• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2. Tafsir Surat al-Qâ ri’ah ayat 1 -2

a. Teks dan Terjemahan surat al-Qâri’ah surat ayat 1-2

۞

۞

:

٥

)

b. Kosakata Ayat

Huruf ام pada ayat di atas merupakan Isim istifhâm yang berarti

“apa”, yang mana huruf ام merupakan kata tanya yang digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal.21 Demikian juga dalam kamus munjid dikatakan bahawa ام menjadi isim istifhâm dan untuk menanyakan hal-hal yang tidak berakal.22

ةع اقلا terambil dari kata ع ق yang berarti mengetuk.23 dalam kitab lisaanul arabi karya Imam Jamaluddin Ibnu Fadhil, Ya’qub

mengatakn bahwa Al-Qori’ah disini setiap bencana besar yaitu

kerusakan.24 Dalam kitab lisânul ‘arabi karya Imam Jamaluddin dikatakan bahwa al-Qâri’ah adalah:

Artinya: Al-Qâri’ah merupakan masa yang dahsyat yaitu bencana

c. Tafsir

Munâsabah Ayat

Surat sebelum al-Qâri’ah adalah al-„Âdiyât. Dalam surat

al-’Âdiyât merupakan ancaman Allah terhadap orang yang ingkar dan sangat mencintai harta bendanya. Mereka orang yang ingkar tersebut akan mendapatkan balasan yang setimpal dihari pembalasan nanti. Akhir ayat dalam surat Âdiyât ditutup dengan. Pada awal surat

al-Qâri’ah dimulai dengan penyebutan hari kiamat pula.25

21Mamat Zaenudin dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah, (Bandung, Refika

Auditama, 2007), h. 108

22Al-Munjid, ( Bairut, Maktabah Asy-Syarqiyyati, 1987), h. 744

23Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat, Lentera Hati, 2009), Juz. 15, h. 558

24Abu Fadhil Jamaluddin, Lisanul ‘arobi, (Beirut, Daarush Shodir, 1997), Jilid. 8, h. 265

25Departemen RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta, Lentera Hati 2010), Edisi Revisi, jil. X,

Tafsir Ayat

Para mufassir memiliki pendapatnya tersendiri terkait dengan kata al-Qâri‘ah. Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir dikemukakan bahwa al-Qâri’ah merupakan nama dari nama-nama hari kiamat seperti al-Qiyâmah, al-Hâqqoh, at-ıâmmatu, as-Şâkhokh, al-Ġâsyiyah dan lain sebagainya Sebagaimana yang terdapat dalam tafsir Departemen Agama RI dijelaskan bahwa kata al-Qâri’ah terambil dari kata qara’a- yaqra’u yang berarti mengetuk. Kata al-Qâri’ah juga diartikan sebagai suatu yang keras yang mengetuk sehingga memekakan telinga. Selain itu kata al-Qâri’ah sendiri disebutkan empat kali dalam al-Qur’ân dan tiga kali dari kata-kata tersebut terdapat dalam surat al-Qâri’ah dan satu kali dalam surat al-Hâqqah ayat empat.27

Pada ayat in, Allah menyebutkan kata al-Qâri’ah, yaitu salah satu nama hari kiamat. Hari kiamat juga disebut al-Qâri’ah karena ia menggetarkan hati setiap orang akibat kedahsyatannya. Kata

al-Qâri’ah juga digunakan untuk menyebutkan suatu bencana hebat. Allah berfiman dalam surat ar-Ra’ad ayat 31:

Artinya: Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana

disebabkan perbuatan mereka sendiri”(Surat ar-Ra’ad [13]: 31)

Maksudnya mereka ditimpa benecana hebat yang mengetuk hati mereka dan menyakiti tubuh mereka, sehingga mereka mengeluh karenanya.28

Quraisy Shihab dalam bukunya Tafsir al-Misbah mengemukakan bahwa al-Qâri’ah yang berarti mengetuk dikarenakan suara

26 Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Semarang: Kariyath Futiran, T.T), Juz. 4, h. 543

