• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suhadi memo tong dengan nada tinggi

Dalam dokumen RAHASIA MEEDE (Halaman 111-116)

"Oh, oke, maaf," sahut Cathleen gelagapan. Merdeka bagi

Suhadi lebih bermakna dari apa pun. "Itulah dasar hipotesis

saya, Pak Suhadi."

"Apalah artinya utang dibanding kemerdekaan?" Suhadi

menanggapi dengan sinis.

"Bukankah utang adalah jagal bagi kedaulatan?" sergah

Cathleen.

"Cathleen kurang menganalisis sejarah dengan baik.

Tujuh tahun setelah penyerahan kedaulatan itu, Kabinet

Ali

Sastroamidjojo Dua tidak mengakui semua utang itu. Bukan­

kah itu yang kita sebut dengan kemenangan yang tertunda?

Tidakkah Cathleen pernah membaca semua riak zaman itu?"

Ya. Walaupun sejarah tidak menyc;>rotnya dengan baik.

Cathleen mengikuti riak zaman itu. Jawaban itu bahkan sudah

dia perkirakan. Pada saat

Ali

Sastroamidjojo naik menjadi

Perdana Menteri untuk kedua kalinya pada tahun

1956,

hubungan Indonesia dengan Belanda semakin memburuk .

terkait masalah Irian Barat yang berlarut-larut. Penyelesaian

RahaSla Meede 101

status Irian Barat, satu tahun setelah penyerahan kedaulatan tidak pemah ditepati pihak Belanda. Akhimya pada tanggal 9 April 1956, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo meng­ umumkan secara sepihak, menolak untuk mengakui utang negara sebesar 3,661 miliar gulden atau delapan puluh lima persen dari jumlah yang hams dibayarkan. Keputusan ini diperkuat dengan keluamya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1956 yang memb,erikan dukungan terhadap kepu­ tusan kabinet Ali. "

"Irian Barat pancingan yang sempuma, bukan?" Suhadi masih merasakan aroma kemenangan diplomasi itu. "pengan membiarkan pihak Belanda menunda-nunda penyerahan Irian Barat, kami punya alasan yang kuat untuk memutihkan utang."

"Saya mengagumi kecerdasan diplomasi itu," Cathleen memuji terus terang. "Tetapi, apakah mungkin keputusan berani itu diambil dengan hanya berjudi pada hitung-hitung­ an di masa depan?"

"Apa ,maksud Cathleen?"

"Saya pikir, delegasi Indonesia pada saat itu punya jami­ nan yang hanya diketahui segelintir orang."

"J aminan apa?"

"Jaminan bahwa nominal utang itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekayaan yang ditinggalkan oleh kolo­ nial Belanda. Bukankah begitu, Pak Suhadi?"

"Coba Cathleen sebutkan, apa yang ditinggalkan oleh Belanda? KPM, BPM, De Javasche Bank, atau perkebunan-- perkebunan luas lengkap dengan Nyaiperkebunan--nya? Jika itu yang

dimaksud, maka jaminan itu adalah omong kosong " Pan­ dangan mata Suhadi mendikte, dia bukan lagi pria" timur yang ramah. "Sekarang coba Cathleen perhatikan, semua pengambilalihan itu terjadi justm setelah utang-utang

ter-102 E . S . ITO

sebut tidak diakui. Pada 13 Descmber 1957, KSAD AH Nasution memerintahkan perwira-perwira Angkatan Darat untuk mengambil alih semua perusahaan Be1anda. Bersamaan dengan gelombang pengusiran 46.000 orang Belanda yang bermukim di negeri ini."

"Betul, tentu saja," potong Cathleen. Dia tidak mau terkesan begitu bodoh di hadapan Suhadi. "Tindakan itu diambil sebagai reaksi kegagalan diplomasi pada sidang u­ mum PBB, 29 November 1957. bengan 40 suara setuju,

25 tidak setuju, dan 11 suara abstain, Indonesia gagal men­ dapatkan kourum dua pertiga untuk memasukkan sengketa Irian Barat untuk dibicarakan di PBB."

"Tepat. PBB, lembaga itu selamanya menjadi alat ke­ pentingan Amerika dan sekutunya. Kami tidak bisa

memer-. "

cayamya.

