Investasi pada saham Perseroan ini mengandung risiko. Para investor harus selalu secara hati-hati mempertimbangkan seluruh informasi yang tersedia pada Prospektus ini, terutama yang diuraikan di bawah ini, dalam mengevaluasi pembelian saham Perseroan. Risiko-risko lainnya yang mungkin belum tercakup atau sampai saat ini belum dirasakan cukup material dapat memberikan dampak negatif kepada kegiatan usaha, arus kas (cash flow), kinerja operasional, kinerja keuangan, atau prospek usaha Perseroan. Harga saham Perseroan dapat turun diakibatkan oleh salah satu dari risiko ini dan para investor mungkin dapat kehilangan seluruh atau sebagian investasinya. Para investor juga harus mengetahui bahwa beberapa dari pernyataan yang diuraikan di bawah ini merupakan pernyataan yang merupakan proyeksi, prediksi, dan/atau estimasi ketika dinyatakan proyeksi dan atau estimasi. Risiko-risiko yang diuraikan di bawah ini bukan hanya risiko-risiko yang dapat mempengaruhi Perseroan atau saham Perseroan. Perihal di bawah ini yang terkait dengan pemerintahan atau data makro ekonomi Indonesia dimana informasi tersebut diambil dari publikasi pemerintah atau sumber-sumber lain dan tidak diverifikasi secara terpisah oleh Perseroan.
Risiko Terkait Kegiatan Usaha Perseroan
1. Keterbatasan Perseroan dalam merekrut, melatih, mempertahankan, dan memotivasi personil kunci dapat mempengaruhi bisnis Perseroan.
Terdapat kekurangan personil kunci termasuk pilot, awak kabin dan engineer MRO di industri penerbangan di Indonesia dan global. Perseroan melihat bahwa kekurangan tenaga kerja ini akan meningkat karena Perseroan dan pesaing lainnya, khususnya di industri penerbangan Indonesia, berusaha meningkatkan jumlah armada pesawatnya. Meskipun Perseroan berkeyakinan bahwa tunjangan gaji dan lainnya bagi pilot, awak kabin, dan engineer MRO secara umum kompetitif dengan pesaing lainnya, namun karena adanya peningkatan permintaan untuk pilot, awak kabin, dan engineer MRO di industri penerbangan Indonesia, Perseroan dan pesaing lainnya harus meningkatkan gaji dan tunjangan lain dalam rangka untuk merekrut, mempertahankan, dan memotivasi personil inti ini. Selain itu, Perseroan juga perlu meningkatkan usaha pelatihan Perseroan bagi personil inti tersebut guna memastikan kecukupan tenaga kerja baru yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan Perseroan yang terus meningkat. Selain itu, karena saat ini Perseroan berusaha untuk meningkatkan jumlah armada pesawat, Perseroan akan merekrut, melatih dan mempertahankan beberapa pilot, dan awak kabin dalam rangka untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat pemanfaatan pesawat dan ketepatan waktu. Keterbatasan Perseroan dalam merekrut, melatih, mempertahankan, dan memotivasi personil kunci ini dapat berdampak negatif yang bersifat material terhadap kegiatan usaha, kondisi keuangan, dan hasil usaha Perseroan.
2. Keterbatasan infrastruktur dan fasilitas bandara internasional Soekarno-Hatta dan bandara lainnya di Indonesia dapat menghambat kemampuan Perseroan untuk meningkatkan utilisasi pesawat, memperbaiki kinerja ketepatan waktu (“On Time Performance” atau “OTP”) dan menyediakan jasa transportasi udara yang aman dan efisien.
