• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekomendasi Adelaide :

Dalam dokumen Komitmen Global Promkes (Halaman 46-66)

ADELAIDE

MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN BERWAWASAN SEHAT

Konferensi Internasional Promosi Kesehatan ke dua dilaksanakan di Adelaide, Australia pada tanggal 5 - 9 April 1988. Konferensi yang diadakan hanya kurang lebih 2 tahun setelah Konferensi Promosi Kesehatan yang pertama di Ottawa ini diikuti oleh hampir sama dengan negara-negara yang hadir di Konferensi di Ottawa. Konferensi Promosi Kesehatan yang kedua ini mengambil tema Membangun Kebijakan Publik yang Berwawasan Kesehatan, merupakan strategi Promosi Kesehatan yang pertama dari Ottawa Charter. Dipilihnya tema ini sebenarnya untuk lebih mengoperasionalkan strategi promosi kesehatan dalam Ottawa Charter tersebut, sehingga lebih memudahkan implementasi di negara-negara peserta konferensi. Hasil kesepakatan Konferensi Promosi Kesehatan di Adelaide ini dituangkan dalam rekomendasi Adelaide (Adelaide Recommendation), yang isi dan pembahasannya dapat diikuti dalam uraian berikut ini.

LINGKUNGAN DAN PERILAKU KONDUSIF BAGI KESEHATAN

Pemerintah di semua negara menempati peran yang sangat strategis dalam menanggulangi masalah-masalah sekaligus meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Yang membedakan adalah seberapa dominan pemerintah mengatur, dan di sisi lain seberapa besar kemampuan dan partisipasi masyarakat dalam program kesehatan. Semakin tinggi kemampuan masyarakat, maka seharusnya peran pemerintah diarahkan pada fungsi pengaturan dan pengawasan. Meskipun demikian, hingga kini jumlah negara dengan masyarakat yang berkemampuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan kesehatan sangat sedikit. Dengan kata lain sebagian besar negara tergolong pada kategori negara sedang berkembang, bahkan pada beberapa belahan dunia, utamanya di Afrika, Asia dan sebagian Amerika Selatan tergolong sebagai negara terbelakang. Bagi negara-negara tersebut peran pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan kesehatan masih besar. Untuk mempercepat sekaligus meningkatkan keberhasilan program, pemerintah harus berkomitmen penuh dalam memimpin pelaksanaan program-program kesehatan. Dengan demikian masuk akal walaupun lima strategi dari Deklarasi Ottawa tersebut saling terkait, namun kebijakan publik berwawasan sehat juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap 4 strategi yang lain.

36 PROMOSI KESEHATAN KOMITMEN GLOBAL OTTAWA-JAKARTA-NAIROBI

Konferensi kedua promosi kesehatan ini menghasilkan seperangkat strategi guna mendukung terciptanya masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang sehat dan berperilaku sehat. Strategi tersebut meliputi:

a) Kebijakan publik berwawasan kesehatan

b) Mendorong terwujudnya revitalisasi nilai-nilai asasi kesehatan c) Kemerataan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan d) Akuntabilitas dalam program kesehatan

e) Meningkatkan program melampaui “pelayanan” f) Kemitraan

MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PUBLIK BERWAWASAN KESEHATAN

Kebijakan publik berwawasan kesehatan adalah seperangkat kebijakan, peraturan maupun regulasi yang menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan. Adanya kebijakan publik ini akan mendorong segera terwujudnya lingkungan fisik, maupun lingkungan sosial budaya yang mendukung, yang memungkinkan setiap insan hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat. Kebijakan publik yang berwawasan kesehatan diharapkan mampu mendorong setiap sektor, utamanya sektor pemerintah untuk senantiasa mengedepankan pentingnya kesehatan dalam setiap formulasi kebijakannya.

