• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA TATA RUANG ARSITEKTUR PESISIR SEBAGAI ALTERNATIF DESAIN RUMAH USAHA DI DESA KALANGANYAR SIDOARJO

Fairuz Mutia1, Eva Elviana2, Adibah Nurul Yunisya3

123Program Studi Arsitektur, Fakultas Arsitektur dan Desain, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Jl. Rungkut Madya, Surabaya E-mail: fairuzmutia.ar@upnjatim.ac.id

ABSTRAKS

Kalanganyar merupakan kawasan pesisir yang berkembang, sehingga sebagian warga menggunakan hunian sebagai alternatif area untuk mendapatkan penghasilan dengan membuka usaha. Profesi warga sebagai pengelola tambak maupun nelayan menghasilkan komoditas bahari berupa hasil laut/tambak. Jauhnya jarak antara pasar dengan areal pertambakan menyebabkan banyak warga berjualan di depan rumah, yang berakibat hunian terkesan kumuh karena memiliki sanitasi kurang baik dan secara visual kurang menarik minat pembeli. Hal ini menyebabkan perlunya pola tatanan ruang dan desain yang baik bagi hunian usaha. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan metode perancangan pragmatis. Dari hasil penelitian, belum adadesain rumah usaha yang baik, dalam tata ruang maupun kualitas sanitasinya. Sebagian besar masih memanfaatkan teras secara apa adanya. Dengan menggunakan pendekatan arsitektur pesisir, dihasilkan pola tata ruang yang didasarkan dari nilai efektifitas sesuai kebutuhan, fungsi, estetika dan komersial. Hasil penelitian mengutamakan aplikasi filosofi ruang arsitektur pesisir dengan penggunaan material lokal dalam membuat model ruang usaha yang fungsional

Kata Kunci: arsitektur pesisir, material lokal, rumah-usaha, tata ruang

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desa Kalanganyar merupakan desa yang terletak di ujung timur KabupatenSidoarjo. Dengan kondisi geografisnya yang berada di pesisir, maka sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan maupun pengelola tambak. Luas tambak yang ada berada di kisaran 2/3 luas kawasannya, menjadikan kawasan ini sebagai area yang didominasi oleh budidaya ikan bandeng dan udang. Beberapa area tambak tersebar hampir berbatasan langsung dengan laut, dan berada di area yang cukup jauh dari area permukiman. Area permukiman berada di sebelah barat kawasan, dan beberapa tersebar di sepanjang jalan menuju ke timur kawasan. Oleh karena terletak jauh dari pusat keramaian permukiman, maka beberapa hunian yang berada di areal tambak memanfaatkan areal depan rumahnya untuk menjual produk hasil budidaya tambak maupun hasil tangkapan dari laut. Hal ini juga diakrenakan jauhnya pasar desa dari areal pertambakan, sehingga para penjual membutuhkan waktu tempuh yang cukup jauh jika ingin berjualan di pasar, sehingga mereka memutuskan untuk menjual produk mereka dari rumah sendiri.

Beberapa hunian yang melakukan fungsi hunian – usaha seperti ini cukup banyak, dan bertetangga. Masing – masing hunian memiliki usaha masing – masing. Hunian ini kemudian terkesan sangat kumuh dengan sanitasi yang kurang baik, karena langsung melakukan pembersihan hasil tambak/laut di area tersebut. Limbah perut ikan dan organ dalam, membuat polusi visual dan udara. Hal ini juga mengundang lalat untuk datang dan berterbangan, mengakibatkan higienitas produk disangsikan.

Sedangkan merujuk pada kondisi eksisting yang merupakan bagian dari geografis khas pesisir, maka selayaknya terdapat nilai – nilai dan pola tata ruang khas pesisir yang dapat diterapkan pada desain rumah usaha yang ideal.

1.2 Tinjauan Pustaka

Menurut Egam dan Rengkung (2016) karakter fisik permukiman sebagai kawasan permukiman pesisir ditandai dengan aktivitas kolektif sebagai nelayan. Aktivitas nelayan dijadikan identitas permukiman sebagai permukiman nelayan yang diimplementasikan dalam pemanfaatan ruang baik ruang secara personal dalam satu hunian, maupun ruang komunal di sepanjang pesisir dalam kawasan permukiman. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan potensi alam berupa tepian air menjadi fokus utama ciri arsitektur pesisir. Menurut Alamsyah dalam Putri (2013) tipe bangunan perumahan sesuai kultur komunitas pemukim kepulauan di Indonesia terbagi menjadi 6 jenis, yakni :

44

SNT2BKL-ST-6

1. Rumah Non Panggung yang berada di daratan 2. Rumah Panggung yang ada di air tawar 3. Rumah terapung yang ada di air tawar

4. Rumah panggung yang terdapat di area pasang surut air laut 5. Rumah panggung di atas permukaan air laut

6. Rumah terapung di atas laut

Dalam konteks permukiman, tipologi fungsi sebagai permukiman pesisir dengan aktivitas nelayan, menunjukan perbedaan yang cukup kental. Semakin menjauh posisi bangunan hunian dari pesisir pantai, karakter permukiman pesisir akan melemah (Egam dan Rengkung, 2016). Menurut Fauzy, Sudikno dan Salura (2012) berdasar catatan sejarah ada tiga etnis pendatang yang melakukan kegiatan perdagangan di kawasan kota Pesisir, bahkan menetap dalam waktu yang cukup lama, yakni : etnis Cina, Arab dan Belanda. Pada era tersebut mulai terjadi akulturasi budaya yang kemudian menjadi kunci dan benih tumbuhnya budaya pesisir.

Kawasan pesisir dianggap sebagai kawasan yang luwes karena terbuka bagi pendatang dan memudahkan proses akulturasi budaya ini berlangsung. unsur-unsur budaya yang membentuk cikal bakal budaya Pesisir. Kawasan kota Pesisir dianggap sebagai daerah yang terbuka bagi pendatang, sehingga memudahkan terjadinya proses pertemuan dan percampuran budayamelalui kegiatan berdagang. Fauzy, Sudikno dan Salura (2012) menambahkan, dalam perkembangannya percampuran budaya (Cina, Arab dan Belanda) memberikan pengaruh pada arsitektur masyarakat kota Pesisir yang terwujud dalam berbagai ragam nilai dan bentuk yang didasarkan pada sosok dan wujud arsitekturnya.

Bentuk dan pola tata ruang pesisir juga memiliki keterhubungan dengan adanya tipe kegiatan dan tipe ruang. Secara garis pesisir menurut Fauzy, Sudikno dan Salura (2012), penggunaan pola tata ruang pada masyarakat Jawa, fokus kepada hubungan antara manusia tersebut kepada Tuhannya, kepada alamnya, kepada manusia lain, dan juga dirinya sendiri.

1.3 Metodologi Penelitian

Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif. Menurut Groat dan Wang (2002) kualitatif merupakan penelitian dengan fokus multi-metode yang berusaha menafsirkan pengertian atau makna yang diberikan oleh masyarakat, sehingga berfokus pada interpretasi dan makna dan mengutamakan setting ilmiah. Tujuan dari penelitian kualitatif adalah mengungkapkan fakta, keadaan, fenomena, dan variabel dengan apa adanya sesuai dengan kondisi di lokasi penelitian. Analisa pola tata ruang eksisting menggunakan teknik typological analysis dan dibahas secara deskriptif. Hasil sintesis kemudian digunakan sebagai konsep awal rancangan, yang kemudian dikejawantahkan menjadi desain dengan metode perancangan pragmatis. Nilai – nilai arsitektur pesisir dirangkum secara character appraisal dan menjadi konsep rancangan. Hal ini kemudian menghasilkan pola tata ruang hunian – usaha di Desa Kalanganyar Sidoarjo yang efektif, higienis, dan juga menarik secara visual.

.

2. PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Umum

Desa Kalanganyar terletak di batas timur Kabupaten Sidoarjo, yang hanya memiliki areal permukiman tidak lebih dari sepertiga luasan desanya. Sebagian besar luasan desa dimanfaatkan sebagai area pertambakan. Menurut Spillane dalam Tahir (2005), salah satu pembentuk desa wisata adalah attractions. Attractions ini merupakan destinasi utama dalam aspek wisata lingkungannya. Aspek ini perlu didukung dengan aspek – aspek lain, salah satunya adalah Facility (Elviana dkk, 2018). Jika merujuk pada kondisi karakter kawasan, menggunakan character appraisal maka dapat ditabulasikan beberapa karakter pariwisata kawasan Desa Kalanganyar sebagai berikut:

45

SNT2BKL-ST-6

Tabel 1. Character Appraisal Aspek Wisata Desa Kalanganyar (Elviana dkk., 2018)

No, Aspek Wisata menurut Spillane dalam Tahir

Character Appraisal Kawasan

1 Attractions a. Potensi utama kawasan adalah Kolam Pemancingan dan Pertambakan

b. Potensi yang belum ada namun dapat menjadi daya tarik utama adalah wisata susur sungai

2 Facilities Beberapa fasilitas penunjang yang mampu mendukung potensi utama kawasan:

a. Warung makanan/ fasilitas memasak produk tambak/pemancingan

b. Hunian usaha yang menjual produk / olahan produk tambak dan laut

3 Infrastructure Jaringan infrastruktur yang ada pada area Desa Kalanganyar meliputi akses jalan

beraspal dan paving (lingkungan, saluran PDAM dan listrik serta kabel telepon dan internet)

4 Transportation Transportasi pada kawasan didominasi oleh adanya kendaraan pribadi berupa

sepeda motor, mobil pribadi, namun terdapat jaringan angkutan umum yang menjangkau hingga hampir ke seluruh kawasan

5 Hospitality Keramah – tamahan masyarakat tergambar dari begitu terbukanya penduduk

46

SNT2BKL-ST-6

Dari hasil tabulasi character appraisal kawasan ini didapatkan bahwa hunian usaha merupakan aspek facilities, dimana aspek ini merupakan penunjang dari aspek wisata utama kawasan. Aspek bahari inilah yang mendorong melimpahnya hasil tambak dan tangkapan nelayan. Produk dan hasil tambak ini dijual di pasar desa, selain itu juga langsung dijual di kolam pemancingan. Dikarenakan lokasi pasar desa yang terletak cukup jauh dari beberapa areal pertambakan terdekat maka beberapa pengelola memutuskan untuk berjualan di depan rumah.

Gambar 1. Jarak tempuh Pasar Desa dengan Permukiman (sumber: googlemaps, 2018)

Hal ini pada akhirnya menimbulkan magnet baru bagi kawasan, terutama akhirnya beberapa bangunan privat yang beralih menjadi hunian usaha. Hunian yang beralih fungsi ini bertetangga, sehingga terdapat satu deretan khusus yang memiliki fungsi sama yakni hunian – usaha yang berfokus pada hasil tangkapan laut dan tambak.

Gambar 2. Hunian – Usaha Desa Kalanganyar yang menjual hasil tambak/laut

2.2 Pola Perilaku

Dengan adanya beberapa hunian yang berderet membentuk fungsi baru, terbentuklah magnet kawasan yang baru, dan berpotensi memiliki fungsi khusus yang juga baru. Hal ini terlihat dari adanya beberapa fungsi baru yang terletak di seberang hunian usaha, membuka warung makanan yang menawarkan untuk mengolah hasil bakar olahan produk tambak/laut. Saat ini, lokasi pasar desa lama sudah tidak lagi menjadi landmark kawasan yang diketahui oleh pengunjung, namun pusat keramaian baru ini yang dinamakan Pasar Kalanganyar (data wawancara, 2018). Hal – hal yang bersifat non fisik seperti ini perlu untuk dapat difasilitasi lebih lanjut.

Tipologi hunian pesisir menurut Fauzy dkk (2012) terdapat konsep fungsi dalam penggunaan ruang masyarakat pesisir. Pada pola penggunaannya, hunian masyarakat pesisir didominasi budaya arab pada pesisir utara Jawa Timur. Hal ini nyatanya berpengaruh pada pola hunian yang ada. Beberapa contoh penggunaan tipologi ruang rumah penduduk dapat dilihat sebagai berikut:

47

SNT2BKL-ST-6

Gambar 3. Contoh pola hunian masyarakat pesisir utara Jawa Timur (Fauzy, 2012)

Sebagian besar masyarakat Kalanganyar menggunakan teras rumahnya untuk dialih-fungsikan menjadi area usaha. Penggunaan ruang dalam dan tipologi ruang dalam rumah bervariasi, namun kesemuanya memiliki kesamaan yakni menggunakan ruang halaman dan teras rumah sebagai area usaha. Hal ini dikarenakan lokasi yang berbatasan dengan jalan raya sebagai akses, yang menimbulkan potensi usaha yang cukup menggiurkan. Beberapa hunian akhirnya bertransformasi menjadi sepenuhnya fungsi usaha pada lantai 1, dan fungsi hunian di lantai 2.

Pola ruang usaha pada hunian-usaha ini bervariasi, dan didapatkan beberapa pola yang menjadi pola umum pada hunian di Desa Kalanganyar sebagai berikut:

Gambar 4. Perubahan Pola Tata Ruang Hunian menjadi Hunian – Usaha Desa Kalanganyar

RUANG TAMU & RUANG KELUARGA DAPUR R. TIDUR R. TIDUR TERAS HALAMAN RUANG USAHA RUANG TAMU & RUANG KELUARGA R. TIDUR R. TIDUR DAPUR

48

SNT2BKL-ST-6

Penggunaan ruang – ruang usaha ini belum memperhatikan aspek fungsional ruang, dan juga higienitas. Benda – benda ditata ala – kadarnya dan digunakan material seperlunya untuk membentuk ruang yang dapat digunakan untuk berjualan. Penutup atap menggunakan kanopi ataupun perpanjangan atap rumah. Beberapa juga tidak secara msif ditutup, melainkan dibiarkan semi terbuka untuk mengurangi polusi udara amis yang ditimbulkan oleh hasil laut yang dijual.

2.3 Nilai Non Fisik Arsitektur Pesisir : Pola Perilaku Jual Beli Masyarakat

Dalam standar toko ikan, Neufert (2002) menyatakan perlunya ice cooler dan desain perabot yang terpadu untuk menanggulangi aspek sanitasi produk ikan. Hal ini cukup sulit diterapkan jika menggunakan Neufert yang merupakan standar barat, karena sangat memaksimalkan fungsi ice cooler yang menggunakan listrik. Perlu adanya sistem standarisasi yang sama nyamannya dengan standar ini namun mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang lebih ramah terhadap kehidupan masyarakat pesisir nusantara. Jika mengacu pada standar barat, ada sebuah proses yang akan dilewati. Perbedaan budaya yang ada di Indonesia mengakibatkan terjadinya kegiatan yang berbeda, yang memungkinkan untuk dapat pula dipertimbangkan untuk diwadahi.

Alternatif pola tata ruang yang telah ada diolah sedemikian rupa bergantung pada program fungsi yang akan diwadahi. Beberapa analisa aktifitas pelaku baik penjual dan pembeli dapat ditabulasi sebagai berikut:

Tabel 2. Analisa Aktifitas Pelaku Jual Beli Hunian – Usaha Desa Kalanganyar

No. Aktifitas Pelaku Aktifitas Pelaku Visualisasi Aktifitas

1 Penjual Berjualan :

1.Menawarkan barang dagangan

2.Memilihkan ikan yang akan dibeli

3.Menimbang kilogram berat ikan

4.Membersihkan organ dalam dan

sisik ikan

5.Memasukkan ikan ke dalam

bungkus

6.Menyerahkan kepada pembeli

2 Pembeli Membeli :

1.Memilih – milih barang dagangan

2.Menunjuk barang yang akan

dipilih

3.Meminta untuk dibersihkan

4.Menerima ikan dan membayar

Dari hasil tabulasi ini didapatkan kebutuhan – kebutuhan proses jual beli yang perlu untuk diwadahi dalam desain pola tata ruang yang fungsional bagi hunian – usaha di Desa Kalanganyar. Proses dan aktifitas pelaku ini kemudian dihubungkan menjadi bubble diagram yang sesuai dengan pola dan hubungan kedekatan aktifitas yang ada sebagai berikut

Keterangan: : Penjual

: Penjual dan Pembeli

Display Produk Hasil Laut/Tambak Timbangan Area Membersih-kan Produk

49

SNT2BKL-ST-6

Gambar 5. Pola Aktifitas Pelaku Hunian – Usaha Desa Kalanganyar

Pola – pola ini kemudian digunakan dalam organisasi ruang yang ideal sesuai dengan kapasitas dan interaksi pelaku yang ada. Menggunakan metode pragmatis, digunakan letak perabot yang sesuai dengan organisasi ruang yang ada dalam beberapa alternatif sebagai berikut

Tabel 3. Alternatif pola tatanan ruang usaha pada hunian Desa Kalanganyar

Desain Eksisting Alternatif Desain 1

Kelebihan:

1. Tidak menggunakan space yang

terlalu banyak

2. Pengaturan ruang dapat diubah

secara fleksibel Kekurangan:

1. Tidak ada ruang hijau

2. Tidak ada area untuk mencuci dan

memebersihkan ikan yang layak

3. Sirkulasi privat dan publik sama

Kelebihan:

1. Mewadahi segala aktifitas utama jual

– beli ikan

2. Memiliki akses privat – publik

3. Memiliki sedikit area hijau

4. Memaksimalkan space yang ada

Kekurangan:

1. Pengaturan ruang yang kurang

fleksibel

Dari hasil analisa fungsi masyarakat pesisir Desa Kalanganyar ini didapatkan alternative desain pola ruang yang memungkinkan adanya pewadahan aspek – aspek kegiatan masyarakat pesisir sekaligus mewadahi aspek higienitas. Pola tata ruang ini dapat dikembangkan lebih jauh menjadi detail perabot dan pemipaan saluran air kotor dan air bersih yang baik dan mendukung tingkat higienitas ruang.

2.4 Nilai Fisik Arsitektur Pesisir sebagai Konsep Desain Tata Ruang

Pola perilaku masyarakat pesisir sejatinya merupakan pengaruh dari akulturasi kebudayaan, dan hal ini pula yang membentuk nilai – nilai arsitekturnya. Belum ada pattern yang jelas dalam tipologi arsitektur pesisir selain dari tipe struktur dan konstruksinya. Terkait nilai – nilai ruang dan bentuk merupakan proses akulturasi budaya yang bisa beragam antara area satu dan lainnya. Nilai – nilai fisik ini kemudian diinterpretasikan dalam bentukan – bentukan arsitektural yang mampu menunjang pola aktifitas baru ini

2.4.1 Struktur dan Konstruksi

Penggunaan struktur dan konstruksi yang mencerminkan kekhas-an arsitektur pesisir yakni dengan menggunakan system panggung, walaupun hunian tidak berada di atas air. Penggunaan system panggung sebenarnya juga sudah sering dilakukan terutama pada masa Jawa Kuno (Darwanto, 2012). Penggunaan system ini selain memberikan area resapan air yang ideal, juga mampu menjadi ciri khas yang unik bagi kawasan. Adanya

Teras +0.25 Teras +0.25 R. Usaha +0.25 R. Usaha +0.05 +0.05

50

SNT2BKL-ST-6

leveling bertingkat pada area ini juga mampu menjadi pemisahan fungsi area komersial (usaha) dan area private (hunian). Kemudian penggunaan material – material organic yang berasal dari alam dapat menjadi bahan utama untuk memberikan visual yang baik dan mampu memenuhi kebutuhan ruang, terutama memberikan area resapan air yang cukup bagi hunian dengan lahan yang terbatas

Gambar 6. Alternatif Penggunaan Struktur - Konstruksi Hunian – Usaha Desa Kalanganyar

2.4.2 Fasade dan Isometri Bangunan

Fasade bangunan yang mencerminkan kekhas-an arsitektur pesisir dapat dicerminkan melalui adanya penggunaan – penggunaan sumbu simetris dan non simetris sebagai akulturasi antara budaya colonial yang kental dan budaya luwes khas masyarakat Jawa.

Gambar 7. Alternatif Fasade Hunian – Usaha Desa Kalanganyar

3. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa pola tatanan ruang masyarakat pesisir sangat bergantung pada budaya apa yang mengakulturasinya. Bentuk akulturasi ini begitu beragam, dan tidak menjadi baku dan bersifat sangat kaku. Keluwesan bentuk yang dapat diambil dari falsafah budaya Jawa ini sangat mempengaruhi proses penggunaan ruang dan bentuk yang ada. Jika ditelaah pada kondisi non fisik masyarakat pesisir, maka dapat ditemukan bahwa ada pola dan aktifitas dan kegiatan yang tidak dapat diwadahi dengan hanya sekedar mengikuti standar tertentu. Perlu adanya pewadahan aspek jual beli khas nusantara yang dapat menjadi pengalaman ruang yang menyenangkan bagi wisatawan maupun pengunjung. Selain itu, untuk mendukung kekhasan areal kawasan pesisir yang semakin pudar jika letaknya berjauhan dengan air, maka perlu adanya penyesuaian – penyesuaian bentuk yang

Teras +0.25

+0.05 R. Usaha

51

SNT2BKL-ST-6

mencirikan arsitektur pesisir yang kental. Untuk pengembangan penelitian ke depan, dapat dikembangkan desain perabot yang sesuai untuk mewadahi display bagi produk tambak/laut yang ramah lingkungan dan mampu diterapkan oleh pelaku usaha.

PUSTAKA

Egam & Rengkung. 2015. “Kajian Ruang Kawasan Pesisir Pantai dalam Membentuk Wajah Kota”. Temu Ilmiah IPLBI

Fauzy,dkk. (2011). “Memahami Relasi Konsep Fungsi, Bentuk Dan Makna Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat

Kota Pesisir Utara Di Kawasan Jawa Timur (Kasus Studi Rumah Tinggal Di Kampung Karangturi Dan Kampung Sumber Girang, Lasem)”.DIMENSI(Journal of Architecture and Built Environment), Vol. 38,

No. 2

Fauzy, Bachtiar. (2012). “Kearifan Lokal Dalam Konsep Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Kota Pesisir Utara

Jawa, Kasus Studi: Rumah Tinggal di Desa Sumber Girang–Lasem”. Penelitian Lembaga Penelitian dan

Pengabdian Masyarakat, Unpar, Bandung.

Groat, L., and Wang, D., 2002, “Architectural Research Method”. John Wiley Son, Inc

Safeyah, M. and Elviana, E., 2016. A Study on Home Based Enterprises in Kampoeng Pandean as Supporting Sustainable Architecture. In MATEC Web of Conferences (Vol. 58, p. 02001). EDP Sciences.

Sugiyono. (2009). “Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif”. CV.Alfabeta:Bandung.

Soetarso, R. Mohammad Mulyadin, Priasukmana. (2001),”Pembangunan Desa Wisata: Pelaksanaan Undang-

Undang Otonomi Daerah”. Jurnal Info Sosial Ekonomi. Vlo. 2 No. 1

Tahir, M. (2005), “Pemanfaatan Ruang Kawasan Tepi Pantai Untuk Rekreasi Dalam Mendukung Kota

Tanjungpinang Sebagai Waterfront City”, Tesis Program Studi Magister Pembangunan Wilayah Dan Kota,

52

SNT2BKL-ST-7

BIMBINGAN TEKNIS MATERIAL PENULANGAN BETON DARI BESI UNTUK