• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Berdasarkan pengamatan kami selama PKPA, berikut adalah beberapa saran yang dapat duajukan antara lain:

a. Gudang Pusat Perbekalan Farmasi

Penanganan penyimpanan B3 sebaiknya ruangan disertai sistem pengamanan dini seperti smoke detector. Selain itu meminta distributor untuk menyertakan MSDS saat mengirimkan B3, sebaiknya yang sudah diterjemahkan bila tidak bisa maka petugas gudang harus menerjemahkannya.

Penanganan keterlambatan penerimaan PF dari distributor sebaiknya lokasi gudang dibuat lebih ideal dengan penambahan jalan untuk mobil sehingga mudah diakses pihak eksternal atau membuat jadwal rutin penerimaan PF dan menyediakan lahan parkir khusus distributor pada jam yang telah terjadwal tersebut.

b. Sub Instalasi Produksi

Pembahan sumber daya manusia untuk proses pengujian mutu selama proses produksi dilaksanakan. Dengan adanya penambahan sumber daya manusia dalam pengujian mutu diharapkan dapat menjamin produk yang dihasilkan terjamin mutunya.

c. Satelit Farmasi Instalasi Gawat Darurat

Pada peresepan masih sering ditemukan duplikasi resep sehingga dapat disarankan dengan menggunaakan resep online agar dapat memepermudah dokter melihat riwayat resep sebelumnya uang diterima pasien. Namun penggunaan sistem online perlu didukung dengan kemudahan dalam mengakses. Selain itu dperlukan memasukan nomer inputan pada kartu stok narkotika dan obat mahal ungtuk meningklatkan pengawasan dan mengatasi terjaidnya selisih jumlah fisik obat, kartu stok maupun IT. Pembuatan kartu stok dalam bentuk buku berjilid untuk memudahkan dalam pengawasan. Perbaikan pada alur pasien pulang agar dapat mengurangi penumpukan obat pasien pulang di satelit serta pembuatan daftar informasi obat pulang.

d. Satelit Intensive Care Unit

Ketersediaan pengeras suara yang diperlukan untuk memanggil keluarga pasien agar dapat mempermudah komunikasi petugas depo dengan keluarga pasien. Fasilitas yang juga diperlukan adalah wadah untuk tempat obat agar dapat mempermudah dalam penyiapan obat.

e. Satelit Farmasi Pusat

Mengatasi keterlambatan dalam pelayanan resep dapat diatasi dengan mengunakan resep online. Ketersediaan kotak obat atau wadah obat yang disususn secara baik dan tidak menumpuk diharapkan dapat mempermudah dalam penyiapan obat. Penambahan sumber daya manusia juga diperlukan untuk meningkatkan pelayanan.

f. Satelit Kirana

Pelaksanaan kartu stok di depo lantai 4 diperlukan untuk mengurangi terjadinya kehilangan atau selisih dari perbekalan farmasi serta akan meningkatkan pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan perbekalan farmasi. Penempatan pekarya dirasakan diperlukan terkait penyediaan perbekalan farmasi sehingga diharapkan dapat meningkatan pelayanan karena pekerja di satelit tidak perlu ke gudang untuk mengambil perbekalan farmasi yang diperlukan.

78

g. Ruang Rawat Inap Terpadu (Gedung A)

Penambahan pekarya dirasakan diperlukan dikarenakan besarnya wilayah kerja gedung A yang terdiri dari delapan lantai sehingga diharapkan dengan penambahan pekarya maka akan meningkatakan kecepatan dalam pengadaan dan ketersediaan perbekalan farmasi di setiap depo gedung A.

