• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Penelitian Terdahulu

Dalam dokumen STRATEGI PEMASARAN BELIMBING MANIS (Halaman 40-59)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Studi Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini terdiri dari penelitian tentang komoditi belimbing, strategi pemasaran dan pengembangan usaha, dan kemitraan antara petani dengan koperasi.

Penelitian mengenai komoditi belimbing manis dilakukan oleh Angriani (2006) yang berjudul ‘Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Buah Belimbing Depok Varietas Dewa-Dewi’. Penelitian ini mengambil kasus di Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Beberapa permasalahan yang dihadapi adalah kualitas dan kuantitas produksi yang belum terjamin, kontinyuitas pasokan yang belum stabil, serta waktu pengiriman belimbing yang belum tepat.

Penelitian bertujuan untuk menghitung tingkat pendapatan petani belimbing, mengidentifikasi pola rantai pemasaran belimbing, menganalisis perilaku lembaga pemasaran yang terlibat, dan mengukur distribusi marjin pemasaran pada setiap pola rantai pemasaran. Penelitian dilakukan dari bulan Maret sampai Juni 2006. Data diperoleh melalui wawancara dengan 30 responden petani belimbing dan 10 responden pedagang.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usahatani dengan sistem penjualan per buah (SPB) lebih kecil dibandingkan dengan sistem penjualan per kilogram (SPK). Sistem penjualan per buah yaitu pendapatan atas biaya tunai pada usahatani belimbing sebesar Rp 9.039.780,00 dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 8.121.946,67. Penerimaan pada sistem penjualan per buah sebesar Rp 14.400.000 dengan R/C total sebesar 2,29. Sedangkan dalam sistem penjualan per kilogram (SPK) penerimaan yang didapat sebesar Rp 18.900.000, dengan pendapatan atas biaya

tunai sebesar Rp 14. 562.780 dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 13.644.946,67 serta R/C total sebesar 3,60.

Analisis mengenai saluran pemasaran menunjukkan pemasaran belimbing terdiri dari tiga saluran. Saluran pertama terdiri dari petani, tengkulak, pedagang besar, pedagang pengecer (tradisional), dan konsumen akhir. Saluran ke dua terdiri dari petani, pedagang besar, supermarket, dan konsumen. Saluran ke tiga terdiri dari petani, pedagang pengecer (toko buah), dan konsumen.

Analisis mengenai struktur pasar menunjukkan bahwa stuktur pasar antara petani dengan tengkulak dari sudut pandang pembeli adalah oligopsoni. Jumlah petani yang jauh lebih besar daripada jumlah tengkulak mengakibatkan petani tidak memiliki kekuatan dalam tawar menawar harga dan berperan sebagai price

taker. Informasi harga yang diterima petani kurang sempurna karena hanya

berasal dari tengkulak dan sesama petani.

Struktur pasar yang terbentuk antara pedagang besar dengan pedagang pengecer adalah oligopoli, sedangkan antara pedagang besar dengan pasar modern adalah monopsoni. Hambatan keluar masuk industri bagi pedagang besar tergantung dari besarnya modal dan pengalaman yang dimiliki. Struktur pasar yang tebentuk pada pedagang pengecer (tradisonal dan modern) dengan konsumen akhir adalah struktur pasar monopolistik. Struktur pasar ini ditandai dengan jumlah pedagang dan konsumen yang seimbang serta harga terbentuk dari proses tawar menawar. Informasi mengenai harga diperoleh dari sesama pedagang pengecer dan pedagang besar. Harga yang berlaku di pedagang pengecer modern lebih tinggi dibandingkan dengan pengecer tradisional. Hal ini disebabkan karena pengecer modern hanya menjual produk belimbing yang berkualitas baik.

Analisis mengenai distribusi marjin pemasaran menunjukkan bahwa marjin pemasaran terbesar dihasilkan dari saluran pemasaran satu, yaitu sebesar 73,33 persen dari harga penjualan. Bagian harga konsumen yang diterima petani (farmer

share) pada saluran satu merupakan yang terkecil dari kedua saluran lainnya,

yaitu 26,67 persen. Marjin pemasaran pada saluran kedua adalah sebesar 71,94 persen dengan farmer share 37,04 persen. Marjin pemasaran terkecil terdapat pada saluran pemasaran tiga, yaitu sebesar 65,93 persen. Farmer share pada saluran pemasaran tiga merupakan yang terbesar dari kedua saluran sebelumnya, yaitu sebesar 51,85 persen.

