SURAT BERHARGA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
C. Sumber Hukum Surat Berharga
Penerbitan surat berharga juga menjadi kegiatan usaha perbankan melalui pasar
uang. Jenis-jenis produk surat berharga yang dapat diterbitkan oleh perbankan yang
merupakan kegiatan usaha perbankan disebutkan dalam ketentuan Pasal 6 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Adapun usaha bank umum bila dikaitkan
dengan penerbitan surat berharga antara lain sebagai berikut:47
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
2. Menerbitkan surat pengakuan hutang.
3. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan
atas perintah nasabahnya:
a. Surat-surat wesel, termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat
yang dimaksud.
b. Surat-surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya
tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat yang dimaksud.
c. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah.
46
Ibid., hlm. 269. 47
Merupakan ketentuan dari pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
d. Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
e. Obligasi.
f. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu tahun).
g. Instrument surat berharga lain yang berjangka waktu sampai 1 (satu) tahun;
4. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada
bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan
wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya.
Dari sebagian ketentuan dalam Pasal 6 UU Perbankan di atas, dapat diketahui
bahwa surat-surat berharga yang diperdagangkan dalam pasar uang terbatas kepada
surat-surat berharga yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, dan surat-surat
berharga tersebut memang lazim diterbitkan oleh bank, untuk selanjutnya
diperjualbelikan dan ditukarkan dengan uang tunai. Secara fisik surat berharga hanyalah
merupakan sepucuk surat, tetapi mengapakah dia begitu kuatnya secara hukum. Adapun
yang merupakan alasan yuridis, sehingga surat berharga mempunyai kekuatan mengikat
sebagai dasar penerbitan surat berharga, maka ada 4 (empat) teori yang terkenal yang
membahas masalah tersebut yaitu:
a. Teori kreasi atau penciptaan (creatietheorie)
Teori ini mula-mula dikemukakan oleh Einert seorang sarjana hukum Jerman
tahun 1839, kemudian diteruskan oleh Kuntze dalam bukunya “Die Lehre von den Inhaberpapieren” (1857). Menurut teori ini adalah yang menjadi dasar hukum mengikatnya suatu surat berharga antara penerbit dan pemegang ialah perbuatan
surat berharga itu akan menimbulkan suatu perikatan bagi orang yang menandatangani
terhadap orang lain yang memperoleh surat berharga tersebut.48
Keberatan terhadap teori ini ialah bahwa pernyataan sepihak dengan tanda
tangan saja tidak mungkin menimbulkan perikatan. Supaya timbul perikatan, harus ada
dua pihak yang mengadakan persetujuan (toestemming, meeting of minds) sebab tanpa persetujuan tidak mungkin ada kewajiban. Demikian juga jika surat berharga itu jatuh
ke tangan orang yang tidak berhak atau tidak jujur misalnya dicuri, penerbit yang
menandatangani tetap terikat untuk membayar. Padahal menurut Pasal 1977 ayat 2
KUHPerdata seorang yang kehilangan surat itu karena dicuri masih berhak menuntut
kembali surat itu dari si pencuri atau penemunya selama tenggang waktu 3 (tiga) tahun,
kecuali pemegang memperolehnya dari pasar umum (pelelangan di muka umum).
Karena ada beberapa keberatan, lalu teori ini ditinggalkan.49
b. Teori kepantasan (redelijkheidstheorie)
Sebagai pelopor (grondlegger) teori ini adalah Grunhut seorang sarjana hukum Jerman. Di Jerman teori ini disebut Redlichkeitstheorie. Teori ini masih berdasarkan pada teori kreasi atau penciptaan, hanya dengan dengan pembatasan. Jika teori kreasi
atau penciptaan menyatakan bahwa penerbit yang menandatangani surat itu tetap terikat
untuk membayar kepada pemegang, meskipun pemegang yang tidak jujur, teori
kepantasan tidak menerima akibat yang demikian itu. Pembatasannya ialah penerbit
(penandatangan) hanya bertanggung jawab atau terikat pada pemegang yang
memperoleh surat berharga secara pantas (redelijk, reasonable). Pantas artinya menurut cara yang lazim, yang diakui oleh masyarakat dan dilindungi oleh hukum. Pemegang
48
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga(Yogyakarta: Penerbit Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1993), Hlm. 24.
