Citayam. Dia seorang nabi, menyampaikan sabda Tuhan yang tidak dimengerti.
"Betapa indahnya sejarah sebuah ilmu," Ian jut Guru • Uban berharap ucapannya melamunkan murid-murid ma
larignya pada impian dunia lain, "tetapi, petaka bagi sebuah ilmu apabila jatuh pada orang yang salah. ltulah yang terjadi pada ilmu akuntansi. Dia tumbuh menjadi perawan tua yang membosankan. Sebuah tangan jahat kemudian meminangnya. Kalian tahu, tangan siapakah itu?"
Murid-murid semakin bingung. Mereka tidak mampu mencerna apakah tangan itu sebuah metafora atau bagian dari benda bernyawa. Tetapi, kebingungan itu tidak lama, ketika di papan tulis Guru Uban menuliskan �ebuah nama:
Jan Pieterszoon CoenIJP Coen.
"Pernahkah kalian mendengar nama itu?" Guru Uban senang melihat kening-kening belia yang berkerut. itu. Ke bingungan tanda berpikir. Ia tinggal diselipkan nalar dan logika. "Kamu, Anakku," tunjuk Guru Uban pada murid perempuan yang mengenakan bando biru.
"Kalau tidak salah dia salah seorang pemimpin kompeni, Pak," jawab murid itu lugas.
"Tepat sekali, Anakku," Guru Uban semakin senang. "Dia berasal dari Hoorn. Antara kota itu dan Venesia terbentang jarak ya.ng jauh. Jalur darat melewati banyak negara. Sedang
kan jalur laut mengitari separuh Benua Eropa. Jarak itulah yang ditempuh seorang pemuda bertubuh ceking dengan dagu lancip dan tulang pipi yang cekung pada awal abad ketujuh belas. Dari Hoorn, dia mengembara ke Venesia. Di Kota Pacioli itu, dia mempelajari akuntansi dan kemudian menjadi akuntan. Sementara, bandar-bandar di negerinya tengah dilanda euforia penemuan jalur menuju Timur Jauh. Tidak lama kemudian, dia ikut dalam sebuah pelaya�n
me-\
E . S . I TO
nuju Timur Jauh, kepulauan
\
rempah-rempah. D;a menga gumi Pacioli, dalam benaknya perhitungan akuntansi telah menjadi rumus abadi. Laki-Iaki ceking itulah yang sekarang kita kenaI dengan nama Jan Pieterszoon Coen. Kelak di • kepulauan rempah-rempah, dia tidak akan dikenal sebagaik " seorang a untan.
Cerita itu kembali memukau murid-murid kelas dua sosial ini. lnilah dunia lain selain keseharian yang membosan kan di gubuk-gubuk pinggir rel kereta. Dua �rang murid yang hendak minta izin ke belakang mengurungkan niat. Mereka ingin tahu kelanjutan cerita Guru Uban. Sementara di depan kelas, Guru Uban membuat tabel mirip buku besar. Sambil mengisi kolom dan baris, dia lanjutkan penjelasan.
"Sebuah buku besar, sebagaimana kalian lihat di depan, pada dasarnya hanya memuat dua catatan. Debet dicatat pada sisi kiri dan kredit pada sisi kanan. Luca Pacioli yang memo pulerk.an' formula itu menyebutnya dengan istilah deve dare dan deve avere. Dalam dasar-dasar ilmu akuntansi, formula itu bertahan hingga saat ini. Tidak ada perubahan berarti. ltu yang membuat ilmu akuntansi tampak seperti perawan tua yang membosankan. Tetapi, di tangan
JP
Coen formula itu jadi menakutkan." Suara Guru Uban meninggi beberapa oktaE Getaran suaranya seperti me nahan emosi. Panggilan sunyi dari masa lalu."Kenapa, Pak?" Seorang murid laki-Iaki memberanikan diri tintuk bertanya.
"JP Coen adalah seorang akuntan sejati. Dia tekun mencatat setiap transaksi sebagaimana pesan Pacioli. Uang dia catatkan sebagai d�bet dan darah dia ca�atkan sebagai kredit. Keduanya dituliskan pada sebuah buku besar bernama Nusantara. "
Rahasia M eede
Murid-murid terkesima, mereka bagaikan mendengar
sebuah deklamasi puisi dari Generasi
'45.Suara langka yang
sulit ditemukan dalam dunia rusak yang mereka warisi ini.
"VOC dan Monopoli Dagang."
Guru Uban melirik jam tangan kinetiknya. Dia baru
menghabiskan satu jam pe1ajaran. Masih ada jatah empat
puluh menit lagi. Mata-mata belia itu menunggu lanjutan
narasinya. Va, generasi sekarang butuh sebuah cerita. Dunia
rusak yang mereka warisi telah menghapus jejak masa lalu.
"Membicarakan kekejian JP Coen artinya kita harus
memahami VOC." Dia menunjuk seorang murid laki-laki.
�nakku, kamu tahu VOC itu apa?"
"Eeee ... eeee ... eee ... anu, Pak." Murid malang �tu hanya
bisa garuk-garuk kepala. Pertanyaan itu tidak akan pernah
diajukan mandor apabila kelak dia melamar jadi buruh kontrak.
"Kompeni, Pak," murid perempuan yang mengenakan
bando bim menyelamatkan kawannya.
"Tepat sekali, Anakku, kita menyebutnya demikian. Me
nyederhanakan arti sesungguhnya dari serikat dagang itu. Kita
harus memulai kisahnya dari pergeseran kekuatan di laut
dunia. Adakah di antara kalian, anak-anakku, yang masih ingat
bangsa mana yang menjadi pionir pencarian dunia baru?"
"Spanyol dan Portugis, Pak," kembali murid perempuan
berbando biru yang menjawab. Anak tukang sate kambing
di belakang stasiun itu paling menonjol di antara kawan
kawannya. Guru Uban tidak hendak memberikan perhatian
lebih padanya. Anak malang, paling-paling jalan hidupnya
berakhir pada kursus singkat akuntansi.
"Kamu benar, Anakku. Tetapi pada akhir abad keenam
belas, pergeseran kekuatan laut tengah terjadi. Sejak berhasil
menghancurkan armada Spanyol dalam pertempuran
Grave-84-
E . 5 . I TOlines pada 29 Juli 1588, armada Inggris muncul sebagai kekuatan yang menakutkan. Menguasai laut artinya menguasai jalur perdagangan. Lewat laut mene!'Ilukan koloni baru yang akan menjamin kemakmuran bagi negeri induk. Semen tara di negeri Be1anda, euforia pelayaran liar be1um menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Sejak · armada Jacob van Neck berhasil mencapai Kepulauan Maluku pada tahun 1600, banyak ekspedisi dengan bendera berbeda dikirimkan ke Timur Jauh. Ini jelas menimbulkan persaingan. Pelayaran liar itu mereka sebut Wilde Vaart. Secara strategi, hal ini jelas merugikan. Sementara, Inggris terus melakukan konsoli
dasi perdagangan. Di Timur Jauh, kekuatan Portugis dan Spanyol melemah."
Guru Uban menuliskan sebuah tulisan asing lagi di papan tulis. Bagi murid-murid lugunya, sang guru tampak seperti Sulaiman. Mengendarai angin, menyusuri negeri negeri asing, dan menguasai bahasanya.