• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subsistem Produksi Perikanan Tangkap

6.1. Identifikasi Komoditas Unggulan Perikanan Tangkap

6.2.2. Subsistem Produksi Perikanan Tangkap

Nelayan-nelayan di Kabupaten Sukabumi melakukan kegiatan produksi penangkapan ikan sepanjang tahun. Kegiatan produksi yang dimaksud tentu saja tidak sama dengan kegiatan bertani di sawah ataupun di ladang, beternak, maupun membudidayakan ikan yang disertai dengan kegiatan persiapan lahan sampai dengan kegiatan pemanenan. Kegiatan produksi yang dilakukan oleh nelayan adalah kegiatan untuk menangkap ikan di laut tanpa adanya kegiatan mengelola lautnya (lahan) terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan hasil tangkapan nelayan sangat tergantung oleh musim ikan yang ada. Hasil tangkapan sepanjang tahun tidaklah sama dan cenderung fluktuatif sehingga produktivitasnya pun juga berfluktuatif di tiap musim. Dalam setahun, nelayan Kabupaten Sukabumi selalu menemui masa-masa dimana hasil tangkapan sangat sedikit dan bahkan tidak ada hasil tangkapan sama sekali. Kondisi tersebut terjadi tanpa dapat diprediksi oleh nelayan setempat.

Berdasarkan perhitungan nilai LQ sebelumnya komoditas unggulan perikanan tangkap yang diproduksi oleh nelayan di Kabupaten Sukabumi antara lain Kuwe, Tembang, Lisong, Cakalang, Albakora, Madidihang, Tuna Mata Besar, Layur, Kakap Putih, dan Belanak. Komoditas-komoditas tersebut diperoleh dengan menggunakan armada penangkapan seperti Perahu Congkreng Kecil (jukung), Perahu Congkreng Besar (sope), Perahu Pagang, Perahu Payang, Kapal Longline, Kapal Tramel Net, dan Angkutan Bagan.

Sebagian besar nelayan di Kabupaten Sukabumi adalah nelayan tradisional sehingga peralatan yang digunakan masih sangat sederhana. Perahu yang digunakan didominasi oleh perahu tanpa motor dan perahu dengan mesin tempel. Perahu-perahu ini di daratkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tingkat kecamatan seperti TPI Cisolok, TPI Cibangban, TPI Ujunggenteng, TPI Mina Jaya, dan TPI Ciwaru. Namun, seluruh kapal diesel besar yang ada dirapatkan di Palabuhanratu yang memang fasilitas dermaga dan pom bensin untuk kapal besar sudah tersedia.

Perahu jukung memiliki kapasitas hasil tangkapan maksimum sebanyak 400 kg- 500 kg, perahu sope memiliki kapasitas maksimum 1 ton, dan perahu payang dapat mencapai 5-6 ton. Ada juga yang memiliki perahu diesel yang

memiliki kapasitas simpan ikan mencapai 10 ton atau lebih. Mesin yang digunakan untuk perahu sebagian besar menggunakan mesin beleketek yakni mesin kapal dengan tenaga yang cukup kecil yang berkisar antara 3-6 Pk. Beleketek ini digunakan oleh kapal jenis congkreng. Sedangkan untuk mesin tempel digunakan oleh perahu payang dengan tenaga mesin 15 Pk- 40 Pk. Dan perahu diesel menggunakan mesin truk fuso, mercydengan tenaga yang jauh lebih besar.

Penggunaan alat tangkap terdapat dua macam yakni menggunakan jaring dan pancing. Penggunaan alat tangkap ikan tersebut disesuaikan dengan keberadaan ikan yang akan ditangkap atau sesuai dengan musim ikan yang sedang ada. Pancing digunakan untuk jenis ikan khusus seperti Tuna, Madidihang, Albakora, Cakalang, dan Layur. Besarnya kail yang digunakan maupun bentuk kaitan pancingnya akan berbeda disesuaikan dengan morfologi ikan. Misalnya pancing yang digunakan untuk menangkap ikan Cakalang kaitan pancing diberi kawat karena gigi ikan Cakalang yang tajam sehingga jika hanya menggunakan senar biasa maka akan putus begitu saja.

