• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara parsial tidak ada pengaruh antara motivasi kerja kerja terhadap komitmen karyawan AMIK Jayanusa Padang

Dalam dokumen KAJIAN ANALISIS USAHA TANI INTEGRASI P (Halaman 169-180)

Oleh : Deswita Rosra

Y: Komitmen karyawan AMIK JAYANUSA

V. KESIMPULAN DAN SARAN

3. Secara parsial tidak ada pengaruh antara motivasi kerja kerja terhadap komitmen karyawan AMIK Jayanusa Padang

3. Secara parsial tidak ada pengaruh antara motivasi kerja kerja terhadap komitmen karyawan AMIK Jayanusa Padang

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai masukan sebagai berikut :

1. Untuk pimpinan AMIK Jayanusa Padangdisarankan untuk mengikutsertakan anggota dalam pengambilan keputusan terutama dalam menampung ide, saran dan kritikan dari karyawan untuk keberhasilan program kerja yang telah

2. Kepada karyawan AMIK Jayanusa Padang untuk lebih mengembangkan sikap kepercayaan dan keterbukaan, saling memberikan dukungan dan saling menghargai rekan kerja serta menjunjung tinggi kejujuran dalam bekerja. Disarankan karyawan AMIK Jayanusa Padang untuk dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dalam bekerja

3. Kepada karyawan AMIK Jayanusa Padang diharapkan lebih banyak menyediakan waktu dan tenaga untuk memberikan pelayanan kepada seluruh civitas akademika terutama mahasiswa

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Syafruddin, (2008), Manajemen Sumber Daya Manusia, edisi kedua, cetakan pertama, Penerbit : BPFE, Yogyakarta

Ardana, (2012), Perilaku Keorganisasian, edisi pertama, cetakan pertama, penerbit : Graha Ilmu,Jakarta.

Kuncoro, Mudrajad. 2003. Metode Riset untuk bisnis & ekonomi. Jakarta: Erlangga

Luthans, Fred, 2006, “Organizational Behavior”, 10th Edition, Boston: McGraw-Hill, Inc. Rivai, Veithzal, 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan. PT

Rajagrafindo Persada. Jakarta.

Robbins, Stephen P and Timothy A. Judge, 2008, “Perilaku Organisasi, 12th edition, Jakarta : Penerbit Salemba Empat

Sugiyono 2007. Metode Penelitian Kualitatif Kunitatif R&D. Bandung : Cv.Pustaka Setia

Sutrisno, Edy, (2009), Manajemen Sumber Daya Manusia, edisi pertama, cetakan pertama,Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Suwatno dan Priansa Donni Juni, (2011), Manajemen SDM dalam Organisasi Publik dan Bisnis,Penerbit : Alfabeta, Bandung.

Board Governance, Corporate Social Disclosure dan Firm Value:

Studi Empiris Pada Perusahaan Publik Yang Terdaftar DI BEI oleh

Edy Supriyono - STIE Bank BPD Jateng Semarang Djoko Suhardjanto - FEB-UNS Surakarta Niki Lukviarman - Universitas Bung Hatta Padang

Rahmawati - FEB-UNS Surakarta Abstract

This study aims to explore the relevance of board governance, corporate social disclosure and firm value of non-financial public companies in the Indonesia Stock Exchange. The background of this study is the importance of board governance, social corporate disclosure and firm value in Indonesia, where many social problems involving the company. In addition, this study is also driven by previous researches on board governance, firm value and corporate social disclosure which obtain different results. However, this study is original because the use of corporate social disclosure as a mediating variable which influence board governance on firm value.

Using secondary data from annual reports published on the Indonesia Stock Exchange in 2009, 2010, and 2011. With the population of 1280 observations, this study collects the sample of 217 observations. Processing data of this study uses the path analysis method by IBM SPSS 20th version.

This study finds that board governance can influence firm value whether directly or mediated by corporate social disclosure. The direct effect occurs at the proxy proportion of independent board and size board governance. The effect through the mediation of corporate social disclosure produces perfect mediation with the size of board governance, size audit committe, and proportion independent audit committe.

Keywords: Coporate Governance, Board Governance, Corporate Social

Disclosure, and Firm Value.