Studi penelitian terdahulu mengenai strategi pemasaran dilakukan pada tiga penelitian yang ditulis oleh Budiman (2007), Suheni (2005), dan Firdaus (2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Budiman berjudul Analisis Strategi Pengembangan Usaha PT Madu Pramuka Jakarta (PT. MP). Permasalahan mendasar yang tercantum pada rumusan masalah penelitian adalah produktifitas yang belum optimal dikarenakan masih menggunakan peralatan tradisional dalam pasca panen dan pengemasan. Selain itu, terdapat juga masalah kualitas yang belum memenuhi kriteria mutu madu Badan Standarisasi Indonesia. Madu Pramuka masih memiliki kadar air di atas ambang batas yang telah ditentukan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor strategis internal dan eksternal dan kemudian merumuskan alternatif strategi yang sesuai dengan permasalahan dan keadaan PT Madu Pramuka.

Formulasi strategi menggunakan tiga tahapan perumusan strategi. Tahap masukan menggunakan matriks IFE dan EFE, tahap pencocokkan menggunakan

matriks SWOT dan tahap keputusan menggunakan teknik AHP. Penelitian dimulai dengan identifikasi faktor strategis internal dan faktor strategis eksternal untuk menentukan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dihadapi perusahaan.

Berdasarkan matriks IFE, tiga kekuatan utama yang dimiliki PT. MP adalah produk yang berkualitas dan memiliki ciri khas, adanya loyalitas konsumen, dan kondisi keuangan relatif baik. Pada matriks IFE ini, terdapat pernyataan yang tidak konsisten, yaitu terkait dengan rumusan masalah. Pada rumusan masalah, dinyatakan bahwa salah satu permasalahan PT. MP adalah kualitas produk yang belum memenuhi standar. Akan tetapi, identifikasi faktor strategis internal menempatkan faktor kualitas sebagai kekuatan utama. Tidak dijelaskan apakah ada perbaikan kualitas pada saat penelitian atau tidak.

Tiga kelemahan utama yang berhasil diidentifikasi menggunakan matriks IFE adalah kurangnya promosi produk, peralatan pasca panen masih sederhana, dan volume produksi belum optimal. Pada matriks IFE, dapat dilihat bahwa dua faktor yang menjadi kelemahan kedua dan ketiga sebenarnya memiliki keterkaitan. Pada rumusan masalah, dinyatakan bahwa volume produksi belum optimal dikarenakan peralatan pasca panen yang masih sederhana. Kedua faktor tersebut memiliki kemungkinan untuk digabung menjadi satu faktor.

Berdasarkan matriks EFE, tiga peluang utama yang berhasil diidentifikasi adalah kesadaran masyarakat akan manfaat produk perlebahan semakin tinggi, permintaan produk perlebahan yang semakin meningkat, dan tidak adanya produk subtitusi perlebahan. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa faktor peluang pertama dan kedua juga memiliki hubungan. Permintaan produk perlebahan yang

semakin meningkat dapat disebabkan oleh kesadaran masyarakat yang semakin tinggi akan manfaat produk tersebut. Kedua faktor tersebut mungkin dapat digabung menjadi satu. Tiga ancaman utama yang diidentifikasi oleh matriks EFE adalah pemalsuan produk, berkurangnya areal pakan lebah akibat konversi lahan, dan kesulitan mendapat bahan baku berkualitas.

Total skor matriks IFE adalah 2,681 sedangkan total skor matriks EFE adalah 2,599. Hal ini menggambarkan kondisi internal PT. MP berada di atas rata-rata, sedangkan respon perusahaan terhadap peluang dan ancaman tergolong sedang.

Pada analisis menggunakan matriks SWOT, dihasilkan delapan alternatif strategi. Penentuan prioritas dari ke-delapan alternatif strategi tersebut dilakukan menggunakan teknik AHP. Tujuan (goal) pada analisis AHP sesuai dengan tujuan penelitian adalah menentukan prioritas strategi pengembangan usaha. Penentuan prioritas dari delapan strategi yang telah dirumuskan pada matriks SWOT dilakukan menggunakan empat kriteria strategi pengembangan usaha yang harus dicapai. Empat strategi tersebut adalah : (1) meningkatkan profit perusahaan ; (2) mengatasi persaingan ; (3) SDM dan Manajemen yang profesional ; dan (4) pusat informasi dan pendidikan perlebahan.