Jaring yang sebagian besar digunakan adalah jaring permukaan. Bentuknya pun terdapat beberapa macam yakni misalnya jaring yang sering digunakan oleh perahu congkreng bersifat lurus dan horizontal sedangkan jaring yang digunakan perahu payang jauh lebih besar dan bentuknya seperti perangkap ikan yang membulat baik berbentuk pukat ataupun yang biasa sehingga tentu saja hasil tangkapan perahu payang jauh lebih banyak daripada perahu congkreng. Bahan dasar dari jaring yang digunakan oleh perahu congkreng dan payang juga berbeda karena disesuaikan dengan jenis ikan yang ditangkap dan kapasitas tangkap jaring. Semakin banyak ikan yang akan ditangkap, maka bahan dasar jaring haruslah semakin kuat agar pada saat menangkap ikan, jaring tersebut tidak robek.

Sebagian besar nelayan membutuhkan input yang sama saat akan melakukan kegiatan produksi. Input yang digunakan ialah perahu, jaring atau pancing, mesin motor perahu, peralatan penunjang kegiatan penangkapan ikan seperti lampu, petromak, aki, sampai dengan genset, suku cadang motor perahu,

tenaga kerja yang dalam hal ini disebut sebagai buruh nelayan, umpan, serta perlengkapan dan peralatan renovasi kapal.

Kebutuhan akan berbagai jenis perahu dipenuhi dengan memesannya di Jakarta, Cilacap, atau Pekalongan. Kebutuhan akan sarana produksi atau penangkapan ikan yang sederhana seperti jaring congkreng ataupun pancing dan senar, busi motor kapal, dempul, dapat dipenuhi dengan membeli di kios-kios kecil yang sebagian besar berada di masing-masing kecamatan pesisir. Namun jika ingin membeli mesin perahu baik beleketek maupun mesin tempel harus membelinya di Palabuhanratu. Itupun jika ada, jika stok sedang kosong maka kebutuhan tersebut dipenuhi dengan belanja ke Jakarta. Begitu juga dengan input yang lain dengan skala yang besar misalnya jaring kapal payang, fishfinder, suku cadang motor kapal, semuanya tersebut hanya dapat dibeli di Palabuhanratu atau di Jakarta.

Kebutuhan umpan dapat dipenuhi dengan menangkap langsung dari laut atau membelinya di lapak-lapak ikan. Jika seorang buruh nelayan maka ia akan mendapatkan umpan dari hasil pemberian juragannya atau pemilik kapal. Umpan yang biasa digunakan sangat beragam. Dari mulai ikan tembang dengan ukuran yang kecil sampai dengan ikan-ikan besar yang juga sering dijadikan umpan. Untuk ikan besar yang dijadikan umpan, ikan tersebut akan dipotong kecil-kecil sehingga tidak dalam bentuk utuh.

Perbaikan kapal yang secara rutin dilakukan, misalnya mendempul kapal dan pengecatan, dapat dilakukan sendiri. Masing-masing nelayan memiliki kemampuan untuk merenovasi kapalnya masing-masing. Jika kapal terbuat dari kayu maka harus didempul dengan sistem docking, jika kapal terbuat dari fiber maka dapat ditambal atau renovasi dengan bahan resin yang dapat dibeli di toko sarana produksi perikanan. Jika mesin motor perahu yang rusak maka dapat diperbaiki di bengkel motor perahu yang rata-rata diusahakan oleh warga setempat atau dapat dibawa ke pusat perbaikan mesin bengkel milik Dinas Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu. Keberadaan warga yang memiliki keahlian memperbaiki kerusakan motor perahu dengan tingkat kerusakan sedang sampai dengan sangat parah masih sangatlah sedikit. Jika

kerusakan sangat sederhana misalnya motor perahu mogok, maka setiap nelayan yang melaut sudah tentu dapat memperbaikinya.

Kegiatan produksi penangkapan ikan dilakukan sepanjang tahun. Namun antara setiap nelayan memiliki kebiasaan waktu yang berbeda-beda, ada yang berangkat pada saat pagi hari, siang hari, sore hari, dan bahkan ada yang berangkat pada malam hari. Perahu congkreng memiliki waktu operasi (kegiatan menangkap ikan) yang paling singkat. Misalnya jika berangkat dini hari sekitar pukul 03.00 WIB maka kapal tersebut akan merapat lagi pukul 08.00 WIB. Untuk perahu payang, biasanya operasi dimulai pada pagi hari dan akan pulang ke darat pada saat sore hari. Perahu payang juga terkadang melaut hingga mencapai 3 hari tergantung banyaknya bahan bakar yang dapat dibawanya saat melaut. Kapal diesel memiliki waktu operasi terlama yakni minimal adalah 7 sampai 15 hari dan dapat mencapai 3,5 bulan berada di laut. Pada kondisi yang sedang musim ikan atau banyak ikan, akan membuat waktu melaut menjadi semakin singkat karena dalam waktu yang lebih singkat, perahu telah dipenuhi dengan ikan.

Lamanya operasi sebuah kapal di laut akan sangat mempengaruhi kondisi atau kesegaran ikan saat dijual di darat. Semakin lama ikan berada di kapal maka akan sangat mungkin kesegaran ikan yang ditangkap akan sangat rendah, apalagi jika hanya didukung dengan fasilitas pendingin yang sederhana. Hal ini menyebabkan sering ditemukannya ikan-ikan dalam kondisi berair pada saat dijual di lapak atau di pelelangan ikan. Biasanya kapal dengan waktu operasi lama yakni kapal diesel menyebabkan ikan tangkapannya dalam kondisi yang kurang segar jika dibandingkan dengan ikan hasil tangkapan perahu congkreng atau payang.

Berbagai jenis perahu yang ada memerlukan jumlah awak kapal yang bervariasi. Untuk satu kapal congkreng terdiri dari 3 awak kapal, kapal payang dapat mencapi 20-25 orang, dan sedangkan kapal diesel mencapai 20 orang awak kapal. Secara garis besar setiap kapal memiliki pembagian tugas diantaranya nahkoda, pengamat, dan ABK. Seorang nahkoda bertanggung jawab terhadap keselamatan seluruh awak kapal dan bertugas mengendalikan arah dan jalannya kapal. Hai ini menyebabkan upah atau bagian pendapatan yang lebih besar bagi nahkoda. Awak kapal terpenting yang kedua adalah pengamat yang bertugas

mengamati keberadaan ikan di lautan. Biasanya seorang pengamat adalah seseorang yang memiliki penglihatan sangat baik dalam membaca dan memahami tanda-tanda keberadaan ikan. Tanda-tanda yang digunakan dalam mendeteksi keberadaan ikan misalnya adalah adanya gerombolan burung laut, biasanya burung camar, yang selalu mengitari suatu permukaan laut tertentu yang banyak ikan. Bahkan seorang pengamat dapat mengetahui keberadaan ikan di kedalaman 2-3 meter di bawah permukaan laut. Hal ini juga yang membuat bagian pendapatan bagi seorang pengamat adalah terbesar kedua setelah nahkoda. Sedangkan awak kapal lain yang berperan sebagai ABK bertugas menebar dan menarik jaring atau pancing lalu kemudian menaikkan ikan ke atas kapal.

Daya jangkau masing-masing kapal juga berbeda antara jenis kapal satu dengan jenis kapal lain. Sebuah perahu congkreng hanya mampu melaut sejauh 1- 2 mil dari pantai, untuk payang jarak tempuhnya lebih jauh yakni dapat mencapai 10 mil atau lebih tergantung kapasitas kapal payang untuk memuat perlengkapan dan peralatan melaut termasuk bahan bakar. Untuk kapal diesel tentu saja dapat menempuh jarak yang sangat jauh, hal ini berkaitan dengan kapasitas bahan bakar yang dapar dibawanya dan ukuran kapal yang sangat memungkinkan untuk melaut jauh, bahkan sampai dengan Christmas Islanddi dekat Australia.

Setiap jenis ikan yang akan ditangkap memiliki cara penangkapan dan alat tangkap yang berbeda. Misalnya ikan Layur, Cakalang, Kuwe, dan Cucut ini ditangkap dengan menggunakan pancing, dengan menggunakan umpan berupa ikan kecil yakni ikan tembang. Umpan lain yang digunakan adalah berupa ikan besar yang dipotong kecil-kecil dan dikaitkan ke kail pancing. Ikan Kuwe, Tembang, Lisong, Cakalang, Albakora, Madidihang, Tuna Mata Besar, Layur, Kakap Putih, dan Belanak, merupakan primadona hasil tangkap Kabupaten Sukabumi. Ikan Layur dan Tuna diekspor ke mancanegara seperti Jepang, Cina, dan Taiwan.