Setuju atau tidak setuju, peran pemerintah dalam menyelenggarakan program kesehatan masih sangat penting. Pemerintah memiliki jangkauan program yang sangat luas, serta ditunjang oleh anggaran yang besar. Oleh karena keberhasilan program-program kesehatan juga masih diwarnai oleh besarnya peran, komitmen serta kebijakan pemerintah. Satu hal terpenting yang menjadi kewenangan pemerintah adalah menghasilkan kebijakan publik berwawasan kesehatan. Banyak kebijakan publik yang seharusnya dibuat pemerintah, misalnya terkait dengan pertanian, pendidikan, perdagangan, industri, keselamatan berlalu lintas, penggunaan transportasi massal, serta pengendalian tembakau, yang tak dapat dipungkiri sebagai kebijakan publik yang banyak ditunggu oleh masyarakat.

Salah satu contoh yang masih sangat relevan adalah merokok. Banyak orang tahu bahwa rokok adalah barang konsumsi yang mengakibatkan berbagai persoalan kesehatan, di antaranya penyakit jantung koroner, kanker dan berbagai penyakit lain, yang sudah dicantumkan dalam bungkusnya oleh perusahaan rokok, atas instruksi pemerintah. Semestinya peringatan pemerintah dapat menurunkan konsumsi rokok, namun permintaan (demand) rokok tidak kunjung berkurang. Jumlah produksi rokok di Indonesia bahkan terus meningkat, 194 milyar batang (2004), 202 milyar (2005), 220 milyar (2006), 226 milyar (2007) dan 230 milyar (2008). Bahkan pemerintah mengagendakan road map industri hasil tembakau dan kebijakan cukai tahun 2007-2020 di mana produksi rokok akan ditingkatkan menjadi 260 milyar batang. Oleh karenanya tidak mengherankan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga dalam jumlah perokoknya, yaitu 65 juta orang, atau REKOMENDASI ADELAIDE

37 PROMOSI KESEHATAN KOMITMEN GLOBAL OTTAWA-JAKARTA-NAIROBI

28% dari jumlah penduduknya (WHO 2008). Rata-rata setiap perokok mengkonsumsi sekitar 3500 batang rokok per tahun, atau 10 batang rokok per hari. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan dari segi besarnya kerugian kesehatan akibat rokok.

Di Indonesia, sikap pemerintah pusat terbelah, di satu sisi berusaha mencegah agar rakyat tidak merokok, namun di sisi yang lain masih mengharapkan cukai rokok. Oleh karenanya road map pemerintah tersebut diprediksi akan : a) meningkatkan rerata jumlah rokok yang dikonsumsi per hari, dan atau b) menambah jumlah perokok pemula. Pada tahun 2007 jumlah produksi rokok 226 milyar batang, dan pada tahun 2008 menjadi 230 milyar batang. Dengan demikian terjadi kenaikan produksi sebesar 1,8%. Dengan kenaikan jumlah penduduk Indonesia pada kisaran 2%, maka asumsi pemerintah menaikkan produksi rokok paling dominan dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk. Dengan kata lain pemerintah “membiarkan” rakyat merokok. Oleh karenanya patut diapresiasi pemerintah provinsi, kota maupun kabupaten yang mengambil sikap tegas mengendalikan konsumsi rokok. Beberapa pemerintah daerah berusaha melakukan pengendalian rokok pada beberapa tatanan, sekolah, sarana pelayanan kesehatan, tempat umum dan tempat kerja. Penelitian Fichtenberg, Chaloupka dan Saffer, serta Wakefield menunjukkan bahwa pengendalian rokok di tempat kerja tergolong efektif, walaupun masih di bawah efektivitas pengendalian pada tingkat rumah tangga.

Kebijakan publik berwawasan kesehatan adalah suatu konsep yang dapat diinterpretasikan memiliki dua pengertian, yang pertama sebagai sesuatu yang sangat menarik untuk dikonsumsi, namun di sisi lain dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengancam, terutama bagi yang tidak memperoleh manfaat langsung dari kebijakan tersebut. Konsep yang pada awalnya digunakan di bidang kesehatan masyarakat tahun 1847, mulai disebarluaskan oleh WHO tahun 1980 an.

Sudah lama diketahui bahwa kebijakan publik yang berwawasan kesehatan mempunyai dampak yang besar terhadap status kesehatan masyarakat. Sebagai contoh yang lain, kebijakan yang mewajibkan para penumpang pesawat terbang untuk menggunakan sabuk pengaman ketika sedang terbang terbukti memberikan sumbangan yang bermakna terhadap keselamatan dan kesehatannya.

