• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Perkembangan Industri Pengolahan di Indonesia Pada sekitar tahun 1920-an industri-industri modern di Indonesia hampir Pada sekitar tahun 1920-an industri-industri modern di Indonesia hampir

3. Uji Statistik

a. Uji t (Uji Signifikansi Parameter Individual)

Uji t adalah uji individual semua koefisien regresi yang bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya. Pengujian uji t statistik dengan tingkat signifikansi α = 5% akan didapatkan hasil sebagai berikut:

Menghitung t tabel = tα; n – k

= t0,05; 27 – 4

commit to user (Sumber: Gujarati, 1997: 116) Ho ditolak Ho diterima 1,714 Keterangan: n = jumlah sampel/observasi k = banyaknya parameter α = derajat/tingkat signifikansi Gambar 4.5 Daerah Kritis Uji t

Kesimpulan:

1) Apabila nilai t hitung < 1,714, maka Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya koefisien regresi parsial variabel independen tersebut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen, penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan pada tingkat signifikansi α = 5%.

2) Apabila nilai t hitung > 1,714, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya koefisien regresi parsial variabel independen tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen, penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan pada tingkat signifikansi α = 5%.

commit to user

Berikut ini adalah hasil pengujian parameter individual (uji t statistik) dengan tingkat signifikansi 5%:

1) Koefisien regresi dari konstanta mempunyai t hitung 28,32244 > 1,714 dimana nilai probabilitasnya 0,0000 < 0,05 maka koefisien dari regresi tersebut signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Dengan kata lain, konstanta secara statistik penting dan berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja.

2) Koefisien regresi dari PDB mempunyai t hitung 23,46945 > 1,714 dimana nilai probabilitasnya 0,0000 < 0,05 maka koefisien dari regresi tersebut signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Dengan kata lain, PDB secara statistik penting dan berpengaruh terhadap terhadap penyerapan tenaga kerja.

3) Koefisien regresi dari PMA mempunyai t hitung 0,988864 < 1,714 dimana nilai probabilitasnya 0,3330 > 0,05 maka koefisien dari regresi tersebut tidak signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Dengan kata lain, PMA secara statistik tidak penting dan tidak berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja.

4) Koefisien regresi dari PMDN mempunyai t hitung -0,738354 < 1,714 dimana nilai probabilitasnya 0,4678 > 0,05 maka koefisien dari regresi tersebut tidak signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Dengan kata lain, PMDN secara statistik tidak penting dan tidak berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja.

commit to user

b. Uji F (Uji Signifikansi Parameter Simultan)

Uji F adalah uji untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama. Jika nilai F hitung lebih kecil daripada nilai F tabel pada tingkat signifikansi 5%, maka Ho diterima yang berarti bahwa secara bersama-sama variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen. Sebaliknya, apabila nilai F hitung lebih besar daripada F tabel pada tingkat signifikansi 5%, maka Ho ditolak yang berarti bahwa secara bersama-sama variabel independen berpengaruh secara secara signifikan terhadap variabel dependen.

Pengujian F statistik dengan tingkat signifikansi α = 5% akan didapatkan hasil sebagai berikut:

Menghitung F tabel = tα; k – 1: n – k = t0,05; 3; 23 = 3,028 Keterangan: N = jumlah sampel/observasi K = banyaknya parameter α = derajat/tingkat signifikansi

commit to user Gambar 4.6 Daerah Kritis Uji F

Kesimpulan:

1) Jika F hitung > 3,028 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Berarti β0,

β1, β2, β3, dan β4 berbeda dengan 0 (nol) artinya dapat disimpulkan bahwa semua koefisien regresi secara bersama-sama signifikan pada tingkat α = 5%.

2) Jika F hitung < 3,028 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Berarti β0,

β1, β2, β3, dan β4 tidak berbeda dengan 0 (nol) artinya dapat disimpulkan bahwa semua koefisien regresi secara bersama-sama tidak signifikan pada tingkat α = 5%.

Berdasarkan dari hasil pegolahan data yang diproleh dari model regresi dengan metode OLS (Ordinary Least Squares), nilai F hitung adalah 202,6061 dengan probabilitas signifikansinya sebesar 0,000000. Hal ini menunjukkan bahwa nilai F hitung > F tabel yaitu dengan nilai sebesar 202,6061 > 3,028 berarti Ho ditolak, artinya koefisien regresi secara bersama-sama signifikan pada tingkat α = 5%.