Sedangkan Ikan Tembang, Lisong, Cakalang, Albakora, Kuwe, dan Madidihang digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan ikan asin, abon ikan, pindang, kaki naga, tempura, dan baso ikan. Keberadaan industri pengolahan tersebut sudah cukup lama berdiri dan telah mendapatkan perhatian dari

pemerintah. Industri pengolahan tersebut berbentuk KUB sampai saat ini sudah mencapai 31 KUB pengolahan ikan.

Kapal yang biasanya menggunakan jaring adalah kapal payang dan kapal diesel. Berdasarkan informasi yang didapatkan, jaring yang digunakan tersebut dapat dikategorikan sebagai jaring pukat. Saat kondisi awal jaring ini akan ditebar menyerupai cincin di kerumunan ikan. Setelah itu jaring seolah-olah di “retsleting” atau dapat ditarik sehingga jaring mengurung ikan baru kemudian ditarik ke atas kapal. Ikan-ikan yang biasanya ditangkap dengan menggunakan jaring ialah ikan-ikan kecil, ikan Layang, berbagai jenis ikan Tongkol seperti Tongkol, Lisong, Kuwe, dan berbagai jenis ikan lainnya.

Pengklasifikasian skala usaha dilakukan berdasarkan kepemilikan modal utama dalam kegiatan melaut yakni kapal. Kepemilikan modal yang dimaksud ialah jenis kapal apa yang dimiliki oleh seorang nelayan. Maka dapat dibedakan menjadi 4 golongan yakni skala besar, skala menengah, skala kecil, dan buruh nelayan. Nelayan skala besar ialah nelayan yang memiliki kapal jenis kapal diesel. Kapal diesel tersebut memiliki harga yang sangat mahal yakni mencapai Rp 150.000.000,00 per unit dan belum termasuk alat tangkap dan biaya operasional setiap kali melakukan operasi. Hasil tangkapan setiap operasi dapat mencapai 50 ton.

Nelayan skala menengah merupakan nelayan yang memiliki kapal payang. Harga satu unit kapal payang mencapai Rp 25.000.000,00 – Rp 30.000.000,00 tergantung pada kelengkapan alat penangkapan ikannya. Modal yang diperlukan untuk melakukan suatu operasi ialah mencapai Rp 500.000,00 - Rp 1.000.000,00, tergantung pada lokasi operasi kapal tersebut. Setiap melakukan operasi, jenis kapal ini dapat memproduksi sampai dengan kapasitas kapal maksimal yakni 6 ton ikan.

Nelayan-nelayan yang memiliki jenis kapal congkreng dikategorikan sebagai nelayan dengan skala usaha kecil. Selain harga kapal yang cenderung lebih murah per unitnya, untuk kapal congkreng berbahan dasar kayu memiliki kisaran harga Rp 4.000.000,00 – Rp 5.000.000,00 sedangkan kapal congkreng berbahan dasar fiber berharga Rp 8.000.000,00 – Rp 9.000.000,00 per unitnya.

Modal operasional untuk sekali melaut adalah hanya sebesar Rp 30.000,00 – Rp 50.000,00.

Keberadaan buruh nelayan adalah sebagai tenaga kerja. Mereka adalah nelayan yang tidak memiliki kapal dan biasanya ikut menjadi awak kapal pada kapal congkreng maupun kapal payang. Pendapatannya sangat fluktuatif dan sangat rawan terhadap pemotongan pendapatan akibat dari adanya “kesepakatan” dalam mekanisme tataniaga perikanan di Kabupaten Sukabumi.

Sistem bagi hasil berlaku dalam kehidupan nelayan diantara nelayan dengan pemilik perahu, atau yang sering disebut taweu1. Hubungan antara nelayan dengan taweu sudah terikat dengan sistem pinjam meminjam. Jika taweumemiliki modal maka taweulah yang memberikan modal kepada nelayan. Namun saat taweutidak memiliki modal maka penjual akan memberikan modal kepada taweu dan selanjutnya taweutersebut menyalurkan modal kepada nelayan untuk melaut.