Pendahuluan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kaitan corporate governance (untuk selanjutnya disingkat CG), corporate social disclosur (untuk selanjutnya disingkat

CSD) serta firm value perusahaan publik di Indonesia. Tujuan tersebut

dilatarbelakangi berbagai hasil penelitian terdahulu yang menemukan pengaruh ketiganya yang beragam serta banyaknya problem sosial di Indonesia yang melibatkan perusahaan

Performance perusahaan menurut Elkington (1997) diukur dalam tiga

dimensi yaitu: profit, planet, dan people. Konsep ini terkenal dengan istilah konsep The Triple Bottom Lines (TBL) yaitu profit (laba), planet (lingkungan) dan

people (aspek sosial). Berdasarkan konsep tersebut seharusnya perusahaan

menempatkan aspek sosial sebagai aspek strategis, sejajar dengan aspek profit maupun aspek planet.

Aspek sosial yang sebelumnya kurang mendapat perhatian, dalam TBL menjadi bagian strategis dalam rangka keberhasilan perusahaan (Fauzi, Stevenson

dan Rahman 2010). Perusahaan yang memperhatikan aspek sosial secara konsisten serta mengungkapkannya diharapkan dapat mengurangi problem sosial. Penelitian Suhardjanto dan Nugraheni (2012), menemukan bahwa corporate

social disclosure (CSD) menjadi pertimbangan bagi investor untuk berinvestasi

pada suatu perusahaan dengan mengapresiasi harga saham dan meningkatkan firm

value. Aspek sosial yang diungkapkan menurut Global Reporting Initiatif (GRI)

2006, terdiri dari empat aspek utama yaitu ketenagakerjaan, Hak Asasi Manusia (HAM), masyarakat dan tangung jawaban produk/jasa.

Aspek sosial selain memiliki fungsi strategis diatas juga berfungsi sebagai respon perusahaan atas kebutuhan stakeholder. Namun pada praktiknya di Indonesai masih kurang mendapatkan perhatian. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya problem sosial yang melibatkan perusahaan diantaranya masalah HAM, keselamatan dan kenyamanan kerja, gaji dan upah, korupsi, pekerja anak dan perburuhan lainnya. Hal ini merupakan masalah yang penting dan perlu adanya solusi.

Regulasi tentang kegiatan sosial perusahaan di Indonesia antara lain Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas, yang menggantikan Undang-Undang No 1 tahun 1995 yang secara ekplisit mewajibkan perusahaan yang usahanya di bidang dan/atau berkiatan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial (pasal 74 ayat 1), dan mewajibkan semua perusahaan menyampaikan laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial pada laporan tahunan (pasal 66 ayat 2). Selain itu keputusan Bapepam–Lembaga Keuangan No 134/BL/2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik yang mewajibkan perusahaan untuk menguraiakan aktivitas dan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab sosial. Didalam peraturan-peraturan tersebut diatas, mesiratkan bahwa CSD di Indonesia bersifat sukarela (voluntary).

Beberapa penelitian yang menguji pengaruh Board Governance

(selanjutnya disingkat CG) terhadap CSD menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap CSD (Anggraini dan Retno 2006, Murwaningsari, 2008). Nurkhin (2009) membuktikan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap CSD. Haniffa dan Cooke (2005) menemukan bahwa, board dominate by executive directors, chair with

multiple directorship dan kepemilikan asing berpengaruh positif terhadap CSD.

Said, Zainuddin, dan Haron (2009) menemukan bahwa hanya komite audit berpengaruh terhadap CSD. Ketidak konsistenan temuan serta sedikitnya variabel

CG yang berpengaruh terhadap CSD, menunjukkan bahwa hubungannya CG

terhadap CSD tidak begitu kuat dan tidak bisa digeneralisasi. Hasil penelitian terdahulu belum konsisten dan mayoritas menemukan bahwa board governance yang berpengaruh signifikan terhadap CSD, maka dalam penelitian ini difokuskan pada board governance secara mendalam dan disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Teori Agensi digunakan dalam penelitian karena teori ini lebih mendekati realistas praktik bisnis pada umumnya.