Walaupun infrastruktur penerbangan komersial Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan beberapa tahun terakhir ini, sumber daya dari beberapa segmen pada industri penerbangan termasuk fasilitas bandara dan sistem kontrol lalu lintas udara, penggunaannya telah mencapai kapasitas maksimum sebagai akibat dari peningkatan yang signifikan pada volume lalu lintas udara. Kemampuan Perseroan dalam meningkatkan tingkat pemanfaatan, meningkatkan OTP, serta dalam rangka menyediakan sarana transportasi udara yang aman dan efisien di masa yang akan datang tergantung pada beberapa faktor dimana termasuk faktor yang di luar kendali Perseroan, antara lain:
kapasitas
• slot pendaratan di bandara-bandara yang dilayani oleh Perseroan, khususnya Bandara Internasional
Soekarno-Hatta di dekat Jakarta dan Bandara Internasional Ngurah-Rai di Denpasar, Bali;
keterbatasan operasi di sebagian bandara Indonesia-bandara Indonesia yang beroperasi 24 jam adalah Bandara •
Internasional Soekarno-Hatta di dekat Jakarta, Bandara Internasional Ngurah-Rai di Denpasar, Bali dan Bandara Internasional Polonia di Medan;
kapasitas penumpang di setiap terminal pada bandara utama yang dilayani Perseroan, khususnya di Bandara •
Internasional Soekarno-Hatta di dekat Jakarta;
kepadatan lalu lintas udara di beberapa bandara utama yang dilayani Perseroan, khususnya Bandara Internasional •
Ngurah-Rai di Denpasar, Bali dan Bandara Internasional Soekarno-Hatta di dekat Jakarta; kualitas pengendali lalu lintas udara (
• Air Traffic Controller) nasional; dan
kualitas sistem navigasi dan pengendalian lalu lintas darat pesawat di bandara-bandara Indonesia; •
keterbatasan pada panjang dan/atau kekuatan landasan, sehingga akan mempengaruhi kapasitas muatan •
Apabila salah satu dari faktor-faktor diatas tidak memadai, kemampuan Perseroan dalam melakukan ekspansi rute atau dalam meningkatkan frekuensi penerbangan pada rute yang telah tersedia, dalam meningkatkan ketepatan waktu serta dalam menyediakan sarana transportasi udara yang aman akan terpengaruhi, dan prospek bisnis serta hasil operasional Perseroan dapat terpengaruh secara material dan negatif.
3. Sumber utama pasokan bahan bakar berasal dari Pertamina.
Beban bahan bakar pesawat terbang mewakili 34,3%, 41,2%, 29,4% dan 31,8% dari total beban operasional di tahun 2007, 2008, dan 2009 dan untuk periode sembilan bulan yang berakhir pada tanggal 30 September 2010. Perseroan mendapatkan pengadaan sekitar 70% bahan bakar bakar sesuai dengan perjanjian yang dibuat dengan Pertamina, termasuk semua bahan bakar yang diperlukan untuk penerbangan di rute domestik. Perseroan mengadakan perjanjian pasokan bahan bakar selama lima tahun dengan Pertamina dan perjanjian pasokan bahan bakar dengan jangka waktu satu sampai dengan dua tahun dengan beberapa pemasok internasional. Perjanjian pasokan bahan bakar untuk internasional diperpanjang secara periodik dan pembayarannya menggunakan Dolar Amerika Serikat. Perjanjian pasokan bahan bakar domestik diperpanjang secara periodik dan pembayaran dilakukan dalam Rupiah untuk harga yang ditetapkan dalam Rupiah pula. Harga bahan bakar internasional umumnya ditetapkan dengan mengacu pada harga dasar rata-rata minyak yang dipublikasikan oleh Platts melalui Singapura berdasarkan Mean of Platts Singapore (MOPS), Mean of Platts Arab Gulf (MOPAG), Teluk Arab, Saudi Arabia dan Belanda, yang diterbitkan oleh ARAMCO atau Rotterdam. Harga bahan bakar domestik ditetapkan dengan mengacu pada umumnya termasuk diskon dari harga posting produksi dalam negeri Pertamina, yang ditentukan oleh Pertamina berdasarkan kebijakannya sendiri. Walaupun perjanjian pasokan bahan bakar antara Perseroan dengan Pertamina sebelumnya memberikan diskon persentase terhadap harga posting produksi, perjanjian dengan Pertamina terbaru menggabungkan diskon tetap terhadap harga posting produksi. Dengan demikian, Perseroan berkeyakinan bahwa, bila dibandingkan dengan kesepakatan bahan bakar sebelumnya dengan Pertamina, perjanjian baru tersebut akan menghasilkan diskon yang lebih rendah (dan harga bahan bakar yang lebih tinggi) sejalan dengan kenaikan harga posting produksi dalam negeri. Tidak adanya kepastian bahwa Perseroan akan memiliki kemampuan untuk memperoleh harga yang bersaing dari Pertamina akan memberikan dampak negatif yang bersifat material terhadap bisinis, kondisi keuangan, hasil usaha dan prospek Perseroan.