(Sumber: Gujarati, 1997: 116)

Ho diterima Ho ditolak 3,028

commit to user

Hal ini dapat dilihat dari tingkat signifikansinya yang kurang dari 0,05 (< 0,05), berarti bahwa variabel Pendapatan Domestik Bruto (PDB), Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Asing (PMDN) secara bersama-sama mempengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan di Indonesia.

c. Koefisien Determinasi (Goodness of Fit = R2)

Uji goodness of fit dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variabel-variabel dependen. Dengan kata lain, uji determinasi digunakan untuk mengetahui berapa persen perubahan variasi variabel independen dapat menjelaskan variasi perubahan variabel dependennya. Uji ini dapat dilihat dari determinasi R2 menunjukkan pengaruh yang dijelaskan oleh variabel dependen. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh nilai R2 sebesar 0,963539 hal ini berarti bahwa 96,3539% variabel Penyerapan Tenaga Kerja (TK) dapat dijelaskan oleh variabel Pendapatan Domestik Bruto (PDB), Penanaman Modal Asing (PMA), dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Sedangkan sisanya 3,6461% dijelaskan oleh variabel lain di luar model (µt). Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat hubungan variasi antar variabel independennya dikatakan lebih dari setengah bisa menjelaskan variabel dependennya. Itu berarti masih ada kemungkinan kurang dari

commit to user

4% variabel yang sebenarnya bisa mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja sektor industri pengolahan sebagai variabel dependen dalam model ini.

4. Uji Asumsi Klasik

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan asumsi klasik dari hasill penelitian. Uji yang dilakukan meliputi uji multikolinieritas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi.

a. Multikolinieritas

Multikolinieritas merupakan suatu hubungan linier yang sempurna atau mendekati sempurna diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan (variabel bebas) dalam model regresi. Untuk menguji ada tidaknya multikolinieritas dalam suatu model empirik dapat dilakukan dengan menggunakan korelasi parsial yang disarankan oleh Farrar dan Gruber (1967). Pengujian yang mengidentifikasi tentang ada tidaknya masalah keterkaitan antar variabel independen atau variabel penjelas.

Pengujian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan korelasi parsial, yaitu:

1) Meregres biasa (regresi awal) dengan melihat besarnya R2 yang disebut sebagai R2 asal (R2a);

commit to user

3) Memperhatikan besar R2 pada masing-masing hasil regresi antar variabel independen tersebut;

4) Membandingkan R21, R22, R23, R24 dengan R2a, menggunakan kriteria apabila R2a masih lebih besar dari R21, R22, R23, dan R24, maka dapat dinyatakan tidak terdapat masalah multikolinieritas.

Tabel 4.7

Hasil R2a, R21, R22, dan R23 Pada Regresi Antar Variabel Variabel Variabel R2 R2a Kesimpulan

Dependen Independen

PDB PMA dan PMDN 0,087008 0,963539 Tidak ada

multikolinieritas

PMA PDB dan PMDN 0,333110 0,963539 Tidak ada

multikolinieritas

PMDN PDB dan PMA 0,336249 0,963539 Tidak ada

multikolinieritas

Sumber: Hasil Olahan Eviews 3.1, data diolah.

Dari Tabel 4.7 di atas dapat diketahui bahwa untuk semua korelasi variabel antar variabel bebas mempunyai nilai R2 yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai R2a. Hal ini berarti spesifikasi model yang digunakan bebas dari masalah multikolinieritas.

b. Heteroskedastisitas

Menurut Hanke dan Reitsch (dalam Kuncoro, 2004: 96) Heteroskedastisitas muncul apabila kesalahan atau residual dari model

commit to user

yang diamati tidak memiliki varian yang konstan dari satu observasi ke observasi lainnya. Hal ini akan menyebabkan penaksir OLS menjadi tidak efisien baik dalam sampel kecil maupun sampel besar. Salah satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan metode Uji White, yaitu:

1) Melakukan estimasi model awal yang digunakan dengan menggunakan OLS yang kemudian diperoleh nilai residualnya; 2) Nilai residual yang telah diperoleh kemudian dikuadratkan, lalu

diregresikan dengan variabel dependen. Jika hasil regresi menunjukkan α1 tidak signifikan pada tingkat signifikansi 5% berartidata tersebut homoskedastisitas/tidak heteroskedastisitas, sebaliknya jika data tersebut signifikan pada tingkat signifikansi 5% maka terjadi heteroskesdastisitas.