Penelitian yang menguji pengaruh CG terhadap firm value antara lain dilakukan oleh Jo dan Harjoto (2011) menemukan kepemimpinan dewan, dewan komisaris, kepemilikan blockholders, dan kepemilikan institusional memainkan

peran yang relatif lebih lemah didalam meningkatkan firm value. Penelitian Leung dan Horwitz (2009) di Hong Kong yang dilakukan setelah terjadinya krisis keuangan Asia (1997-1998), menunjukkan bahwa perusahaan di Hong Kong dengan kepemilikan manajemen yang lebih terkonsentrasi (dewan eksekutif) menunjukkan kinerja pasar modal (firm value) yang lebih baik selama periode 13- bulan setelah krisisHasil penelitian Toledo dan Bocantto (3013) pada perusahaan

di Spanyol membuktikan bahwa investor mempertimbangkan untuk membeli saham pada nilai premium (discount) tergantung pada baik (buruk) governance perusahaan tersebut. Artinya perusahaan yang melaksanakan CG dengan baik nilainya lebih tinggi atau meningkat.

Adapun penelitian yang menguji pengaruh CSD terhadap firm value antara lain dilakukan oleh Schadewitz dan Niskala (2010) di Finlandia. Hasilnya CSD berpengaruh positif signifikan terhadap firm value. Nurlela dan Islamuddin (2008) di Indonesia dengan sampel perusahaan sektor non keuangan pada perusahaan publik tahun 2005 membuktikan bahwa tidak ada pengaruh CSD terhadap firm

value. Temuan Suhardjanto dan Nugraheni (2010) menemukan bukti bahwa CSD

berpengaruh positif signifikan terhadap firm value pada tahun pelaksanaan CSD maupun satu tahun setelah CSD. Selanjutnya Jo dan Harjoto (2011) menemukan bahwa CSD yang menunjukkan peningkatan sosial internal dalam perusahaan, seperti keragaman karyawan, hubungan perusahaan dengan karyawan, dan kualitas produk, meningkatkan firm value.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Adapun perbedaannya adalah pada pengujian mediasi CSD pada pengaruh board governace terhadap

firm value. Perbedaan ini sekaligus menunjukkan orisinilitas penelitian dibanding

penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian ini dilakukan karena argumentasi berikut ini: pertama, memperhatikan hasil penelitian pengaruh board governace terhadap firm value diatas, yang menunjukkan hasil yang positif signifikan, meskipun terjadi perbedaan proksi board governance yang signifikan, kedua, memperhatikan hasil penelitian pengaruh CSD terhadap firm value mayoritas menunjukkan hasil positif signifikan, serta ketiga memperhatikan hasil penelitian

board governance terhdap firm value yang tidak konsisten, maka dimungkinkan CSD sebagai variabel yang memediasi pengaruh board governance terhadap firm value. Pemilihan CSD sebagai variabel mediasai selain berdasarkan penelitian

diatas, juga disebabkan masalah sosial merupakan bagian penting dalam operasional perusahaan di Indonesia.

Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis

Penelitian ini menginvestigasi kaitan bord governance, CSD dan firm

value. Board governance merupakan salah satu unsur penting dalam CG. Salah

satu prinsip dalam CG adalah tranparansi. Tujuan tranparansi adalah adanya keterbukaan informasi yang berkualitas dari agen kepada principal. CSD merupakan bagian dari pelaksanaan konsep tranparansi. Salah satu manfaat dari diterapkannya CG dengan tranparansi sebagai salah satu konsepnya adalah agar memperkecil asimerti informasi antara manajemen sebagai agen terhadap pemegang saham sebagai principal (Holm dan Schoeler 2008). Asimetri informasi yang semakin kecil berdampak positif pada semakin tingginya tingkat

kepercayaan antara agen dan principal sehingga terjalin interaksi yang harmonis antara keduanya (Holm dan Schoeler 2008). Hubungan yang harmonis dapat memudahkan dalam pencapaian tujuan perusahaan yaitu meningkatnya firm

value. Berdasarkan paparan diatas maka teori agensi (agency theory) digunakan

sebagai landasan dalam penelitian ini.

Teori Agensi

Dalam teori agensi (agency theory), hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian memberikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent (Jensen dan Meckling, 1976). Dalam perusahaan modern manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Selengkap apapun informasi dari manajemen tidak dapat menyampaikan secara keseluruhan kondisi perusahaan seutuhnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau asimetri informasi (information asymmetric).