27 Departemen Agama RI, Op. Cit., Edisi Revisi, h. 755

menggelegar yang diakibatkan oleh kehancuran alam semesta sedemikian kerasnya sehingga bagaikan mengetuk lalu memekakan telinga bahkan hati dan pikiran manusia. Ketika itulah terjadi ketakutan dan kekalutan yang luar biasa sebagai dampak dari suara yang bagaikan ketukan keras itu. Sementara ulama menegaskan bahwa pengguna bahasa arab Qar’ah pada ayat menggunakan kata

qâri’ah dalam arti semua peristiwa yang besar dan mencekam, baik

disertai suara maupun tidak. Adapun pengulangan kata qâri’ah pada ayat kedua bertujuan menunjukkan rasa heran dan rasa takut yang mencekam. Seakan-akan keadaan ketika itu diilustrasikan walau dalam bentuk sederhana adanya seorang yang mengetuk rumah dengan sangat keras, tidak seperti apa yang selama ini dikenal

sehingga yang didalam rumah bertanya sambil ketakutan “siapa yang

mengetuk itu”.29

Pada ayat selanjutnya yakni ayat kedua, Allah mengulang pertanyaan terkait dengan al-Qâri’ah dalam bentuk pertanyaan agar manusia memahami akan dahsyatnya kejadian hari kiamat dan huru-hara yang membuat hati kecut, sehingga sulit menggambarkannya dengan tepat dan sulit mengetahui dengan sebenarnya.30

Dalam Tafsir al-Misbah karya Quraisy Shihab menjelaskan bahwa pertanyaan dalam surat al-Qâri’ah ayat 2 ini merupakan pertanyaan untuk memperingati, membuat takut, dan merupakan kecaman akan dahsyatnya hari kiamat. Dan merupakan ilustrasi dari keadaan ketika itu, yaitu dengan adanya orang yang mengetuk pintu rumah dengan begitu kerasnya dan tidak seperti biasnya orang yang

29 Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat Lentera Hati, 2002), Juz. 15, h. 559

30 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta, Lentera Abadi, 2010), Edisi

Revisi, jil. 10, h. 755, Ahmad Musthafa Al-Maroghi, Tafsir Al-Maroghi, (Semarang, Toha Putra

yang mengetuk pintu rumah.31 Sedangkan dalam tafsir departemen RI pertanyaan dalam ayat ini merupakan pertanyaan untuk meminta perhatian akan dahsyatnya hari kiamat.32

Pertanyaan dalam surat al-Qâri’ah ayat satu dan dua ini adalah ام

yang berarti apa. Pertanyaan dengan menggunakan “apa” biasanya

digunakan untuk hal-hal yang tidak berakal. Sedangkan dalam ayat ini pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang memberitahukan bahwa hari kiamat itu benar-benar dahsyat terjadinya. Pertanyaan ini juga merupakan peringatan akan dahsyatnya hari kiamat itu.

Pertanyaan dalam surat al-Qâri’ah ayat 2 ini adalah “Apakah hari kiamat itu?”, dengan demikian maka jawabannya merupakan penjelasan tentang hari kiamat. Sebagaimana firman Allah yang tertera pada surat al-Qâri’ah pada ayat selanjutnya yang merupakan jawaban tentang hari kiamat, yakni yang terdapat pada ayat 4-9;

۞

۞

۞

۞

۞

Artinya: Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran ۞ Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan. ۞ Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, ۞ Maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan ۞ Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, ۞ Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. (al-Qâri’ah [101]: 4-9)

Ayat tersebut merupakan penjelasan tentang hari kiamat, sebagai

pertanyaan yang terdapat pada ayat 2, yakni “Apakah hari kiamat

31 Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat Lentera Hati, 2002), Juz. 15, h. 559

32 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta, Lentera Abadi, 2010), Edisi

itu?’. Dengan demikian pertanyaan “apa” merupakan pertanyaan yang

meminta penjelasan tentang suatu hal. Allah bertanya kepada manusia tentang hakikat hari kiamat.

Adapun pertanya yang dimaksud pada ayat ini adalah untuk menakut-nakuti, mengecam dan meminta perhatian hamba-Nya akan dahsyatnya hari kiamat. Selain itu dalam kaidah istifhâm pertanyaan

dengan menggunakan “Apa” merupakan pertanyaan meminta pengertian sebagaimana makna yang sesungguhnya tentang sesuatu. Pertanyaan “Apa” juga merupakan pertanyaan subtansi dan Eksistensi atau keberadaan akan suatu hal. Sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Qâri’ah ini, melaului pertanyaan “Apakah hari kiamat itu?” dengan demiki merupakan pertanyaan yang meminta

penjelasan tentang eksistensi atau keberadaan hari kiamat dan subtansi dari hari kiamat. Subtansi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah seperti watak yang sebenarnya dari sesuatu, isi, pokok, inti, unsur, żat, kekayaan, harta, dan lain sebagainya.33 3. Tafsir surat Al-Baqarah 28

a. Teks dan Terjemahan surat al-Baqarah 28

Artinya: Bagaimana kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? (Surat al-Baqarah [2]: 28)

