• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rahasia Meede 121

Dalam dokumen RAHASIA MEEDE (Halaman 132-136)

kubur akan rriengutuk kita, jika- nama yang kita pinjam dari apa yang telah dia bangun di masa lalu ini dikotori dengan

. " gOSlp.

"Lantas?"

''Ah, dugaan kita ini tidak usah diberitakan, Cok. Kau­ kembangkan sendiri dengan insting investigatif Aku yakin, tempat-tempat itu bukan sebuah kebetulan. Kaucoba curi­ curi berita di Trunojoyo, siapa tahu ada bocoran dari polisi. Jika dugaan kita ini betul, mungkin kita bisa perkirakan di

tempat mana lagi akan ditemukan mayat orang penting." Rentetan kalimat itu dengan ringan keluar dari mulut Parada.

Mayat lagi,

Batu memandang jijik. Parada Gultom tidak jauh berbeda dengan pembunuh JP Surono, sarna-sarna maniak. Satu maniak nyawa, satu lagi maniak berita.

"Tempat yang diawali huruf B Iagi?" pancing Batu. "Ya, kau kira-kiralah tempatnya."

"Kira-kira tempatnya?" Batu hampir tidak percaya. Ba­ tinnya mengumpat:

Cultom Idiot. Berapa banyak tempat dz

dunia ini yang diawali huru! B? Banda Aceh, Balige, Bandung,

Bali, Bima, Banjarrnasin, Bulukumba, Bone ... atau .... Barcelo­

na, Boston, Brisbane, Bombay, atau Botswana di Afrika. Berapa

banyak? Seluruh jemari di gedung

Indonesiaraya

ini tidak akan

cukup untuk menghitungnya.

"Kau "boleh keluar. sekarang. T�lis berita yang bagus, tidak perlu dramatis. Jangan ada kesan Obituari. Kita bukan koran cengeng," ucap Parada tanpa beban.

Batu berlalu dari hadapannya. Batinnya terus-menerus mengumpat. Interupsi Parada Gultom menambah beban penulisan berita. Dia teringat Sonai, semoga gadis manis Papua itu tidak punya redaktur setan seperti Parada Gultom.[]

1 3

L A D IE S NIG H T di

Centro.

Musik, tubuh-tubuh molek setengah terbuka, derai tawa, denting gelas minuman menyatu dalam sebuah pesta di klub Centro yang terletak di daerah Dharmawangsa. Salah satu titik kemakrnuran di selatan Jakarta. Tema

ladies night

malam ini adalah

Woman on Top.

Jeritan dan goyang perempuan mengundang berahi setiap pria yang beredar di mangan itu. Semakin malam suasana bertambah menggairahkan. Amelia Lusiana tidak salah membawa Cathleen dan Rian menghabis­ kan m�am di tempat ini.

Lusi,.demikian dia minta dipanggil, adalah tipikal gadis pribumi sejati. Kulitnya cokelat t�rang, rambut hitam sebahu, mata belok indah, hidung kecil, dengan sedikit lesung pipi. Tinggi badannya rata-rata perempuan "Indonesia, tidak lebih dari seratus enam puluh lima sentimeter. Tubuh lincah de­ ngan raut muka menyenangkan. Dia adalah gadis pribumi tulen yang akan membuat iri perempuan yang menginginkan kecantikan artifisial.

Ketika mereka menemukan sebuah tempat enak di salah satu sudut mangan, kepala Lusi mendekati telinga Cathleen. "Pesta sampai pagi. Minum, goyang, dan mabuk," llcap­ nya bersemangat. "Perempuan mabuk akan punya banyak anak." .

Rahasia M eede

"Bagaiman� bisa?" Cathleen memandangnya heran. "Sebab, kita tidak tahu kapan dibikinnya," bisik Lusi dengan pandangan nakal. Suaranya nyaris ditelan ingar-bingar

musik. . .

"Hahaha .... " tawa Cathleen lepas. "Tapi, anak kita tidak akan tahu siapa bapaknya."

"Kamu memang gadis Belanda yang aneh. Perempuan cantik tidak akan sulit mencari bapak untuk anaknya. Kon­ sepsi bapak biologis sudah hilang, yang penting bapak materi .. Anak kita tidak hidup dari sejarah setetes sperma, tetapi dari

"

uang.

"Hahaha ... sarkastik!" tawa Cathleen kembali pecah. Klub malam adalah pelarian sempurna dari masalah yang dia hadapi dengan Suhadi tadi siang.

"Hei, bisik-bisik, ngomongin apa?" Rian yang dari tadi diam, jadi terpancing.

"Mau tau aja, urusan perempuan," jawab Lusi sekenanya. Dari arah panggung, terdengar jeritan bersahutan. Leng­ kingan itu makin kuat ketika dari balik panggung muncul sekelompok pria. Sebuah band yang tengah digandrungi .perempuan Jakarta.

"Donnie ... Donnie ... Donnie ... !"

Mereka memanggil-manggil sebuah nama di atas pang­ gt!ng. Blitz kamer� telepon genggam sambar-menyambar mengabadil,<an tubuh dan senyum �ndah sang bidua:wan. Seorang perempuan nekat naik ke atas pan

g

gung,' setengah gila dia rengkuh tubuh pria itu, ciumannya mendarat di mana-mana. Perempuan lain di bawah panggung menjadi senewen, lantas berteriak-teriak.

"Mau dong, Donnie ... mau dong ciumannya .... " Kegilaan khas perempuan mapan ibu kota. Manusia­ manusia mekanik yang tidak punya gagasan untuk mengubah .

E . 5 . I TO

dunia. Lusi ikut terpancing. Dia berdiri, tangan kirinya menarik Cathleen.

"Ayo ke sana," ajaknya. Tetapi Cathleen bimbang, dia melirik Rian.

��da Band, ya?" tanya Rian sinis.

"Yo'i.

Gila,

aku pengen lihat Donnie Sibarani dari de kat, .. Lusi semakin tidak sabar. "Ayo Cath."

'�u di sini saja dengan Rian," Cathleen menolaknya . halus. Dia tidak suka terlibat -dalam keriuhan. Cukup menon­

ton saja dari jauh. Lusi angkat bahu, kecewa. Dia kemudian berlalu, berbaur dengan kegilaan sporadis.

"Ada Band?" Cathleen masih belum mengerti.

"Band lokal yang mengaku paling menge�i wanita," jawaban Rian semakin terdengar sinis.

Cathleen tidak kuasa menahan tawa. Sangat wajar pria seperti Rian cemburu pada s�buah band yang telah me­ ngalihkan perhatian perempuan-perempuan dari dirinya.

"Mau minum apa?" tanya Rian.

"Aku ikut kamu saja," Cathleen menjawab setengah tersenyum.

Tangan Rian cepat terangkat memanggil pelayan. Tam­ paknya dia telah merencanakan minuman yang tepat untuk . menemani malam bersama mahasiswa S2 Leiden yang cantik

ini. "Dom Perignon!"

"Dulu kami punya Suharto."

Sadar pesona tubuhnya telah dikalahkan oleh penampilan Ada Band, Rian menghidangkan sebuah topik pembicaraan pada Cathleen. Sehebat-hebatnya Donnie '�da Band", tentu pria itu hanya bisa melantunkan lagu sendu dan cengeng. Dia tidak akan mampu menelaah masalah sosial-ekonomi sehebat Rian.

Dalam dokumen RAHASIA MEEDE (Halaman 132-136)