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan akan menimbulkan masalah keagenan karena adanya perbedaan kepentingan antara pemilik perusahaan sebagai prinsipal dengan pihak manajemen sebagai agen. Masalah keagenan juga merupakan elemen pokok dari pandangan kontraktual suatu perusahaan (Coase, 1937; Jensen dan Meckling, 1976; dan Fama dan Jensen, 1983). Idealnya, suatu kontrak dapat dilakukan antara manajer dengan pemilik yang secara spesifik menyatakan bagaimana manajer seharusnya melakukan tugasnya dan bagaimana seharusnya mengalokasikan keuntungan. Keinginan ideal ini dalam praktiknya sulit diterapkan. Sebagian besar manajer mempunyai kendali yang sangat kuat atas alokasi dana dibanding investor. Jensen (1986) berargumentasi bahwa seorang manajer akan mengambil suatu proyek yang dapat memberikan keuntungan lebih besar bagi kepentingan dirinya sendiri (opportunistic behavior)

dibandingkan dengan kepentingan investor.

Teori Agensi, Corporate Governace dan Board Governance.

Lukviarman (2004) menyatakan bahwa keberadaan CG secara konseptual dapat ditelusur-balik hingga ke akhir abad 18 Masehi, yaitu dimulai oleh Adam Smith (1776) yang merupakan filosof pertama yang dianggap menjadi peletak dasar dalam memformalisasikan konsep CG yang menginginkan bahwa perkembangan perekonomian suatu negara harus berdampak pada tercapainya kemakmuran masyarakat. Lebih lanjut, Lukviarman mengutip Denis & McConnel (2003) menjelaskan bahwa tahapan generasi pertama dalam perkembangan konsep CG dilakukan oleh Berle dan Means. Menurut Berle dan Means (1934) perkembangan perusahaan menyebabkan adanya pemisahan antara kepemilikan dan kontrol atas suatu perusahaan yang modern, sehingga memerlukan suatu mekanisme yang dapat menjamin bahwa manajemen akan

mengelola perusahaan sesuai dengan kepentingan pemilik. Pemikiran Berle dan Means ini dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976) yang terkenal dengan teori keagenannya, yang menjadi tonggak perkembangan riset di bidang

CG (Lukviarman, 2004).

Isu governance secara global menguat setelah runtuhnya beberapa raksasa bisnis dunia seperti Enron dan WorldCom di AS, serta tragedi jatuhnya HIH dan One-tel di Australia pada permulaan abad 21 (Lukviarman 2007). Isu CG semakin populer setelah lembaga keuangan multilateral, seperti World Bank dan Asian

Developmen Bank (ADB) mengungkap bahwa krisis keuangan di beberapa negara

Asia antara lain disebabkan oleh buruknya CG (Lukviarman 2007).

Salah satu bagian penting dari CG adalah Board Governance. Board

Governance penting dalam pelaksanaan CG karena memiliki posisi yang strategis

sebagai bagian dari mekanisme CG yang ada didalam perusahaan dan terlibat didalam proses pengelolaan perusahaan. Board Governance yang terdiri dari dewan komisaris dan kelengkapannya mewakili pemilik untuk melakukan pengawasan, arahan serta motivasi agar manajemen dapat meningkatakan firm

value.

Teori Agensi dan Corporate Social Disclosure

Semakin besar dan modern sebuah perusahaan semakin komplek permasalahan yang dihadapi. Tuntutan dari principle terhadap agent semakin banyak demikian juga tuntutan dari stakeholder. Oleh karenanya dalam perusahaan besar dan modern diperlukan lebih banyak instrumen agar konflik keagenan dapat diminimalisir.

Sebagai pengelola perusahaan manajer lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (prinsipal). Oleh karena itu, sebagai pengelola manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Jensen dan Meckling (1976), dan Watts dan Zimmerman (1986) menyatakan bahwa laporan keuangan yang dibuat dengan angka-angka akuntansi diharapkan dapat meminimalkan konflik diantara pihak-pihak yang berkepentingan (prinsipal dan agen). Laporan keuangan adalah sebagai media pertanggungjawaban kinerja agen kepada prinsipal. Hal ini dilakukan agar principal dapat menilai, mengukur, dan mengawasi sampai sejauhmana agen tersebut bekerja untuk meningkatkan kesejahteraannya, serta memberikan kompensasi kepada agen. Salah satu informasi penting itu antara lain adalah informasi mengenai CSD.