33Departemen pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, PT Gramedia

b. Kosakata ayat

Kata فيك memiliki arti “bagaimana”. Dalam kamus Munjid

dikatakan bahwa kaifa adalah:

Artinya: Isim Mubham yang mabni dengan fathah dan lazimnya menjadi isthifhâm atau meminta penjelasan.34

Hal ini juga terdapat dari Mu’jam al-Wasith yaitu:

Artinya: “Kaifa” merupaka isim yang mabni dengan fatah dan

lazimnya digunakan untuk kalimat Istifhâm (meminta penjelasan), seperti contoh: (bagaimana Zaidan) atau contoh lainnya seperti dalam Firman Allah SWT dalam kitab-Nya yang mulia: “Kaifa Takfurûna billâhi amwâta” dan sesungguhnya itu agar membuat kagum35

Adapun فكي dalam adawâtul istifhâm dijelaskan bahwa فكي

digunakan untuk menanyakan ٌ اح yaitu keadaan sesuatu.36

Kata Amwâta merupakan bentuk jama’ dari kata mayyitun yang artinya adalah orang yang mati.37 Kata mayyitun dalam kitab lisânul

‘arabi adalah membenarkan apa-apa yang sudah mati, dan yang akan mati.38

34 Al-Munjid, ( Bairut, Maktabah Asy-Syarqiyyati, 1987), h. 705

35Ibrohim Musthofa dkk, Mu’jam Alwasith, juz. 1-2 bab “Kâf” h. 807

36Mamat Zaenudin dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah, (Bandung, Refika

Auditama, 2007), h. 108

37Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir. (Surabaya, Pustaka Progresif, 1997),

h. 1366

c. Tafsir Surat Al-Baqoroh ayat 28 Munâsabah Ayat

Ayat ini masih berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya yaitu pada ayat-ayat sebelumnya merupakan peringatan Allah terhadap orang-orang kafir yang mana Allah telah mengunci hati mereka sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 7, karena mereka adalah orang munafik sebagaimana yang terdapat dalam ayat 8, selanjutnya pada ayat 9 dikatakan bahwa mereka juga menipu Allah dan orang-orang yang beriman, mereka pun membuat kerusakan dimuka bumi ini sebagaimana yang terdapat pada ayat 11, dan mereka pun mengolok-olok orang yang beriman yakni yang terdapat pada ayat 14. Dan pada ayat selanjutnya pada ayat 17 sampai 20 Allah pun memberikan peringatan kepada orang-orang kafir tersebut dengan berbagai perumpamaan-perumpaan hina yang Allah berikan kepada mereka. Selanjutnya pada ayat 21-27 merupakan seruan untuk menyembah Allah dan alasan-alasan baik berupa perumpamaan ataupun janji mengapa kita harus menyembah dan beriman kepada Allah.

Tafsir Ayat

Dalam ayat ini dimulai dengan pertanyaan bagaimana, dalam kaidahnya bagaimana biasanya digunakan untuk mengetahui cara cara yang bersifat indrawi. Pertanyaan ini juga mengandung unsur kecaman dan keheranan. Hal ini dikarena orang-orang tersebut masih belum beriman meskipun telah diberikan banyak penjelasan akan kebesaran Allah. Selain itu Quraisy Shihab juga mengemukakan bahwasanya pertanyaan pada ayat ini di awali dengan pertanyaan

“bagaimana” dan bukanlah “kenapa”, hal ini dikarenakan bahwasanya pertanyaan “mengapa” merupakan pertanyaan analisa dan

jawabannya merupakan analisis ilmiah. Dengan demikian mereka

diberikan pertanyaan dengan menggunakan “bagaimana” karena

orang yang beriman tersebut tidaklah menggunakan akal mereka untuk berfikir.39

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir karya imam Ibnu Katsir mengatakan surat Al-Baqarah ayat 28 merupakan penjelasan bahwa Allah telah membuktikan keberadaan dan kekuasaan-Nya. Dan sesungguhnya Dia juga lah yang Maha Menciptakan

hamba-hambanya. “Kaifa Takfurûna billâhi” bagaiman kalian ingkar terhadap keberadaan Allah dan menyembah selain kepada-Nya. “wa kuntum amwâta” padahal kalian tadinya mati (tidak ada) kemudian Ia menghidupkan mu (membuat mu ada).40

Pada Tafsir Departemen Agama RI kata ahyâkum ditafsirkan

sebagai, Allah menghidupkan kamu. Ungkapan ini menunjuk pada tahapan dimana manusia dihadirkan Allah untuk menjalani hidup dan

kehidupan di dunia. Sebelum mengalami tahap hidup di dunia, manusia mengalami tahap berada di alam roh dan alam rahim. Pada tahap ketiga (alam dunia) inilah manusia dihidupkan Allah (fa ahyâkum) maka menjalankan fungsi-fungsi utamanya, sebagai