Hasil pengolahan horisontal kriteria strategi terhadap alternatif strategi menyimpulkan bahwa kriteria strategi meningkatkan profit perusahaan dipengaruhi signifikan oleh strategi memperluas daerah pemasaran. Kriteria strategi mengatasi persaingan dipengaruhi signifikan oleh strategi memperluas daerah pemasaran. Kriteria strategi SDM dan manajemen yang profesional dipengaruhi signifikan oleh strategi meningkatkan mutu pelayanan konsumen.

Kriteria strategi pusat informasi dan pendidikan perlebahan dipengaruhi signifikan oleh strategi mempromosikan diklat dan terapi sengat lebah.

Hasil pengolahan vertikal terhadap alternatif strategi menunjukkan prioritas dari ke-delapan strategi yang dihasilkan dari matriks SWOT. Tiga prioritas utama strategi pengembangan usaha adalah strategi memperluas daerah pemasaran dan strategi meningkatkan mutu pelayanan kepada konsumen, serta melakukan promosi melalui media masa dan internet.

Studi penelitian selanjutnya membahas penelitian yang dilakukan oleh Suheni. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2005 dengan judul Strategi Pemasaran Bibit/Benih Tanaman Hias di Balai Benih Induk (BBI) Hortikultura Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta.

Permasalahan mendasar yang dikaji dalam penelitian ini adalah tingkat penjualan yang belum mencapai target. Pada tahun 2003, BBI menargetkan 60 persen bibit dapat terjual, namun realisasinya hanya mencapai 40 persen. Selain itu, lingkungan bisnis tanaman hias yang selalu berubah mengikuti tren menjadi faktor penting dalam merumuskan strategi pemasaran yang sesuai. Misi dan visi BBI lebih bersifat pada pelayanan masayarakat. Oleh karena itu, dianggap perlu melakukan analisis tingkat kepuasan konsumen untuk mempertajam hasil penelitian.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian adalah : (1) mengidentifikasi faktor strategis internal dan eksternal yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman BBI ; (2) mengetahui karakteristik pelanggan dan mengukur tingkat kepuasan pelanggan ; (3) merumuskan strategi pemasaran yang tepat sesuai kondisi BBI.

Penelitian terbagi menjadi dua bagian, yaitu penelitian untuk kebun bibit (KB) anggrek dan KB non anggrek. Identifikasi kekuatan dan kelemahan untuk masing-masing KB menggunakan matriks IFE. Tiga kekuatan utama KB Anggrek adalah : (1) komitmen yang tinggi dari Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta dalam mengembangkan tanaman hias ; (2) sumberdaya lahan yang luas, fasilitas laboratorium yang lengkap dan harga yang kompetitif ; dan (3) lokasi kebun yang strategis dengan fasilitas parkir yang luas. Tiga kekuatan utama KB Non-Anggrek adalah : (1) komitmen yang tinggi dari Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta ; (2) sumberdaya lahan yang luas ; dan (3) harga yang kompetitif. Kekuatan utama dari kedua KB pada dasarnya sama.

Kelemahan utama yang dimiliki KB Anggrek adalah : (1) keterlambatan pencairan dana untuk kegiatan produksi ; (2) kualitas benih/bibit belum sesuai keinginan konsumen ; (3) pemasaran dan produksi masih ditangani oleh bagian yang sama. Kelemahan utama KB Non-Anggrek adalah : (1) keterlambatan pencairan dana untuk produksi ; (2) kondisi kebun kurang tertata dengan baik ; (3) promosi yang kurang gencar serta produksi dan pemasaran ditangani oleh bagian yang sama.

Identifikasi peluang dan ancaman untuk kedua KB dilakukan menggunakan matriks EFE. Peluang utama KB Anggrek adalah : (1) pergerakan sektor properti yang semakin meningkat ; (2) terbukanya kesempatan bermitra dengan pihak swasta ; (3) perekonomian Indonesia yang semakin membaik dan adanya UU desentralisasi dan otonomi daerah. Tiga peluang utama KB Non-Anggrek adalah : (1) sektor properti yang semakin meningkat ; (2) adanya kebijakan otonomi daerah ; (3) laju pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Ancaman utama untuk KB Anggrek adalah ; (1) tingkat persaingan yang tinggi dengan produk impor ; (2) perdagangan bebas dan tuntutan standarisasi produk ; (3) kondisi politik dan keamanan yang kurang stabil. Faktor-faktor tersebut juga menjadi ancaman utama untuk KB Non-Anggrek.

