• Tidak ada hasil yang ditemukan

Retensi urine Inkontinensia urine

Dalam dokumen Dasar Dasar Urologi (Halaman 151-167)

Gambar 7-3. Skema klasifikasi inkontinensia urine.

Inkontinensia urge

Pasien inkontinensia urge mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul

sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot derusor sudah mulai mengadakan

kontraksi pada saat kapasitas buli-buli belum terpenuhi. Frekuensi miksi menjadi lebih sering

dan disertai dengan perasaan urgensi. Inkontinensia urge meliputi 22% dari semua

inkontinensi pada wanita.

Penyebab inkontinensia urine urge adalah kelainan yang berasal dari buli-buli, di antaranya

adalah overaktivitas detrusor dan menurunnya komplians buli-buli. Overaktivitas detrusor

dapat disebabkan oleh kelainan neurologik, kelainan non neurologis, atau kelainan lain yang

belum diketahui. Jika disebabkan oleh kelainan neurologis, disebut sebagai hiper-refleksi

detrusor, sedangkan jika penyebabnya adalah kelainan non neurologis disebut instabilitas

detrusor. Istilah overaktivitas detrusor dipakai jika tidak dapat diketahui penyebabnya.

Inkontinensia urine Inkontinensia urineInkontinensia urine Inkontinensia urine

Kelainan pada buli Kelainan pada buliKelainan pada buli Kelainan pada buli----bulibulibuli buli

1. Overaktivitas detrusor

o Hiperrefleksia detrusor

o Instabilitas detrusor

o Idiopatik

Kelainan pada uretra Kelainan pada uretra Kelainan pada uretra Kelainan pada uretra 1. Hipermobilitas uretra 2. Defisiensi sfingter

Inkontinensia urine stress Inkontinensia urine stress Inkontinensia urine stress Inkontinensia urine stress

(SUI (SUI(SUI (SUI) Inkontinensia urine urge

Inkontinensia urine urge Inkontinensia urine urge Inkontinensia urine urge

(UUI (UUI (UUI (UUI)

Bab 7: Inkontinensia Urine 143

Hiper-refleksia detrusor disebabkan oleh kelaianan neurologis, di antaranya adalah: stroke,

penyakit Parkinson, cedera korda spinalis, sklerosis multipel, spina bifida, atau mielitis

transversal. Instabilitas detrusor seringkali disebabkan oleh: obstruksi infravesika, pasca

bedah intravesika, batu buli-buli, tumor buli-buli, dan sistitis.

Penurunan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan tekanannya pada saat pengisian

urine (komplians) dapat disebabkan karena kandungan kolagen pada matriks detrusor

bertambah atau adanya kelainan neurologis. Penambahan kandungan kolagen terdapat pada

sistitis tuberkulosa, sistitis pasca radiasi, pemakaian kateter menetap dalam jangka waktu

lama, atau obstruksi infravesika karena hyperplasia prostat. Cedera spinal pada regio

thorako-lumbal, pasca histerektomi radikal, reseksi abdomino-perineal, dan mielodisplasia

disebut-sebut dapat mencederai persarafan yang merawat buli-buli.

Tidak jarang inkontinensia urge menyertai sindroma overaktivitas buli-buli. Sindroma ini

ditandai dengan frekuensi, urgensi, dan kadang-kadang inkontinensia urge.

Inkontinensi urine stress atau Stress Urinary Incontinence (SUI)

Inkontinensi urine stress (SUI) adalah keluarnya urine dari uretra pada saat terjadi

peningkatan tekanan intraabdominal. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor sfingter

(uretra) yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intravesika

meningkat (buli-buli) terisi. Peningkatan tekanan intrabdominal dapat dipacu oleh batuk,

bersin, tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda berat. Inkontinensia stress banyak

dijumpai pada wanita, dan merupakan jenis inkontinensia urine yang paling banyak

prevalensinya, yakni kurang lebih 8-33%.