Disinilah terlihat bahwasanya taweu juga terikat dengan penjual dalam suatu ikatan pinjam meminjam. Pemodal di sini seolah-olah berperan sebagai seorang monopsoni. Selain pihak penjual yang menjadi pemodal, terdapat pihak lain yang biasanya juga menjadi pemodal dan biasanya terdiri dari pihak atau perusahaan yang memiliki modal besar dan membutuhkan produk hasil tangkap nelayan sehingga modal tersebut diberikan kepada para taweu atau ke nelayan agar dapat melaut, dan pada selanjutnya ikan hasil tangkapan tersebut dijual kepada pemodal. Sistem jual beli berlaku diantara penjual yakni dalam hal ini adalah nelayan dengan bakul atau pengumpul, antara bakul dengan bakul besar yang biasanya merupakan perusahaan besar yang berhubungan langsung dengan perusahaan eksportir. Bakul biasanya menjual ikan yang dibelinya dari penjual atau nelayan kepada konsumen akhir. Namun apabila pendapatan ikan banyak dan harga lebih tinggi di tingkat para bakul besar maka bakul akan memilih menjualnya ke bakul besar.

Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kabupaten Sukabumi tidak berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari hampir tidak adanya mekanisme pelelangan ikan yang dilakukan pada setiap transaksi penjualan ikan di TPI.

1.

Istilah daerah Kabupaten Sukabumi untuk menyebutkan pemilik perahu kapal atau perahu yang memberikan modal pinjaman usaha penangkapan ikan kepada nelayan setempat.

Berdasarkan keterangan dari petugas TPI Palabuhanratu, mekanisme pelelangan terjadi pada saat musim banyak ikan, terutama adalah musim ikan layur. Ikan layur tersebut menjadi komoditas ikan hasil tangkapan yang bernilai tinggi karena pasarnya mencapai ekspor.

Meskipun terdapat mekanisme pelelangan, harga yang terbentuk tidak juga menguntungkan para nelayan. Hal ini disebabkan karena bakul memiliki kekuatan yang sangat kuat dalam menentukan harga ikan (khususnya ikan bernilai ekonomis tinggi, misalnya ikan layur) di TPI tersebut. Keberadaan TPI hanyalah sebagai tempat dimana para taweu atau penjual melakukan jual beli dengan hampir tidak adanya mekanisme pelelangan ikan. Dalam proses transaksi dalam rantai tataniaga tersebut, berlaku sistem pemotongan seperti yang tersaji pada gambar bagan di bawah ini. Pemotongan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah kewajiban dan hasil pemotongan tersebut dapat menjadi suatu hak bagi pihak lain yang saling terkait pada Gambar 6.

Gambar 6. Pemotongan pada Rantai Tataniaga TPI Kabupaten Sukabumi

Sumber: Dinas Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu (2011)

Nelayan atau taweu diberi modal oleh penjual untuk melaut, dengan kesepakatan taweu harus menjual ikan hasil tangkapannya ke penjual yang telah memberikan modal. Tentunya harga ikan tersebut merupakan harga yang ditentukan penjual. Modal yang diberikan tersebut digunakan untuk biaya melaut seperti bahan bakar, konsumsi nelayan seperti air minum, rokok, dan bila dibutuhkan modal tersebt ditujukan untuk memperbaiki kapal atau jaring. Jika

Nelayan (100%) Penjual (10%) Pemerintah (Pajak) sebesar 5% Dipotong modal Taweu Nelayan (50%) Taweu (50%)

seorang nelayan atau taweu membutuhkan uang dalam keadaan yang mendesak maka nelayan atau taweu tersebut dapat meminjam kepada penjual, dengan kesepakatan akan terjadi pemotongan pada saat penjualan ikan. Aturan bagi hasil atau pemotongan tersebut merupakan sesuatu yang harus disepakati antara semua pihak dalam rantai tataniaga di TPI. Meski sebenarnya terlihat bahwasanya sistem bunga tidak begitu jelas, namun yang ada adalah dalam bentuk pengikatan atau kesepakatan nelayan atau taweu yakni sebuah keharusan untuk menjual ikan tangkapannya kepada para penjual. Sistem tawar-menawar harga ikan hanya terjadi pada penjual dengan bakul atau antara bakul dengan bakul besar.