Total skor matriks IFE dan EFE untuk KB Anggrek adalah 2,584 dan 3,117. Hal ini berarti KB Anggrek berada pada kondisi internal rata-rata dan mampu merespon peluang dan ancaman dengan baik. Kedua total skor tersebut kemudian dipetakan ke dalam matriks IE. Posisi KB Anggrek pada matriks IE menempati kuadran II (growth and build). Strategi yang umum diterapkan pada posisi ini adalah perluasan dan pengembangan pasar serta pengembangan produk untuk meningkatkan penjualan.

Total skor matriks IFE dan EFE untuk KB Non-Anggrek adalah 2,435 dan 2,645. Hal ini menggambarkan posisi internal KB Non-Anggrek berada pada rata-rata dengan respon sedang terhadap peluang dan ancaman. Posisi KB Non-Anggrek pada matriks IE berada pada kuadaran V (hold and maintain). Strategi yang umumnya diterapkan adalah penetrasi pasar dan dapat dilanjutkan dengan pengembangan pasar.

Analisis selanjutnya adalah analisis mengenai karakteristik dan kepuasan pelanggan BBI untuk menjawab tujuan ke dua dari penelitian. Analisis mengenai karakteristik pelanggan menyimpulkan bahwa mayoritas pelanggan adalah laki-laki, pendidikan terakhir SLTP/SLTA, pekerjaan sebagai petani dan pendapatan per bulan Rp 500.000 sampai Rp 1.500.00. Mayoritas pelanggan memanfaatkan BBI untuk mendapatkan benih/bibit unggul baru. Faktor terpenting yang

mempengaruhi responden untuk membeli tanaman hias adalah kualitas benih/bibit.

Berdasarkan analisis tingkat kesesuaian atribut untuk KB Anggrek, sebagian besar masih berada di bawah 100 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata atribut tersebut belum dapat memuaskan pelanggan. Hanya atribut fasilitas parkir dan keramahan petugas penjualan yang memiliki tingkat kesesuaian di atas 100 persen. Atribut yang memiliki tingkat kepentingan cukup tinggi adalah kualitas benih/bibit, manfaat yang diterima, dan pengetahuan petugas penjualan. Analisis tingkat kesesuaian atribut untuk KB Non-Anggrek menunjukkan semua atribut yang dimiliki masih berada di bawah 100 persen atau belum dapat memuaskan pelanggan.

Selanjutnya dilakukan analisis IPA untuk melihat kepentingan dan kepuasan pelanggan. Analisis ini menempatkan sejumlah atribut yang dimiliki BBI ke dalam empat kuadran, yaitu kuadran A, B, C, dan D. Atribut yang masuk pada kuadaran A berarti atribut tersebut dianggap penting oleh pelanggan tapi pada kenyataannya atribut tersebut belum sesuai dengan yang diharapkan. Atribut KB Anggrek maupun Non-Anggrek yang termasuk ke dalam kuadran A adalah kualitas bibit/benih dan promosi/iklan. Hal ini berarti kedua atribut tersebut merupakan atribut terpenting yang harus diperbaiki olah BBI untuk memuaskan pelanggan.

Informasi dari analisis yang telah dilakukan kemudian menjadi input dalam perumusan alternatif strategi pada matriks SWOT. Analisis SWOT menghasilkan sembilan alternatif strategi yang dapat diterapkan pada masing-masing kebun. Prioritas dari sembilan alternatif tersebut kemudian ditentukan

menggunakan matriks QSPM. Strategi dengan prioritas tertinggi untuk KB Anggrek maupun non-Anggrek adalah membangun database dan pusat informasi.

Studi penelitian berikutnya membahas tentang penelitian yang dilakukan Hilfi Firdaus, berjudul Analisis Strategi Pemasaran Tapioka. Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga Februari 2003, menggunakan studi kasus di Koperasi Pengrajin Tapioka Ciluar (KOPTAR), Sukaraja, Bogor. Permasalahan utama yang dihadapi KOPTAR berasal dari lingkungan internal, yaitu kinerja pengurus yang belum maksimal dan memenuhi prinsip-prinsip dasar koperasi. Kinerja yang buruk berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan koperasi secara keseluruhan. Pihak yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah Ketua KOPTAR, Manajer Tapioka, dan Manajer USP.

Konsep perumusan strategi yang digunakan oleh Firdaus dalam penelitiannya adalah tiga tahapan perumusan strategi. Konsep ini menggunakan matriks IFE dan EFE pada tahap pemasukan, matriks IE, SWOT, dan SPACE pada tahap pencocokkan, dan matriks QSPM pada tahap keputusan. penelitian diawali dengan melakukan identifikasi terhadap faktor strategis internal dan eksternal dari KOPTAR.