Perjanjian pasokan bahan bakar internasional mewajibkan adanya pembayaran di muka atau adanya letter of credit terhadap pengiriman bahan bakar, sedangkan perjanjian pasokan domestik dengan Pertamina saat ini mengijinkan Perseroan untuk melakukan pembayaran dalam dua minggu setelah pengiriman bahan bakar. Di masa lalu Perseroan pernah mengalami ketidakmampuan dalam pelunasan sejumlah beban bahan bakar kepada Pertamina, dimana jumlah tersebut telah dikonversikan menjadi hutang subordinasi jangka panjang pada restrukturisasi hutang yang terkini. Tidak adanya kepastian bahwa Perseroan akan mampu memenuhi pembayaran bahan bakar kepada Pertamina atau bahwa Pertamina akan melakukan restrukturisasi terhadap kewajiban yang telah jatuh tempo, maka keduanya dapat memberikan dampak negatif yang bersifat material terhadap bisnis, kondisi keuangan, hasil usaha dan prospek Perseroan.
4. Tidak terimplementasinya strategi Perseroan dapat berdampak pada bisnis Perseroan.
Strategi pertumbuhan Perseroan meliputi meningkatkan jumlah armada pesawat, meningkatkan frekuensi penerbangan dari tujuan yang ada, meningkatkan jumlah tujuan yang dilayani, memperluas ruang lingkup operasional dari SBU Citilink, dan melakukan segmentasi operasi dan pangsa pasar yang dilayani antara FSC Perseroan dengan brand Garuda Indonesia dan LCC Perseroan dengan brand Citilink. Pencapaian strategi pertumbuhan Perseroan baik untuk FSC maupun LCC sangatlah penting bagi bisnis Perseroan dalam rangka pencapaian skala ekonomis dan peningkatan profitabilitas Perseroan.
Strategi Perseroan untuk secara bersamaan mengembangkan baik bisnis FSC Perseroan dengan brand Garuda Indonesia dan bisnis LCC Perseroan dengan brand Citilink mengharuskan Perseroan untuk mengembangkan dua budaya perusahaan (corporate culture) yang terpisah dengan kebutuhan operasi serta fokus pelanggan yang berbeda. Walaupun saat ini Citilink merupakan bagian dari kegiatan SBU Perseroan, namun di masa yang akan datang Perseroan berencana untuk melakukan pemisahan kegiatan usaha menjadi PT Citilink Indonesia (“Citilink”) anak perusahaan yang terpisah, dimana hal ini mengharuskan Perseroan untuk memenuhi persyaratan pembelian minimum jumlah pesawat dan beberapa syarat-syarat operasional yang wajib dimiliki oleh Citilink dalam rangka untuk mendapatkan Sertifikat Operator Pesawat (“AOC”). Peningkatan jumlah armada pesawat baik untuk bisnis FSC Perseroan dengan brand Garuda Indonesia maupun bisnis LCC Perseroan dengan brand Citilink akan membutuhkan sejumlah belanja modal yang cukup signifikan dan pembayaran lain untuk pembelian pesawat serta beban sewa terkait sewa operasi dan akan mengharuskan Perseroan untuk merekrut, melatih, mempertahankan serta memotivasi awak pesawat terbang dalam rangka untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat pemanfaatan pesawat. Segmentasi operasi Perseroan dan pangsa pasar yang dilayani antara bisnis FSC Perseroan dengan brand Garuda Indonesia dan bisnis LCC Perseroan dengan brand Citilink mengharuskan Perseroan untuk melakukan penyempurnaan