Pelaksanaan pelayanan informasi obat juga dapat dilaksanakan secara aktif yanitu dengan memberikan leaflet, brosur ataupun buku saku sebagai media dalam pelayanan informasi obat untuk pasien sehingga pelaksanaan pelayanan informasi obat yang berorientasi pasien dapat diamplikasikan. Diharapkan dengan melaksanakan pelayanan informasi obat secara aktif tersebut maka pengetahuan serta pemahaman pasien terkait penyakit dan pengobatan yang dilaksanakan dapat mencegah komplikasi lebih lanjut serta mendukubg terapi yang sedang dijalankan pasien.

DAFTAR ACUAN

Departemen Kesehatan RI. (1996). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. (2008). Pedoman Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency. Departemen Kesehatan RI. (2009). Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi (Central

Sterile Supply Department/CSSD) di Rumah Sakit. Jakarta.

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. (2010). Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1197/ Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340/Menkes/Per/III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit. Jakarta

Siregar, Charles J.P. (2004). Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Quick, J.D. [ed]. (1997). Managing Drug Supply: The Selection, Procurement, Distribution, and Use of Pharmaceuticals 2nd ed. Connecticut: Kumarin Press Inc.

Presiden Republik Indonesia. (1996). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Jakarta.

Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta

Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Jakarta.

Lampiran 1. Struktur organisasi RSCM Direktur Utama Direktur Medik dan Keperawatan Departemen Instalasi Farmasi UPT Direktur Pengembangan dan Pemasaran Instalasi promkes UPJM Direktur Keuangan Bagian Anggaran Bagian Perbendaharaan Bagian Akuntansi Direktur SDM dan Pendidikan Bagian Diklat Bagian SDM Bagian Hukor Instalasi Pendidikan Direktur Umum dan Operasional Bagian Administrasi Bagian Aset dan Inventaris Bagian Teknik Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Instalasi Medik ULP Unit Utilitas

Komite Medik, Komite Etik, PPIRS, Komite Mutu

80

Lampiran 2. Struktur organisasi Instalasi Farmasi RSCM

Kepala Instalasi Farmasi Kepala Subinstalasi Perbekalan Farmasi Kepala Subinstalasi Produksi Kepala Subinstalasi Farmasi Klinis dan Pendidikan Pelatihan

Pengembangan Kepala Subinstalasi

Administrasi dan Keuangan

82

Lampiran 6. Formulir vr verifikasi resep

86

88

90

92

PENYUSUN

HIPERTENSI SE

OBAT DI RU

(RSUP

PERI

TUGAS KHUSUS

KARTI

NAN BUKU SAKU PENGOBATAN P

SI SEBAGAI MEDIA PELAYANAN IN

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASI

SUPN) DR. CIPTO MANGUNKUSUM

ERIODE 4 FEBRUARI - 2 APRIL 2013

SUS PRAKTEK KERJA PROFESI AP

TIKA FEBIYANTI NORMAN, S.Far

1206313242

ANGKATAN LXXVI

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM PROFESI APOTEKER

DEPOK

JUNI 2013

N PASIEN

INFORMASI

ASIONAL

MO

13

POTEKER

arm.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL ... iii DAFTAR LAMPIRAN... iv BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Peayanan Informasi Obat ... 3 2.2 Hipertensi ... 9