Kondisi nelayan di lapangan ialah keberadaan nelayan yang kurang mampu melakukan manajemen keuangan dalam keluarga yakni membagi, menabung, penghasilannya setelah dikurangi dengan kebutuhan konsumsi keluarga. Hal ini menyebabkan nelayan akan menjadi sangat miskin pada saat kondisi sedang tidak musim ikan atau hasil tangkapan ikan tiap harinya sangatlah sedikit. Akibatnya adalah nelayan akan sangat bergantung pada pemilik modal yang pada nantinya tentu saja akan lebih menguntungkan pemilik modal. Berdasarkan hasil pengkajian di lapangan maka dapat diidentifikasi beberapa kendala yang dihadapi dalam kegiatan proses produksi komoditas perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi diantaranya adalah :

1. Ketergantungan kepada musim

Saat musim ikan, nelayan akan memperoleh pendapatan yang cukup tinggi di tiap harinya. Tetapi pada saat sedang tidak musim ikan, nelayan akan menjadi sangat miskin karena sangat sering selepas dari melaut mereka tidak mendapatkan ikan sama sekali. Uang yang dikeluarkan untuk modal melaut tidak tertutupi dengan hasil melautnya. Hal ini menyebabkan pendapatan nelayan Kabupaten Sukabumi sangat fluktuatif dalam satu tahun.

Keberadaan musim tidak dapat dipengaruhi atau sering disebut sebagai force major. Kendala ini dapat dihindari oleh nelayan setempat jika nelayan mampu meningkatkan daya jelajah, daya tangkap, dan daya tampung alat penangkap ikan yang digunakan. Hal ini dapat dilakukan dengan peningkatan teknologi alat tangkap nelayan.

2. Keterbatasan permodalan

Keterbatasan permodalan ini menyebabkan buruh nelayan sangat tergantung pada pemodal yang biasanya terdiri dari taweu dan pihak penjual. Selain itu nelayan juga seringkali terikat pinjaman kepada rentenir yang membebankan bungan pinjaman sampai dengan 10% per bulan. Pendapatan nelayan yang rendah juga dipicu oleh nilai ikan yang sangat tergantung kepada penjual.

3. Sistem tataniaga TPI yang masih belum berjalan dengan baik

Dalam kegiatan TPI yang melibatkan banyak pihak masih ditemukan suatu hubungan yang asimetris. Misalnya ialah hubungan nelayan atau taweu yang sering meminjam modal kepada pihak penjual sehingga terikat pada hubungan peminjam dengan pengutang. Hubungan ini menjadi tidak sehat saat adanya konsekuensi dari kegiatan peminjaman modal tersebut dimana pihak nelayan atau taweu diharuskan menjual ikan tangkapannya ke penjual dengan harga yang ditentukan oleh penjual.

Akibatnya proses pelelangan di TPI juga tidak berjalan dan sangat memungkinkan terjadinya manipulasi harga ikan oleh perusahaan tersebut. nelayanlah yang akan dirugikan karena tidak diikutsertakan dalam penentuan harga. Seolah-olah TPI hanya dimiliki oleh para pemodal yang sangat berkuasa dalam mennentukan harga beli ikan. Seharusnya TPI merupakan fasilitas publik yang nilai kemanfaatannya harus dapat dirasakan oleh para nelayan.

4. Sebagian besar nelayan tidak memiliki tempat penyimpanan ikan yang memadai.

Setiap nelayan seharusnya memiliki minimal satu buah cool box yang dibawanya saat melaut. Cool boxsangatlah penting untuk menjadi kesegaran ikan hasil tangkapan sehingga kualitas ikan akan tetap terjaga saat sampai di daratan. Lapak-lapak yang ada di sekitar TPI juga tidak dilengkapi dengan kotak penyimpan ikan yang memadai. Ikan-ikan yang dijual ditempatkan pada kotak gabus yang diberi es batu. Es batu akan cepat mencair dalam kotak gabus tersebut dan akibatnya ikan lebih cenderung terendam air es. Kualitas ikan menjadi sangat rendah dan sangat berair.

Kondisi tersebut mendapatkan perhatian yang cukup serius dari Departemen Kelautan dan Perikanan. Melalui Dinas Kelautan dan Perikanan setempat dilaksanakan program CCS (Cold Chain Storage) atau rantai dingin dimana akan dibagikan cool box kepada tiap nelayan.

6.2.3. Subsistem Pengolahan Perikanan Tangkap Kabupaten Sukabumi