sistem manajemen pendapatan dan PSS dalam rangka untuk memaksimalkan kapasitas yang terisi dan pendapatan per penerbangan. Perseroan berkeyakinan bahwa sistem manajemen pendapatan yang digunakan oleh bisnis FSC Perseroan dengan brand Garuda Indonesia saat ini relatif kurang memiliki fleksibilitas penetapan harga dibandingkan dengan pesaingnya, dan saat ini Perseroan sedang dalam proses pemutakhiran perangkat lunak untuk meningkatkan fleksibiltas tersebut meningkatkan kemampuan Perseroan dalam mengalokasikan persedian tempat duduk diantara tarif kelas yang berbeda dan proyeksi permintaan pasar yang lebih baik. Perseroan tidak dapat memastikan keberhasilan dari segmentasi operasi kegiatan usaha antara FSC Perseroan dengan brand Garuda Indonesia dan LCC Perseroan dengan brand Citilink serta kegagalan Perseroan dalam pencapaiannya dapat berdampak negatif yang bersifat material terhadap bisnis, kondisi keuangan, serta kegiatan operasional Perseroan.
Peningkatan jumlah tujuan yang dilayani akan bergantung pada kemampuan Perseroan dalam mengakses bandara yang terletak pada sasaran pasar geografis yang mana hal ini haruslah sejalan dengan strategi biaya Perseroan. Perseroan membutuhkan hak lalu lintas udara dan slot pendaratan sebelum Perseroan dapat melayani tujuan baru tersebut. Penambahan pelayanan ke tujuan baru mengharuskan Perseroan untuk menempatkan sumber dana dan lainnya, bahkan sebelum dimulainya pelayanan baru. Kemungkinan pada awal pelayanan tersebut Perseroan akan mengalami rendahnya jumlah penumpang sehingga diperlukannya harga promosi ke rute tujuan baru tersebut dimana akan memberikan dampak negatif terhadap profitabilitas rute tujuan baru ini. Peningkatan frekuensi penerbangan ke tujuan-tujuan yang sudah tersedia mengharuskan Perseroan untuk mendapatkan slot pendaratan dan membuka gates tambahan di beberapa tujuan tersebut. Kondisi apapun yang mungkin menolak, membatasi atau menunda akses Perseroan ke bandara yang dilayani di masa yang akan datang akan menghambat kemampuan Perseroan untuk berkembang.
Strategi pertumbuhan Perseroan juga akan membutuhkan tambahan pegawai, peralatan dan fasilitas. Keterbatasan Perseroan dalam merekrut dan mempertahankan tenaga kerja terlatih atau memastikan ketersediaan peralatan yang dibutuhkan dan efisiensi dari fasilitas dan efektifitas biaya dapat mempengaruhi kemampuan Perseroan dalam mencapai strategi pertumbuhan. Strategi pertumbuhan tersebut memungkinan adanya optimalisasi penggunaan sumber daya manajemen dan operasional, sistem keuangan dan manajemen informasi sampai dititik dimana semua hal tersebut tidak cukup untuk dapat membantu kegiatan usaha sehingga mengharuskan Perseroan untuk mengeluarkan belanja modal yang cukup signifikan untuk pengembangan di bagian ini. Perseroan berharap untuk dapat mengembangkan kendali dalam hal keuangan, operasional, dan manajemen, sistem pelaporan serta prosedur-prosedur untuk mengakomodasi pertumbuhan di masa yang akan datang. Perseroan tidak dapat memastikan untuk dapat mengembangkan kendali, sistem atau prosedur ini tepat waktu atau bahkan tidak sama sekali.