‘abidullah (hamba yang beribadah kepada Allah), dan sebagai khalifah fil ard. Pada tahap keempat, manusia akan berada di alam barzakh, setelah mengalami kematian dan tahap kelima manusia akan berada di alam akhirat, semuanya dikembalikan kepada Allah. Di sana manusia menerima pembalasan yang seadil-adilnya atas semua amal yang dilakukan waktu hidup di dunia.41

39 Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat Lentera Hati, 2002), Juz. 1, h. 162-163

40 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Semarang, Kariyath Futiran, ttt), juz. 1, h. 67

41 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta, Lentera Abadi, 2010), Edisi

Dari belum ada di dunia kemudian kamu ada ke dunia ini dengan cara dilahirkan. Di ciptakan dari mani dalam Şulbi ayah mu dan dari tarâib ibu mu, berasal dari darah, dan darah tersebut berasal dari makanan hormon, kalori dan vitamin. Kemudian kamu ada dalam rahim ibumu, dikandung ibumu berbulan-bulan dan setelahnya kamu diberi akal. Kamupun lahir ke bumi dan kamu pun bekerja untuk mencukupi keperluan-keperluan hidup kamu dan kemudian Dia pula yang mematikanmu. Dia cabut nyawamu dan dipisahkan dari badanmu. Badan pun dihantarkan kembali kepada asalnya. Datang dari tanah dan kembali ke tanah.42

Demikian juga yang terdapat dalam tafsir al-Maragi, bahwasanya ayat ini juga berkaitan dengan kejadian manusia, bahwasanya manusia pada mulanya adalah mati dan kemudian Allah menghidupkannya dan memberikan akal untuk berfikir dan memahami akan berbagai hal. Kemudian Allah mematikan kembali dengan mencabut nyawa manusia ketika ajal sudah tiba. Dan setelah mati Allah kembali menghidupkan manusia untuk kedua kalinya. Kehidupan ini jauh lebih tinggi dan sempurna. Tapi kehidupan ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berjiwa bersih dan beramal shalih ketika di dunia. Dan di tempat itupulalah amal manusia dibalas dan dihitung. Hal ini menunjukkan bahwasanya Allah Maha Kuasa akan segala nikmat-nikmatnya. Hal ini juga merupakan sebuah kejelasan bagi mereka yang mengingkari dan tidak mau beriman kepada Allah.43Ayat ini merupakan peringatan dari Allah Swt. kepada orang-orang yang beriman tentang beberapa hal, yaitu:

a. Allah maha menghidupkan dan mematikan, kemudian membangkitkannya kembali setelah mati. Hanya kepa-Nyalah semua makhluk kembali.

42 Hamka, Tafsir Al-Azhar,(Jakarta, Pustaka Panjimas, 2001), juz. 1, h. 194

43 Ahmad Musthafa Al-Maroghi, Tafsir Al-Maroghi, (Semarang, Toha Putra Semarang, 1974)

b. Hendaknya manusia tidak hanya mementingkan duniawi saja. Karna hidup yang sebenarnya adalah di akhirat nanti. Hidup didunia merupakan hidup untuk mempersiapkan hidup yang lebih baik lagi nanti.

c. Allah lah yang menentukan ukuran, dan batas waktu kehidupan makhluk, seperti kapan suatu makhluk harus ada, bagaimana keadaannya, kapan akhir adanya dan sebagainya.44

Kaifa disini merupakan bagian dari adawâtul istifhâm yang mana lazimnya digunakan untuk menanyakan tentang keadaan seseorang. Namun dalam ayat ini penggunaan istifhâm digunakan untuk ta’ajjub

yaitu keheranan atau kagum. Dalam hal ini Allah ingin membuat orang yang ingkar terebut menjadi ta’ajjub kepada Rasul dan mengakuinya.

Pertanyaan ini juga merupakan pertanyaan epistimologi. Epistimologi adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Yaitu bermaksud membecirakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri. Sementara itu, ada juga yang menyebut epistimologi sebagai filsafat ilmu. Karena itu, epistimologi berkecenderungan berdiri sendiri, yaitu yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa epistimologi berusaha membedah pengetahuan tentang dirinya sendiri dan berusaha mengetahui metode dan sumber untuk mendapatkan pengetahuan itu.45 Contoh, “Bagaimana kamu dapat pengetahuan tentang itu?”.