Kebijakan mempunyai pengertian yang sangat luas, dan bervariasi, melibatkan hukum, peraturan serta pedoman dan prioritas anggaran. Di bidang kesehatan, bahkan wujud kebijakan ini lebih kaya. Hartsfield mengidentifikasi paling tidak ada 107 aturan kesehatan masyarakat pada 16 topik. Paling banyak adalah kebijakan terkait dengan rokok, pencegahan cedera dalam keselamatan dan kesehatan kerja (K3), kesehatan sekolah, kebisingan, pencegahan penyakit jantung, infrastruktur kesehatan masyarakat serta pengendalian rabies. Yang perlu dicatat, bahwa semua kebijakan tersebut bersifat kompleks, di mana dalam perumusannya sangat tergantung pada aspek sosial, ekonomi, politik serta keilmuan. REKOMENDASI ADELAIDE

38 PROMOSI KESEHATAN KOMITMEN GLOBAL OTTAWA-JAKARTA-NAIROBI Kebijakan dapat dianalisis menggunakan 3 domain, yaitu: a) proses terbentuknya kebijakan

b) isi kebijakan yang dihasilkan c) dampak kebijakan yang diambil

Terbentuknya kebijakan adalah suatu proses yang kompleks, didasari bukan hanya berdasarkan pada data atau evaluasi atas berlangsungnya suatu program, namun juga oleh berbagai faktor lain . Kingdon mencatat setidaknya terdapat 3 hal yang perlu dipertimbangkan dalam membuat kebijakan. Pertama adalah menilai seberapa besar masalah yang menimpa, sejauh mana agenda program yang ada, serta bagaimana komitmen pemerintah mengatasinya. Kedua, kebijakan yang ada, maupun alternatif kebijakan yang memungkinkan diambil. Adapun yang ketiga adalah pertimbangan politik. Pertimbangan politik meliputi sejauh mana suatu isu populer di masyarakat, bagaimana komitmen kekuatan-kekuatan politik, serta desakan-desakan pihak lain. Prinsipnya adalah kebijakan publik yang akan diambil tidak hanya secara teknis dapat dipertanggungjawabkan, namun dari sisi politik dan administratif layak.

Advokasi adalah alat yang ampuh untuk mendorong dihasilkannya kebijakan. Beberapa studi menunjukkan bahwa advokasi akan berlangsung efektif apabila pesan yang disampaikan jelas, sasarannya tepat dan komunikasi yang digunakan bersifat persuasif. Untuk itu diperlukan kemitraan yang kuat antara aspek penelitian dan aspek advokat. Dalam membuat kebijakan dapat digunakan dua pendekatan, yaitu: a) pendekatan berdasarkan bukti kuantitatif dan b) pendekatan berbukti kualitatif. Bukti kuantitatif terdiri dari informasi ilmiah di jurnal-jurnal, surveilans, sampai dengan evaluasi program. Informasi yang tersedia sangat kaya. Moulton dkk melakukan analisis terhadap 65 artikel dalam jurnal dan menemukan dari 52 kebijakan kesehatan masyarakat, 27 terbukti efektif, 23 kurang efektif, satu berisiko, dan satu lagi tidak efektif. Adapun bukti kualitatif dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terarah. Hasil dari pendekatan kualitatif dapat digunakan untuk menetapkan prioritas masalah, mempengaruhi aspek emosional dalam proses advokasi. Pendekatan kualitatif juga perlu dilengkapi pendekatan kuantitatif agar dapat diverifikasi sehingga kredibilitasnya terjaga . Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kombinasi antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif mempunyai dampak paling kuat dalam mempengaruhi dihasilkannya kebijakan.

Isi kebijakan berfokus pada identifikasi atas elemen-elemen spesifik kebijakan suatu kebijakan yang tampak lebih efektif. Oleh pengambil kebijakan, isi suatu kebijakan harus dirumuskan berdasarkan data dan fakta, kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian pengambil kebijakan harus mempunyai kompetensi tertentu, misalnya kemampuan melakukan sistematic review serta riset ilmiah termasuk analisis isi atas berbagai informasi sebelum suatu kebijakan diambil. Sebagai contoh, untuk menghasilkan kebijakan agar setiap anak sekolah memperoleh pendidikan jasmani, seorang pengambil kebijakan harus mengkaji secara mendalam berapa lama waktu yang diperlukan untuk berolah raga, apa bentuk olah raganya, bagaimana kesiapan guru-guru atau instrukturnya, bagaimana ketersediaan lingkungannya. Bukti-bukti yang digunakan harus relevan dengan kebijakan yang akan diambil.