Pada matriks IFE, tiga peluang utama yang berhasil diidentifikasi adalah pertumbuhan volume dan nilai penjualan produk utama yang tinggi, kinerja keuangan yang baik dan sehat, dan diferensiasi produk yang lengkap dengan harga kompetitif. Kelemahan utama yang berhasil diidentifikasi adalah konsistensi dan kontinyuitas mutu belum tercapai, pencatatan keuangan belum profesional, dan sistem pembayaran tidak fleksibel.

Peluang utama yang berhasil diidentifikasi dengan matriks EFE adalah potensi pasar yang besar dan permintaan tepung tapioka yang tinggi, produk alami bebas bahan pengawet dan pestisida, serta kekuatan pemasok yang rendah. Ancaman yang berhasi diidentifikasi adalah pola produksi ubi kayu dan pengrajin tepung tapioka Bogor, perkembangan teknologi produksi yang lambat, dan tidak ada jaminan jumlah dan kuantitas pasokan bahan baku.

Total skor yang didapatkan dari matriks IFE adalah 2,748 sedangkan matriks EFE adalah 2,450. Hal ini berarti KOPTAR memiliki kondisi internal di atas rata-rata sedangkan respon KOPTAR untuk lingkungan eksternal hampir mendekati rata-rata. Hal ini tentunya sedikit bertentangan dengan permasalahan yang ada, dimana kondisi internal menjadi permasalahan utama pada perumusan masalah KOPTAR.

Pernyataan yang tidak konsisten juga dapat dilihat dari faktor strategis yang menjadi kekuatan dan kelemahan. Salah satu faktor yang menjadi kekuatan adalah struktur organisasi ringkas dengan personel berpengalaman. Akan tetapi pada faktor strategis kelemahan terdapat pernyataan timbulnya konflik dan kurangnya loyalitas pengurus. Faktor kelemahan tersebut dianggap menjadi kelemahan kecil dari KOPTAR. Pada kenyataannya, permasalahan mendasar yang seharusnya menjadi kelemahan utama seperti yang diungkapkan pada perumusan masalah adalah kinerja pengurus yang tidak maksimal. Hal ini yang mungkin menyebabkan total skor matriks IFE menjadi lebih tinggi dan berada di atas rata-rata.

Pada tahap selanjutnya, total skor matriks IFE dan matriks EFE dipetakan pada matriks IE. Hasil pemetaan menunjukkan posisi KOPTAR berada di

kuadran V (hold and maintain) dengan alternatif strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk. Alternatif strategi yang lebih spesifik diperoleh pada matriks SWOT. Pada matriks SWOT, dirumuskan 13 alternatif strategi berdasarkan pencocokkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman pada KOPTAR.

Alat analisis lain yang digunakan pada tahap pencocokkan adalah matriks SPACE. Matriks SPACE menggunakan empat dimensi, yaitu kekuatan keuangan (Finansial Strength, FS), dan keunggulan bersaing (Competitive Advantage, CA) sebagai dimensi internal serta stabilitas lingkungan (Enviromental Stability, ES) dan kekuatan industri (Industry Strength, IS) sebagai dimensi eksternal. Masing-masing dimensi memiliki variabel yang menjadi indikator. Hasil dari matriks SPACE mempetakan posisi KOPTAR di kuadran konservatif. Posisi ini berarti KOPTAR telah mencapai kekuatan keuangan dalam industri yang stabil dan tidak tumbuh serta memiliki keunggulan bersaing yang besar. Alternatif strategi yang umum diterapkan adalah penetrasi pasar, pengembangan pasar, pengembangan produk, dan diversifikasi konsentrik.

Tahap selanjutnya adalah tahap keputusan. Tahap ini menggunakan matriks QSPM dalam menentukan prioritas strategi yang sebaiknya diterapkan. Penentuan alternatif strategi yang akan dimasukkan dalam matriks QSPM dilakukan berdasarkan diskusi dan kesepakatan dengan narasumber. Pada matriks QSPM, dimasukkan delapan alternatif strategi yang berasal dari tahapan sebelumnya, yaitu matriks IE, SWOT, dan SPACE. Prioritas strategi yang didapatkan dari mariks QSPM adalah : (1) strategi integrasi ke belakang dengan pengadaan unit bisnis tapioka basah ; (2) mempertahankan dan meningkatkan

kualitas dan diferensiasi produk ; (3) mengoptimalkan kegiatan penelitian dan pengembangan pasar untuk mendukung proses produksi dan produk-produk yang bermutu.