Pada pria kelainan pada uretra yang menyebabkan inkontinensia biasanya adalah

kerusakan sfingter uretra eksterna pasca prostatektomi, sedangkan pada wanita penyebab

kerusakan uretra dibedakan dalam dua keadaan, yakni hipermobilitas uretra dan defisiensi

terjadi daripada pasca TURP. Tidak jarang pasien mengalami kerusakan total sfingter

eksterna sehingga mengeluh inkontinensia totalis.

Hipermobilitas uretra disebabkan karena kelemahan otot-otot dasar panggul yang berfungsi

sebagai penyanggah uretra dan buli-buli. Kelemahan otot ini menyebabkan terjadinya

penurunan (herniasi) dan angulasi leher buli-buli-uretra pada saat terjadinya peningkatan

tekanan intraabdomen. Herniasi dan angulasi itu terlihat sebagai terbukanya leher

buli-buli-uretra sehingga menyebabkan bocornya urine dari buli-buli meskipun tidak ada peningkatan

tekanan intravesika (Gambar 7-4).

Kelemahan otot dasar panggul dapat pula menyebabkan terjadinya prolapsus uteri, sistokel,

atau enterokel. Penyebab kelemahan ini adalah trauma persalinan, histerektomi, perubahan

hormonal (menopause), atau kelainan neurologi. Akibat defisiensi estrogen pada masa

menopause, terjadi atrofi jaringan genitourinaria.

Difisiensi sfingter intrinsik (ISD) dapat disebakan karena suatu trauma, penyulit dari

operasi, radiasi, atau kelainan neurologi. Ciri-ciri dari jenis ISD adalah leher buli-buli dan

uretra posterior tetap terbuka pada keadaan istirahat meskipun tidak ada kontraksi otot

detrusor sehingga uretra proksimal tidak lagi berfungsi sebagai sfingter.

Pembagian inkontinensia stress

Klasifikasi yang dikemukakan oleh Blaivas dan Olsson (1988), berdasarkan pada

penurunan letak leher buli-buli dan uretra setelah pasien diminta melakukan manuver

Valsava. Penilaian ini dilakukan berdasakan pengamatan klinis berupa keluarnya (kebocoran)

urine dan dengan bantuan video-urodinamik.

• Tipe 0: pasien mengeluh tentang inkontinensia stress tetapi pada pemeriksaan tidak diketemukan adanya kebocoran urine. Pada video-urodinamika setelah manuver

Bab 7: Inkontinensia Urine 145

• Tipe I: jika terdapat penurunan < 2cm dan kadang-kadang disertai dengan sistokel yang masih kecil.

• Tipe II: jika penurunan >2cm dan seringkali disertai dengan adanya sitokel; dalam hal ini sistokel mungkin berada di dalam vagina (tipe IIa) atau di luar vagina (tipe IIb) • Tipe III: leher buli-buli dan uretra tetap terbuka meskipun tanpa adanya kontraksi

detrusor maupun manuver Valsava, sehingga urine selalu keluar karena faktor gravitasi

atau penambahan tekanan intravesika (gerakan) yang minimal. Tipe ini disebabkan

defisiensi sfingter intrinsic (ISD).

Inkontinensia paradoksa

Inkontinensia paradoksa (overflow) adalah keluarnya urine tanpa dapat dikontrol pada

keadaan volume urine di buli-buli melebihi kapasitasnya. Detrusor mengalami kelemahan

sehingga terjadi atonia atau arefleksia. Keadaan ini ditandai dengan overdistensi buli-buli

(retensi urine), tetapi karena buli-buli tidak mampu lagi mengosongkan isinya, tampak urine

selalu menetes dari meatus uretra. Kelemahan otot detrusor ini dapat disebabkan karena

obstruksi uretra, neuropati diabetikum, cedera spinal, defisiensi vitamin B12, efek samping

A B

Desensus vesiko-uretra

Tekanan intra

abdomen Tekanan intra

abdomen

Gambar 7-4. Kelemahan otot dasar panggul sebagai penyebab hipermobilitas uretra.

Inkontinensi kontinua atau continuos incontinence

Inkontinensia urine kontinua adalah urine yang selalu keluar setiap saat dan dalam

berbagai posisi. Keadaan ini paling sering disebabkan oleh fistula sistem urinaria yang

menyebabkan urine tidak melewati sfingter uretra. Pada fistula vesikovagina terdapat lubang

yang menghubungkan buli-buli dan vagina. Jika lubangnya cukup besar, buli-buli tidak

pernah terisi dengan urine, karena urine yang berasal dari kedua ureter tidak sempat

tertampung di buli-buli dan keluar melalui fistula ke vagina. Fistula vesikovagina seringkali

disebabkan oleh operasi ginekologi, trauma obstetri, atau pasca radiasi di daerah pelvik.

Fistula sistem urinaria yang lain adalah fistula ureterovagina yaitu terdapat hubungan

langsung antara ureter dengan vagina. Keadan ini juga disebabkan karena cedera ureter pasca

operasi daerah pelvis.

Penyebab lain inkontinensia urine kontinua adalah muara ureter ektopik pada anak

perempuan. Pada kelainan bawaan ini, salah satu ureter bermuara pada uretra di sebelah distal

dari sfingter uretra eksternum. Urine yang disalurkan melalui ureter ektopik langsung keluar

Bab 7: Inkontinensia Urine 147

ureter ektopik sama dengan fistula ureterovagina, yaitu urine selalu merembes keluar tetapi

pasien masih bisa melakukan miksi seperti orang normal.

Inkontinesia urine fungsional

Sebenarnya pasien ini kontinen, tetapi karena adanya hambatan tertentu, pasien tidak

mampu untuk menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul sehingga kencingnya

keluar tanpa dapat ditahan. Hambatan itu dapat berupa gangguan fisis, gangguan kognitif,

maupun pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu (lihat tabel 7-1). Gangguan

fisis yang dapat menimbulkan inkontinensi fungsional antara lain: gangguan mobilitas akibat

arthritis, paraplegia inferior, stroke, atau gangguan kognitif akibat suatu delirium maupun

demensia.

Tabel 7-1. Beberapa Jenis Obat-obatan Yang Dapat Mempengaruhi Kontinensi

Pada pasien tua seringkali mengeluh inkontinensia urine sementara (transient), yang dipacu

oleh beberapa keadaan yang disingkat dengan DIAPPERS, yakni Delirium, Infection (infeksi

saluran kemih), Atrophic vaginitis/uretrhtiris, Pharmaceutical, Psychological, Excess urine

output, Restricted mobility, dan Stool impaction. Jenis obat Efek pada kontinensia

Diuretikum Buli-buli cepat terisi Antikolinergik Gangguan kontraksi detrusor Sedativa / hipnotikum Gangguan kognitif Narkotikum Gangguan kontraksi detrusor Antagonis adrenergik

alfa

Menurunkan tonus sfingter internus

Penghambat kanal kalsium

Evaluasi pasien inkontinensia urine Anamnesis dan riwayat penyakit

Anamnesis merupakan bagian yang sangat penting dalam melakukan evaluasi

inkontinensia. Perlu ditanyakan sampai seberapa jauh inkontinensia ini mengganggu

kehidupannya dan berapa banyak urine yang dikeluarkan pada saat inkontinensia. Keluarnya

tetesan-tetesan urine yang tidak mampu dicegah dapat dijumpai pada inkontinensia paradoksa

atau inkompetensi uretra, sedangkan keluarnya urine dalam jumlah yang sedang dijumpai

pada overaktivitas detrusor. Demikian pula jumlah yang cukup banyak dijumpai pada

inkontinensia kontinua akibat suatu fistula, ektopik ureter, ataupun kerusakan sfingter uretra.

Apakah pasien selalu memakai pemper dan berapa sering harus ganti? Pada malam hari,

berapa kali terbangun untuk miksi atau mengganti pemper?

Adanya faktor pencetus seperti batuk, bersin, atau aktivitas lain yang mendahului

inkontinensia merupakan tanda dari inkompetensia uretra dan sfingternya. Faktor pencetus

itupun kadang-kadang dapat memacu terjadinya kontraksi detrusor dini seperti yang dijumpai

pada inkontinensia urge.

Keluhan adanya urgensi dan frekuensi merupakan pertanda overaktivitas detrusor. Pasien

dianjurkan untuk mencatat tentang aktivitas miksi, terjadinya inkontinensi, maupun volume

asupan cairan yang diminum setiap harinya di dalam catatan harian miksi (micturation diary).

Adanya diare, konstipasi, dan inkontinensia alvi patut dicurigai kemungkinan kelainan

neurologis.

Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat penyakit yang lalu harus dicari. Diabetes mellitus (terutama jika ada

neuropati), kelainan neurologi, infeksi saluran kemih berulang, penyakit pada rongga pelvis,

dan atrofi genitourinaria pada menopause kesemuanya merupakan predisposisi terjadinya

Bab 7: Inkontinensia Urine 149

salah satu petunjuk yang cukup penting. Perlu diperhatikan riwayat pada saat melahirkan,

antara lain: apakah melahirkan multipara, partus kasep, dan bayi yang besar; kesemuanya

merupakan predisposisi terjadinya inkompetensi sfingter dan kelemahan rongga panggul.

Pemeriksaan fisis

Riwayat penyakit dapat mengarahkan dokter dalam melakukan pemeriksaan fisis yang

lebih spesifik, meskipun secara umum harus dilakukan pemeriksaan fisis menyeluruh.

Pemeriksaan khusus meliputi pemeriksaan abdominal, daerah urogenitalia, dan pemeriksaan

neurologis.

Pada pemeriksaan abdomen dicari kemungkinan dijumpai adanya distensi buli-buli yang

merupakan tanda dari inkontinensia paradoksa atau adanya massa di pinggang dari suatu

hidronefrosis. Mungkin diketemukan jaringan parut bekas operasi pelvis atau abdomen.

Pada regio urogenitalia, perhatikan orifisium uretra dan vagina. Dengan mempergunakan

spekulum vagina dicari kemungkinan adanya kelainan dinding vagina anterior maupun

posterior. Perhatikan adanya perubahan warna dan penebalan mukosa vagina yang merupakan

tanda dari vaginitis atrofikans akibat defisiensi estrogen; hal ini biasanya disertai dengan

peningkatan sensitifitas buli-buli dan uretra yang dapat terlihat pada inkontinensia urge.

Perhatikan kemungkinan adanya sistokel, enterokel, prolapsus uteri, atau rektokel yang

menyertai suatu SUI. Pemeriksaan palpasi bimanual untuk mencari adanya massa pada uterus

atau adneksa.

Perhatikan posisi orifisium eksternum. Jika didapatkan penonjolan dari orifisium

eksternum mungkin merupakan suatu proses inflamasi atau divertikulum. Mintalah pasien

untuk melakukan manuver Valsava; jika terdapat penurunan leher buli-buli-uretra dan

Pemeriksaan neurologik

Diperiksa status mental (kognitif) pasien, mungkin dijumpai tanda demensia. Pemeriksaan

neurologi terhadap saraf (dermatom) yang menginervasi vesikouretra harus dilakukan secara

sistematik. Nervus pudendus yang memberikan inervasi somatik pada sfingter eksterna dan

otot-otot dasar panggul serta nervus pelvikus yang memberi inervasi parasimpatik pada

detrusor berasal dari korda spinalis sacral S2-4. Segmen ini dapat diperiksa dengan cara: ankle

jerk reflex (S1 dan S2), fleksi toe dan arch the feet (S2 dan S3), dan tonus sfingter ani atau

refleks bulbokavernosus (S2-4). Keadan sfingter ani yang flaksid menunjukkan adanya

kelemahan kontraksi dari otot detrusor.

Laboratorium

Pemeriksaan urinalisis, kultur urine dan kalau perlu sitologi urine dipergunakan untuk

menyingkirkan kemungkinan adanya proses inflamasi/infeksi atau keganasan pada saluran

kemih.

Pemeriksaan lain

Pemeriksaan penunjang membantu dalam menentukan jenis maupun derajat inkontinensia

dan dipergunakan untuk melakukan evaluasi pada waktu sebelum maupun setelah terapi.

