehingga dapat dihasilkan informasi tentang daerah rawan banjir yang komprehensif akurat dan lebih mudah diakses oleh masyarakat. Selama tahun 2010 ini telah dilakukan pemetaan tematik rawan banjir dengan hasil peta kerawanan dan potensi air banjir skala 250.000 untuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 14 nomor lembar peta (NLP) dan data tipologi dan karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi Kalimantan Barat skala 1:250.000 sebanyak 14 NLP. Selain itu, telah dihasilkan peta citra satelit digital Lampung, Banten, dan NTB sebanyak 17 NLP, peta zonasi multirawan bencana Lampung dan Banten sebanyak 5 NLP, dan peta zonasi multirawan bencana alam skala 1:50.000 untuk wilayah Nusa Tenggara Barat sebanyak 11 NLP.

Untuk pemetaan tematik SDA dan LH matra laut, dilakukan kegiatan (1) pengelolaan basis data pesisir; (2) survei dan pemetaan SDA pesisir, laut, dan pulau kecil; (3) pemetaan neraca dan valuasi ekonomi SDA pesisir dan laut 1:1000K sampai 1:50K nasional; (4) inventarisasi dan pemetaan SDA mangrove Indonesia, inventarisasi dan pemetaan SDA pesisir dan survei serta pemetaan pulau kecil terluar; (5) pengembangan marine and coastal geo information

2 - 134

system; serta (6) penyelenggaraan dan pengembangan laboratorium di Parangtritis (Yogyakarta). Hasil yang dicapai sampai saat ini adalah (1) peta tematik hasil inventarisasi; (2) neraca; (3) kajian aplikasi teknologi di bidang survey dan pemetaan; (4) penginderaan jauh; (5) dinamika geografis SDA; dan (6) kajian wilayah LH matra laut yang diatur dan dikelola sebagai basis data pemetaan nasional sebanyak 18 NLP.

2.9.3 TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Untuk dapat mencapai target-target pembangunan lingkungan hidup dan pengelolaan bencana, masih diperlukan upaya tindak lanjut pembangunan yang strategis dan solutif. Dalam rangka penanggulangan dampak perubahan iklim pada tahun 2011--2014, terus dilakukan upaya-upaya, antara lain (1) mengurangi lahan kritis melalui rehabilitasi hutan dan lahan kritis di DAS prioritas, baik di kawasan hutan maupun luar kawasan hutan seluas 1.600.000 ha serta rehabilitasi hutan dan lahan di 13 DAS lain; (2) fasilitasi penetapan area kerja pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKM) seluas 2.000.000 ha; (3) dukungan dalam rangka ketahanan pangan nasional 500.000 ha; (4) penetapan area kerja hutan desa (HD) seluas 500.000 ha; (5) pengembangan perbenihan tanaman hutan, (6) pengelolaan area sumber benih seluas 4.500 ha dan pembangunan area sumber benih seluas 6.000 ha, (7) pengembangan Seed for People 100 lokasi; (8) pengembangan sentra bibit tanaman hutan di 100 lokasi; (9) pengendalian kebakaran hutan melalui (i) pencegahan, pemadaman, penanganan pasca kebakaran hutan, dan penyelamatan dengan pelatihan dan pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA); (ii) pembuatan proyek percontohan (pilot project) Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB), kampanye dan penyuluhan, penyebaran informasi, dan sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), serta sertifikasi legalitas kayu (Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)).

Di samping itu, dilakukan pula upaya (1) peningkatan pengelolaan kawasan konservasi perairan melalui penyusunan rencana pengelolaan kawasan dan peningkatan kerja sama internasional, regional, dan nasional dalam konservasi laut; (2)

2 - 135 rehabilitasi ekosistem pesisir yang mencakup rehabilitasi terumbu karang, mangrove, dan padang lamun; (3) evaluasi pemanfaatan ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang bersifat lintas K/L; serta (4) peningkatan dukungan terhadap penelitian dan pengembangan untuk penurunan gas rumah kaca dan adaptasi perubahan iklim.

Untuk pengendalian kerusakan lingkungan, secara umum kebijakan ke depan yang akan dilakukan adalah memperkuat upaya peningkatan daya dukung dan pemulihan kualitas daya tampung lingkungan hidup. Upaya tersebut dilakukan dengan menerapkan kebijakan (1) pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; (2) pemeliharaan kelestarian SDA dan LH dan peningkatan kemampuan SDA dalam mendukung pembangunan berkelanjutan; (3) peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola lingkungan; (4) penguatan kelembagaan pengelola lingkungan hidup; (5) harmonisasi kerangka regulasi dan terlaksananya kepastian hukum dan penyelesaian konflik pemanfaatan lingkungan hidup; serta (5) peningkatan ketersediaan data dan informasi kualitas SDA dan LH yang memadai sebagai dasar perencanaan pembangunan.

Selanjutnya, untuk memperkuat sistem peringatan dini, akan dilakukan upaya, antara lain, (1) peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola sistem peringatan dini iklim dan cuaca; (2) penguatan kelembagaan serta peningkatan iptek dan penelitian guna memperkaya kualitas sistem informasi; (3) peningkatan kualitas instalasi dan pemeliharaan instrumen penyedia data untuk memastikan kualitas hasil keluaran; (4) peningkatan akurasi jangkauan dan kecepatan penyampaian informasi dengan menambah dan membangun jaringan observasi, telekomunikasi dan sistem kalibrasi serta mendirikan pusat basis data dan informasi yang

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 134-147)