39 PROMOSI KESEHATAN KOMITMEN GLOBAL OTTAWA-JAKARTA-NAIROBI

Adapun dampak kebijakan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi hulu (upstream), sisi tengah (midstream) dan sisi hilir (downstream). Dalam kasus kebijakan pendidikan jasmani untuk anak sekolah, sisi hulu dampak kebijakan dinilai dari sejauh mana dihasilkannya wilayah-wilayah di sekolah yang dapat digunakan untuk berolahraga. Di sisi tengah dampak kebijakan dinilai dari terbentuknya kelas-kelas pendidikan jasmani, dan di hilir diukur dari tingkat aktivitas fisik. Pendekatan kuantitatif banyak digunakan untuk mengukur dampak di hilir. Salah satu kerangka kerja yang banyak digunakan untuk mengevaluasi kebijakan dan dampaknya adalah RE-AIM. Dengan lima komponen yaitu :

1). Reach (jangkauan; siapa dan seberapa banyak yang terkena kebijakan) 2). Effectiveness (efektivitas serta konsekuensi yang ditimbulkan)

3). Adoption (tersebarluasnya kebijakan dan dampaknya pada partisipasi sasaran) 4). Implementation (implementasi yang berimplikasi pada biaya, daya paksa dan

kepatuhan)

5) Maintenance (pelembagaan kebijakan atau program)

Membuat kebijakan bukanlah proses yang sekali jadi. Kebijakan dibuat berdasarkan proses yang teratur, terus menerus (continue) bahkan bersifat ulang alik (recursive), melibatkan berbagai pendekatan, secara ilmiah dan mempertimbangkan faktor-faktor lain. Pengumpulan bukti ilmiah dan fakta empirik terkait dengan proses pengambilan kebijakan, isi serta dampak harus dilakukan berulangkali, Tujuannya untuk melihat bagaimana dampak kebijakan publik tersebut terhadap perubahan perilaku pada tingkatan sistem di komunitas maupun tingkat individu. Demikian pula hubungan antara proses, isi dan dampak pengaruh-pengaruh lainnya.

PROSES MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN

BUKTI-BUKTI ILMIAH

(Kualitatif dan kuantitatif)

PROSES ISI DAMPAK

(Pengulangan umpan balik, kemasan isu, saluran diseminasi)

PENGARUH-PENGARUH LAINNYA

(Sumber data, pengalaman personal, ideology, kelompok kepentingan, organisasi advokasi

40 PROMOSI KESEHATAN KOMITMEN GLOBAL OTTAWA-JAKARTA-NAIROBI

Hambatan-hambatan dalam menerapkan kebijakan berwawasan kesehatan :

a. Inkonsistensi dalam pelaksanaan, misalnya disadari bahwa promosi kesehatan dengan pemberantasan sarang nyamuk melalui 3M (menguras, menutup, mengubur) penting untuk menurunkan kejadian demam berdarah, namun pro-gram yang dibiayai justru pengasapan

b. Ketidakcukupan bukti ilmiah yang diperoleh beberapa waktu sebelumnya tidak cocok lagi dengan kondisi terkini

c. Ketidaksepadanan memilih kebijakan, proses menghasilkan kebijakan serta waktunya tidak sepadan

d. Kuatnya minat-minat (interest pribadi), misalnya kepentingan pabrik rokok e. Ketidakterlibatan peneliti dalam proses penyusunan kebijakan

f. Proses pembuatan kebijakan dapat terjadi cukup rumit g. Tidak semua orang mengerti proses pembuatan kebijakan

h. Para praktisi tidak dapat mempengaruhi lahirnya kebijakan berwawasan kesehatan