Pemeriksaan itu di antaranya adalah pemeriksaan urodinamik yang terdiri atas pemeriksaan

uroflometri, pengukuran profil tekanan uretra, sistometri, valsava leak point pressure, serta

video urodinamika. Pemeriksaan pencitraan yang meliputi pielografi intravena maupun

sistografi miksi diperlukan untuk mencari kemungkinan adanya fistula ureterovagina, muara

ureter ektopik, dan penurunan leher buli-buli-uretra pada sistografi.

Pemeriksaan residu urine dilakukan untuk mengetahui kemungkinan adanya obstruksi

infravesika atau kelemahan otot detrusor. Pemeriksaan itu dilakukan dengan melakukan

Bab 7: Inkontinensia Urine 151

Pemeriksaan urodinamik yang paling sederhana adalah mengukur tekanan intravesika

dengan urodinamika eyeball. Dalam posisi dorsolitotomi pasien dipasang kateter. Setelah sisa

urine dikeluarkan, ujung kateter dihubungkan dengan semprit (syringe) 50 mL tanpa

pendorongnya, dan diletakkan setinggi dengan permukaan buli-buli (simfisis pubis). Kateter

diisi air steril secara perlahan-lahan melalui semprit secara gravitasi. Kemudian pasien

diminta untuk mengatakan jika telah terjadi perasaan penuh pada buli-buli. Volume yang telah

dimasukkan dicatat dan ketinggian air (meniskus) pada semprit diperhatikan.

o Pada buli-buli normal meniskus tetap konstan pada saat pengisian buli-buli sampai

tercapai volume kapasitas buli-buli. Meniskus kemudian naik perlahan-lahan pada

pengisian berikutnya.

o Pada komplians buli-buli menurun, meniskus naik sebanding dengan volume air yang

dimasukkan.

o Pada instabilitas buli-buli, meniskus tiba-tiba naik pada saat pengisian

o Pada uninhibited contraction seringkali dijumpai rembesan air di sela-sela kateter.

Terapi

Inkontinensia urine adalah merupakan gejala atau manifestasi klinis dari suatu kelainan

yang ada di buli-buli, uretra, atau organ lain. Untuk itu terapi ditujukan pada penyakit yang

menyebabkan timbulnya inkontinensia urine, di samping dilakukan usaha-usaha untuk

mengatasi problematik sosial akibat inkontinensia. Pada inkontinensia yang disebabkan oleh

fistula ureterovagina, fistula vesikovagina yang cukup lebar, dan ureter ektopik, pilihan terapi

adalah berupa operasi. Begitu juga pada inkontinensia paradoksa yang disebabkan adanya

obstruksi infravesika, terapi paling tepat adalah desobstruksi.

Pada inkontinensia urine stress atau urge, pilihan terapi tergantung dari derajat keparahan

inkontinensia. Terapi yang dipilih berupa (1) latihan/rehabilitasi, (2) medikamnentosa, dan (3)

Tabel 7-2. Pilihan Terapi Pada Inkontinensia Urine

Jenis Inkontinensia Latihan Medikamentosa Tindakan invasif

UUI Behavioural

Bioeeedback Bladder drill

Lihat tabel 7-4 Augmentasi buli-buli Neuromodulasi Rhizolisis

SUI Pelvic floor excercise Agonis adrenergik-α

Antidepresan trisiklik Hormonal Kolposuspensi TVT Injeksi kolagen Paradoksa - Desobstruksi

Total - Sfingter artifisial

Latihan/rehabilitasi

Bantuan ahli rehabilitasi medik sangat diperlukan untuk keberhasilan program latihan ini.

Pelvic floor exercise atau disebut Kegel exercise bertujuan untuk meningkatkan resistensi

uretra dengan cara memperkuat otot-otot dasar panggul dan otot periuretra. Pasien dilatih

belajar cara melakukan atau mengenal kontraksi otot dasar panggul dengan cara mencoba

menghentikan aliran urine (melakukan kontraksi otot-otot pelvis) kemudian mengeluarkan

kembali urine melalui relaksasi otot sfingter. Setelah itu pasien diinstruksikan untuk

melakukan kontraksi otot dasar panggul (seolah-olah menahan urine) selama 10 detik

sebanyak 10 – 20 kali kontraksi dan dilakukan dalam 3 kali setiap hari. Untuk mendapatkan

efek yang diharapkan mungkin diperlukan 6 – 8 minggu latihan.