Adanya anggapan oleh sebagian manajemen bahwa praktik CSR perusahaan serta CSD hanya pemborosan uang perusahaan merupakan masalah yang terjadi. Oleh karenanya guna mengurangi dampak hal tersebut board

governance diperlukan sebagai mekanisme kontrol dalam pengelolan perusahaan

termasuk praktik CSD.

Corporate Governance dan Board Governance

Berle dan Means (1932) berpendapat bahwa konsepsi governance dibutuhkan sebagai konsekuensi terjadinya pemisahan antara kepemilikan dan kontrol atas suatu entitas korporasi modern. Jensen dan Meckling (1976),

menyatakan bahwa CG merupakan sebuah sistem yang mempengaruhi strategi perusahaan serta keputusan yang diambil oleh manajer ketika ada pemisahan antara kepemilikan, pengendalian, dan manajemen. Sukses atau tidaknya perusahaan ini ditentukan oleh keputusan atau strategi yang diambil oleh perusahaan. Dewan memegang peranan penting bahkan peran utama dalam penentuan strategi perusahaan (Sabeni, 2005).

Para ahli memberikan berbagai pengertian CG, antara lain: Sheifer dan Vishny (1997), yang mendifinisikan CG merupakan serangkaian mekanisme yang dapat melindungi pihak minoritas (ouside investor/minority shareholders) dari eksplorasi yang dilakukan oleh para manajer dan pemegang saham pengendali (insider) dengan penekanan pada mekanisme legal. Selanjutnya Ho dan Wong (2001) berpendapat CG merupakan cara yang efektif untuk menjelaskan hak dan tangungjawab masing-masing kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan dimana transparansi merupakan indikator utama standar CG dalam sebuah perekonomian. Menurut Blair (1995) definisi CG merupakan satu kesatuan menyeluruh mencakup aspek hukum, budaya dan kelengkapan institusional lainnya yang akan menentukan; hal apa saja yang dapat dilakukan oleh perusahaan, pihak mana yang akan melakukan pengendalian terhadap perusahaan dan bagaimana pengendalian tersebut dilakukan, serta bagaimana risiko dan manfaat dari berbagai aktivitas tersebut dialokasikan. Pengertian sederhana

corporate governance diberikan oleh Cadbury (1999) bahwa CG merupakan suatu

sistem yang diharapkan berfungsi sebagai panduan bagaimana sebuah perusahaan diarahkan dan dikondisikan.

Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa CG adalah sebuah mekanisme legal yang ditujukan untuk melindungi seluruh kepentingan stakeholder berupa sistem yang berisikan panduan untuk pelaksanaan praktik bisnis, yang meliputi aspek hukum, budaya dan kelengkapan perusahaan lainnya. Kesemuanya ditujukan agar memastikan apa yang dapat dilakukan, siapa yang melakukan, serta bagaimana resiko dan manfaatnya dengan tranparansi sebagai indikator utamanya. Selanjutnya perusahaan diharapkan efektif dalam mencapai tujuan yaitu meningkatnya firm value.

Lukviarman (2012), mengelompokkan CG dalam dua tipe, yaitu One-tier

Board system dan Two-tier Board system. Dalam sistem One-tier Board, hanya

terdapat satu board dalam perusahaan, yaitu board of directors (Calkoen, 2011). Negara yang menerapkan sistem ini antara lain United States, United Kingdom, Australia dan negara persemakmuran lainnya (Lukviarman, 2012). Sistem CG yang kedua adalah Two-tier Board system. Negara-negara yang menerapkan sistem ini adalah Jerman, Perancis, Belanda dan Austria (Lukviarman, 2012). Dalam sistem ini terdapat dua board dalam perusahaan, yaitu board of

management dan supervisory board, dimana board of management bertangung

jawab kepada supervisory board (board governance), selanjutnya supervisory

board bertanggung jawab kepada pemegang saham. Indonesia menganut sistem

ini dengan modifikasi (Lukviarman 2012). Lukviarman (2012) juga menyatakan bahwa Indonesia menganut Two-tier Board system (sistem board dua tingkat). Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dewan komisaris

dan direksi diangkat dan diberhentikan oleh sharehoders dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Board Governace merupakan salah satu bagian penting CG. Penelitian ini

fokus pada bagaimana interaksi CG (dalam penelitian ini fokus pada Board

Governance), CSD dan Virm Falue. CG menekankan adanya transparansi, CSD

sebagai bagian pelaksanaan transparansi, serta firm value sebagai gambaran tanggapan investor terhadap informasi dari perusahaan di pasar modal, merupakan satu proses yang saling terkait. Adapun cara pandang yang digunakan adalah dengan cara pandang teori agensi.