BAB 3 METODE PENGKAJIAN ... 17

3.1 Waktu Tempat Pelaksanaan ... 17 3.2 Metode Pengumpulan Data ... 17

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 18

4.1 Hasil ... 18 4.2 Pembahasan ... 18

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 24

5.1 Kesimpulan ... 24 5.2 Saran ... 24

iii

Tabel 2.1 Keterampilan yang Perlu Dimiliki Farmasi dalam PIO ...7

Tabel 2.2 Klasifikasi Tekanan Darah untuk Usia 18 Tahun atau Lebih

berdasarkan JNC VII...9

Tabel 2.3 Modifikasi Gaya Hidup Dalam Pengolahan Hipertensi ...12

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Pengobatan Hipertensi ...28

Lampiran 2. Buku Saku Pasien Hipertensi ...29

1.1 Latar Belakang

Pasien hipertensi diprediksi mencapai 1,56 miliar dari total penduduk dunia pada tahun 2025 hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kearney, et al pada tahun 2002 (Obreli-Neto, et al, 2011). Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang tujuh kali lebih besar berisiko stroke dan enam kali lebih besar berisiko gagal jantung (WHO/SEARO, 2005). Hipertensi merupakan penyakit dengan pengobatan jangka panjang sehingga pada beberapa kasus ditemukan pasien tidak memiliki pemahaman yang cukup terhadap jalannya pengobatan. Dengan adanya pemahaman yang baik terhadap pengobatan yang dijalani akan berdampak besar terhadap target pengobatan. Pemahaman yang baik akan mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan yang dijalani. Pasien yang tidak patuh terhadap aturan penggunaan obat sebesar 30-55% (WHO, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Macedo, Lima, Alcantara dan Ramalhindho pada tahun 2007 hanya 11,2% pasien yang mencapai target tekanan darah terkontrol. Kepatuhan yang baik erat kaitannya dengan pemahaman yang baik dalam menjalankan terapi yang dapat mempengaruhi tekanan darah dan secara bertahap mencegah terjadinya komplikasi (Morgado, Rolo, Castelo-Branco, 2011). Peningkatkan mortalitas dikarenakan ketidakpatuhan mencapai 6,8% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mazzaglia pada tahun 2009 ketidakpatuhan dari pasien yang menjalankan terapi mencapai 20-80% (Kjeldsen, et al, 2011). Kepatuhan pasien merupakan faktor utama penentu keberhasilan terapi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006b).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit menyatakan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pasien. Salah satu upaya dalam meningkatkan pemahaman pasien dalam pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian pendidikan kesehatan. Upaya kesehatan tersebut terfokus pada upaya peningkatkan perilaku sehat, pendorong perilaku yang menunjang kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan penyakit dan pemulihan (Notoatmodjo, 2003). Sesuai dengan tugas pokok pelayanan farmasi rumah sakit salah satunya adalah melaksanakan komunikasi, informasi dan edukasi. Aplikasi ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dengan melakukan pelayanan informasi obat yang dilakukan oleh apoteker. Kegiatan pelayanan informasi obat berupa

2 penyediaan dan pemberian informasi obat secara aktif atau pasif. Pelayanan informasi obat secara aktif apabila apoteker memberikan informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaan melainkan secara aktif memberikan informasi sedangan secara pasief dilakukan apabila apoteker memeberikan informasi obat sebagai jawaban atas pertanyaan yang diterima. Pemberian pelayanan informasi obat secara aktif melalui media buku saku diharapkan dapat memberikan informasi serta edukasi kepada pasien sehingga dapat meningkatkan pemahaman terkait hipertensi dan pengobatan hipertensi yang dijalankan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari tugas khusus ini adalah membuat buku saku pengobatan

pasien hipertensi yang baik sebagai media pelayanan informasi obat secara aktif.

2.1 Pelayanan Informasi Obat (PIO)

2.1.1 Definisi Pelayanan Informasi Obat

Pelayanan informasi obat didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan,

pemberian informasi dan rekomendasi obat yang bersifat independen, akurat,

komprehensif terkini oleh apoteker kepada pasien, dokter, perawat, tenaga

kesehatan lain maupun masyarakat. Kegiatan pelayanan informasi obat meliputi

tujuan, media yang digunakan, pengelolaan, pengawasan mutu atau informasi obat

yang digunakan dalam pengambilan keputusan terkait obat (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2006c).

2.1.2 Tujuan Pelayanan Informasi Obat

Pelayanan informasi obat memiliki tujuan antara lain (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia (2006c) :

a. Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional serta berorientasi

kepada pasien tenaga kesehatan dan pihak lain.

b. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga

kesehatan dan pihak lain.

c. Menyediakan informasi sebagai pertimbangan dalam membuat kebijakan yang

berhubungan dengan obat terutama bagi Komite Farmasi dan Terapi (KFT).