Dikatakan bahwa latihan ini menyebabkan terjadinya hipertrofi otot-otot dasar panggul.

Hal ini dapat meningkatkan tekanan mekanik pada uretra sehingga memperbaiki fungsi

sfingter uretra. Hipertrofi otot dasar panggul dapat meningkatkan kemampuannya dalam

menyanggah organ-organ pelvis sehingga mampu mencegah desensus buli-buli-uretra. Tidak

jarang latihan ini dikombinasikan dengan stimulasi elektrik dan biofeedback. Latihan ini

dapat dipakai sebagai prevensi terjadinya inkontinensia urine pada wanita-wanita muda

Bab 7: Inkontinensia Urine 153

Pada terapi behavioural pasien diberi pengetahuan tentang fisiologi sistem urinaria sebelah

bawah dan kemudian mengikuti jadwal miksi seperti yang telah ditentukan. Dalam hal ini

pasien dilatih untuk mengenal timbulnya sensasi urgensi, kemudian mencoba

menghambatnya, dan selanjutnya menunda saat miksi. Jika sudah terbiasa dengan cara ini,

interval di antara miksi menjadi lebih lama dan didapatkan volume miksi yang lebih banyak.

Medikamentosa Inkontinensia urge

Tujuan terapi pada inkontinensia urge adalah (1) meningkatkan kapasitas buli-buli, (2)

meningkatkan volume urine yang pertama kali memberi sensasi miksi, dan (3) menurunkan

frekuensi kencing. Dipilih obat-obatan yang dapat menghambat kontraksi otot polos detrusor

atau yang mampu menghambat impuls aferen dari buli-buli. Pemberian obat-obatan itu dapat

diberikan secara sistemik ataupun topikal intravesika (lihat tabel 7-4).

Antikolinergik. Antikolinergik adalah obat penghambat sistem parasimpatik eferen pada

otot detrusor. Ikatan obat ini pada reseptor muskarinik lebih kuat dari pada ikatan

ACh-reseptor muskarinik sehingga menghambat transmisi impul yang mencetuskani kontraksi

detrusor. Obat ini dapat meningkatkan kapasitas buli-buli dan menunjukkan hasil yang cukup

baik pada overaktivitas buli-buli. Jenis obat yang dipergunakan adalah: Propantheline

bromide, Oksibutinin (Ditropan), dan Tolterodine tartrate. Dalam hal ini oksibutinin dapat

diberikan secara sistemik ataupun intravesika. Efek samping yang dapat terjadi pada

penggunaan antikolinergik berupa mulut kering, konstipasi, pandangan kabur, takikardia, drowsiness, dan meningkatnya tekanan intraokuli.

Tabel 7-3. Obat Pilihan Pada Inkontinensia Urge

Secara sistemik Secara topikal

o Antikolinergik (Oksibutinin, Propantheline bromide, Tolterodine tartrate)

o Pelemas otot polos (Dicyclomine, Flavoxate)

o Antidepresan trisiklik (Imipramine)

o Anti prostaglandin

o Penghambat kanal kalsium

1. Menghambat jalur eferen (transmisi kolinergik nervus pelvikus-detrusor)

o Oksibutinin

o Atrofin

2. Menghambat jalur aferen

o Anestesi lokal

o Capsaicin

o Resiniferatoxin

Pelemas otot polos. Dicyclomine dan Flavoxate merupakan pelemas otot polos yang

mempunyai efek antispasmodik. Keduanya berguna pada keadaan hiperrefleksia otot detrusor.

Dicyclomine sering dipakai sebagai antispasmodik pada saluran pencernakan, tetapi

akhir-akhir ini dipakai sebagai obat pada inkontinensia urge dengan memberikan efek samping

berupa efek antikolinergik.

