KETRAMPILAN INJEKSI MAHASISWA Yekti Satriyandari, Mufdlilah, Ririn Wahyu Hidayat
199 Suratini, Pengaruh Relaksasi Progresif Terhadap Tingkat
sistoliknya meningkat sehubungan dengan
penurunan elastisitas pembuluh darah (Perry & Potter, 2005; LeMone & Burke, 2008). Kaplan (2009) mengatakan bahwa angka kejadian hipertensi meningkat pada usia 65 tahun keatas dan menurun pada usia 30 tahun kebawah.
LeMone & Burke (2008) mengatakan bahwa hipertensi primer mempengaruhi usia pertengahan dan dewasa tua. Umur mem- pengaruhi baroreceptor dalam pengaturan tekanan darah. Arteri menjadi kurang compiant sehingga tekanan dalam pembuluh darah meningkat. Keadaaan ini yang paling sering meningkatkan tekanan sistolik yang berhubungan dengan umur.
Hasil penelitian ini didukung oleh pe- nelitian Sigarlaki (2006) tentang karakteristik dan faktor yang berhubungan dengan hiper- tensi di desa Bocor Kebumen. Hasilnya di- peroleh penderita hipertensi usia 20-40 tahun sebanyak 10 orang (9,8%), usia 41-55 tahun sebanyak 25 orang ( 24,62%), usia 56-77 tahun sebanyak 57 orang (55,88%) dan usia lebih dari 77 tahun sebanyak 10 orang (9,80%). Kesimpulannya ada hubungan antara usia dengan tekanan darah tinggi.
Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Pecckermen dkk (2001) tentang efek umur dan jenis kelamin terhadap sensitifitas reflek baroreceptor klien hipertensi. Hal ini ke- mungkinan karena rentang umur yang berva- riasi dari responden sehingga perubahan pada struktur jantung dan pembuluh darah berbeda-beda akibat proses penuaan se- hingga dapat mempengaruhi tekanan darah. Hasilnya usia tidak mempunyai efek yang signifikan untuk mempengaruhi reflek tekanan darah dimana penurunan sensitifitas baroreceptor arteri mungkin lebih spesifik pada klien hipertensi laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Semakin bertambahnya usia maka akan semakin tinggi pula tekanan darah seseorang, hal ini berkaitan dengan terjadinya perubahan struktur anatomi dan
fisiologi sistem kardiovaskuler. Proses penuaan mempengaruhi kemampuan jantung dan vaskuler dalam memompa darah menjadi kurang efisien.
Katup jantung menjadi lebih tebal dan kaku, elastisitas pembuluh darah mengalami penurunan. Timbunan lemak dan kalsium meningkat sehingga mempermudah terja- dinya hipertensi. Hal ini diperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwa sebagian besar (75%) responden berusia antara 50-59 tahun. Mayoritas responden penelitian berjenis kelamin perempuan (58%). Hal ini berbeda dengan teori yang mengatakan bahwa kejadian hipertensi lebih tinggi pada laki-laki daripada wanita sampai 55 tahun. Menurut Black & Hawk (2005) antara usia 55-74 tahun berisiko hampir sama, setelah usia 74 tahun wanita lebih be- sar risikonya.
Kaplan (2009) mengatakan bahwa perempuan mempunyai toleransi yang lebih baik daripada laki-laki terhadap hipertensi. Secara klinis tidak ada perbedaan signifikan antara tekanan darah pada laki-laki dan perempuan. Setelah pubertas, pria cende- rung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi, dan wanita setelah menopause cende- rung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada usia tersebut ( Perry & potter, 2005).
Angka kejadian hipertensi pada pe- rempuan didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sigarlaki (2006) tentang karakteristik faktor yang berhubungan de- ngan hipertensi di desa Bocor Kebumen. Hasilnya diperoleh bahwa lebih dari separuh (55,77%) berjenis kelamin perempuan dan hampir separuhnya (44,12%) responden berjenis kelamin pria. Kesimpulannya adalah ada hubungan antara jenis kelamin dengan tekanan darah tinggi.