2.1.3 Kegiatan Pelayanan Informasi Obat

Kegiatan pelayanan informasi obat berupa penyediaan dan pemberian

informasi obat dapat dilakukan secara aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif

apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi dengan tidak

menunggu pertanyaan melainkan secara aktif memberikan informasi, misalnya

menerbitkian buletein, brosur, leaflet, seminar dan sebagainya. Pelayanan bersifat

pasif apabila apoteker pelayanan informasi obat sebagai jawaban atas pertanyaan

yang diterima (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006c).

4

2.1.4 Ruang Lingkup Pelayanan Informasi Obat

Pelaksaaan pelayanan informasi obat terdiri dari tiga ruang lingkup

kegiatan yaitu (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006c):

a. Ruang lingkup pelayanan

Pada ruang lingkup pelayanan meliputi beberapa kegiatan antara lain:

menjawab pertanyaan, menerbitkan bulletin, membantu unit lain dalam

mendapatkan informasi obat, menyiapkan materi untuk brosur atau leaflet

informasi obat serta mendukung kegiatan Panitia/Komite Farmasi dan Terapi

dalam menyusun dan merevisi formularium.

b. Ruang lingkup pendidikan

Pelayanan informasi obat melaksanakan fungsi pendidikan terutama pada

rumah sakit yang berfungsi sebagai rumah sakit pendidikan. Ruang lingkup

pendidikan meliputi beberapa kegiatan antara lain: mengajar dan membimbing

mahasiswa, memberi pendidikan pada tenaga kesehatan dalam hal informasi

obat, mengkoordinasikan program pendidikan berkelanjutan di bidang

informasi obat serta membuat, menyiapkan dan menyampaikan makalah

seminar atau simposium.

c. Ruang lingkup penelitian

Pada ruang lingkup penelitian meliputi beberapa kegiatan antara lain:

melakukan penelitian evaluasi pengunaan obat, penelitian pengunaan obat

baru, penelitian lain yang berkaitan dengan pengunaan obat baik secara

mandiri maupun bekerja sama dengan pihak lain serta malakukan program

jaminan mutu.

Jenis pelayanan informasi obat di rumah sakit dilakukan sesuai dengan

kebutuhan. Contoh kegiatan pelayanan informasi obat yang dilakukan meliputi

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006c):

a. Memberi jawaban atas pertanyaan spesifik melalui telepon, surat atau tatap

muka.

b. Laporan atau bulletin bulanan.

c. Pelayanan cetak ulang reprint.

d. Konseling tentang cara penjagaan terhadap reaksi ketidakcocokan obat,

konsep-konsep obat yang sedang dalam penelitian atau peninjauan pengunaan

obat-obatan.

e. Tugas pendidikan dan pelatihan seperti kuliah tentang farmakologi dan

pengobatan, evaluasi literatur obat atau penggunaanya.

f. Melakukan riset.

g. Memberikan dukungan pada Panitia/Komite Farmasi dan Terapi seperti

tinjauan terhadap obat-obatan yang baru yang akan diajukan untuk

dimasukkan dalam daftar obat rumah sakit.

2.1.5 Sasaran Informasi Obat

Pada pelaksaan pelayanan informasi obat dirumah sakit sasaran pemberian

informasi ditujukan kepada pasien atau keluarga pasien, tenaga kesehatan (dokter,

dokter gigi, apoteker, perawat, bidan dan asisten apoteker) serta pihak lain seperti

tim manajemen dan kepanitiaan klinik (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2006c).