Kegagalan Perseroan dalam menerapkan strategi pertumbuhan dapat berdampak negatif terhadap kinerja operasi dan arus kas di masa yang akan datang dimana hal ini dapat berdampak negatif terhadap pembayaran uang muka untuk armada pesawat terbang baru, membatasi kemampuan Perseroan untuk memenuhi pembayaran kewajiban tambahan dan kewajiban tetap lain yang dibutuhkan untuk ekspansi dari armada pesawat terbang Perseroan dan akan berdampak negatif terhadap kemampuan Perseroan dalam memenuhi syarat dari perjanjian sewa armada pesawat terbang dan mesin. Selain itu, keterlambatan dalam pemenuhan pembayaran uang muka untuk pesawat baru dapat mengakibatkan adanya penalti dengan adanya tambahan kewajiban sesuai dengan syarat perjanjian pembelian pesawat dengan Airbus dan Boeing.
Perseroan tidak dapat memastikan untuk dapat menerapkan dengan sukses strategi pertumbuhan dan kegagalan Perseroan dalam pencapaiannya dapat berdampak negatif terhadap bisnis, kondisi keuangan, serta hasil usaha Perseroan.
5. Tingginya tingkat hutang dan pembayaran kewajiban tetap dapat mempengaruhi kemampuan Perseroan dalam penerapan strategi Perseroan.
Walaupun Perseroan baru menyelesaikan restrukturisasi hutang dan kewajiban tetap lainnya, Perseroan tetap memiliki tingkat hutang dan kewajiban tetap lainnya yang cukup tinggi. Selain itu, Perseroan juga diharuskan untuk menambah jumlah hutang dan kewajiban tetap yang cukup signifikan sehubungan dengan penerapan strategi pertumbuhan Perseroan.
Per tanggal 30 September 2010, setelah penyelesaian restrukturisasi hutang, Perseroan memiliki jumlah hutang (termasuk hutang jangka panjang, kewajiban dalam bentuk sewa pembiayaan dan hutang pinjaman jangka pendek) sebesar Rp4.622,4 miliar, yang merupakan 70,1% dari total kapitalisasi Perseroan (diperhitungkan sebagai total hutang jangka panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun dan total ekuitas). Sebagian dari hutang jangka panjang dan seluruh hutang jangka pendek Perseroan dikenakan suku bunga mengambang. Untuk hutang jangka panjang, Perseroan memiliki sejumlah kewajiban tetap yang signifikan dalam bentuk sewa operasi dan sewa pembiayaan terkait armada pesawat terbang Perseroan, ruang terminal bandara, fasilitas bandara dan ruangan lainnya. Per tanggal 30 September 2010, pembayaran minimum untuk sewa operasi di masa yang akan datang sekitar Rp14.944,4 miliar.
Per tanggal 30 September 2010, Perseroan memiliki komitmen pembelian pesawat sebesar Rp24.460 miliar, termasuk proyeksi kenaikan harga untuk membeli 27 pesawat tambahan (dimana satu diantaranya telah dikirimkan pada bulan Oktober 2010) sampai dengan tahun 2016, yang terdiri dari 11 pesanan Boeing 737-800, 10 pesanan Boeing 777 dan 6 pesanan Airbus A330-200 dan memiliki opsi untuk membeli tambahan 4 pesawat Airbus A330-200. Pembayaran uang muka untuk pembelian pesawat biasanya dibiayai melalui arus kas operasi dan hutang. Sebelum pengiriman, pesawat-pesawat yang dibeli tersebut umumnya dikonversikan menjadi perjanjian sewa operasi dalam transaksi sale and leaseback melalui perusahaan penyewaan pesawat. Dengan demikian, Perseroan dapat menutupi pembayaran uang muka dan mengurangi belanja modal Perseroan namun meningkatkan biaya uang jaminan dan beban sewa pesawat. Walaupun Perseroan berkeyakinan bahwa dana internal dari kegiatan usaha Perseroan cukup untuk membiayai pembayaran uang muka untuk pengiriman pesawat Boeing 737-800 dan Airbus A330-200 yang tersisa. Perseroan akan tetap membutuhkan perencanaan pendanaan pembayaran uang muka untuk pengiriman 10 pesawat Boeing 777. Pinjaman ECA dan Pinjaman Komersial membatasi kemampuan Perseroan dalam menambah hutang sehingga Perseroan tidak dapat memastikan bahwa Perseroan mampu untuk mendapatkan hutang tambahan terkait pembiayaan pengiriman 26 pesawat (termasuk pembayaran uang muka). Selain itu, walaupun Perseroan mampu mengeluarkan tambahan hutang, Perseroan tidak dapat memastikan bahwa baik hutang atau sewa pembiayaan akan tersedia untuk pengiriman tipe pesawat tersebut (termasuk pembayaran uang muka) pada syarat-syarat yang dapat diterima oleh Perseroan atau tidak sama sekali. Pinjaman ECA dan Pinjaman Komersial Perseroan memiliki pembatasan yang mungkin, dalam kondisi tertentu, dapat membatasi kemampuan Perseroan dalam mengeluarkan hutang tambahan dan biaya sewa pesawat tambahan. Sehingga dalam hal ini Perseroan tidak dapat memastikan bahwa Perseroan mampu untuk mengadakan perjanjian sewa operasi pesawat dalam meningkatkan jumlah armada pesawat Perseroan.