Dalam suatu fungsi regresi terdapat masalah heteroskedastik apabila mempunyai gangguan berupa varian yang tidak sama. Hal ini menyebabkan penaksir OLS tidak efisien, baik dalam sampel kecil maupun sampel besar. Sedangkan penyimpangan bisa dilihat dari besarnya nilai residu akibat perbedaan estimasi dengan kondisi nyata.

commit to user Tabel 4.8

Uji Hetroskedastik Menggunakan Uji White (no cross term) White Heteroskedasticity Test:

F-statistic 1.133594 Probability 0.379072 Obs*R-squared 6.851924 Probability 0.334759

Sumber: Hasil Olahan Eviews 3.1, data diolah.

Tabel 4.9

Uji Heteroskedastik Menggunakan Uji White (cross term) White Heteroskedasticity Test:

F-statistic 0.782124 Probability 0.635772 Obs*R-squared 7.906118 Probability 0.543634

Sumber: Hasil Olahan Eviews 3.1, data diolah.

Dari Tabel 4.8 dan Tabel 4.9 di atas dapat disimpulkan bahwa hasil uji heteroskedastisitas menggunakan uji white no cross term maupun cross term menunjukkan bahwa nilai Obs*R2 < X2 maka tidak signifikan secara statistik. White no cross term dengan nilai Obs*R2 = 6,851924 dan nilai X2 (df.6; α = 5%) = 12,592. Kemudian

White cross term dengan nilai Obs*R2 = 7,906118 dan nilai X2 (df.9; α

= 5%) = 16,919. Hal ini berarti hipotesa yang menyatakan model tersebut terdapat masalah heteroskedastik ditolak. Jadi, dalam model tersebut tidak terdapat masalah heteroskedastik.

Uji heteroskedastik dengan menggunakan Uji LM ARCH, dimana uji ini biasanya digunakan untuk menguji masalah heteroskedastisitas ketika ada perubahan struktur, misalnya perubahan

commit to user

struktur ekonomi. Hasil pengujian masalah heteroskedastik dengan LM ARCH adalah sebagai berikut:

Tabel 4.10

Uji Heteroskedastik Menggunakan Uji LM ARCH ARCH Test:

F-statistic 1.555276 Probability 0.224392 Obs*R-squared 1.582341 Probability 0.208424

Sumber: Hasil Olahan Eviews 3.1, data diolah.

Dari Tabel 4.10 di atas dapat disimpulkan bahwa uji heteroskedastik menggunakan uji LM ARCH menunjukkan nilai Obs*R2 = 1,582341 dan nilai X2 (df.1; α = 5%) = 3,841. Berarti Obs*R2 < X2; 1,582341 < 3,841 maka tidak signifikan secara statistik. Artinya hipotesa yang menyatakan bahwa model empirik tersebut tidak terdapat masalah heteroskedastisitas tidak ditolak. Jadi, model tersebut tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.

c. Autokorelasi

Autokorelasi adalah adanya korelasi antara variabel gangguan sehingga penaksir tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun sampel besar. Ada beberapa metode untuk menguji ada tidaknya masalah autokorelasi. Antara lain dengan metode grafik, Runs Test,

commit to user Gambar 4.7

Uji Autokorelasi Menggunakan Uji Durbin-Watson

.

Kriteria Pengujian Autokorelasi:

d < dL : Ho ditolak, terdapat autokorelasi positif d > 4-dL : Ho ditolak, terdapat autokorelasi negatif dU < d < 4-dU : Ho diterima, tidak terdapat autokorelasi

dL ≤ d ≤ dU atau 4-dU ≤ d ≤ 4-dL: Ragu-ragu, terdapat ketidakpastian pada pengujian (inconclusive).

Hasil d hitung dan d tabel:

d = 1,183844 dL = 1,16 dU = 1,65 n = 27; k = 3 4 – dL = 2,84 4 – dU = 2,35 Kesimpulan Pengujian:

Berdasarkan hasil pengujian autokorelasi menggunakan d Durbin-Watson test di atas menunjukan bahwa model tersebut menghasilkan pengujian yang ragu-ragu atau tidak meyakinkan (inconclusive).