2.1.6 Sumber-Sumber Literatur

Semua sumber informasi yang digunakan diusahakan terbaru dan

disesuaikan dengan tingkat dan tipe pelayanan. Pustaka digolongkan dalam tiga

kategori antara lain (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006c):

2.1.6.1 Pustaka Primer

Pustaka primer merupakan artikel asli yang dipublikasikan penulis atau

peneliti, informasi yang terdapat di dalamnya berupa hasil penelitian yang

diterbitkan dalam jurnal ilmiah. Contoh pustaka primer antara lain laporan hasil

penelitian, laporan kasus, studi evaluatif, laporan deskriptif, jurnal publikasi

ilmiah yang berhubungan dengan obat, hasil uji klinik obat dan penelitian

farmakologi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006c).

Pustaka primer merupakan dasar dalam klasifikasi pustaka sekunder dan

tersier. Dengan memahami kekuatan dari jenis sumber informasi yang tersedia

dapat memudahkan dalam pencarian literatur. Jika informasi yang didapat dari

6

pustaka primer masih belum cukup dapat dilakukan penelusuran lebih lanjut

dengan menggunakan pustaka sekunder (Watanabe dan Conner, 1978).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan evaluasi terhadap

pustaka primer adalah sebagai berikut (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2006c):

a. Bahan dan metode.

b. Sampel.

c. Desain studi.

2.1.6.2 Pustaka Sekunder.

Pustaka sekunder merupakan sumber informasi yang berfungsi

mengarahkan ke sumber pustaka primer. Jenis pustaka sekunder antara lain

kumpulan abstrak dan bibliografi (Watanabe dan Conner, 1978).

Beberapa pertimbangan dalam memilih sumber pustaka sekunder, antara

lain (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006c) :

a. Waktu: adalah jarak waktu artikel itu diterbitkan dalam majalah ilmiah dan

dibuat abstrak atau indeks.

b. Jurnal pustaka cakupan: jumlah pustaka ilmiah yang mendukung tiap pustaka

sekunder merupakan pertimbangan lain dalam pemilihan pustaka tersebut.

c. Selektivitas pengindeksan/pengabstrakan: bentuk dari sistem (cetak standar

atau terkomputerisasi) harus dipertimbangkan, dikaitkan dengan keperluan

dan kebutuhan pengguna.

2.1.6.3 Pustaka tersier

Pustaka tersier berupa buku teks atau database, kajian artikel, kompendia

dan pedoman praktis. Pustaka tersier umumnya berupa buku referensi yang berisi

materi yang umum, lengkap dan mudah dipahami (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2006c).

Pustaka tersier banyak tesedia sebagai sumber informasi medik dan obat.

Hal hal yang perlu diperhatikan dalam memilih sumber pustaka tersier

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006c) :

a. Penulis dan atau editor: editor dan penulis harus mempunyai keahlian dan

kualifikasi menulis tentang suatu judul atau bab tertentu dari suatu buku.

b. Tanggal publikasi juga harus diperhatikan bersama sama dengan edisi: tanggal

publikasi dari pustaka tersier terutama buku teks harus merupakan tahun

terbaru.

c. Penerbit: penerbit yang mempunyai reputasi tinggi.

d. Daftar pustaka: harus mengandung daftar rujukan pendukung sesuai judul

buku.

e. Format pustaka tersier harus didesain untuk mempermudah penggunaan.

f. Cara lain untuk membaca buku teks yang baru adalah membaca kritik tertulis.

2.1.7 Sumber Daya Manusia (SDM)

Pelaksanan pelayanan informasi obat memiliki persyaratan sebagai berikut

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006c) :

a. Mempunyai kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan

dengan mengikuti pendidikan pelatihan yang berkelanjutan.

b. Menunjukkan kompetensi profesional dalam penelusuran, penyeleksian dan

evaluasi sumber informasi.

c. Mengetahui tentang fasilitas perpustakaan di dalam dan di luar rumah sakit,

metodologi penggunaan data elektronik.

d. Memiliki latar belakang pengetahuan tentang terapi obat.

e. Memiliki kemampuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan.