49 Ibid.
yang demikian ini disebut pemegang yang jujur (te goeder trouw, in good faith). Pemegang yang jujur menurut sistem Anglo Saxon disebut holder in due course.50
Keberatan kepada teori ini ialah karena masih berdasarkan pada teori penciptaan,
bahwa penandatanganan surat berharga itu menimbulkan perikatan. Padahal pernyataan
sepihak tidak mungkin menimbulkan perikatan, jika tidak ada persetujuan dari pihak
lainnya.51
c. Teori perjanjian (Overeenkomsttheorie)
Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum mengikatnya surat berharga antara
penerbit dan pemegang ialah suatu perjanjian yang merupakan perbuatan dua pihak
yaitu penerbit yang menandatangani dan pemegang pertama yang menerima surat
berharga itu. Dalam perjanjian disetujui bahwa jika pemegang pertama memperalihkan
surat itu kepada pemegang berikutnya penerbit tetap terikat untuk membayar atau
bertanggung jawab untuk membayar. Dalam keadaan normal teori ini bisa diterima,
karena masih tetap didasarkan pada isi perjanjian. Pelopor dari teori ini adalah Thol.52
Keberatan pada teori ini ialah tidak memberikan penyelesaian yang memuaskan
jika surat berharga itu beredar secara tidak normal, misalnya karena hilang ataupun
dicuri. Dalam hal ini penerbit masih bertanggung jawab terhadap pemegang atau
pembawa surat berharga itu yang memperolehnya secara tidak normal. Menghadapi
persoalan demikian ini lalu timbul pertanyaan yakni apa dasar hukumnya penerbit
masih bertanggung jawab terhadap pemegang yang memperoleh surat berharga secara
tidak normal itu? Oleh karena itu teori ini akhirnya secara murni tidak dapat dipakai
dikarenakan teori ini tidak mampu menerangkan mengapa penerbit masih tetap
50
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit. hlm. 17. 51
Ibid. 52
bertanggung jawab kepada pemegang, walaupun jatuhnya surat berharga tersebut ke
tangan pemegang di luar kehendak si penerbit atau secara tidak normal. Dengan kata
lain teori ternyata mengalami jalan buntu.53
Namun demikian masih ada sarjana yang berusaha memecahkan persoalan iu
dengan mengemukakan teori lagi yang disebut teori perjanjian dengan tambahan.
Sarjana itu adalah Molengraaff dan Scheltema. Menurut pendapat kedua sarjana ini,
tanggung jawab penerbit terhadap pemegang pemegang itu tetap didasarkan pada
perjanjian antara penerbit dan pemegang pertama. Jika surat berharga itu jatuh ke
tangan pemegang berikutnya, penerbit mempunyai kewajiban baru terhadap pemegang
yang baru itu berdasarkan pada hukum positif, yaitu Pasal-Pasal yang terdapat dalam
KUHD dan KUHPerdata.54
Jika sudah menunjuk kepada hukum positif, tidak perlu lagi mencari teori untuk
memecahkan suatu masalah, karena semua orang harus tunduk kepada hukum positif
atau undang-undang yang sudah ada. Wirjono Prodjodikoro tidak menyetujui jalan
pikiran kedua sarjana ini, malahan dikatakan bahwa jalan keluar yang ditempuh oleh
Molengraaff dan Scheltema itu adalah usaha orang-orang berputus asa dalam mencari
teori-teori lain.55
d. Teori penunjukan (vertoningstheorie)
Teori ini dikemukakan oleh sarjana hukum yang terkenal yaitu Land dalam
bukunya Beginselen van het hedendaagsche wisselrecht (1881), dan Wittenwaall dalam bukunya Het toonderpapier (1893), dan di Jerman oleh Rieser. Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum mengikatnya surat berharga antara penerbit dan pemegang ialah
53 Ibid. Hlm. 18 54 Ibid. 55 Ibid.
perbuatan penunjukan surat itu kepada debitur. Debitur yang pertama adalah penerbit,
oleh siapa surat berharga itu disuruh dipertunjukkan pada hari bayar. Sejak itulah timbul
perikatan, dan penerbit selaku debitur wajib membayarnya. Teori ini tidak sesuai
dengan fakta dan terlalu jauh bertentangan dengan ketentuan undang-undang.56
Dikatakan tidak sesuai dengan fakta , karena pembayaran itu adalah pelaksanaan
dari suatu perjanjian (perikatan), dengan demikian perikatannya harus sudah ada
terlebih dahulu sebelum pelaksanaannya. Bagaimana pemegang memperoleh
pembayaran kalau tidak ada dasar hukumnya yaitu perikatan yang terjadi sebelumnya
antara penerbit dan pemegang itu. Persoalan yang timbul lagi, bagaimana seandainya
penerbit menolak pembayaran terhadap pemegang, dengan alasan belum ada perikatan?