REVITALISASI NILAI AZASI KESEHATAN

Kesehatan adalah hak dasar sekaligus adalah investasi sosial individu. Pada awalnya yang dimaksud dengan kesehatan hanya mencakup aspek fisik manusia saja. Sehat diberikan makna sebagai suatu keadaan sejahtera fisik, terbebas dari penyakit dan kecacatan, tidak merasa sakit dan secara klinis tidak sakit, serta semua organ tubuh berfungsi normal dan optimal. Namun konsep sehat berkembang demikian pesat, sehingga ranah kesehatan meliputi pula sehat secara mental, emosional, spiritual, sosial, bahkan seksual. Sehat men-tal terdiri dari :

a. sehat pikiran; keadaan di mana individu mampu berfikir secara rasional, logis dan sistematis,

b. sehat emosional; keadaan di mana individu dapat mengekspresikan emosinya secara normal, yaitu : takut, berani, gembira, sedih,

c. Sehat spiritual; kesediaan dan kebiasaan mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai keadaan. Sehat sosial adalah keadaan di mana individu mampu berhubungan (berinteraksi) dengan orang lain, kelompok masyarakat yang lebih luas dan bervariasi latar belakang sosial budaya, politik dan sebagainya. Sehat ekonomi diberikan makna sebagai suatu keadaan di mana individu produktif walaupun dengan parameter yang bervariasi, misalnya mampu mencari nafkah, rajin pergi sekolah, giat belajar, cerdik melihat peluang usaha. Adapun sehat secara seksual adalah suatu keadaan di mana individu memiliki kemampuan melakukan aktivitas seksual, serta reproduksi, dalam batas-batas normatif dan etika sosial yang disepakati. Aktivitas seksual seharusnya tidak berkait dengan perilaku berisiko, misalnya penggunaan narkotika. Studi yang dilakukan Prestage (2009) menunjukkan bahwa kelompok berisiko tertular HIV/AIDS pada awalnya menginginkan memiliki aktivitas seksual yang normal. Untuk itu mereka menggunakan methamphetamine dan oral erectile dysfunction medications (OEM) termasuk narkotika .

41 PROMOSI KESEHATAN KOMITMEN GLOBAL OTTAWA-JAKARTA-NAIROBI

Perkembangan ilmu kesehatan telah sedemikian rupa meningkatnya, sehingga para ahli menjelaskan bahwa determinan kesehatan semakin kompleks. Pada awal perkembangannya, Hendrik L Blum menjelaskan bahwa status kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, perilaku, pelayanan dan herediter. Namun pada tahun 1991, Dahlgren dan Whitehead menjelaskan bahwa determinan kesehatan terdiri dari:

a) Aspek sosial budaya dan lingkungan

b) Kondisi kehidupan dan pekerjaan (terdiri dari pangan, pendidikan, lingkungan pekerjaan, pengangguran, ketersediaan air bersih dan kualitas sanitasi, pemukiman dan kualitas pelayanan)

c) Jejaring sosial dan komunitas d) Gaya hidup perorangan

e) Umur, jenis kelamin dan faktor keturunan

Berkembangnya ilmu kesehatan tersebut merupakan konsekuensi logis, sekaligus antisipasi dari semakin kompleksnya problematika kesehatan. Antisipasi tersebut mulai dilakukan oleh banyak ahli mengikuti rekomendasi strategi WHO tahun 1986 dalam menanggulangi masalah kesehatan (Benzeval, 1995).

Menurut WHO, problematika kesehatan dapat diatasi melalui : a. Penguatan kapasitas masyarakat

b. Penguatan keterampilan individu

c. Perluasan akses (masyarakat) terhadap fasilitas dan pelayanan d. Mendorong tumbuhnya kebijakan berwawasan kesehatan

Rekomendasi tersebut sekaligus merupakan pengakuan dan juga tantangan terhadap promosi kesehatan dalam memecahkan persoalan kesehatan. Hal ini sejalan dengan konsep 5 tingkat pencegahan (yaitu promosi kesehatan, pencegahan spesifik, diagnosis dini dan pengobatan yang tepat, pembatasan kecacatan, dan pemulihan) yang dikemukakan oleh Levell dan Clark.