Berikut ini adalah keterampilan yang perlu dimiliki famasis yang

memberikan pelayanan informasi obat (Golightly, 2003) :

Tabel 2.1 Keterampilan yang perlu dimiliki farmasi dalam PIO

Keterampilan Lingkup

Klinis Pengetahuan dan pemahaman terhadap semua aspek obat,

proses dan prosedur terapi, penyakit, patologi dan manajemen.

Komunikasi Verbal (percakapan): pertanyaan interogasi, penentuan

pertanyaan, mendapatkan latar belakang informasi yang tepat

dan memadai, tanggapan secara verbal, tehnik bicara melalui

telepon

8

Tertulis: menulis laporan, menanggapi pertanyaan, bulletin,

menulis ke tingkat penerima; konversi data secara ringkas dan

mudah dipahami, menggunakan bahasa Inggris yang

sederhana.

Penilaian kritis Penilaian secara kritis dan penggunaan literatur klinik dan

farmasi, isi dan kualitas untuk klaim secara komersial untuk

pengobatan; pengetahuan pekerjaan mengenai statistik medis

termasuk kelayakan dan batasan; pembuatan percobaan klinis;

farmakoekonomi

Manajemen

Informasi

Penggunaan narasumber, contoh pencaraian literatur utama

(Medline, Embase dsb), database, internet, sumber in-house

dan perpustakaan; interprestasi data yang dicari, penentuan

biaya-efektif dan kualitas nara sumber; sistim perencanaan

penyimpanan in-house dan pencarian data

Diri pribadi Kemampuan untuk bekerja dengan inisiatif sendiri; melakukan

prioritas pekerjaan; mengetahui kemampuan sendiri dan

kualitas kerja dan mengatur waktu secara efektif.

Teknologi

Informasi

Mampu menggunakan teknologi informasi untuk memperoleh

dan menyebarkan informasi dan pelayanan yang dihasilkan,

pemahaman pemakaian IT. Keterampilan menggunakan

keyboard.

Manajemen Pengelolaan nara sumber dan manusia.

Pelatihan Kemampuan untuk melatih farmasis dan ahli profesi lainnya

yang memerlukan ketrampilan dan pengetahuan contoh

preregistration farmasis, farmasis, perawat dokters, dll.

2.1.8 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana pelayanan informasi obat disesuaikan dengan

kondisi rumah sakit. Jenis dan jumlah perlengkapan bervariasi tergantung

ketersediaan dan perkiraan kebutuhan akan perlengkapan dalam pelaksanaan

pelayanan informasi obat. Sarana ideal untuk pelayanan informasi obat adalah

komputer, fax, dan jaringan internet (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

2006c).

2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi adalah suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah arteri yang persisten (Sanseen, Carter, 2005). Berdasarkan tingginya tekanan darah JNC VII mengklasifikasi tekanan darah sebagai berikut :

Tabel 2.2. Klasifikasi tekanan darah untuk usia 18 tahun atau lebih berdasarkan

JNC VII (Chobanian, et al, 2003).

Klasifikasi Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-90

Hipertensi

Tingkat 1 140-159 90-99

Tingkat 2 >160 >100

2.2.2 Stratifikasi Faktor Risiko (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

2006b)

Faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner sebagai akibat dari penyakit

hipertensi yang tidak ditangani secara baik dibedakan menjadi dua kelompok

yaitu:

a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi faktor umur, jenis kelamin dan

genetik.

b. Faktor risiko yang dapat diubah meliputi merokok, diet rendah serat, kurang

aktifitas gerak, bersat badan berlebihasn, konsumsi alkohol, hiperlipidemia,

stress dan konsumsi garam berlebih.

2.2.3

Komplikasi

Komplikasi akibat tekanan darah tidak terkontrol perlu diperhatikan

karena dapat meningkatkan risiko kerusakan organ jantung, otak, ginjal dan retina.

Kerusakan organ tersebut dapat terjadi akibat kenaikan tekanan darah pada organ

(Stephen J, Maxine, 2010).

