ka 'h B SI , ang. "
11}
Taksi itu melambat. Parada memberi petunjuk gang mana yang harus dilewati untuk sampat di rumah seder hananya.
"Sering kaupulang ke Medan?" tanya Parada tidak habis habisnya.
Berbeda dengan sebelumnya, kali int Batu Noah Gultom tidak langsung menjawab. Roman wajahnya berubah drastis. Kakinya seperti menyeret masa lalu dengan langkah tertatih tatih.
"Hei, sering kaupulang?" "Tidak pernah lagi, Bang."
"Tidak kasihan kau sarna mamak kau di sana?"
''Aku punya masa lalu yang kelam di sana. Aku lari ke Jakarta."
Wajahnya benar-benar muram sekarang. Ketika taksi itu berhenti persis di depan rumah Parada Gultom, sopir muda itu buru-buru membukakan pintu. Dia tidak ingin diburu masa lalu. Parada tidak ingin menyelidikinya lebih jauh.
"Kauambil saja kembaliannya. Baik-baik kau, ya!" Setiap kali kebaktian Minggu, gereja HKBP Pondok Bambu senantiasa dipenuhi jemaat. Keluarga Parada Gultom salah satunya. Huria Kristen Batak Protestan, bukan sekadar perkumpulan ibadah, melainkan juga budaya. Area di mana suara-suara keras dengal! nada tinggi sahut-menyahut. Derai tawa lebih kencang dari biasanya. Kemudian, tenang dan diam dalam kebaktian. Setelah itu pecah lagi, puluhan profesi memisahkan hari-hari jemaat ini.
"Eh, kau .... "
Satu sosok di bangku tengah menghentikan langkah Parada yang tengah menggiring anak bungsu dan istrinya
111; E . 5 .
I TOkeluar gereja. Wajah itu dia kenali. Tidak terlalu akrab, tetapi dia pernah mengenalnya.
"Eh, Abang," balas sosok itu. "Sering kau kebaktian di sini?"
"Tidak juga, Bang. Tapi aku senang keliling HKBP seputar Jakarta."
"Sambi! cari penumpang kau, ya?" goda Gultom. "Minggu pagi sampai siang, aku libur, Bang .. "
"Hebat juga kau.
Ah
ya, bagrumana kalau kaumampir ke rumahku sekarang?" Insting jurnalis Parada bangkit. Men desak untuk menjebak wajah lugu itu. Dia ingin tahu cerita kelam masa lalu Gultom muda itu.Tidak butuh waktu lama menunggu anggukan kepala Batu Noah Gultom. Basa-basi dengan Nyonya Gultom, dia sepakat untuk bertamu ke rumah sang redaktur. Pikir Gultom, tentulah anak muda itu berharap dia akan direkrut sebagai wartawan
Indonesiaraya.
Kalau benar kisah kelamnya benar benar tragis, sedikit simpati pantas diulurkan untuk Gul�om malang ini.Setelah menghabiskan satu porsi nasi goreng buatan Nyonya Gultom, mereka pindah duduk ke teras. Nyonya Gultom menemani si bungsu makan. Semen tara, anak sulung dan tengah mereka tinggal di gereja, mengikuti sekOlah minggu. Parada melempar sebungkus Djarum Super. Tidak lama asap rokok sudah mengepung pelataran depan rumah.
''Jadi, ceritanya kau pelarian di sini? Apa yang sudah kau perbuat di Medan sana?" Tanpa basa-basi, Parada lang sung pada alasan mengapa Gultom muda itu dia ajak kemari.
"Ah .... "
Mendung menggelayati wajah mirip Portugis milik Batu. Ada keinginan untuk bercerita, tetapi timbul pula
Rahasia Meede
kekuatan mencegahnya. Batu tersendat pada tepian curam penuh karang.
"Ceritanya panjang, Bang."
"Ceritakanlah, siapa tahu aku bisa bantu kau. Atau teng-gorokan kau perlu dipancing dengan secangkir kopi?"
''Ah, tak usahlah, Bang." "Kopi Luwak, kau t� mau?" "Nanti saja."
"Ceritalah. Ah, mana mungkinlah GultomJakarta macam aku akan biarkan kauhidup macam begitu?"
"Kenyataannya, itu pernah terjadi, Bang."
')\h mana Il}ungkin? BatakJakarta macam aku saja masih mengerti bagaimana kuatnya kekerabatan marga."
"Ketika pertama kali datang ke sini, aku tinggal bersama Amang Uda. Ada barang sebulan lamanya. Tetapi, dia men dapat kabar dari kampung. Tidak lama aku diusirnya." Tanpa sadar, Batu masuk perangkap. Dia mulai bercerita.
')\h, tidak mungkin. Adik Bapak kau tega mengusir?" . "Ya. Hukuman setimpal untuk l�laki yang dituduh men cemarkan nama marga di Samosir."
"Bagaimana ceritanya?" Parada menggeser duduknya. Kepalanya diruncingkan. Permukaan wajahnya berubah jadi telinga. Siap mendengarkan sebuah cerita. Perlu secangkir kopi luwak untuk mendorong cerita ini mengalir bersama darah ke otak. "Ros, kaubikinkan dua cangkir kopi!" teriaknya kepada sang istri.
"Semenjak SMA di Sa.mosir, aku telah dijodohkan dengan paribanku. Adat kebiasaan yang masih dipertahankan. Anggap namanya Rotua. Ya, memang namanya Rotua. Dia dua tahun di bawahku. Tanpa dijodohkan pun, aku telah jatuh cinta p�danya sejak kelas tiga SMP. Kulitnya cokelat, rambut
n6 E . S.
I TOkeriting. Aku suka perempuan berambut keriting," Batu melirik Parada. Dia duga lelaki itu akan tersenyum, tetapi ternyata tidak. "Perjanjiannya, kami akan menikah setelah aku lulus kuliah. Kemudian, aku berangkat ke Medan, kuliah hukum di Nomensen. Tidak ada perempuan yang menarik bagiku, di hatiku hanya ada nama Rotua.· Dua tahun kemudian, dia menyusul ke Me�an. Kuliah hukum juga, tetapi di usu. Abang tahu USU, kan?" Dia intip lagi roman muka Parada. Lelaki itu menganggukkan kepala. Pertanyaan itu sekadar memastikan Parada masih mengikuti. "Bukankah masa depan kami berdlJ,a tampak indah di depan mata? Setelah aku lulus nanti, kami kawin. -Lalu, lsami berdua bisa ke mana saja dengan gelar sarjana hukum itu. Ah, Abang tentu mengerti, pada saat kita dilamun keindahan, satu satunya yang kita takutkan adalah kejutan. Hal itu yang datang beberapa saat setelah aku wisuda .... "
"Apa yang terjadi?" Parada tertegun. Cerita yang lumayan untu� minggu siang yang panas di Pulo Gadung.
"Rotua hamil."
o "Kau menghamilinya?"
"Ah,
sarna saja pikiran Abang itu dengan orang kam pungku. Sampai sekarang, 'barang' ini hanya aku gunakan untuk kencing. Aku tidak mau mempermainkan perempuan dengan kemaluan. Terlarang!""Hebat juga kau. Jadi, siapa yang menghamilinya kalau begitu?"
'�ndai aku tahu, aku tidak berada di Jakarta sekarang," Gultom membakar lagi satu batang rokok.
j
a d'�" 1."Yang orang tahu di kampung, di Medan Rotua hanya dekat dengankuo ltu memang betul. Tetapi yangO tidak kami