Menurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan
sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan
legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.
Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan
oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan
menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk
mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena
warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan
I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G
45
Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak jawaban yang pasti.
memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan tangisan di tengah wiridan mereka.
Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga Tegaldowo.
Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.
Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015).
hidup masyarakat industri.
yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.
Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara dan lingkungan.
berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.
ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.
Menurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.
Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan
Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak jawaban yang pasti.
memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan tangisan di tengah wiridan mereka.
Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga Tegaldowo.
Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.
Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015).
hidup masyarakat industri.
04
46
bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan
yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun
turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra
terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.
Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai
dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol
terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain,
dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih
banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan
dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan
dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan
mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik
semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI
menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan
pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara
itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial
dan lingkungan.
Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok
berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari
pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis
sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi
lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk
memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep
yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung
pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang
ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang
pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.
ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.
Menurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.
Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan
04
Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat
akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat
konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non
partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan
(grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak
kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan
jawaban yang pasti.
Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya
memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan
kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di
masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk
Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum
juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan
mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan
intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi
dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya,
merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis.
Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan
produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa
keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan
masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan
protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam
tangisan di tengah wiridan mereka.
Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat
keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui
oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga
seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa
Tegaldowo.
I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G
47
Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.
Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015).
hidup masyarakat industri.
yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.
Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara dan lingkungan.
berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.
ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.
Menurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.
Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan
Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak jawaban yang pasti.
memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan tangisan di tengah wiridan mereka.
Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga Tegaldowo.
Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.
Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015).
hidup masyarakat industri.
48
yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.
Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini