• Tidak ada hasil yang ditemukan

Starbucks Coffee (Jalan Braga 2)

HERITAGE BUILDING AS A THIRD PLACE: SEBUAH STRATEGI KEBERLANJUTAN ARSITEKTUR KOLONIAL DI ERA MODERN

4. Starbucks Coffee (Jalan Braga 2)

-Mahasiswa Kaum muda

(15-30 tahun) Tidak sering 2 jam

-Susah mendapat tempat parkir mobil, lebih mahal

dibandingkan cafe lain di daerah Braga

4. Starbucks Coffee (Jalan Braga 2)

67

SNT2BKL-ST-8

Gambar 10. Suasana eksterior dan interior Starbucks Coffee (Sumber: dokumentasi pribadi, 2018)

Starbucks merupakan jaringan kedai kopi global asal Amerika Serikat. Starbucks dapat dianggap sebagai salah satu merek kedai kopi yang paling terkenal sebagai tempat nongkrong. Sebelum beralih fungsi menjadi Starbucks, pada awalnya bangunan berfungsi sebagai gudang. Pada eksterior bangunan, tidak ada perubahan yang dilakukan. Sedangkan pada interiornya dilakukan perubahan seperti penambahan fungsi bar pada bagian tengah ruangan, dan terdapatnya area makan non-smoking dan smoking. Berdasarkan saran Walikota Bandung terdahulu, Ridwan Kamil, yang pernah mengunjungi Starbucks Braga, interior bangunan dihias menggunakan panel-panel kayu pada dinding dan lukisan kebun kopi agar memberi suasana back to nature. Starbucks terkenal dengan minuman kopinya, namun juga menyediakan teh dan makanan seperti roti dan kue, dengan kisaran harga Rp40.000-Rp100.000.

Pengelola Starbucks melakukan investasi kafe di bangunan heritage dengan alasan lokasinya yang strategis berada di kawasan perkantoran dan perbankan Asia Afrika. Target pasar Starbucks yaitu karyawan bank maupun kantor yang berada di sekitarnya. Profil pengunjungnya yaitu pegawai kantor dan bank dengan aktivitas yang dilakukan di kafe yaitu makan dan minum, nongkrong, serta kaum muda yang beraktivitas di kafe yaitu mengerjakan tugas, nongkrong, dan berkumpul dengan teman. Starbucks ini juga menyediakan tempat duduk yang nyaman dengan adanya view ke luar bangunan kolonial di sekitarnya. Seperti kebanyakan Starbucks lainnya, Starbucks Braga ini juga menyediakan stop kontak dan free wi-fi. Oleh karena itu, selain dijadikan sebagai tempat nongkrong, Starbucks ini sering dijadikan sebagai tempat untuk bekerja dan belajar.

Tabel 7. Hasil wawancara dengan pengelola kafe Starbucks

Daya Tampung Rata-rata Pengunjung

Profil Pengunjung

/ hari Lama Kunjungan Kendaraan Kendala Pengelola Solusi Pengelola

Pegawai bank,

kaum muda 200 orang 2-3 jam 5 mobil, 20 motor Macet, kesulitan parkir -

Pengunjung yang datang ke Starbucks setiap hari rata-rata sebanyak 200 orang dan datang dari kalangan pegawai bank, dan mahasiswa. Alasan pengunjung untuk nongkrong di Starbucks berbeda-beda sesuai dengan kalangannya. Pegawai bank mengunjungi Starbucks yaitu karena makanan dan minumannya yang enak serta lokasinya yang dekat dengan tempat kerja. Sedangkan mahasiswa mengunjungi Starbucks yaitu untuk reuni dengan teman, lokasinya yang dekat dengan kampus atau rumah, serta suasananya nyaman sebagai tempat nongkrong. Kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa biasanya mengobrol, mengerjakan tugas, dan nongkrong. Sedangkan aktivitas yang dilakukan oleh pegawai bank untuk meeting informal dan menyelesaikan pekerjaan. Suasana yang rileks menjadi salah satu pertimbangan pengunjung untuk datang ke Starbucks. Selain itu, view deretan bangunan heritage yang dapat dilihat dari dalam bangunan menjadi suatu pengalaman menarik bagi pengunjung kafe ini.

Tabel 8. Hasil wawancara dengan pengunjung kafe Starbucks

Pekerjaan Kategori Usia Kunjungan Intensitas Kunjungan Lama Kelebihan Café/restoran Kekurangan Café/restoran

Pegawai bank Kaum paruh baya

(31-50 tahun)

Hampir setiap hari 2-3 jam Tempat ngopi yang nyaman,

lokasi strategis, view ke luar bagus untuk inspirasi

Kesulitan mendapat tempat parkir

Karyawan

Kaum muda

(15-30 tahun) 1x / bulan 3-4 jam

View ke luar bagus, suasana

interior beda dengan cabang

lain, tidak bising

-Mahasiswa Kaum muda

(15-30 tahun)

Tidak sering 2-3 jam

Interior unik, lokasi dekat Asia

Afrika, jendela besar sehingga

view ke luar bagus

-3. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis 4 third place di Bandung yang memakai bangunan heritage, dapat disimpulkan bahwa bangunan heritage sesuai untuk mengakomodasi fungsi third place. Strategi memanfaatkan kembali fungsi bangunan sebagai third place ternyata mampu menghidupkan kembali dan memberi nilai tambah pada bangunan heritage. Sebagai tren yang sedang berkembang di masyarakat perkotaan Bandung, third

place menjadi tempat nongkrong yang diminati terutama pada beberapa kawasan yang sudah berkembang

sejak dahulu sebagai pusat kota dan perdagangan di Bandung. Bangunan dengan arsitektur peninggalan kolonial yang menjadi third place ini awalnya berfungsi sebagai rumah atau gudang. Sehingga, memanfaatkan kembali bangunan sebagai third place, yaitu kafe atau restoran dapat memberi nilai tambah secara ekonomi bagi pengelola maupun pemilik bangunan.

Berdasarkan hasil penelitian, pertimbangan utama pengelola bisnis kafe atau restoran adalah lokasi dan segmen pasar. Bangunan heritage tersebut dipilih karena lokasi yang menguntungkan karena berada pada kawasan pusat kota dan perdagangan di Bandung. Sehingga, kawasan ini menjadi segmen pasar bagi kaum muda maupun kaum paruh baya dari berbagai kalangan perkerjaan, seperti mahasiswa, karyawan dan pegawai kantor. Dari sisi arsitektur, pengelola bangunan heritage masih mempertahankan eksterior dan struktur awal bangunan. Adapun perubahan yang dilakukan, yaitu menambahkan fungsi, seperti dapur serta mengubah tampilan interior bangunan sesuai konsep modern maupun konsep klasik era kolonial. Selain itu, pengelola bangunan harus rutin melakukan konservasi secara arsitektur untuk menjaga tampilan dan fungsi bangunan dengan melakukan perawatan bangunan secara rutin dan khusus. Adapun kendala pengelola mengenai bangunan heritage di kawasan pusat kota, khususnya Jalan Asia Afrika dan Jalan Braga berkaitan dengan keterbatasan lahan parkir. Aspek ini menjadi penting karena sebagai tempat nongkrong di pusat kota, pengunjung biasanya membawa kendaraan pribadi, baik mobil atau sepeda motor untuk mobilitas.

Sementara itu, pengunjung kafe atau restoran lebih memperhatikan aspek fasilitas dan suasana tempat

nongkrong. Pengunjung rata-rata menghabiskan waktu jam di kafe atau restoran sekitar 2 jam dengan

intensitas kunjungan rata-rata setiap bulan. Kategori pengunjung yang menggunakan third place pada bangunan heritage ini terdiri dari kaum muda dengan rentang usia 15-30 tahun dan kaum paruh baya dengan rentang usia 31-50 tahun. Kaum muda biasanya bekerja sebagai karyawan maupun mahasiswa berkunjung untuk berkumpul, berdiskusi, mengerjakan tugas ataupun pekerjaan. Sedangkan kaum paruh baya yang bekerja sebagai pegawai kantor dan bank berkunjung untuk berkumpul, lunch meeting, nongkrong untuk melepas penat setelah pulang kerja. Karyawan dan mahasiswa biasanya mengunjungi kafe atau restoran pada bangunan heritage yang telah mengusung konsep modern pada interior sebagai tempat makan yang secara visual bagus untuk berfoto.

68

Sementara itu, pegawai kantor dan bank lebih banyak mengunjungi kafe atau restoran pada bangunan

heritage yang mempertahankan interior klasik era kolonial untuk mencari suasana homey, klasik dan

nyaman seperti berada di rumah.

Dengan memperhatikan sudut pandang pengunjung dan pengelola, tempat nongkrong atau third place yang tercipta dapat menaungi kebutuhan masyarakat akan fungsi bangunan heritage di masa modern. Third

place dapat menjadi win-win solution atau mediator bagi dunia bisnis dan arsitektur. Keuntungan yang

didapat dari segi bisnis pengelola kafe atau restoran yaitu pemenuhan tren third place di Bandung sebagai tempat untuk mengakomodasi kegiatan nongkrong dan dapat mengurangi biaya bangunan karena menggunakan bangunan yang sudah ada. Dari segi arsitektur, keuntungan yang didapat adalah terwujudnya resiliensi bangunan heritage di era modern melalui adanya fungsi baru untuk mempertahankan keberadaan bangunan heritage diantara perkembangan bangunan baru. Dengan demikian, strategi pemanfaatan fungsi

third place pada bangunan heritage dapat diterapkan oleh stakeholder untuk membantu keberlanjutan

arsitektur kolonial di era modern.

PUSTAKA

Astuti, Sri & Hanan, Himasari. 2011. The Behaviour of Consumer Society in Consuming Food at Restaurants and

Cafes dalam Journal of ASIAN Behavioural Studies 1. Chapter 8 indd 73-78.

Australia Icomos. 1999. The Burra Charter, The Australia ICOMOS Charter for Places of Cultural Significance. Australia: Australia ICOMOS Inc.

Kusuma, Hanson E. & Farasa, Nisa. 2015. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebetahan di Kafe: Perbedaan Preferensi Gender dan Motivasi (hlm. E029 -034). Bandung: IPLBI.

Martokusumo, Widjaja. 2002. Urban heritage conservation: Experiences in Bandung and Jakarta. Dalam

The Indonesian Town Revisited (hlm. 374-389). Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.

Oldenburg, Ray. 1999. The Great Good Place: Cafes, Coffee Shops, Bookstores, Bars, Hair Salons, and Other

Hangouts at the Heart of a Community. Boston: De Capo Pres.

69

70

SNT2BKL-ST-9

REFLEKTOR DINDING PELENGKAP SKYLIGHT SEBAGAI UPAYA PERBAIKAN