Ragu -ragu Ho ditolak/ Autokorelasi positif Ho Ditolak/ Autokorelasi Ragu -ragu 0 dL = 1,16 dU = 1,65 2 4-dU 4-dL 4 Ho diterima/ Bebas Autokorelasi d = 1,18

commit to user

Untuk menghindari masalah pengujian autokorelasi dengan D-W d test, T.S. Breusch dan L.G. Godfrey tahun 1978 mengembangkan pengujian autokorelasi yang lebih umum yaitu dengan Uji

Breusch-Godfrey (BG Test) (Rahayu, 2007: 103). Pengujian ini dilakukan

dengan meregresikan variabel pengganggu µi dengan menggunakan model autoregressive dengan orde ρ sebagai berikut:

µt = ρ 1µt – 1 + ρ 2µt – 2 +….ρ ρµt – ρ + εt…………..(4.4) Dengan Ho adalah ρ1 = ρ2….. ρ, ρ = 0, dimana koefisien autoregressive secara keseluruhan sama dengan nol, menunjukan tidak terdapat autokorelasi pada setiap orde. Secara manual apabila X2 tabel lebih besar dibandingkan dengan Obs*R-squared, maka model

tersebut bebas dari autokorelasi. Tabel 4.11

Uji Autokorelasi Menggunakan Uji B-G Test Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 3.684497 Probability 0.142505 Obs*R-squared 5.013391 Probability 0.097796

Sumber: Hasil Olahan Eviews 3.1, data diolah.

Berdasarkan hasil uji B-G test di atas, diketahui bahwa nilai probabilitas yang dihitung sebesar 0,097796 yang artinya nilai probabilitas tersebut lebih dari probabilitas 5%, maka hipotesa yang menyatakan pada model tidak terdapat autokorelasi diterima. Berarti, model empirik tersebut tidak terdapat atau bebas masalah autokorelasi.

commit to user 5. Interpretasi dan Analisis Ekonomi

Berdasarkan atas hasil analisis data di atas, maka dapat disimpulkan suatu hasil analisis ekonomi. Analisis ekonomi yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

a. Pada penelitian ini, Produk Domestik Bruto (PDB) memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap penyerapan/jumlah tenaga kerja sektor industri pengolahan di Indonesia. Nilai koefisien regresi variabel Produk Domestik Bruto (PDB) adalah sebesar 0,579960 dan signifikan pada tingkat signifikansi 5% yang ditunjukkan dengan probabilitas tingkat signifikan sebesar 0,0000. Artinya apabila setiap terjadi kenaikan 1% pada variabel Produk Domestik Bruto (PDB), maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,579960% atau sebesar 58.183 orang (Ceteris Paribus). Begitu juga sebaliknya, setiap penurunan 1% pada variabel Produk Domestik Bruto (PDB), maka akan menurunkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,579960% atau sebesar 58.183 orang (Ceteris Paribus).

Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah produk industri pengolahan sangat tinggi. Sehingga peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) riil sektor industri akan berdampak pada meningkatnya penyerapan tenaga kerja baru pada sektor industri pengolahan. Hal ini dapat terjadi, karena kenaikan 1% PDB pada sektor industri pengolahan ini akan mampu membayar upah 0,579960% atau 58.338

commit to user

orang tenaga kerja pada sektor industri pengolahan. Karena dengan kenaikan PDB riil ini perusahaan akan mampu membayar upah rata-rata untuk kebutuhan minimum tenaga kerja tersebut, dan juga sebaliknya.

Hasil penelitian ini identik dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lif Syarifudin, bahwa output riil sektor industri manufaktur berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan/penggunaan tenaga kerja pada sektor industri manufaktur. Dengan semakin meningkatnya output riil sektor industri manufaktur dapat mencerminkan besarnya peluang pasar pada sektor tersebut. Selain itu, dengan naiknya output riil sektor industri berarti perusahaan akan mampu membayar upah rata-rata dalam penambahan tenaga kerjanya, maka industri pengolahan akan berusaha untuk selalu meningkatkan outputnya dengan menambah jam kerja (lembur) dan menambah jumlah tenaga kerja dengan harapan industri manufaktur di Indonesia dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi.