Berdasarkan studi penelitian terdahulu yang telah dilakukan pada tiga penelitian di atas, maka dapat disimpulkan pada umumnya perumusan strategi dilakukan dengan menggunakan metode tiga tahapan perumusan strategi. Matriks IFE dan EFE selalu digunakan dalam mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman pada tahap pemasukan. Tahap pencocokkan dapat menggunakan tiga alat analisis, yaitu matriks IE, SWOT, dan SPACE. Output Matriks IE dan SPACE berupa strategi umum, sedangkan matriks SWOT lebih bersifat spesifik. Pada tahap keputusan, dapat digunakan matriks QSPM atau teknik AHP untuk menentukan prioritas dari alternatif strategi yang telah didapatkan pada tahap sebelumnya.

Masing-masing metode memilki kekurangan dan kelebihan. Kelebihan matriks QSPM adalah lebih mudah dalam penggunaannya, sedangkan kelebihan teknik AHP adalah strategi yang dihasilkan bisa lebih spesifik dan memenuhi uji konsistensi. Informasi yang lebih banyak bisa didapatkan melalui analisis tambahan. Misalnya dengan melakukan analisis kepuasan konsumen untuk melihat atribut-atribut dari bisnis yang menjadi kekuatan atau kelemahan sehubungan dengan usaha memenuhi kepuasan konsumen.

Selain membahas tentang penelitian agribisnis belimbing dan strategi pemasaran, studi penelitian terdahulu juga membahas penelitian mengenai kemitraan antara koperasi dan petani. Penelitian yang dibahas adalah penelitian yang dilakukan oleh Murtadilah (2004), Pratiwi (2003), dan Kurnia (2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Murtadilah berjudul Analisis Pelaksanaan Kemitraan Antara Koperasi Agribisnis Mitra Tani dengan Petani Sayuran di Daerah Cipanas dan Sekitarnya. Permasalahan pada tempat penelitian adalah banyak petani yang memutuskan hubungan kemitraan dengan Koperasi Mitra Tani. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya ketidakpuasan dari para pelaku kemitraan, terutama dari pihak petani.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan kemitraan antara petani dengan koperasi, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra, dan menganalisis manfaat yang diterima petani dari adanya kemitraan. Analisis dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif menggunakan fungsi logit untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra. Responden berjumlah 22 orang, terdiri dari 11 orang petani yang aktif bermitra dan 11 orang petani yang telah keluar dari kemitraan.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa pola kemitraan antara petani dengan Koperasi Mitra Tani adalah Pola Dagang Umum. Hubungan antara petani dengan koperasi hanya sebatas pemasaran hasil produksi. Koperasi hanya membeli, mengolah (pasca panen), dan memasarkan hasil produksi petani.

Hasil analisis regresi logit menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh pada keputusan petani melakukan kemitraan adalah umur, tingkat pendidikan, dan proporsi modal sendiri. Variabel umur dan tingkat pendidikan berpengaruh secara negatif sedangkan variabel proporsi modal sendiri berpengaruh secara positif. Variabel lain yang tidak dapat diukur secara kuantitatif pada model adalah variabel kekerabatan. Variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah pengalaman,

modal, luas lahan, jumlah anggota keluarga, pengeluaran non usaha tani, dan proporsi status lahan.

Walaupun belum optimal, petani telah mendapatkan beberapa manfaat dari pola kemitraan yang terjalin. Manfaat yang telah didapatkan petani adalah kemudahan dalam pemasaran, kemudahan sistem pembayaran, kegiatan pasca panen tidak perlu dilakukan, serta hubungan kemitraan yang baik antara koperasi dengan petani maupun antara sesama petani.

Penelitian selanjutnya tentang kemitraan adalah penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2003), dengan judul Kegiatan Pelaksanaan Kemitraan Antara Petani dengan Perusahaan dalam Mengembangkan Usaha Tani dan Strategi Pemasaran Sayuran Subtitusi Impor. Penelitian ini mengambil studi kasus pada petani mitra Cibodas Mandiri, Cianjur, Jawa Barat. Permasalahan utama yang mendasari

Dalam dokumen STRATEGI PEMASARAN BELIMBING MANIS (Halaman 40-59)