Corporate Social Responsibility

Corporate Social Responsibility (CSR) memiliki sejarah yang panjang: di

tahun 1950-an fokus utama CSR adalah pada tanggung jawab bisnis kepada masyarakat, tahun 1960-an adalah era perubahan sosial, tahun 1970-an era munculnya problem sistem manajemen tradisional berhadapan dengan isu-isu

CSR, pada 1980-an ditandai semakin dekatnya bisnis dan tangungjawab sosial

dimana perusahaan menjadi lebih responsif terhadap para pemangku kepentingan, tahun 1990-an gagasan CSR hampir disetujui secara universal meskipun masih merupakan literatur strategi dan akhirnya, tahun 2000-an, CSR secara definitif menjadi isu strategis yang penting bagi perusahaan (Moura-Leite dan Padgett, 2011).

CSR menurut Friedman (1970), adalah bagaimana menggunakan sumber

daya serta terlibat dalam kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan laba asalkan tetap dalam aturan main, atau dengan kata lain, terlibat dalam persaingan terbuka dan bebas tanpa penipuan atau kecurangan. World Business Council for

Sustainable Development (WBCSD) mendifinisikan CSR sebagai komitmen bisnis

untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja dengan karyawan, keluarga mereka dan masyarakat lokal untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. CSR menurut definisi Komisi Eropa (2001), adalah sebuah konsep dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan secara sukarela. Lebih lanjut menurut kerangka kerja CSR Bursa Malaysia (2006), mendifinisikan CSR sebagai praktek terbuka dan transparan yang didasarkan pada nilai-nilai etika dan penghargaan bagi masyarakat, karyawan, lingkungan, sharehorlders dan pemangku kepentingan lainnya. Orlitzky et al. (2003) menegaskan bahwa CSR dapat digunakan sebagai alat organisasi utk menggunakan sumber daya lebih efektif, dan pada akhirnya berdampak positif pada firm value.

Corporate Social Disclosure

Hackston dan Milne (1996) mendifinisikan pengungkapan sosial perusahaan (CSD) sebagai penyediaan informasi keuangan dan non-keuangan yang berkaitan dengan interaksi organisasi dengan masyarakat sosial, sebagaimana dinyatakan dalam laporan tahunan atau laporan sosial terpisah. Definisi lain diungkapkan Gray, Javad, Power dan Sinclair (2001) yang menyatakan bahwa pengungkapan sosial dapat dimaknai serta terdiri dari

informasi yang menggambarkan kegiatan korporasi berhubungan dengan, aspirasi dan kegiatan sosial berkaitan dengan karyawan, isu konsumen, persamaan peluang, perdagangan yang adil, tata kelola perusahaan dan sejenisnya. Gray, Owen dan Maunders (1987) mendefinisikan CSD sebagai proses penyediaan informasi yang dirancang untuk akuntabilitas sosial yang biasanya dilakukan oleh organisasi yang bertanggung jawab dan dengan demikian termasuk informasi dalam laporan tahunan, publikasi khusus atau bahkan iklan berorientasi sosial. Pengungkapan sosial dalam perspektif ini, diasumsikan bahwa entitas dipengaruhi oleh masyarakat dan, pada gilirannya, memiliki pengaruh pada masyarakat di mana perusahaan beroperasi dan dipandang sebagai metode yang diharapkan manajemen dapat digunakan untuk berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi persepsi eksternal tentang organisasi mereka (Deegan, 2002). Lebih lanjut, Orlitzky et al. (2003) menegaskan bahwa CSD dapat digunakan sebagai alat organisasi untuk menggunakan sumber daya lebih efektif, dan pada akhirnya berdampak positif pada firm value.

Corporate Social Responsibility dan Pelaporannya

Saat ini ada banyak sistem pelaporan untuk masalah sosial beberapa diantaranya adalah:

1. Social Accountability (SA) 8000 oleh Sacial Accountability International (SAI): Global social accountability standart based on United Nation (UN) Universal Declaration of Human Right, konvensi

Dalam dokumen KAJIAN ANALISIS USAHA TANI INTEGRASI P (Halaman 169-180)