• Tidak ada hasil yang ditemukan

Solution to the Inflation Bias

Dalam dokumen KAJIAN ANALISIS USAHA TANI INTEGRASI P (Halaman 61-66)

TOTAL ASSETS TURN OVER TERHADAP RETURN ON INVESTMENT

IMPLEMENTASI RULES AND DISCRETION POLICY DALAM PENGELOLAAN SEKTOR MONETER DI INDONESIA

2.3. Solution to the Inflation Bias

Mengikuti Barro dan Gordon (1983a), banyak literatur dikembangkan untuk menguji solusi alternatif bias inflasi yang timbul dalam discretion. Karena bank sentral diasumsikan menetapkan tingkat inflasi supaya marginal cost inflasi sama dengan marginal benefit, kebanyakan solusi merubah model dasar meningkatkan marginal cost inflasi yang diterima bank sentral. Kelompok pertama, memasukkan reputasi negara kedalam versi repeat-game kerangka dasar. Godaan untuk to inflate saat ini merugikan reputasi bank sentral menyampaikan inflasi yang rendah; akibatnya publik menduga inflasi yang lebih tinggi masa yang akan datang, dan respon ini menurunkan expected value fungsi tujuan bank sentral. “Punish” terhadap

bank sentral merugikan reputasi meningkatkan marginal cost inflasi. Kelompok kedua, penyelesaian juga menguji interpretasi dalam kerangka marginal cost inflasi. Daripada memandang inflasi sebagai imposing biaya reputasi bank sentral, seorang dapat memberikan bank sentral mempunyai preferensi yang berbeda dari masyarakat lebih besar supaya marginal cost inflasi yang diterima bank sentral lebih tinggi. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah sederhana memilih pembuat kebijakan sebagai seorang individu yang meletakkan lebih besar daripada bobot normal mencapai inflasi yang rendah dan kemudian memberikan bahwa individu bebas melakukan kebijakan. Jika bias inflasi dari tekanan politik terhadap bank sentral, lembaga mungkin dibangun untuk menurunkan efek pemerintah sekarang terhadap pelaksanaan kebijakan moneter. Kelompok ketiga penyelesaian meliputi menentukan batasan fleksibilitas bank sentral. Paling umum kebijakan seperti ini adalah suatu targeting rule yang memerlukan bank sentral untuk mencapai tingkat inflasi dan menetapkan suatu biaya yang berkaitan terhadap deviasi dari taget ini. Suatu analisis inflation targeting adalah penting karena beberapa bank sentral telah meggunakan inflation targeting sebagai suatu framework untuk melaksanakan kebijakan.

III. KESIMPULAN

1. Pengalaman banyak negara, untuk periode waktu yang lama, tingkat inflasi rata- rata jelas melebihi tingkat inflasi yang diterima secara sosial. Awalnya literatur time-inconsistency sebagai suatu usaha untuk menjelaskan observasi ini. Dalam prosesnya pendekatan telah membuat pentingnya kontribusi metodologi analisis kebijakan moneter dengan menekankan perlunya memberlakukan bank sentral sebagai respon terhadap insentif yang mereka hadapi.

2. Time inconsistency dalam kebijakan moneter dapat terjadi apabila otoritas moneter terpaksa harus mengorbankan sasaran jangka panjang (inflasi) demi mencapai sasaran lain dalam jangka pendek. Agar hal ini tidak terjadi, maka pengendalian inflasi harus menjadi sasaran tunggal, atau setidaknya menjadi sasaran utama. Menetapkan inflasi sebagai sasaran utama berarti menghindarkan diri dari inkonsistensi kebijakan.

3. Dalam menilai kemampuan pendekatan ini untuk memperkirakan inflasi aktual, seseorang dapat membedakan antara usaha untuk menjelaskan pengalaman time- series satu negara dan cross-sectional evidence inflasi yang berbeda diantara negara-negara.

4. Model Barro dan Gordon yang menyediakan interaksi strategis tindakan bank sentral dan pembentukan ekspektasi publik meskipun sederhana tetapi kaya game- theoritic framework untuk mempelajari outcome kebijakan moneter.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Manurung, Jonni dan Adler Haymans Manurung (2009), Ekonomi Keuangan dan Kebijakan Moneter, Salemba Empat, Jakarta.

Mc.Callum, Benner (2003), Misconceptions Regarding Rules vs Discretion for Monetary Policy, Shadow Open Market Commitee.

Saver, Stephen (2007), Discretion Rather Than Rules?, Working Paper Series.

Susanto, Edi (2002), Menyikapi Inflation Targeting dalam Proses Pemilihan Ekonomi: Suatu Tinjauan Teori, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.5, No.2, September, Bank Indonesia.

Taylor, John (1993), Discretion Versus Policy Rules in Practice, Carnegie –

Rochester Conference Series on Publishing Policy, North Holland

Walsh, Carl E (2003), Monetary Theory and Policy, Second Edition, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts, London.