Hasil penelitian ini juga relevan dan sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh W. Arthur Lewis yang mengemukakan suatu model teoritis Two Sector Surplus Labor yaitu terjadinya proses pengalian tenaga kerja dan pertumbuhan output serta kesempatan kerja di sektor modern dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor tersebut (Todaro: 2000: 100).

commit to user

Meskipun demikian, hasil dalam penelitian ini koefisien variabel PDB (output) riil pada sektor industri pengolahan adalah signifikan akan tetapi menunjukkan angka yang lebih kecil dari 1 (satu). Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan penyerapan tenaga kerja masih rendah walaupun terjadinya pertumbuhan produksi/pertambahan output sektor industri pengolahan di Indonesia tumbuh dengan cepat.

b. Pada penelitian ini, Penanaman Modal Asing (PMA) memiliki pengaruh positif dan tetapi tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan di Indonesia. Nilai koefisien regresi variabel PMA adalah sebesar 0,012449 dan tidak signifikan pada tingkat signifikansi 5% yang ditunjukkan dengan probabilitas tingkat signifikan sebesar 0,3330.

Penanaman Modal Asing (PMA) yang tidak berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan di Indonesia ini, menunjukkan bahwa investasi pada sektor industri pengolahan selama ini termasuk didalamnya penanaman modal asing diduga kuat cenderung hanya ditujukan pada industri-industri yang bersifat padat modal (capital intensive industry) biasanya adalah industri-industri dalam skala besar dan sedang, dan kurang menyentuh pada industri-industri yang padat karya (labor intensive industry) yang biasanya adalah industri-industri dalam skala kecil dan rumah tangga.

commit to user

Hasil penelitian ini identik dengan hasil dan kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Lif Syarifudin yang menyatakan bahwa investasi riil yang terdiri dari PMA dan PMDN berpengaruh positif tetapi tidak signifikan dalam penyerapan tenaga kerja pada sektor industri manufaktur di Indonesia. Dengan kata lain semakin meningkatnya investasi riil (PMA dan PMDN) pada sektor industri pengolahan tidak dikuti oleh penambahan tenaga kerja yang berarti, karena investasi tersebut bersifat padat modal, yaitu dalam bentuk sarana, prasarana dan mesin-mesin yang berteknologi tinggi, sehingga hanya membutuhkan relatif sedikit tenaga kerja atau beberapa tenaga kerja saja.

c. Pada penelitian ini, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan di Indonesia. Nilai koefisien regresi variabel PMDN adalah sebesar -0,013322 dan tidak signifikan pada tingkat signifikansi 5% yang ditunjukkan dengan probabilitas tingkat signifikan sebesar 0,4678. Hal ini berarti Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tidak berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan di Indonesia.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis di awal yang menyatakan bahwa Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berpengaruh secara positif terhadap penyerapan tenaga kerja pada

commit to user

sektor industri pengolahan. Melihat dampak negatif Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) terhadap penyerapan tenaga kerja tersebut menunjukkan bahwa investasi yang berasal dari dalam negeri kurang diperhitungkan sebagai faktor yang yang mempengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan. Hal ini berarti bahwa investasi yang berasal dari dalam negeri yang ditanamkan pada sektor industri, tidak mampu mendorong kenaikan output dan permintaan input dalam industri pengolahan tersebut. Sehingga kondisi tersebut tidak berpengaruh terhadap kenaikan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja pada sektor industri pengolahan di Indonesia.

Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Lif Syarifudin, yang mengungkapkan bahwa PMDN pada sektor industri tidak berpengaruh secara berarti dalam penyerapan/penggunaan tenaga kerja pada sektor industri manufaktur di Indonesia. Dengan demikian tidak semua penawaran tenaga kerja dapat diserap oleh industri manufaktur dengan adanya kenaikan investasi yang dilakukan pada sektor industri manufaktur atau dengan kata lain peningkatan investasi yang terjadi tidak memberikan dampak langsung dalam penyerapan tenaga kerja bagi tenaga kerja yang ada pada sektor industri manufaktur di Indonesia. Terlebih lagi dengan iklim investasi yang kurang kondusif, yang dapat menyebabkan

commit to user

investasi riil berfluktuasi setiap tahunnya, sehingga memberikan pengaruh yang tidak signifikan atau bahkan tidak berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan.

Hasil penelitian ini kurang mendukung pendapat yang diungkapkan oleh Sukirno (2002: 108), yang menyatakan bahwa kegiatan investasi memungkinkan suatu masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan nasional, dan taraf kemakmuran masyarakat.

