mulutnya. Pikiran aneh tiba-tiba membekap otak Guru Uban. Sekejap, dia ingin segera berlalu meninggalkan anak anak malang ini. Dia ingin pergi. Di telinganya terus bergema satu suara, seperti sebuah panggilan.
"Banda ... Banda ... Banda .... .,
Pelat tua belum dipukul dengan batu kali. Jam pelajaran belum usai. Guru Uban mengemasi kertas dan buku di mejanya. Murid-murid menatapnya dengan bingung. Cerita ' ini belum tuntas. Sebelum berlalu tanpa alasan, dia sempatkan memberi nasihat.
"JP Coen adalah seorang murid akuntansi yang murtad terhadap kodiflkasi P�cioli. Sang renaisans itu mengatakan bahwa pedagang yang sukses membutuhkan tiga hal dasar, yaitu modal yang cukup, staf pembukuan yang baik, dan sistem akuntansi yang dapat menyediakan informasi keuangan yang diperlukan. Sedangkan, Coen mengatakan bahwa perang dan dagang tidak bisa dipisahkan; Keuntungan dagang dida pat karena sukses perang. Sebaliknya, kedigdayaan persen jataan perang dipelihara dengan biaya dari keuntungan da gang." Dia menarik napas dalam-dalam sambil merapikan jas putihnya. "Nah, anak-anakku, tidak ada dosa sebuah' ilmu. Keserakahan, inilah dosa yang mengotori ilmu. Satu lagi kekejian Bangsa Eropa yang tidak boleh kalian tiru."
Guru Uban segera berlalu meninggalkan ruang kelas tanpa mampir ke ruang guru. Sepeda kumbangnya melaju. Desakan itu semakin kuat berpacu dengan denyut jantung nya. J auh dari pita suaranya bergema satu suara.
"Karega ya maregaf"
Berbuat atau mati. Semboyan Gandhi itu merasuki jiwa nya.[]
10
S O T 0 B E TA W I
yang disajikan warung pojok di pertigaan Ampera menuju Pejaten Barat, rasa;ya menggoyang lidah. Sebuah ungkapan dari mulut Suhadi untuk menggambarkan kelezatan yang tidak tertandingi. Dia mengajak Cathleen makan siang di situ. Cukup rnenyeberang jalan sekali dari gedung ANRI, kemudian jalan kaki sejauh tiga ratus meter ke arah utara. Ternyata, lidah Eropa Cathleen cepat menye suaikan diri dengan selera orang tua itu. Dia lupa bahwa nanti masih ada janji makan malam dengan Rian dan Lusi. Kegamangan diskusi dengan pria tua yang begitu bangga mengucapkan kata merdeka itu, mulai sirna. Percakapan antara dua generasi dengan latar belakang berbeda mengalir lancar sebagaimana yang diharapkan Cathleen. Penyesuaian diri di antara mereka begitu cepat, entah siapa yang memulainya. Mungkin hal itu bisa terjadi karena mereka dilahirkan oleh pabrik intelektual yang sarna, pendidikan Belanda. Walaupun sebenarnya Suhadi tidak seratus persen mendapat pendidikan seperti itu. Pertengahan tahun lima puluhan, dia mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Atas pada sebuah sekolah Methodist di Palembang. Sebagian besar gurmiya berasal dari Belanda."Suhadi Pudjakesuma."
88
. Rahasia M eede . 89
Namanya ternyata tidak sependek tubuhnya. Tetapi, na ma belakang itu tidak lagi pernah dipakai oleh Suhadi. Sebab, dia merasa konyol dengan nama itu."Bukankah nama itu terdengar bagus?" tanya Cathleen. "1'idak lebih dari akronim yang melekaf pada hampir sebagian besar ternan masa kecil saya."
"Bagaimana bisa?" Tadinya Cathleen menduga Pudja kesuma adalah marga yang dilekatkan di belakang nama.
"Putra Jawa Kelahiran Sumatra, itulah Pudjakesuma." Cathleen tak kuasa menahan tawanya. Ekspresi wajah Suhadi yang cemberut saat menjelaskan hal itu tampak ko-nyol di matanya. .
Pria sepuh senantiasa suka bercerita, demikian pula de ngan Suhadi. Bapak dan ibunya berasal dari Jawa. Daerah mana tepatnya, tidak dia ceritakan. Pertemuan kedua orang tuanya justru jauh dari tanah asal. Di bawah terik matahari Plaju keduanya beIjumpa. Menjelang akhir tahun dua pu luhan, bapaknya diterima bekeIja pada Bataafsche Pe�oleum Maatschapij atau BPM yang beroperasi di Plaju, sebuah daerah di hulu Sungai Musi, tidak jauh dari Palembang. Sedangkan ibunya telah lama berada di sana, ikut dengan kakeknya.
Walaupun berusaha bercerita sedetail mungkin, Suhadi tidak �egitu tahu, kapan keluarga ibunya pindah dari Jawa ke Plaju. Cerita yang pernah dia dengar, dan ini pula yang dia ceritakan kepada Cathleen, kakeknya sudah bekerja untuk BPM sejak Koninklijke dan Shell Transport and Trading Company bergabung membentuk BPM. Hanya berselang beberapa tahun sejak kilang minyak Plaju mulai bekeIja. Jika dia runut lagi dengan fakta sejarah, ini yang m�nguatkan ciri Suhadi sebagai orang arsip. Kilang minyak Plaju telah mulai beroperasi pada tahun 1900. Lima belas tahun setelah