PERAN PATUH HUKUM DAN TAAT BERAGAMA TERHADAP NIAT BELI DAN PERASAAN PASKA

BELI PRODUK BAJAKAN

Anas Hidayat1 Sri Rejeki Ekasasi2

1A lecturer at School of Business and Economics, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

2A lecturer at Sekolah Tinggi Ilmu ManajemenYayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIMYKPN) Yogyakarta

Correspondence: Anas Hidayat, International Program, School of Business and Economics, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia. Tel: 62-274-898-444 ext.2200. E-mail: anas.hidayat@uii.ac.id

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh aspek kepatuhan hukum konsumen, respek konsumen terhadap aspek legalitas produk bajakan, dan aspek ketaatan beragama konsumen terhadap niat beli dan perasaan paska beli software computer dan CD music bajakan. Penelitian ini diharapkan akan memperoleh sebuah model dengan pendekatan cultural dan structural untuk menekan penggunaan produk bajakan. Data primer akan dikumpulkan dari dua populasi, kelompok mahasiswa dan kelompok pekerja, dari empat kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Lebih kurang 128 responden terlibat dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya variable sikap patuh hukum yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap niat beli produk software bajakan, sementara ketaatan beragama dan niat beli keduanya terbukti memberikan pengaruh signifikan terhadap perasaan setelah membeli produk software komputer bajakan.

Keywords: aspek kepatuhan hukum, aspek legalitas produk, aspek ketaatan beragama, niat beli, perasaan paska beli

1. Introduction

Pembajakan produk secara umum didefinisikan sebagai penggandaan identik dengan produk resmi tanpa ijin (terdaftar dalam Hak Kekayaan Intelektual) yang meliputi juga pembungkusan sampai dengan pelabelannya (Kay 1990; Ang et. al. 2001; dan Phau et. al. 2001). Pembajakan produk menjadi menjamur begitu cepat dimana-mana sejak dua dekade 1980an dan 1990an akibat perkembangan dan penyebaran yang cepat pula tehnologi tinggi ke masyarakat. Setelah dua decade ini pengetatan pengawasan terhadap produk bajakan di berbagai Negara tertuduh mulai dilakukan secara aktif. Misalnya, Indonesia sebagai salah satu tertuduh serius produk bajakan, mulai memberlakukan UU HaKI tahun 2000. Namun demikian, produk bajakan tidak pernah surut dari pasar.

Berbagai macam produk popular sudah tersentuh tangan-tangan pembajak di seluruh dunia. Produk yang dibajak meliputi produk mewah sampai dengan produk untuk kebutuhan sehari-hari (Olsen & Granzin 1992; Masland & Marshall 1990), baik itu produk yang membutuhkan keputusan pembelian yang ekstra hati-hati, seperti suku cadang pesawat terbang dan obat-obatan dengan resep dokter (Bloch, Bush & Campbell 1993; dan Harvey & Ronkainen 1985), sampai dengan produk yang membutuhkan keputusan pembelian yang sederhana saja, seperti produk dompet, sepatu dsbnya (Wee, Tan & Cheok 1996). Penelitian di bidang pemasaran yang berkaitan dengan pembajakan produk telah dilakukan yang di lihat dari dua sisi, penelitian yang difokuskan pada penjual (Bush et al. 1989; Harvey 1987; dan Harvey & Ronkainen 1985), dan penelitian yang difokuskan pada pembeli produk bajakan (Cordel, et al. 1996; dan Lai & Zaichkowsky 1997). Hasilnya belum memberikan luaran yang signifikan terhadap ilmu pemasaran (Field 2000).

Penegakan etika dan hukum dalam berinteraksi bisnis sangat penting dalam upaya menegakkan sendi-sendi keadilan dan sendi-sendi kemakmuran masyarakat. Ketika banyak pelanggran etika dan hukum dalam berbisnis, maka roda perekonomian suatu bangsa dan kerukunan bermasyarakat menjadi terganggu karena munculnya ketidakadilan, permusuhan, dan kecurigaan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, peneliti melihat bahwa Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) masih sangat rentan terhadap penyalahgunaan oleh orang atau lembaga yang tidak berhak. Pada awalnya kajian masalah penyalahgunaan perlindungan HaKI dilakukan di belahan dunia Barat (Negara-negara Maju), kemudian pada dasawarsa terakhir mulai menyentuh di belahan dunia Timur karena

sebagai Negara yang masuk dalam daftar yang selalu diawasi oleh Amerika dalam persoalan yang berkaitan dengan HaKI masih belum banyak penelitian yang menyentuh pada bidang ini. Sehingga penelitian ini penting dilakukan agar iklim penelitian dapat disesuaikan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Ada dua tujuan utama penelitian. Pertama, untuk mengetahui pengaruh aspek ketaatan beragama konsumen terhadap niat beli dan perasaan paska beli software komputer bajakan. Dari tujuan yang pertama ini diharapkan diperoleh sebuah model dengan pendekatan kultural meredam penggunaan produk bajakan. Kedua, untuk melihat pengaruh aspek kepatuhan hukum konsumen dan respek konsumen pada aspek legalitas produk bajakan terhadap niat beli dan perasaan paska beli software komputer bajakan. Dari tujuan yang kedua ini di harapkan diperoleh sebuah model dengan pendekatan structural meredam penggunaan produk bajakan.

Dalam dokumen KAJIAN ANALISIS USAHA TANI INTEGRASI P (Halaman 61-66)