Oleh karenanya pemerintah perlu mendorong terciptanya kebijakan publik yang berwawasan kesehatan serta melaksanakan promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan seluruh warga negaranya. Semua penduduk harus mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang diperlukannya, guna menjaga tingkat produktivitas sosial dan ekonominya. Oleh karena itu berbagai upaya yang bersifat terpadu dalam mata rantai kebijakan kesehatan, sosial, politik dan ekonomi perlu diselenggarakan.

PEMERATAAN, AKSES DAN PENGEMBANGAN

Ketidak adilan dalam kesehatan berakar dari adanya ketidakmerataan yang berlangsung di masyarakat. Untuk menjembatani antara kelompok masyarakat yang kurang beruntung dengan kelompok yang lebih beruntung sekaligus mengurangi ketidakadilan dibutuhkan kebijakan yang mampu meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan, serta REKOMENDASI ADELAIDE

42 PROMOSI KESEHATAN KOMITMEN GLOBAL OTTAWA-JAKARTA-NAIROBI

menciptakan lingkungan yang mendukung. Kelompok yang kurang beruntung perlu memperoleh prioritas program. Hardeman dkk mengidentifikasi, setidaknya ada 4 faktor yang menjadi kendala utama untuk menjangkau pelayanan kesehatan, yaitu :

a) Finansial b) Geografis,

c) Keterpaparan informasi

d) Persoalan internal rumah tangga

Bigdeli dan Annear mengidentifikasi ada 5 hal yang menjadi kendala dalam menjangkau pelayanan, yaitu:

a) Hambatan fisik (transportasi, keterbatasan jam layanan, dan lamanya menunggu) b) Hambatan finansial (langsung/tak langsung), serta hilangnya kesempatan ekonomi c) Kualitas pelayanan (termasuk di dalamnya keterampilan petugas, ketersediaan

obat-obatan, kelengkapan alat

d) Pengetahuan pengguna tentang ketersediaan pelayanan, jaminan kerahasiaan e) Hambatan sosial budaya (gender, umur, kepercayaan, dan preferensi budaya Di Indonesia, jumlah kelompok kurang beruntung ini masih cukup banyak. Berbagai faktor telah menyebabkan kekurang beruntungan, atau dengan kata lain tertinggal dibandingkan bangsa-bangsa lain. Harus diakui, bahwa sebagai salah satu bangsa yang paling demokratis di dunia, sudah banyak pencapaian atau kemajuan yang dialami bangsa ini.

Namun harus diakui bahwa dalam menghadapi peradaban dan tantangan yang semakin kompleks termasuk problematika kesehatan, misalnya karena munculnya penyakit-penyakit baru (misalnya H1N1), sebagian masyarakat masih berada pada kondisi :

1. Bodoh

2. Kekakuan tradisi 3. Tidak terampil 4. Konsumtif

5. Tidak mampu alih teknologi 6. Salah penempatan

1. Kebodohan

Kebodohan (illiteracy), adalah suatu keadaan di mana jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan, minimal pendidikan dasar, sangat sedikit. Meskipun Indonesia sudah mengenal program pemberantasan 3 buta (buta aksara angka, buta bahasa Indonesia, dan buta pengetahuan dasar), namun berbagai krisis ekonomi yang mendera bangsa ini, membuat pendidikan harus direvitalisasi oleh pemerintah. Bencana alam yang silih berganti di Indonesia, menyebabkan kerusakan infrastruktur pendidikan. Akibatnya sangat mengganggu proses pendidikan, dan secara akumulasi berpengaruh terhadap rendahnya tingkat pendidikan masyarakat.

43 PROMOSI KESEHATAN KOMITMEN GLOBAL OTTAWA-JAKARTA-NAIROBI

2. Kekakuan tradisi (tradition rigidity)

Kakunya tradisi adalah suatu keadaan di mana sebagian masyarakat masih mempertahankan pandangan maupun sikap yang sudah tidak relevan dengan keadaan kini. Berbagai hal tergolong pada kakunya tradisi, misalnya orientasi tempat kerja. Meskipun dari berbagai data dan pemberitaan sudah cukup banyak orang yang mau bekerja di tempat-tempat jauh (misalnya di luar negeri), namun masih ada orang yang inginnya hanya bekerja di tempat yang dekat. Faktor lain adalah keengganan orang untuk berwirausaha. Pada sebagian masyarakat masih ada pandangan bahwa kelas sosial tertinggi bukanlah wirausaha. Motivasi berwirausaha semakin rendah karena lembaga pendidikan justru memberikan tawaran mudah bekerja di satu tempat, bukan didorong untuk menciptakan lapangan pekerjaan.