Tingginya tingkat hutang dan kewajiban tetap, dapat berpengaruh pada Perseroan sebagai berikut:
• mempengaruhi kemampuan Perseroan dalam mendapatkan tambahan pendanaan dalam mendukung rencana ekspansi dan modal kerja dan keperluan lainnya atau tidak sama sekali;
• mengalihkan arus kas yang signifikan dari kegiatan usaha dan rencana ekspansi untuk memenuhi kewajiban tetap Perseroan;
• mengharuskan Perseroan untuk dapat menanggung beban bunga atau beban sewa yang lebih besar daripada saat ini, karena sebagian besar hutang Perseroan memiliki beban bunga yang mengambang dan beberapa armada pesawat disewa menggunakan tingkat bunga variable;
• menempatkan Perseroan di posisi yang kurang kompetitif dibandingkan pesaing lain yang memiliki tingkat hutang yang lebih rendah dan pesaing lain yang memiliki akses yang lebih baik ke sumber-sumber permodalan; dan • mengharuskan Perseroan untuk mematuhi pembatasan-pembatasan keuangan dan lainnya, termasuk
pembatasan kemampuan Perseroan dalam mengumumkan pembagian dividen atau memperoleh tambahan pinjaman.
Kemampuan Perseroan dalam mengatur pembayaran hutang dan kewajiban tetap lainnya akan bergantung pada kinerja operasional dan arus kas, dimana pada akhirnya akan bergantung pada kondisi ekonomi dan politik saat ini dan faktor-faktor keuangan, persaingan, peraturan, bisnis dan lainnya, dimana banyak dari faktor-faktor tersebut berada di luar kendali Perseroan. Sebagai contoh, ketidakstabilan politik, memburuknya ekonomi, likuiditas Dolar Amerika Serikat dan bank-bank dalam Rupiah dan pasar modal dengan instrumen hutang, ketidakstabilan sosial atau perubahan dalam peraturan dapat meningkatkan beban pinjaman Perseroan atau membatasi kemampuan Perseroan untuk memperoleh pinjaman. Perseroan tidak dapat memastikan bahwa Perseroan dapat menghasilkan arus kas yang cukup dari operasi bisnisnya untuk memenuhi hutang dan kewajiban tetap lainnya pada saat jatuh tempo dan kegagalan Perseroan dalam memenuhi kewajiban tersebut berdampak negatif yang bersifat material terhadap bisnis, kondisi keuangan, serta kegiatan usaha Perseroan.