Trisiklik antidepresan. Imipramin adalah obat golongan antidepresan trisiklik yang

mempunyai berbagai macam efek pada inkontinensia urge. Obat ini dikatakan mampu

berfungsi sebagai sebagai pelemas otot, memberikan anestesi lokal pada buli-buli, dan

mempunyai efek antikolinergik. Secara klinis obat ini menurunkan kontraktilitas buli-buli dan

meningkatkan resistensi uretra. Efek samping yang dapat terjadi adalah kelemahan, mudah

lelah, hipotensi postural, pusing, dan sedasi. Pada usia lanjut sebaiknya pemakaian obat ini

dibatasi.

Penghambat kanal kalsium. Kalsium dikenal sebagai ion yang keberadaannya di dalam

sel dapat menyebabkan terjadinya kontraksi otot. Kadar ion kalsium di dalam sel dapat

diturunkan dengan menghalangi masuknya ke intraseluler melalui hambatan pada kanal

kalsium. Turunnya kadar kalsium intraseluler diharapkan dapat menurunkan kontraksi otot

detrusor pada instabilitas buli-buli. Efek samping yang dapat terjadi berupa flushing, pusing,

Bab 7: Inkontinensia Urine 155

Obat-obatan lain sebagai penghambat prostaglandin (Flurbiprofen) saat ini mulai

dipergunakan sebagai terapi pada inkontinensia urge. Prostaglandin sendiri berperan pada

eksitasi neurotransmisi pada saluran kemih bagian bawah. Agonis β (Terbutaline) secara

teoritis dapat menyebabkan relaksasi otot detrusor. Selain diberikan per oral, berbagai macam

obat saat ini dapat diberikan per topikal intra-uretra.

Inkontinensia stress

Tujuan terapi pada inkontinensia stress adalah meningkatkan tonus otot sfingter uretra dan

resistensi bladder outlet. Obat-obatan yang dipakai adalah agonis adrenergik α, estrogen, dan

antidepresan trisiklik.

Agonis α.adrenergik Obat ini merupakan suatu stimulator reseptor adrenergik α yang

dapat menyebabkan kontraksi otot polos pada leher buli-buli dan uretra posterior. Jenis obat

yang diberikan adalah efedrin, pseudoefedrin, dan fenilpropanolamin. Obat ini cukup efektif

jika diberikan pada Inkontinensia stress derajat ringan dan sedang. Hati-hati pemakaian obat

ini pada pasien hipertensi, penyakit kardiovaskuler, dan hipertiroid. Ketiga obat-obat ini dapat

menyebabkan anoreksia, nausea, insomnia, konfusi, peningkatan tekanan darah, dan ansietas.

Fenilpropanolamine memberikan efek pada saraf pusat yang lebih kecil dibandingkan dengan

yang lain.

Estrogen. Pemakaian estrogen pada inkontinensia masih dalam perdebatan. Beberapa ahli

menyebutkan bahwa pemakaian kombinasi bersama obat adrenergik α mempunyai efek aditif

atau sinergisitik. Pemberian estrogen pada menopause dapat meningkatkan kembali jumlah

reseptor adrenergik α pada uretra. Pada saat menopause terjadi penurunan estrogen sehingga

semua jaringan yang keberadaannya membutuhkan estrogen menjadi atrofi, diantaranya

adalah otot dan jaringan pada dasar panggul. Estrogen dapat diberikan peroral atau pervagina.

Pemberian per oral dapat mengembalikan atau mencegah terjadinya atrofi jaringan

Pembedahan

Pada inkontinensia yang disebabkan oleh fistula atau kelainan bawaan ektopik ureter

tindakan yang paling tepat adalah pembedahan, berupa penutupan fistula atau neoimplantasi

ureter ke buli-buli. Inkontinensia urge dan inkontinensia stress tindakan pembedahan

dilakukan jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang maksimal. Pada inkontinensia

urge untuk mengurangi overaktivitas buli-buli dapat dilakukan rhizolisis, sedangkan

penurunan komplians buli-buli dilakukan augmentasi buli-buli. Hipermobilitas uretra

dikoreksi dengan melakukan suspensi leher buli-buli dengan berbagai teknik, antara lain:

Marshall-Marchetti-Kranzt (MMK), Burch, Stamey, tension-free vaginal tape (TVT), atau

teknik yang lain.

Dalam dokumen Dasar Dasar Urologi (Halaman 151-167)