3. Penduduk yang tidak terampil (unskilled people)

Dalam kurun waktu 60 tahun, pendidikan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Puluhan bahkan ratusan ribu sarjana di wisuda setiap tahunnya. Dari sisi jumlah penduduk yang well educated cukup banyak. Namun apabila ditelaah dari kecukupan jumlah penduduk yang terampil, maka bangsa Indonesia ke depan akan mengalami masalah. Sekolah kejuruan, yang mengajarkan keterampilan diganti dengan sekolah umum (SMA). Berbagai lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan swasta semakin sedikit yang menyelenggarakan program diploma. Tentu ini bukan kesalahan sepenuhnya lembaga pendidikan, melainkan juga karena tuntutan masyarakat. Masyarakat Indonesia lebih menyukai gelar daripada keterampilan. Bukan sepenuhnya salah masyarakat, namun pemerintah perlu menjelaskan tentang arti strategis pendidikan ahli madya.

4. Konsumtif (consumptive)

Konsumtif adalah ancaman paling serius terhadap kemajuan suatu bangsa. Beberapa negara tetangga dengan jitu senantiasa menyampaikan peringatan tentang bahaya dari sifat konsumtif. Indonesia adalah negara besar, dengan jumlah penduduk banyak, serta menurut banyak negara-negara maju, adalah pasar yang sangat menjanjikan. Hal ini adalah tantangan yang sangat serius, sebab kalau terus menerus menjadi serta bangga pengguna, maka proses transfer teknologi, yang akan meningkat nilai tambah bangsa tidak tercapai. Kondisi ini makin diperparah dengan tidak adanya sistem penelitian dan pengembangan yang benar. Insentif penelitian sangat rendah.

5. Tidak mampu alih teknologi/waralaba (disfranchised)

Hal ini berkaitan dengan ketidakmampuan negara kita meyakinkan negara-negara investor untuk mempercepat pelaksanaan tranfer teknologi, karena negara kita daya saingnya sangat rendah, sumber data manusia kurang dapat beradaptasi dengan tuntutan perubahan, disiplinnya rendah, keinginannya untuk terus berkembang juga relative kurang. Budaya instan telah merasuki segenap segi kehidupan, bahkan seringkali tampak tidak rasional.

44 PROMOSI KESEHATAN KOMITMEN GLOBAL OTTAWA-JAKARTA-NAIROBI

6. Salah penempatan/ penggunaan di bawah kemampuan (under/wrong utilization)

Kesalahan utilisasi adalah suatu keadaan di mana banyak tenaga yang seharusnya berkategori ahli ternyata bekerja bukan pada bidang yang sesuai. Sebagai contoh banyak lulusan fakultas pertanian yang tidak bekerja di bidang pertanian, melainkan di bank. Dengan demikian mudah dipahami bahwa makin lama sektor pertanian kita semakin menurun kualitasnya. Adapun under utilization adalah seperti gambaran pola rekrutmen pegawai negeri. Pengangkatan pegawai negeri baru bukan karena kebutuhan yang seharusnya dilakukan secara spesifik, melainkan karena pertimbangan jumlah anggaran bahkan politis.

Konsekuensi logisnya, dalam upaya mengatasi keterbelakangan, diperlukan upaya komprehensif yang diarahkan pada berbagai determinan yang dapat diidentifikasi. Persoalan keterbelakangan dan kemiskinan akan membuat sebagian masyarakat Indonesia yang kurang beruntung semakin tidak mampu menjangkau pelayanan kesehatan. Oleh karena itu dalam rangka menjembatani akses masyarakat terhadap kesehatan, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan oleh pemerintah, yaitu:

a) melaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat b) mendekatkan pelayanan sehingga mudah dijangkau

Namun sejalan dengan penguatan kapasitas masyarakat, upaya pemerintah perlu

Dalam dokumen Komitmen Global Promkes (Halaman 46-66)