Dengan adanya pembiayaan kegiatan usaha Perseroan dengan menggunakan tambahan pinjaman dapat mewajibkan Perseroan untuk patuh pada pembatasan keuangan dan lainnya yang dapat membatasi kemampuan Perseroan dalam pencapaian strategi pertumbuhan Perseroan. Apabila Perseroan tidak dapat memenuhi pembayaran hutang dan kewajiban tetap lainnya, Perseroan mungkin terpaksa untuk melakukan renegosiasi kewajiban-kewajiban tersebut atau memperoleh pendanaan tambahan baik dalam bentuk ekuitas ataupun hutang. Perseroan tidak dapat memastikan bahwa upaya renegosiasi di masa yang akan datang akan berhasil atau tepat waktu atau bahwa Perseroan dapat melakukan refinance kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kondisi-kondisi yang dapat diterima, atau tidak sama sekali.
6. Setelah selesainya Penawaran Umum, Pemerintah akan tetap sebagai pemegang saham pengendali Perseroan.
Setelah Penawaran Umum berakhir, Pemerintah, melalui Kementerian Negara BUMN akan memiliki sekitar 69% saham Perseroan yang beredar. Sebagai pemegang saham pengendali, Pemerintah mengendalikan secara efektif hal-hal yang membutuhkan keputusan pemegang saham, termasuk komposisi Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan serta menentukan waktu dan jumlah pembayaran dividen. Selain itu, sebagai pemegang saham pengendali, melalui Kementerian BUMN, pemerintah memegang saham Seri A Dwiwarna, yang memiliki hak khusus yang tidak tersedia bagi para pemegang saham Seri B. Saham Seri A Dwiwarna memberikan Pemerintah kekuasaan dalam mengangkat dan memberhentikan Direksi dan Dewan Komisaris, menyetujui perubahan pada Anggaran Dasar Perseroan, termasuk perubahan apapun terkait modal Perseroan, menyetujui merger, konsolidasi, akuisisi, atau pemisahan kegiatan usaha Perseroan dan persetujuan likuidasi atau permohonan kepailitan. Pemerintah di masa lalu pernah mempengaruhi, dan mungkin akan terus mempengaruhi strategi dan kegiatan usaha Perseroan.
Tidak dapat dipastikan bahwa Pemerintah akan menggunakan kendali dan pengaruhnya untuk keuntungan Perseroan dan pemegang saham lainnya. Pemerintah dapat mewajibkan Perseroan untuk melakukan tindakan yang tidak sejalan, atau mungkin bertentangan dengan, kepentingan Perseroan atau pemegang saham lainnya. Sebagai contoh, Pemerintah dapat meminta Perseroan untuk melakukan suatu transaksi yang tidak sesuai dengan kebijakan Perseroan. Karena Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan terkait transportasi udara, Perseroan dapat diminta untuk membuka rute penerbangan ke tujuan yang tidak menguntungkan, atau tidak sesuai dengan strategi bisnis Perseroan. Berdasarkan Undang-undang No.19 tahun 2003 tentang BUMN, Pemerintah wajib memberikan kompensasi yang wajar ketika Perseroan menetapkan rute penerbangan atau melakukan kegiatan usaha yang terkait dengan kepentingan umum (Public Service Obligation / “PSO”) atas permintaan Pemerintah. Namun tidak dapat dipastikan bahwa kompensasi tersebut, jika disetujui, akan dibayarkan tepat waktu atau ketika dibayarkan akan sesuai dengan tingkat pengembalian investasi Perseroan. Tidak dapat pula dipastikan bahwa Perseroan dapat menjadi terlepas dari kendali Pemerintah sebagai pemegang saham atau jika ada kemungkinan bagi Perseroan untuk menjadi independen akan dapat menerapkan kebebasan tersebut secara efektif dalam mengambil keputusan terkait kegiatan dan prospek usaha Perseroan, termasuk keputusan mengenai kompensasi dari Pemerintah apabila Perseroan melakukan PSO. Perseroan mungkin harus menyetujui untuk melakukan PSO dan apabila Perseroan tidak mendapat kompensasi yang layak dari Pemerintah, hal ini akan berdampak negatif yang bersifat material terhadap kegiatan usaha, kondisi keuangan, hasil usaha dan prospek Perseroan.
7. Kemampuan Perseroan dalam menetapkan tarif penerbangan pada segmen tertentu dipengaruhi oleh