Pertumbuhan investasi (PMA dan PMDN) yang relatif fluktuatif dalam kurun waktu penelitian membuat investasi pada sektor industri pengolahan belum berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja pada sektor tersebut, karena walaupun nilai investasi dari tahun ke tahun sedikit meningkat, namun pertumbuhannya terus berfluktuasi dari tahun ke tahun. Nopirin (1995: 78) menyimpulkan bahwa “biasanya pengeluaran investasi lebih tidak stabil bila dibandingkan dengan pengeluaran konsumsi, sehingga fluktuasi pertumbuhan investasi akan dapat menyebabkan resesi”.

Investasi pada sektor industri pengolahan dari dalam negeri yang memiliki dampak negatif terhadap penyerapan tenaga ini selain karena adanya fluktuasi nilai investasi juga dikerenakan kebiasaan daerah yang mempunyai bentuk birokrasi yang kurang baik, merebaknya korupsi dan cenderung kurang berpihak pada investor

commit to user

dalam negeri khususnya pada investasi sektor industri. Kondisi semacam ini berakibat buruk pada berbagai kegiatan ekonomi dan tidak terkecuali dalam hal investasi. Hal ini tidak hanya mempersulit dan membingungkan investor dari dalam negeri untuk menanamkan modalnya, tetapi juga mengarah pada aktivitas ekonomi biaya tinggi (high cost economy), ekploitasi sumber daya tanpa batas dan merangsang pelarian modal (flight of capital).

Fenomena pola dan karakteristik investasi pada sektor industri pengolahan di Indonesia ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh John Maynard Keynes yang menyatakan bahwa Negara yang industrialisasinya dilandasi argumentasi penciptaan lapangan kerja (employment creation), niscaya akan lebih memprioritaskan pengembangan industri-industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Jenis industri yang dimajukan bertumpu pada industri-industri yang padat karya dan industri-industri kecil. Adapun negeri yang menganut argumentasi loncatan teknologi (technology

jump) percaya bahwa industri-industri yang menggunakan teknologi

tinggi (hi-tech) akan memberikan nilai tambah yang sangat besar, diiringi dengan kemajuan teknologi bagi industri-industri dan sektor-sektor lain (Dumairy, 1997: 287).

commit to user BAB V PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian secara empiris yang telah diuraikan pada bab sebelumnya mengenai penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan di Indonesia tahun 1985 – 2011, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil pengolahan data yang diperoleh dari model regresi dengan metode OLS (Ordinary Least Squares), variabel Produk Domestik Bruto (PDB) secara statistik berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Selanjutnya variabel Penanaman Modal Asing (PMA) secara statistik berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Sedangkan untuk variabel Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) secara statistik berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan di Indonesia.

2. Berdasarkan hasil pengolahan data yang diperoleh dari model regresi dengan metode OLS (Ordinary Least Squares), variabel Produk Domestik Bruto (PDB), Penanaman Modal Asing (PMA), dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sektor industri secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan mempengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan di Indonesia.

commit to user

3. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh nilai R2 sebesar 0,963539 hal ini berarti bahwa 96,3539% variabel Penyerapan Tenaga Kerja (TK) dapat dijelaskan oleh variabel Produk Domestik Bruto (PDB), Penanaman Modal Asing (PMA), dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Sedangkan sisanya 3,6461% dijelaskan oleh variabel lain di luar model (µt). Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat hubungan variasi antar variabel independennya dikatakan lebih dari setengah bisa menjelaskan variabel dependennya. Itu berarti masih ada kemungkinan kurang dari 4% variabel yang sebenarnya bisa mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan sebagai variabel dependen dalam model ini. B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini yang telah dirangkum dalam uraian simpulan ternyata ada fakta yang berbeda dengan hipotesis awal penulis, yaitu bahwa ternyata vaiabel investasi riil Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tidak berpengaruh secara positif terhadap Penyerapan Tenaga Kerja pada sektor industri di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa pendapat yang penulis sarankan untuk mengatasi masalah yang ada pada penelitian ini, diantaranya adalah:

1. Penanganan secara simultan baik terhadap peningkatan pertumbuhan nilai tambah bruto sektor industri agar dapat terus menjadi “mesin pertumbuhan” utama dalam perekonomian dan penciptaan prasarana penunjang serta tujuan investasi sektor industri sehingga pola dan laju

commit to user

pertumbuhan investasi tersebut tidak hanya cenderung fokus pada pembangunan industri yang bersifat padat modal (capital intensive