Kepada siapa pemegang itu memperoleh pembayaran? Persoalan ini tidak dapat
dipecahkan oleh teori ini.57
Dikatakan terlalu jauh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, karena
undang-undang (KUHD) sendiri menentukan bahwa perikatan itu sudah ada sebelum
hari bayar dan sebelum penunjukan surat berharga itu. Hal ini dapat disimpulkan dari
ketentuan Pasal 142 KUHD yang menyatakan “ Pemegang surat wesel bisa
melaksanakan hak regresnya kepada para endosan, kepada penerbit, dan kepada para
debitur wesel lainnya pada hari bayarnya apabila terjadi non pembayaran. Bahkan
sebelum hari bayarnya (dari kata-kata “bahkan sebelum hari bayarnya” dapat ditarik
kesimpulan bahwa perikatannya sudah ada terlebih dahulu, bukan pada saat penunjukan.
Demikian juga dari kata-kata “akseptasi sebagian atau seluruhnya ditolak” dapat ditarik
kesimpulan bahwa perikatannya sudah ada sebelum penunjukan, bahkan pada saat
56
Ibid. Hlm. 18-19
57
penunjukan. Maksud akseptasi pada surat wesel itu ialah untuk memastikan pelaksanaan
perjanjian yaitu pembayaran pada hari bayar, bukan untuk menemukan adanya
perikatan) :
a. Apabila akseptasi seluruhnya atau sebagian ditolak.
b. Dalam hal pailitnya tersangkut, baik tersangkut akseptan, maupun bukan
akseptan, dan mulai saat berlakunya penundaan pembayaran yang diberikan
kepadanya.
c. Dalam hal pailitnya penerbit surat wesel yang tidak bisa diperoleh
akseptasinya.58
Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan di atas, menurut Abdulkadir
Muhammad, teori perjanjian lebih banyak pengaruhnya dalam hukum surat-surat
berharga. Hal ini disebabkan karena perjanjian antara penerbit dan pemegang pertama
merupakan sumber hukum dari perikatan yang timbul pada surat berharga. Terbitnya
surat berharga tidak lain dari pemenuhan isi perjanjian, karenanya penerbit dan
pemegang surat berharga itu telah sepakat untuk menanggung segala akibatnya jika
surat berharga itu dipindahtangankan kepada pemegang berikutnya.59
Pemindahtanganan surat berharga itupun didasarkan juga pada isi perjanjian
yang tersurat dalam teks surat berharga itu misalnya dengan klausula atas tunjuk dan
atas pengganti. Klausula ini menunjukkan bahwa surat berharga itu telah disetujui oleh
penerbitnya, apabila pemegang pertama memindahtangankan surat itu kepada
pemegang berikutnya. Pemegang berikutnya juga mau menerima peralihan tersebut
58
Ibid. 59
karena percaya, bahwa perjanjian antara penerbit dan pemegang pertama itu memang
ada seperti terbaca pada teks surat berharga itu.60
Apabila penerbit tidak menyeujui surat berharga itu dipindahtangankan kepada
pemegang berikutnya, sudah tentu dalam surat berharga itu akan dimuat suatu klausula
yang menunjukkan maksud penerbit tidak menyetujui jika surat berharga itu
dipindatangakankan kepada pemegang berikutnya. Hal ini dapat dilihat pada surat
wesel. Jika penerbit tidak menghendaki surat wesel itu dipindahtangankan menurut
hukum wesel, ia akan mencantumkan klausula rekta yang berbunyi “tidak atas
pengganti” (niet aan order). Hal ini juga terdapat pada surat cek (Pasal 110 ayat 2 KUHD untuk surat wesel dan Pasal 191 ayat 2 KUHD untuk surat cek).61
Ini berarti pemegang pertama tidak dibolehkan memperalihkan surat wesel atau
cek itu kepada pemegang berikutnya menurut hukum surat berharga, yaitu dengan
endosemen. Jika pemegang pertama memperalihkan juga kepada pihak lainnya, akibat
hukumnya penerbit tidak bertanggung jawab menurut hukum surat berharga, kepada
pemegang yang baru itu.62
Apabila surat berharga itu jatuh ke tangan orang lain yang tidak berhak, maka
sepantasnya pula orang tidak berhak itu tidak mendapat perlindungan. Yang perlu
dilindungi itu hanyalah orang yang sebenarnya berhak atau orang yang jujur. Adalah
tidak masuk akal dan bertentangan dengan norma hukum dan norma kepatutan yang
berlaku dalam masyarakat jika seorang pencuri surat berharga atau yang memperoleh
tanpa hak mendapat perlindungan hukum.
60 Ibid. 61 Ibid. 62 Ibid. Hlm. 21