Survei yang dilakukan oleh August (1998) dalam NHNES III (ThirdNational Health and Nutrition Examination
200 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 2, Desember 2013: 193-204 Survey) berbeda dengan penelitian Sigar-
laki. Hasilnya dilaporkan bahwa secara umum dari semua etnis ada perbedaan tekanan darah arterial pada laki-laki diban- dingkan dengan perempuan. Laki-laki mempunyai tekanan darah arterial sistolik dan diastolik lebih tinggi. Community Hypertension Evaluation Clinic Program juga melaporkan bahwa tekanan darah diastolik arterial laki-laki lebih tinggi daripada perempuan di semua umur sedangkan tekanan darah sistolik arterial rata-rata pada laki-laki lebih tinggi sampai usia 60 tahun pada kulit hitam dan sampai usia 65 tahun pada kulit putih.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori, peneliti berpendapat bahwa jenis kelamin mempengaruhi tekanan darah. Hal ini disebabkan karena perempuan pada usia pertengahan sudah memasuki masa me- nopause dimana terjadi penurunan hormon esterogen. Penurunan hormon esterogen berdampak terhadap peningkatan aktivasi dari sistem renin angiotensin dan sistem saraf simpatik. Adanya aktivasi dari kedua hor- mon ini akan menyebabkan perubahan dalam mengatur vasokontriksi dan vasodi- latasi pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat, hal ini terjadi pada perempuan yang usianya lebih dari 55 tahun. Hasil penelitian ini 52% perempuan dan 48 % laki-laki.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Perry & Potter (2005) yang mengatakan bahwa wanita setelah menopause cenderung memiliki tekanan darah yang lebih baik dari- pada pria pada usia tersebut. Pada penelitian ini jumlah responden perempuan 50%, hal ini senada dengan hasil penelitian Black & Hawk (2005) yang menyatakan bahwa sampai usia 55 tahun angka kejadian hipertensi pada laki- laki lebih tinggi daripada perempuan.
Rata-rata tekanan darah sistolik setelah dilakukan intervensi dengan relaksasi progresif pada hari kelima adalah
141,41 mmHg dengan standar deviasi 0,51. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p 0,017 maka dapat disimpulkan bahwa secara bermakna ada penurunan tekanan darah sistolik sesudah latihan relaksasi progresif. Rata-rata tekanan darah diastolik kelompok perlakuan setelah dilakukan relaksasi progresif pada hari keenam adalah 82,5 mmHg. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p 0,001, dapat disimpulkan bahwa secara bermakna ada penurunan tekanan darah diastolik sesudah dilakukan latihan relaksasi progresif.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa relaksasi progresif merupakan metode untuk membantu menu- runkan tegangan sehingga otot tubuh menjadi rileks. Relaksasi progresif bertujuan menu- runkan kecemasan, stres, otot tegang dan kesulitan tidur. Pada saat tubuh dan pikiran rileks, secara otomatis ketegangan yang seringkali membuat otot-otot mengencang diabaikan (Ramdhani, 2009).
Smeltzer dan Bare (2002) mengatakan tujuan latihan relaksasi adalah untuk meng- hasilkan respon yang dapat memerangi respon stres, sedangkan Perry dan Potter (2005) mengatakan relaksasi bertujuan menurunkan aktifitas sistem syaraf simpatis, meningkatkan aktifitas syaraf parasimpatis, menurunkan metabolisme, menurunkan tekanan darah dan denyut nadi, serta menu- runkan konsumsi oksigen. Pada saat kondisi rileks tercapai maka aksi hipotalamus akan menyesuaikan dan terjadi penurunan ak- tivitas sistem syaraf simpatis dan para- simpatis. Urutan efek fisiologis dan gejala maupun tandanya akan terputus dan stres psikologis akan berkurang. Tehnik relaksasi yang bisa digunakan adalah relaksasi otot, relaksasi dengan imajinasi terbimbing dan respon relaksasi dari Benson (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Bluerufi (2009) dasar pemi- kiran metode latihan relaksasi adalah di
201