0

2.2.4

Kepatuhan pada Pasien Hipertensi

Pada pelaksanaan terapi hipertensi target pengobatan diperlukan kepatuhan

yang baik dari pasien. Sebesar 50% pasien yang diresepkan obat antihipertensi

tidak meminum obat yang direkomendasikan sesuai dengan yang dianjurkan oleh

dokter (Departemen Kesehatan RI, 2006b).

Metode peningkatan kepatuhan dapat dilakukan dengan metode edukasi.

Metode edukasi tersebut meliputi informasi : mengenai manfaat kontrol tekanan

darah, efek samping yang mungkin terjadi selama terapi, pendidikan kesehatan

untuk pasien maupun keluarga tentang penyakit dan regimen pengobatan yang

dijalankan serta melibatkan pasien maupun keluarga pasien tentang keuntungan

minum obat dan modifikasi gaya hidup yang tepat (Departemen Kesehatan RI,

2006b).

Beberapa hasil penelitian mengenai ketidakpatuhan dan pengaruh terhadap

komplikasi antara lain :

a. Penelitian yang dilakukan oleh Kearney pada tahun 2005 dan Bloch pada tahun 2008 diperkirakan 27–49% pasien hipertensi tidak patuh dalam meminum obat yang diresepkan (Orbeli-Neto, et al, 2010).

b. Penelitian yang dilakukan oleh McClenllan et al pada tahun 1988 dinyatakan pasien dengan kepatuhan rendah dalam menjalankan terapi memiliki kontrol yang rendah terhadap tekanan darah sehingga meningkatkan risiko komplikasi (Lahdenpera, Wright dan Kyngas, 2003).

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis yang utama adalah terjadinya peningkatan tekanan darah.

Pengukuran dengan rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu dua kali kontrol.

Pengukuran tersebut digunakan untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan

hipertensi sesuai dengan tingkatannya. Hipertensi dapat diidentifikasi dengan

tanda dan gejala seperti sakit kepala, pusing, sakit di tengkuk, jantung berdebar,

penglihatan kabur, rasa sakit di dadadan mudah lelah (Departemen Kesehatan RI,

2006b).

Pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan untuk mendeteksi adanya hematuria,

proteinuria dan sedimen penyakit ginjal atau nefrosklerosis. Kadar kalium sebagai

indikasi hiperglikemia yang terjadi pada diabetes dan feokromositoma, lipid

plasma sebagai indikator terjadinya arterosklerosis. Ekokardiografi digunakan

untuk mengevaluasi pasien dengan gejala klinis berhubungan dengan penyakit

jantung (Stephen J, Maxine, 2010).

Pemeriksaan sedini mungkin penting dilakukan untuk memprediksi

kemungkinan terjadinya komplikasi. Pemeriksan yang dapat dilakukan antara lain

(Stephen J, Maxine, 2010) :

a. Pemeriksaan urin, pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai fungsi ginjal.

b. Pemeriksaan EKG (pencitraan jantung), pemeriksaan ini dilakukan untuk

memastikan fungsi jantunng

c. Pemeriksaan darah meliputi kadar gula dan kolesterol darah.

2.2.6 Penatalaksanaan Terapi Hipertensi

Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah penurunan mortalitas dan

morbiditas. Tujuan tersebut berhubungan dengan kerusakan organ target dan

terjadinya penurunan kejadian risiko penyakit kardiovaskular, serebrovaskular dan

penyakit ginjal (Departemen Kesehatan RI, 2006b).

Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII tahun

2003 adalah :

a.

Pasien tanpa komplikasi penyakit < 140/90 mm Hg.

b. Pasien dengan komplikasi diabetes atau ginjal < 130/80 mm Hg.

Hipertensi merupakan salah satu kondisi medis yang umum dijumpai

namun kontrol tekanan darah masih belum maksimal. Sebagian besar pasien