"Yang saya maksud tentu s-aja buhn jaminan seperti itu," Cathleen kembali pada pokok pembicaraan.

Cukup lama Suhadi tidak menanggapinya. Awan kelam di luar menyantap matahari. Rip.tik hujan mulai berjatuhan. "Jaminan apa?" Suhadi nyaris berteriak. Keramahannya telah sima diterkam gelap emosi. Sosok cantik di depannya tampak. seperti Medusa dalam mitologi Yunani. Dia tidak sudi menatapnya.

"Kekayaan VOC yang terpendam. Rahasianya tersimpan dalam sebuah dokumen KMB yang tidak pernah dipubli­ kasikan."

"Omong kosong!"

Suhadi jengkel. Dia berdiri, membayar tagihan makan, dan kemudian langsung pergi meninggalkan Cathleen yang masih terpana. Dia berlalu, menyeberangi jalan menantang hujan.[]

1 1

"W

A L L 0 N

,

A P A

kaubisa menentukan usia tembok bam

itu?" Pertanyaan Rafael seperti menerbitkan antusiasme bam. "Aku sudah bisa menebak umur komposisi bahannya. Sedikit perekat dengan banyak pasir ditambah sedikit cam­ puran pasir putih. Usianya antara lima puluh hingga delapan puluh tahun. Dalam rentang umur kolonialisme, tembok itu cukup muda. Tetapi, dibanding kecepatan putaran pembahan sekarang, tembok itu . cukup tua."

"Asumsikan bahwa benar pribumi yang menuliskan se'" mua ini. Tentu mereka menuliskannya setelah turon ke bawah. Untuk apa mereka tumn ke bawah?" Rafael seolah-olah ber­ tanya pada dirinya sendiri.

"Untuk mengejek kita, n Erick menanggapi sekenanya. "Tunggu dulu," Rafael memotong. Wajah muramnya bembah menjadi cerah. "Erick, apa kau membawa turun sketsa

water leiding?"

Erick mengeluarkan selembar kertas dari kantong baju­ nya, kemudian memberikannya kepada Rafael. Pria separuh botak itu, mengamati sketsa alur pipa bawah tanah yang dibuat oleh Erick.

"Pulpen?" pinta Rafael pada Robert.

Sebuah garis hubung dia tambahkan pada sketsa. Garis

to'r E . 5.

I TO

itu ditarik dari air mancur pada Stadhuisplein sampai ujung selatan. Dia mengamati tambahan garis itu, kemudian ter­ senyum sendiri. Erick dan Robert . melongo diam. Peluh mereka telah menguap, tidak ada lagi peluh untuk semangat yang menggebu-gebu yang terus bertucuran. Rafael memberi isyarat kepada keduanya untuk mendekat.

"Asumsikan garis lurus ini aku tarik dengan kemiringan yang sarna, kurang dari lima belas derajat. Terus ke arah utara. Kalian tahu, di mana ujung dari garis ini?"

"Pelabuhan Sunda Kelapa," Erick spontan menjawab. "Tetapi, pipa

water leiding

tidak sampai ke sana," potong Robert.

"Memang tidak. Tetapi., bagaimana dengan De Onder­ grondse Stad? Seandainya kemiringan jalur pipa konsisten dengan kemiringan De Ondergrondse Stad," jawab Rafael mengandaskan pikirlln Robert.'

. "Sebenarnya hipotesis apa yang sekarang berkembang dalam benakmu?" Robert tidak sabar.

"De Ondergrondse Stad bukan sebuah kota, tetapi tero­ wongan panjang. Ujung utaranya adalah bibir pantai pada Pelabuhan Sunda Kelapa," jdas RafaeJ dengan singkat dan mantap.

"Lantas, kira-kira apa yang dilakukan oleh pribumi yang mungkin pernah . turun ke bawah?" Erick kurang antusias menanggapi. Dia masih terpaku pada masalah siapa yang pernah turon ke bawah.

'�Al{U telah menemukan sebuah teori," Rafael menjawab dengan nada sedikit pongah.

"Apa?" tanya Erick.

"Kalau perkiraanmu tentang umur tembok barn ini tepat, maka De Ondergrondse Stad akan memberikan sebuah teori

Dalam dokumen RAHASIA MEEDE (Halaman 111-116)